Monday, August 13, 2012

Bertualang di Lembah Bersama Halli Sveinson

Sang Pahlawan - Heroes of The Valley (Terj.)
Jonathan Stroud

Halli Sveinson adalah anak tengah dari Arnkel dan Astrid, pemimpin dan penegak hukum Klan Svein, satu dari 12 klan yang ada di lembah. Lembah selalu dalam keadaan damai. Keseharian di tanah pertanian Klan Svein membuat Halli bosan dan mendambakan petualangan seperti kisah-kisah heroik dari para pendiri klan. Kebosanan itulah yang membuat Halli sering menjadi pembuat onar dan tak ayal harus menerima hukuman dari ayah dan ibunya sebagai pemimpin klan.

Halli selalu haus dengan kisah petualangan Svein, pendiri klan Svein beserta sebelas pejuang lainnya di masa lalu yang berhasil menghalau Throw, makhluk pemangsa manusia, dan menjaga tanah mereka dari serangan Throw dengan membangun dinding batu di sekeliling lembah. Tak seorang pun diijinkan melewati dinding pembatas tersebut. Mayat para leluhur di atas bukit hingga kini dipercaya menjaga lembah dari serangan Throw. Halli pun mempercayai hal itu.

Hanya Katla dan Brodir tempat Halli bertanya mengenai kejadian-kejadian di masa lalu. Katla adalah pengasuh Halli semenjak lahir dan Brodir adalah paman Halli. Halli menyaksikan saat Brodir tewas di tangan Olaf Hakkonson, adik dari Hord Hakkonson, pemimpin Klan Hakkon. Halli terusik dan berniat membalaskan dendam kepada pembunuh pamannya. Diam-diam dia pergi dari rumah menuju pemukiman klan Hakkonson yang terletak sangat jauh dari lembah Svein. Perjalanan tersebut membuat Halli yang masih berusia 14 tahun menjadi lebih matang dan berani. 

Kepulangan Halli ke lembah Svein memunculkan kecemasan karena di saat kepergiannya beredar kabar bahwa Olaf Hakkonson tewas dibunuh dan balairung Hakkon dibakar. Kericuhan yang terjadi pada saat pengadilan atas pembunuhan Brodir membuat ketegangan di Klan Svein makin meningkat. Halli bersama dengan Aud, gadis keras kepala putri pemimpin Klan Arne menyusun strategi. Mereka pun mempersiapkan pertahanan untuk menghadapi serangan Klan Hakkon. Bersama Aud pula lah akhirnya dia mengetahui rahasia lain dari leluhurnya. 

Alur yang lambat di awal kisah membuat novel ini sedikit membosankan. Tetapi kemudian pembaca diajak untuk berlari dan terengah-engah mengikuti petualangan Halli. Perubahan Halli dari seorang anak pembuat onar menjadi pribadi yang matang digambarkan dengan menarik, diselingi dengan intrik-intrik politik antarklan. Merasa de javu? Kalau saya, iya. Penggambaran Halli sangat mirip dengan Nathaniel di Bartimaeus Trilogy. Juga bumbu-bumbu politiknya. 

Sejujurnya, saya sedikit kecewa dengan novel ini karena sudah high expectation duluan mengingat kisah Nathaniel dan jin sarkasnya. Ya, saya membeli novel ini karena nama penulisnya, Jonathan Stroud. Dan saya telah salah karena mengharapkan novel yang ditulis setelah Bartimaues Trilogy ini menghadirkan alur, detil dan ending sebaik pendahulunya. Tapi sebagai novel fiksi fantasi petualangan, Heroes of The Valley telah berhasil mengembalikan minat membaca saya yang nyaris hilang dalam beberapa bulan terakhir. Saya ikut merasa deg-degan dan berkeringat dingin mengikuti petualangan Halli di sepertiga akhir novel. 

Sebagai catatan, novel ini tidak cocok untuk anak-anak di bawah umur karena berdarah-darah dan memberikan pembenaran atas hal-hal yang tidak layak dilakukan. Ratingnya: BO alias Bimbingan Orang Tua. :D

Wednesday, June 6, 2012

Blog Re-Born

Sudah hampir dua tahun blog ini terbengkalai karena belum juga diperoleh kata sepakat dengan para kontributor tulisan atas pemberian honor. Hahaha... kidding. Alasan sebenarnya hanya karena admin-nya malas menulis, suatu hal yang sangat sulit untuk dimulai lagi. Tapi setelah akhir-akhir ini mendapat dorongan dari orang-orang tersayang agar menulis lagi, maka dengan mengucapkan basmallah blog ini dinyatakan untuk dibuka lagi untuk umum. Semoga saya bisa terus konsisten untuk berbagai dalam tulisan-tulisan mendatang. Kelahiran kembali blog ini juga ditandai denga dimigrasinya blog yang lama di alamat http://melskijutex.blogspot.com ke rumah yang baru di http://melsharfey.blogspot.com. Sekian.

Saturday, August 7, 2010

Touring Seru ke(dari) Desa Sawarna

Prolog
Jumat petang selepas maghrib saya langsung meluncur ke halte RS. Harapan Kita. Bus jurusan Merak baru nongol setelah nyaris satu jam menunggu. Tak ada tempat duduk tersisa di dalam bus, terpaksa berdiri. Paling gak sampai pintu tol Kebon Jeruk lah, pikir saya.Tapi ternyata gak ada seorang pun yang turun di pintu tol Kebon Jeruk, justru ada tambahan beberapa penumpang. Ihik... bakal berdiri sampai Serang nih. Tepat di samping saya berdiri ada seorang bapak dengan ukuran super big yang membuat ruang bergerak jadi berkurang.

Alhamdulillah gak harus berdiri sampai Serang, banyak yang turun di Tambak (sekitar KM 60 Tol Jakarta-Merak). Busnya pun gak ngetem lama di Serang. Langsung dijemput Ketty di terminal bayangan Cilegon alias PCI. Di rumah Ketty sudah tersedia bebek goreng yang maknyus lengkap dengan sambal mangganya. :D

Hari H
Kata Ketty, rombongan mobil berangkat pukul 06.30 WIB, rombongan motor berangkat 30 menit kemudian. Kami pun bergegas ke basecamp (baca: rumah dinas) Kanwil Banten. Yup, touring ini terselenggara atas kerja sama teman-teman di Kanwil Banten. Saya hanyalah peserta susupan. :D

Rupanya, Ajib “the organizer” sudah menyiapkan spanduk berukuran besar. Hahaha... niat banget nih anak. Jadwal keberangkatan molor, rombongan baru meluncur pukul 08.30 WIB. Satu mobil dan tujuh belas motor. Total peserta 30 orang (Bener gak sih? Gak sempet ngitung soalnya)



Saya ikut di rombongan mobil. Pingiiiiinnn banget ikut rombongan motor, tapi ternyata gak ada helm yang cukup memadai alias helm SNI. Dito bertindak sebagai supir mobil pelat merah ini. Jok bagian belakang berisi tas dan berbagai perlengkapan peserta. Selain Dito, hanya ada saya, Ketty, dan Susy.
Kami meluncur menuju Pandeglang. Tidak ada koordinasi di mana kami akan berhenti untuk sarapan. Rombongan motor tak bisa dihubungi melalui telepon seluler. Akhirnya Dito meminggirkan mobil di alun-alun Pandeglang. Ada penjual kupat tahu dan bubur ayam. :D

Tak lama kemudian melintaslah rombongan motor dan tiba-tiba... Gubrak. Seorang pengendara lokal menabrak Surya yang secara tiba-tiba mengarahkan motornya ke kanan untuk bergabung dengan kami. Alhamdulillah tak ada yang cedera, hanya mengorbankan spion kanan dan footstep kanan. Untunglah si pengendara lokal tidak menyalahkan Surya. Murdi yang semula keukeuh naik motor meski helmnya gak memadai akhirnya mau meninggalkan motornya di KPP Pandeglang dan bergabung dengan romobongan mobil sebagai navigator Dito. Angga juga ikut gabung, mojok di belakang bareng tumpukan tas. ;P

Perjalanan pun dilanjutkan. Dari Pandeglang kami mengarah ke Malimping, melalui daerah bernama Saketi. Kondisi jalannya rusak parah. Hanya beberapa bagian yang masih layak dilewati. Sebagian kecil (baru selesai) dibeton. Tapi jangan coba-coba membawa mobil bagus ke sini, kasihan mobilnya. Pas kami singgah sebentar untuk menyeruput kopi, rombongan motor melewati kami.

Rupanya Malimping masih sangat jauh. Masih sekitar 80km lagi dari jalan yang melepaskan kami dari Saketi. Tapi kondisi jalan sudah lebih bersahabat, jalan berlubangnya agak berkurang, sedikit. :P
Jalan memutari perbukitan dengan bonus pemandangan menakjubkan di kanan-kirinya. Kebun sawit dan kebun karet. GPS Dito kurang bisa dipercaya. Atau Dito-nya yang gak bisa baca peta? ;P
Akhirnya kami lebih mengandalkan mulut alias malu bertanya sesatnya kejauhan.

Sampai juga di Malimping. Kami tidak menemukan rombongan motor sepanjang perjalanan. Kemana ya mereka? Kok pada ngebut? Apa gak pada belajar dari kejadian Surya tadi? Atau sopir mobilnya yang kurang jago menguasai medan? Hahaha... maapkeun daku, Dito.

Pemandangan dari Malimping menuju Bayah baguuuuuusss banget. Pantai Selatan Pulau Jawa memang menyajikan pencuci mata yang menakjubkan. Ombak Samudera Hindia nampak bergulung-gulung di kejauhan. Tiba-tiba ada kabar dari rombongan motor bahwa salah satu peserta, Rahman, terjatuh dari motor dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Ah, kejadian lagi deh. Semoga ini yang terakhir. Rupanya mereka sudah berada di Desa Sawarna.

Sampailah di gerbang Desa Sawarna yang ternyata masih cukup jauh dari desanya. Jalan dari gerbang desa yang naik turun dan berkelok-kelok sudah diaspal halus, nyaris tanpa cacat. Pemandangan laut selatan segera berubah menjadi hutan belantara. Berbagai jenis tanaman mulai dari semak hingga pohon jati mengepung kami. So amazing!

Rombongan motor telah menunggu di sebuah warung. Luka di tangan dan kaki Rahman telah dibebat entah dengan apa. Singlet kah itu? :D
Rupanya warung ini menyajikan pemandangan yang tak kalah indah, Pantai Ciantir nampak dari kejauhan. Huhuhuuuu... gak sabar pingin cepat sampai.


Rahman bergabung dengan rombongan mobil. Sebelum melanjutkan, diberitahukan bahwa turunan setelah warung ini adalah turunan terjal yang cukup berbahaya. Selintas juga ada yang mengatakan bahwa kami sudah tak jauh dari lokasi homestay. Mobil pun meluncur duluan.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Kemana teman-teman rombongan motor? Apakah mereka tak bisa mengejar mobil ini yang juga tak melaju kencang? Masih ada beberapa tanjakan dan turunan terjal. Di depan kami ada sebuah tanjakan tajam (mungkin lebih dari 45 derajat kemiringannya) dengan kondisi jalan yang rusak parah. Penumpang terpaksa turun untuk memberikan Dito kesempatan melewati rintangan ini setelah percobaan pertama gagal. Dan Dito pun berhasil menaklukan tantangan, horeeeee....! Dito layak dapat SIM B nih.


Sejak masuk ke Desa Sawarna sinyal telepon seluler mulai menghilang. Hanya operator tertentu yang masih bertahan. Tapi di sini, di tempat kami sekarang, sinyal itu hadir lagi, penuh malah. Hujan mulai turun dengan derasnya. Kami pun mencoba menghubungi teman-teman rombongan motor, khawatir dengan kondisi mereka. Rupanya kami terlewat terlalu jauh dan mereka sudah berleha-leha di homestay! Huh... kenapa mereka tak berusaha menghubungi kami setelah lebih dari setengah jam ini? Keterlaluan... *emosi*

Mobil diputar balik. Hampir setengah jam sampai akhirnya kami menemukan tempat parkir menuju desa. Akses ke Desa Sawarna harus melalui sebuah jembatan gantung. Mobil tak bisa lewat. Agak seram melewati jembatan ini, mana pengaman disampingnya masih memungkinkan orang dewasa melayang ke bawah. Hiyyyy...


Kami langsung disambut rumah-rumah penduduk yang sederhana. Ajib sudah memesan dua rumah sebagai homestay sampai besok siang.

Saya dan Ketty sepakat memilih Saung Clara yang berwujud rumah panggung. Pas buka pintu belakang, subhanallah... elok nian pemandangannya. Hijau di mana-mana.



Setelah rehat sebentar dan makan siang yang kesorean, kami menyusul teman-teman yang sudah duluan ke Pantai Ciantir. Gemuruh ombak terdengar sangat dekat. Di balik semak yang tumbuh di atas tanah pasir, sejumput surga terserak di sana. Haha... kayak pernah lihat surga aja. ;P

Pantai berlatar Samudera Hindia dengan ombak tinggi bergulung-gulung. Pantas saja banyak penggila surfing, terutama dari mancanegara, yang justru lebih banyak mengunjungi pantai ini. Baru sekitar dua tahun terakhir saja para petualang domestik mulai berbondong-bondong mencicipi keindahan ini. Pantainya masih sepi. Bersih. Alami. Beberapa teman sudah nyemplung ke air. Sebagian masih duduk di pasir. Sebagian berjalan menyusuri pantai. Semuanya punya cara sendiri menikmati indahnya karunia Allah ini. Alhamdulillah diberi kesempatan berada di sini.


Meski kami tak bisa menikmati warna indah birunya laut bertemu dengan langit di cakrawala karena lautnya agak keruh (mungkin habis diguyur hujan) dan mendung menambah kelabu warnanya. Ah, semoga besok langitnya cerah...

Kami kembali ke homestay yang berjarak hanya sepelemparan tombak dari bibir pantai, setelah gagal menikmati indahnya matahari terbenam. Kami berkumpul lagi saat makan malam. Hujan lebat turun tanpa henti. Wah, bisa batal nih acara bakar-bakar kambing guling. Baru pukul 21.00 tapi berasa lebih larut di sini. Sepiiiiiiiiiiii... hanya ditingkahi suara-suara hewan dan serangga serta tetes hujan yang menyentuh bumi. Sebagian orang sudah terkapar. Sisanya masih bertahan dengan bermain kartu atau ngobrol ngalor-ngidul.

Saya pun kalah oleh kantuk. Berlari-lari kecil ke Saung Clara dengan jalanan yang tergenang air. Saung ini terdiri dari dua kamar dengan kamar mandi mungil di tiap kamar, ditambah sebuah ruang tengah dan teras. Selain spring bed, juga disediakan kasur lipat khas Palembang. Satu kamar bisa diisi 4 orang, bahkan lebih karena cukup luas. Apalagi ruang tengahnya. Begitu menyentuh kasur saya langsung tak sadarkan diri. :D

Tengah malam seseorang mengetuk pintu, memberitahu bahwa kambing gulingnya siap dieksekusi. Ah... pingin bangeeettt, tapi mata ini gak mau kompromi, tetep aja merem. Lewat deh kambing gulingnya, hiks.


Terjaga oleh udara dingin. Wajar saja karena saung ini berdinding gedek (anyaman bambu). Suara-suara serangga membuat saya tak lagi bisa memejamkan mata. Ya sudah... sekalian nunggu adzan Shubuh.

Selepas Shubuh, sedikit kesiangan karena Ketty masih enggan meninggalkan alam mimpinya, kami ke pantai. Kami tiba saat matahari mulai mengintip di balik deretan pohon kelapa. Sebagian teman malah sudah beranjak dari pantai. Suasana masih kelabu. Mendung masih menggantung di langit. Kami pun berjalan menyusuri bibir pantai, menikmati jilatan-jilatan ombak di kaki.

Saat kami kembali ke homestay untuk sarapan, teman-teman sudah bersiap ke Tanjung Layar, sebagian bahkan sudah berangkat dengan motor masing-masing. Celingak-celinguk mencari teman yang bersedia mengangkut saya. Untunglah masih ada Zaenal, “pasangan” Rahman yang tak bisa menikmati sejumput nirwana ini karena lukanya cukup parah. Motor kami beriringan melewati jalan setapak berpasir yang bahkan berhasil menjatuhkan Andy sang Voorijder. ;P



Tempat ini disebut Tanjung layar karena ada dua karang besar yang berbentuk menyerupai layar. Di sekelilingnya terdapat karang yang seolah telah dipahat sehingga kami bisa berjalan di atasnya tanpa rasa khawatir. Di atasnya karang “pahatan” ini, yang tergenang hingga betis kami, tumbuh sejenis rumput (atau lumut?) yang menjadi tempat tinggal banyak ikan kecil, bintang ular, bahkan kepiting. Subhanallah, it’s so amazing!

Semakin jauh ke balik layar, terdapat dinding karang yang menjadi penghalang bagi ombak untuk menerjang karang layar. Sayangnya tak ada pemandu yang bisa menjelaskan bagaimana semua ini terjadi atau legenda yang menyelimutinya.

Tak habis rasa syukur yang saya panjatkan, terutama saat berdiri di dinding karang penghalau ombak. Rasanya keciiiiiiillllll banget, berada di depan samudera dengan ombak tinggi yang bergulung-gulung. Terbayar sudah perjuangan dari Jakarta hingga ke sini.

Ombak ini pun memakan korban. Ketty, Johan, Echa dan Andy yang saat itu sedang berada di atas dinding karang, dihantam ombak yang cukup tinggi. Untunglah mereka masih tegar berdiri. Tapi telepon selular Ketty langsung tak bernyawa. Turut berduka cita ya Ket... ;P

Meski belum puas, kami harus kembali ke homestay untuk tujuan berikutnya, Gua Lalay. Sayangnya, banyak yang tidak berminat mengunjungi gua ini hingga Ajib memutuskan untuk membatalkan acara kami ke Gua Lalay. Huhuhuhuuuuuu... saya kan penasaran pengin ke situ.

Setelah bebersih badan, kami pun siap meninggalkan tempat ini. Gak rela, gak rela, gak rela... I wanna stay a little bit more.

Karena judulnya touring, saya bertekad untuk ikut rombongan motor dalam perjalanan pulang ini. Andy bersedia membagi tempat di motornya. Rahman pun meminjamkan helmnya karena dia ikut rombongan mobil. Cihuy... akhirnya bisa juga ikut touring.

Keberangkatan sedikit tertunda karena menunggu ban motor Aris selesai ditambal. Sekitar pukul 12.00 WIB rombongan kami meluncur. Rombongan mobil sudah meluncur duluan. Rencananya kami tidak melewati Pandeglang, dari Malimping mengarah ke Rangkas, karena berdasarkan informasi yang diberikan pemilik homestay, jalannya lebih bersahabat.

Lepas dari gerbang desa, kami mengisi penuh tangki-tangki motor di SPBU terdekat. Di sini diputuskan bahwa kami akan melewati jalur yang sama dengan jalur berangkat. Rombongan kembali melaju. Paling depan (Andhika dan Oci?) membuka jalan. Dua tongkat lampu menjadi penunjuk arah. Andy melaju paling belakang sebagai sweeper.

Selama perjalanan, teman-teman di depan beberapa kali menurunkan (meluruskan?) kakinya. Saya pikir itu karena kaki mereka butuh relaksasi. Ah, rupanya saya salah. Setelah diperhatikan, mereka menurunkan kaki saat ada lubang menganga di sepanjang jalan. Wkwkwkwkwk... ini toh rupanya. Kaki kiri untuk lubang di sebelah kiri, kaki kanan untuk lubang di sebelah kanan. Saat ada yang tercecer, Andy akan memberi tahu teman yang berada paling depan untuk mengurangi laju motornya. Tancap gas. I really love this one. :D

Gerimis mulai turun. Di sebelah kiri terhampar Samudera Hindia. Kereeeeennnn. Berasa lebih dekat karena naik motor kali yak. Kami singgah di sebuah masjid di daerah Malimping. Gerimis makin deras. Setelah rehat sebentar kami kembali melaju di jalan beraspal. Cuaca sudah lebih bersahabat, matahari mulai nampak. Alhamdulillah. Pakaian pun kering di badan. ;P

Sudah sekitar pukul 15.00 WIB saat kami berhenti untuk makan siang di sebuah warung kecil.


Baru sebentar kami kembali ke jalan, mendung mulai menggantung, bahkan lebih pekat dibanding sebelumnya. Teman-teman bersiap dengan jas hujan masing-masing. Sebagian tidak membawa jas hujan, termasuk Andy. Wedew... musti siap-siap basah kuyup nih.
Benar saja, hujan turun dengan lebatnya. Tapi kami tetap melaju. Air hujan pun menembus jaket yang saya kenakan. Kami basah kuyup. Entah berapa lama hujan menghajar dengan deras. Kadang mereda tapi kemudian kembali ke kekuatan sebelumnya. Harus ekstra hati-hati karena disamping menghadapi hujan, kami juga harus menghadapi medan jalanan yang cukup berbahaya karena berlubang di sana-sini.


Alhamdulillah, sebelum meninggalkan Saketi hujan sudah benar-benar reda. Bahkan menuju kota Pandeglang tak ada tanda-tanda telah diguyur hujan. Jadi seperti tikus kecemplung got nih. ;P
Sebagian rombongan berhenti di sebuah SPBU, yang lain melanjutkan perjalanan. Andy dan Ajib mengganti pakaian mereka yang kuyup. Saya? Yah... terpaksa tetap berbasah-basahan karena tak ada pakaian tersisa. Sedikit menggigil saat kami kembali meluncuri. Sudah lewat maghrib.

Rupanya rombongan mobil menunggu kami di KPP Pandeglang. Kami yang terakhir tiba di sana. Semangkuk bakso pikul cukup menghangatkan badan. Beberapa teman berpisah di sini. Saya kembali ikut rombongan mobil. Ajib jadi supir kali ini.

Akhirnya kembali juga kami ke titik awal perjalanan ini. Berpisah dengan teman-teman baru yang bahkan tak semuanya saya kenal. Sudah terlalu larut jika saya memaksakan diri pulang ke Jakarta. Balik ke rumah Ketty diantar Dito dan Murdi. Langsung mandi dan membalur badan dengan minyak kayu putih. Terus tidur deh. :D

Epilog
Senin pagi, kembali ke Jakarta. Terjebak kemacetan di sekitar pintu tol Karang Tengah. Sampai kantor sekitar pukul 10.30 WIB. Teman-teman curiga karena meski terlambat dan terpaksa dipotong tunjangan, saya datang dengan senyum terkembang. Hahahaha...


Catatan:
  • Brotherhood berasa banget sepanjang perjalanan touring, thumbs up for all of you guys...!
  • Bertekad untuk berkunjung lagi ke Desa Sawarna dan mengeksplorasi tempat-tempat yang kemarin belum sempat dijelajahi. Hayuk, ada yang mau ngajakin touring lagi? ;-)




Friday, July 9, 2010

Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Epilog)

Jumat pagi, 2 Juli 2010, kami sudah bersiap di depan hotel. Seperti hari-hari sebelumnya, selalu saja ada yang melanggar kesepakatan sehingga rencana berangkat pukul 7.30 WITA pun harus molor setengah jam. Perjalanan ke Pelabuhan Lembar memakan waktu sekitar satu jam. Pengorbanan menunggu ferry yang lumayan lama terbayar impas karena ferry kali ini lumayan besar dan ada ruangan ber-AC. Tempat duduknya pun sangat nyaman. Saat ferry mulai membelah Selat Lombok, saya mulai merasakan pusing. Mungkin ini yang disebut mabuk laut. Perjalanan yang lumayan lama memberi kesempatan untuk tidur lelap. Terbangun karena cacing-cacing di perut mulai berteriak kelaparan.

Selesai makan siang dengan nasi kotak yang dibawa dari Mataram, saya berjalan-jalan ke bagian belakang ferry. Rupanya toiletnya pun cukup bagus, dan yang lebih penting lagi, bersih. Berjalan di ferry seperti jalannya orang mabuk, gentuyuran. Bahkan sholat pun harus kuat kuda-kudanya karena kalau tidak kuat kita bisa terjatuh. ;p

Kami tiba di Pelabuhan Padang Bay sekitar pukul 14.00 WITA. Tidak ada lagi pemeriksaan KTP seperti halnya saat kami memasuki Pelabuhan Gilimanuk tempo hari. Bus langsung mengarah ke Kuta. Setelah Jaja yang lebih dulu berpisah dengan rombongan, giliran Mario yang turun di daerah Sanur. Di Kuta, bus diparkir di Central Park. Di sini kembali kami kehilangan anggota rombongan. Sonya dan Early akan melanjutkan liburannya di Pulau Dewata ini. Demikian juga Friska dan Irfan. Wah, jadi makin sepi nih busnya.

It’s free time. Dari Central Park kami naik komuter (dengan sedikit kejadian tidak menyenangkan dengan si sopir) ke outlet Joger. Tarif komuter ini IDR60.000 atau IDR3.000 per orang jika diisi penuh sebanyak 20 orang. Walah, ternyata outlet Joger is so crowded. Banyak rombongan pelancong di musim liburan ini. Antriannya pun mengular. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di depan kasir.

Semula kami akan melanjutkan ke Pantai Kuta. Tapi matahari sudah hampir tenggelam, langit pun diliputi awan sehingga kemungkinan kami tidak bisa menikmati sunset di Kuta. Yah, meski ada sedikit perasaan tidak enak dengan Nunik dan Ety yang sepertinya sangat ingin ke pantai, kami semua kembali ke Central Park karena harus berkumpul kembali pukul 19.00 WITA.

Tapi ternyata teman-teman yang lain belum kembali. Kami pun terpaksa menunggu sembari makan malam di foodcourt Central Park. Rombongan baru melanjutkan perjalanan sekitar pukul 20.00 WITA. Entah pukul berapa kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Terkantuk-kantuk di dak penumpang sampai ada informasi bahwa ferry akan bersandar di Pelabuhan Ketapang.

Sabtu, 3 Juli 2010, saat adzan subuh berkumandang kami menepi di sebuah masjid di Ponorogo. Wah, masih jauh rupanya perjalanan kami sampai ke Bandung. Tapi saya sudah memutuskan untuk singgah dulu di Tegal, melepas lelah, numpang pijet, dan meninggalkan pakaian kotor selama perjalanan ke Lombok. ;p

Setelah berhenti di Pasuruan untuk sarapan yang kesiangan, bus sampai di Porong, di mana teman sebelah saya selama perjalanan ini, Janice, turun untuk berkumpul dengan ayah dan kakaknya di Surabaya. Lumayan lah jadi bisa selonjor lebih lapang. Sudah hampir tengah hari saat itu. Tadinya Gilang menawarkan untuk berhenti sebentar di lokasi kubangan (atau lebih layak disebut danau?) luapan lumpur dari pengeboran PT. Lapindo Brantas. Tapi karena cuaca yang sangat terik rencana itu dibatalkan. Syukurlah, karena saya memang sama sekali tak berminat ke tempat itu. Saya lebih senang kalau kami tidak terlalu banyak berhenti sehingga lebih cepat sampai.

Dalam perjalanan kami mulai menyadari ada yang berubah dari fisik kami. Selain kulit yang terbakar, rupanya kaki kamu mulai membengkak. Mungkin ini efek dari kaki yang capai tapi tidak bisa diluruskan karena duduk di bus. Untunglah hanya jempol kaki saya yang bengkak, sementara teman-teman mengalami bengkak seperti layaknya orang hamil. ;p

Menyenangkan rasanya saat akhirnya bisa melewati perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Setidaknya kami lebih dekat dengan akhir perjalanan. Kami singgah di Rembang untuk ishoma dan kembali melanjutkan perjalanan. Di Pati bus kembali berhenti menjelang maghrib dan melanjutkan perjalanan ke Semarang. Tercetus ide untuk mampir ke Semarang dan berbelanja oleh-oleh di Jl.Pandanaran. Tidaaaaaaaakkkkkk... Saya mau pulang sekarang. Jangan ada mampir-mampir lagi!

Untunglah, Pak Syaifudin dan Pak Deden serta Kang Robby, kru bus Puja Wisata ini, sepakat untuk tidak mampir ke kota Semarang. Thanks God. :D
Sebelum masuk Semarang, Ety turun di daerah Juwana. Kami berhenti di sebuah rumah makan besar di daerah Kendal, tempat banyak bus berhenti untuk istirahat, sekitar pukul 20.00 WIB. Orang ramai menyaksikan pertandingan antara Jerman melawan Argentina. Di sini Nita memutuskan untuk naik salah satu bus Nusantara jurusan Jakarta yang ada di tempat itu. Tak lama setelah melaju, di pertigaan Weleri-Sukoharjo, kembali satu teman berkurang. Handono akan pulang ke rumahnya di Temanggung.

Saya terjaga saat bus melintas di Kab. Pekalongan. Rupanya Nunik sudah turun di Batang. Saya pun memaksakan diri untuk tidak terlelap lagi. Fyuh... kondisi jalan di jalur Pantura sangat parah. Berlubang dan bergelombang di sana sini. Bus harus bermanuver untuk menghindari ranjau-ranjau tersebut.

Minggu dini hari, 4 Juli 2010, pukul 01.00 WIB. Alhamdulillah, akhirnya, sampai juga di Tegal. Saya pun berpamitan dengan Andri dan Gilang. Teman-teman lain sedang terhanyut di alam mimpi.

Sore harinya saya sudah berada di salah satu gerbong di rangkaian KA Cirebon Ekspres yang akan mengantar saya kembali ke Jakarta. Dari St. Tegal hingga St. Brebes kereta masih lengang. Dengan tiket tanpa tempat duduk, saya meringkuk di bordes gerbong 1 yang sepertinya baru diremajakan. Sendiri. Kereta baru dijejali penumpang setelah tiba di St. Cirebon. Ada tiga orang yang bergabung dengan saya di bordes gerbong 1. Tanpa mempedulikan yang lain, saya melanjutkan tidur sampai tiba di St. Bekasi dan terus terjaga hingga tiba di St. Gambir.

Perjalanan menakjubkan ini akan selalu tersimpan dalam memori. Kalau masih dikasih kemampuan, kesehatan, dan kesempatan, saya pasti akan kembali mengeksplorasi Lombok yang eksotis. Kembali ke Jakarta, kembali ke realitas.

Oh Jakarta, do you miss me? :D


Catatan (1):
Lombok tidak cocok untuk para solo backpacker
karena tidak tersedianya angkutan umum untuk mencapai tempat-tempat yang menarik. Pelancong harus menyewa motor atau mobil sehingga malah akan membebani anggaran. ;-)

Catatan (2):
Pegal-pegal di betis yang bikin sakit pas naik-turun tangga baru hilang setelah hari Selasa (060710). Sepertinya ini gara-gara pas mau snorkling tidak diawali dengan pemanasan dan peregangan. ;P


Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Bagian III)

Kamis, 1 Juli 2010, kami berkumpul setengah jam lebih awal dari hari sebelumnya. Kami akan menuju Gili Nanggu di Lombok Barat. Melalui jalur atas daerah Sekotong dengan kontur geografis yang mirip dengan jalan yang kami tempuh malam sebelumnya, jalan berkelok naik turun dengan pemandangan pantai yang indah dan perbukitan yang hijau. Gili adalah pulau-pulau kecil yang tersebar di sekeliling Pulau Lombok. Yang terbesar dan terkenal adalah Gili Terawangan, Gili Menu dan Gili Air yang dapat dicapai dari Senggigi. Gili Nanggu merupakan salah satu gili di bagian barat daya Pulau Lombok dengan luas tak lebih dari 12,5 Ha. Gili Nanggu dipilih karena masih alami dan belum terjamah tangan-tangan jahil. Kami menyeberang ke Gili Nanggu dari Pelabuhan Tawun, Sekotong, dengan perahu tradisional, setelah sebelumnya menyewa sepaket masker, snorkle dan fin (IDR50,000) serta life jacket (IDR25,000). Mahal ya???

Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke Gili Nanggu. Wow… it’s so beautiful! Hamparan pasir putih dengan air laut yang sangat jernih. Pengunjung pun tak banyak, bebas berekspresi sesuka hati. Seperti berada di pulau pribadi deh. :D


Pak Agus memberikan tutorial singkat bagi para pemula seperti saya, tentang bagaimana mempergunakan alat snorkle dan bagaimana cara snorkling yang benar. Intinya, tidak boleh panik. Santai saja. Biarkan tubuh kita mengambang dan terbawa arus. Yang perlu diingat, dilarang berdiri di atas terumbu karang. Akhirnya setelah beberapa kali percobaan saya memberanikan diri mengikuti teman-teman yang telah lebih dulu ke tengah. Tak habis saya memanjatkan segala puji bagi Yang Kuasa. Ikan berbagai jenis dengan warna-warni yang semarak hilir mudik seolah tak menghiraukan kehadiran saya. Terumbu karang dalam banyak bentuk dan warna menambah keindahan dunia di bawah air. Serasa masuk ke sebuah akuarium besar. ;-)

Setelah bersusah payah mengubah arah dan panik karena snorkle-nya kemasukan air, saya pun berhasil kembali ke tepi. Hahaha… saya yang tidak bisa berenang ini pun bisa snorkeling dengan aman. ;P

Masih cukup waktu untuk bersantai sejenak di Gili Nanggu. Menapaki pasir pantai yang putih, bermain dengan ombak-ombak kecil, berjemur, berenang, atau apapun yang ingin dilakukan. Di depan sana ada Gili Sudak yang hanya berjarak sepelemparan tombak. Bahkan seorang teman berhasil berenang sampai ke Gili Sudak.

Oh ya, jangan berharap bisa menemukan permainan seperti jet ski, banana boat, parasailing, atau permainan apa pun yang biasa ditawarkan pengelola wisata pantai. Seperti halnya di Pantai Mawun dan Pantai Tanjung Aan, Gili Nanggu pun benar-benar mengandalkan keindahan alam yang dikaruniakan oleh Yang Maha Pencipta. Semuanya serba alami.

Meski masih betah di Gili Nanggu, kami harus segera kembali ke Pelabuhan Tawun karena masih harus berkeliling mencari buah tangan. Hanya ada satu tempat bilas di Pelabuhan Tawun. Sebagian orang membersihkan diri di kamar mandi penduduk setempat yang sangat welcome. Benar-benar sebuah tempat menarik yang belum dikelola dengan lebih professional. Tapi mungkin kalau sudah banyak yang berkunjung, keeksotisan Gili Nanggu akan berkurang karena orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, biarkan saja seperti sekarang ini. :-)

Kembali menyusuri jalur atas Sekotong (jalur bawah katanya lebih memutar) kami mengarah ke Desa Banyumulek. Desa ini merupakan pusat kerajinan gerabah. Sebagian besar merupakan konsumsi pasar ekspor Amerika dan Jepang. Salah satu gerabah yang unik adalah Kendi Maling. Tempat minum dari tanah liat ini diisi air dari bagian bawahnya. Itulah sebabnya dinamakan Kendi Maling.

Dari Desa Banyumulek kami kembali ke pusat kota Mataram menuju Gudang Kaos Lombok Arif yang berlokasi tak jauh dari Pasar Cakranegara. Terlalu banyak pilihan malah membuat bingung. Akhirnya setumpuk kaos bakal ikut jalan-jalan ke Jawa sebagai oleh-oleh. :D

Tempat berburu selanjutnya adalah pusat penjualan oleh-oleh khas Lombok di daerah Sayang-sayang. Sebagian besar peserta yang berjenis kelamin perempuan langsung menyerbu gerai mutiara. Ada mutiara air laut dan mutiara air tawar. Pak Agus memberikan tips memilih mutiara yang berkualitas tinggi. Ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, mutiara tersebut harus bulat sempurna. Kedua, permukaan mutiara harus mulus. Ketiga, kilaunya memancar dengan indah. Keempat, dilihat dari ukurannya. Untuk memastikan keaslian mutiara, uji mutiara dengan cara menggesekkannya ke gigi. Apabila seperti ada bulir-bulir pasir yang sangat halus maka mutiara tersebut adalah asli. Mutiara air laut lebih bagus daripada mutiara air tawar dan memiliki nilai jual yang tinggi. Salah satunya mencuri perhatian saya, sayangnya… harganya mencapai dua digit dalam jutaan rupiah. Mata memang tidak bisa ditipu. @_@

Di sebelah gerai mutiara terdapat gerai yang menjual oleh-oleh makanan khas Lombok seperti dodol rumput laut, manisan rumput laut, dodol buah, bahkan madu Sumbawa yang terkenal karena khasiatnya. Kecewa karena tidak mampu membeli mutiara yang harganya lebih dari penghasilan sebulan, mendingan beli dodol rumput laut aja deh. :D

Selepas maghrib kami menuju ke pusat kota Mataram untuk menikmati sajian khas paling terkenal dari Lombok, yaitu Ayam Taliwang dan Pelecing Kangkung. Taliwang adalah sebuah daerah di Sumbawa di mana orang-orang dari daerah itu bermigrasi ke Lombok hingga membuat sebuah kampong dengan nama Karang Taliwang. Orang-orang inilah yang pertama kali menyajikan masakan ayam berbumbu sehingga makanannya dinamakan Ayam Taliwang. Ditambah sambal yang bercita rasa manis pedas membuat ayam dengan bumbu kaya rempah ini semakin nikmat. Apalagi ditemani sepiring Pelecing Kangkung dengan sambal yang juga tak kalah pedas. Kangkungnya beda loh dengan kangkung yang biasa saya makan, rasanya sedikit lebih manis dan empuk. Malam terakhir di Lombok ditutup dengan perut kekenyangan. :D


Tiba di hotel bukan berarti kami bisa langsung beristirahat. Kami harus berkemas malam ini karena esok pagi kami harus meninggalkan Lombok. Tidaaaaaaakkkkkk… I don’t wanna go home this soon. I wanna stay a little bit more. Huhuhuhuuuuuuu….