The Other Boleyn Girl
Director: Justin Chadwick
Scriptwriter: Peter Morgan (based on Philippa Gregory’s novel)
Cast: Natalie Portman, Scarlett Johanssen, Eric Bana
2008
Raja Inggris di abad ke-16, Henry Tudor (Henry VIII), belum dikaruniai seorang anak lelaki sebagai penerus tahtanya. Sir Thomas Boleyn dan saudara iparnya, Duke of Norfolk, meminta Anne mendekati Henry agar bisa melahirkan anak lelaki bagi sang raja. Tapi King Henry justru jatuh cinta kepada Mary, adik Anne, yang baru saja menikah dengan William Carey. Henry juga mengatur agar Mary tinggal di istana. Keluarga Boleyn pun diboyong ke istana. Carey juga diberi kedudukan yang memaksanya berpisah dengan Mary.
Anne menikah diam-diam dengan Henry Percy. Mary yang mengetahui hal ini dari George, adik bungsunya, melaporkannya kepada ayah dan paman mereka. Anne dianggap merusak reputasinya karena menikah tanpa ijin dari raja. Sebagai hukuman, Anne diasingkan ke Perancis untuk belajar dari ratu di sana. Sementara itu George dipaksa menikah dengan Jane Parker untuk memperkuat kedudukan mereka di istana.
Saat Mary hamil, bersukarialah keluarga Boleyn. Sayangnya, Mary harus bedrest untuk menjaga kehamilannya. Boleyn memanggil kembali Anne dari Perancis. Henry terkesan dengan perubahan dalam diri Anne dan mulai terobsesi dengan gadis ini. Saat Mary melahirkan seorang anak lelaki, Henry justru tidak mempedulikannya tetapi memilih untuk menggantungkan harapan kepada Anne. Anne memberikan syarat kepada raja bahwa dia akan menyerahkan dirinya apabila raja membatalkan pernikahannya dengan ratu, Catherine of Aragon. Raja pun mencari cara untuk menyingkirkan ratu dan bahkan harus memutuskan hubungan dengan Gereja Vatikan.
Anne berhasil menjadi Ratu Inggris. Tapi kehidupannya menjadi tragis saat anak pertamanya ternyata seorang perempuan, Elizabeth. Dia juga keguguran saat mengandung anak kedua. Dia pun harus menghadapi tuduhan incest dengan saudara laki-lakinya, George.
Novel karya Gregory yang diangkat ke layar lebar ini memang tidak seratus persen akurat menggambarkan carut marut keluarga kerajaan Inggris di abad ke-16. Jadi jangan protes apabila tokoh dan jalan ceritanya tidak sesuai dengan catatan sejarah. Saya suka setting yang di kastil-kastil, juga kostum-kostum yang glamour. Angkat jempol deh buat acting Portman (Anne Boleyn) dan Johanssen (Mary Boleyn), terutama Portman sih, keren banget mainnya! Eric Bana mah ke laut aja...
Film secara keseluruhan saya kasih skor 7/10, khusus untuk acting memikat Portman... 8.5/10 deh!
Perpaduan yang manis dari cinta, penghianatan, ambisi, kekuasaan, kejujuran, balas dendam, pengorbanan. Ah, jadi penasaran pingin baca novelnya. :)
Tuesday, December 23, 2008
Monday, December 22, 2008
Inikah Harga Sebuah Kepercayaan?
Trust (Terj.)Charles Epping
Penerbit Serambi
526 Halaman
Cetakan I, Januari 2008
Tahun 1938, Aladar Kohen, warga Negara Hongaria keturunan Yahudi, memutuskan untuk menyimpan uang, emas batangan, surat berharga dan perhiasan milik keluarganya di sebuah bank di Swiss. Untuk mengamankan harta tersebut dari tangan Nazi yang saat itu mulai menduduki sebagian Eropa, Aladar mempercayakannya kepada Rudolph Tobbler untuk membuat sebuah rekening perwalian. Atas rekening ini pihak bank hanya mengetahui nama orang yang membuka rekening, bukan pemilik sebenarnya.
Di awal millennium baru, Alex Payton yang dikontrak sebagai pengolah data di Helvetica Bank of Zurich, menemukan kode yang aneh yang merujuk ke suatu tanggal di tahun 1987. Karena penasaran, dia mencoba mencari tahu pemilik rekening tersebut dengan mempertaruhkan karirnya karena menurut peraturan perbankan di Swiss, seorang bankir tidak boleh berhubungan dengan nasabah mereka kecuali nasabahnya yang menghubungi bankir tersebut. Rasa penasaran inilah yang membuat Alex terbang dari satu negara ke negara lain hanya dalam waktu sekitar satu minggu untuk menemukan ahli waris sebenarnya dari rekening perwalian tersebut. Alex bahkan harus mempertaruhkan nyawa dan kehormatannya saat menelusuri sang ahli waris serta memastikan bahwa kecurigaan mereka akan adanya pencucian uang melalui rekening tersebut oleh teroris Hisbullah tidak terbukti.
Novel ini menyajikan seluk beluk peraturan kerahasiaan nasabah dalam perbankan Swiss sehingga banyak orang berbondong-bondong menyimpan uangnya di negara netral tersebut, bahkan kadang memanfaatkannya untuk pencucian uang. Dibumbui dengan peristiwa The Black Monday, kejatuhan bursa saham Dow Jones di bulan Oktober 1987, perkawinan sesama jenis, pejabat korup, serta pembantaian kaum Yahudi di masa Nazi.
Lumayan menghibur dan memberi wawasan tentang dunia perbankan Swiss. Tapi sayangnya, thriller-nya kurang menggigit. Alurnya monoton. Pencarian Alex nyaris selalu berjalan mulus. Bahkan dari awal pun saya bisa menebak seseorang dalam lingkaran Alex yang terlibat dalam kejahatan perbankan ini.
Penerbit Serambi
526 Halaman
Cetakan I, Januari 2008
Tahun 1938, Aladar Kohen, warga Negara Hongaria keturunan Yahudi, memutuskan untuk menyimpan uang, emas batangan, surat berharga dan perhiasan milik keluarganya di sebuah bank di Swiss. Untuk mengamankan harta tersebut dari tangan Nazi yang saat itu mulai menduduki sebagian Eropa, Aladar mempercayakannya kepada Rudolph Tobbler untuk membuat sebuah rekening perwalian. Atas rekening ini pihak bank hanya mengetahui nama orang yang membuka rekening, bukan pemilik sebenarnya.
Di awal millennium baru, Alex Payton yang dikontrak sebagai pengolah data di Helvetica Bank of Zurich, menemukan kode yang aneh yang merujuk ke suatu tanggal di tahun 1987. Karena penasaran, dia mencoba mencari tahu pemilik rekening tersebut dengan mempertaruhkan karirnya karena menurut peraturan perbankan di Swiss, seorang bankir tidak boleh berhubungan dengan nasabah mereka kecuali nasabahnya yang menghubungi bankir tersebut. Rasa penasaran inilah yang membuat Alex terbang dari satu negara ke negara lain hanya dalam waktu sekitar satu minggu untuk menemukan ahli waris sebenarnya dari rekening perwalian tersebut. Alex bahkan harus mempertaruhkan nyawa dan kehormatannya saat menelusuri sang ahli waris serta memastikan bahwa kecurigaan mereka akan adanya pencucian uang melalui rekening tersebut oleh teroris Hisbullah tidak terbukti.
Novel ini menyajikan seluk beluk peraturan kerahasiaan nasabah dalam perbankan Swiss sehingga banyak orang berbondong-bondong menyimpan uangnya di negara netral tersebut, bahkan kadang memanfaatkannya untuk pencucian uang. Dibumbui dengan peristiwa The Black Monday, kejatuhan bursa saham Dow Jones di bulan Oktober 1987, perkawinan sesama jenis, pejabat korup, serta pembantaian kaum Yahudi di masa Nazi.
Lumayan menghibur dan memberi wawasan tentang dunia perbankan Swiss. Tapi sayangnya, thriller-nya kurang menggigit. Alurnya monoton. Pencarian Alex nyaris selalu berjalan mulus. Bahkan dari awal pun saya bisa menebak seseorang dalam lingkaran Alex yang terlibat dalam kejahatan perbankan ini.
Monday, December 15, 2008
Hujan Pasti Berlalu
Hujan ringan mengiringi perjalananku menuju Stasiun Gambir. Aku terpaksa berbasah ria bersama bapak tukang ojek yang memacu motornya menembus hujan dan kemacetan khas ibu kota untuk mengejar kereta yang akan mengantarku ke kotamu. Begitu tiba di terminal keberangkatan, aku segera berlari karena mendengar pemberitahuan bahwa keretaku akan segera diberangkatkan. "Tuhan, tolong tahan kereta itu," bisikku dalam hati. Aku sempat mendengar dua patah kata dari petugas di pintu masuk terminal saat memeriksa tiketku, "Jalur 3." Aku pun berlari ke jalur tersebut. "Terima kasih, Tuhan!" Keretaku masih ada di Jalur 3. Aku langsung melompat ke salah satu pintu yang terbuka dari rangkaian kereta tersebut, entah di gerbong berapa aku tak peduli. Kakiku baru melangkah tiga kali saat kereta itu mulai bergerak meninggalkan Stasiun Gambir. Nyaris, batinku.
Gerbong 5. Itu jawaban dari seorang ibu muda yang sedang hamil tua, tempat aku bertanya. "Mbak di gerbong berapa?" tanyanya kemudian saat aku nampak bimbang menentukan langkah. "Gerbong 1, mbak," jawabku. Ibu muda tadi mengatakan bahwa Gerbong 1 berada di ujung rangkaian sebelum kereta pembangkit. Aku langsung mengayunkan kaki ke arah yang berlawanan dengan jalannya kereta, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada ibu muda tersebut.
Setelah melewati tiga gerbong penumpang dan satu gerbong restorasi, akhirnya sampai juga di Gerbong 1. Aku pun langsung menuju bangku nomor 7A sesuai yang tertera di tiket. Bangku sebelah kosong. Untunglah, aku sedang tidak berminat berbasa-basi kali ini. Setelah merapikan bawaan yang tidak banyak, aku mengambil posisi yang nyaman dan menikmati pemandangan di luar jendela yang masih diguyur hujan. Aku baru menyadari bahwa pakaianku agak basah karena kehujanan tadi. Terpaksa aku mengganti bajuku dengan jaket serta melepas kaos kaki yang nyaris basah kuyup karena cipratan air di sepanjang jalan tadi. Bergelung dengan selimut, aku mengeluarkan sebuah novel dengan latar perbankan di Swiss, sebuah negara yang konon menjadi surga bagi para pemilik uang karena ketatnya peraturan kerahasiaan nasabah.
Satu jam berlalu dari makan malam yang dibagikan, kantuk mulai menyerangku. Lama juga aku tertidur, meski tak nyenyak. Getaran telepon selulerlah yang membangunkanku. Sebuah pesan singkat. Aku menarik napas panjang saat membaca pengirimnya. Kau. Sudah sampai mana? Ah, bahkan di saat-saat ini kau masih sempat memantau perjalananku. Sesaat aku melihat ke luar jendela, gelap. Entahlah, di luar gelap banget. Mungkin di sekitar Cirebon.
Kantukku lenyap sudah. Aku kembali menekuri novel yang tadi sempat terputus. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu. Sudah hampir tengah malam saat kereta ini tiba di kotamu. Seorang teman telah menungguku di pintu keluar. Aku langsung menghambur memeluknya. Entah berapa lama kami tak bertemu, hanya hubungan melalui telepon, pesan singkat, e-mail atau obrolan melalui internet messanger yang mengeratkan kami.
"Di luar gerimis. Aku lupa membawa jas hujan." Ujar temanku menyesali keteledorannya. "Mau menunggu sampai reda atau langsung aja?" Lanjutnya kemudian.
"Cuma gerimis kan?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk. "Langsung aja yuk, aku sudah tak sabar bertemu tempat tidur yang nyaman." Tawa temanku membuat orang-orang di sekitar kami menoleh. Dia pun menarik tanganku menuju tempat parkir.
***
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, aku langsung berbaring di tempat tidur. Temanku masuk dan membawa dua gelas minuman yang mengepulkan uap panas. Dari aromanya aku tahu, wedang jahe. "Minum ini dulu, baru boleh tidur." Katanya setengah memerintah. Aku bangkit dan mengambil wedang jahe itu. "Ceritanya besok aja. Sekarang kamu istirahat dulu." Dia kembali memerintah saat aku baru akan membuka mulut. "Kalau kau butuh sesuatu, aku ada di kamar sebelah." Katanya sebelum menutup pintu kamar.
***
Hujan deras mengguyur kota ini saat kami bersiap ke tempatmu. Kami pun terpaksa menunggu sekitar dua jam hingga hujan mereda. Di antara rintik gerimis yang masih tersisa kami melaju ke alamat yang kau berikan seminggu yang lalu. Rumah itu nampak semarak. Melewati beberapa orang di luar rumah, kami langsung menuju ruangan yang tadi ditunjukkan oleh seorang wanita paruh baya di pintu masuk. Aku melihatmu sedang bercanda dengan beberapa tamu. Saat melihat kedatangan kami, kau langsung meninggalkan tamu-tamu itu dan menjabat tanganku. "Terima kasih." Katamu singkat meski aku belum mengucapkan sepatah kata pun. Sesaat aku limbung. "Selamat ya!" Ujarku setelah menguasai keadaan. Sadar berpasang-pasang mata memperhatikan, aku melepaskan genggamanmu. Aku pun memeluk gadis yang kini menjadi istrimu dan memberinya ucapan selamat. Kalian memaksaku duduk di pelaminan itu, di antara kalian. Setelah berbagai basa basi yang sangat basi, aku meminta ijin untuk pulang. Aku beralasan bahwa keretaku akan berangkat dua jam lagi. Kalian, terutama kau, pun terpaksa mengijinkanku pergi.
***
"Kau yakin akan pulang sekarang?" kata temanku dengan nada khawatir. Aku mengangguk mantap. "Aku baik-baik saja," ucapku seolah menebak jalan pikirannya sambil melanjutkan membereskan barang bawaanku. "Sepuluh menit lagi aku siap berangkat." Kataku meyakinkannya.
"Hujan lagi." Katanya beberapa saat kemudian. Seolah tak percaya, aku mengintip ke balik jendela. "Oh, God."
Aku tak mungkin menunggu hujan reda karena menurut jadwal yang tertera di tiket, keretaku akan diberangkatkan lima belas menit lagi. Dengan mengenakan jas hujan kami meluncur ke stasiun. Tidak sampai sepuluh menit waktu yang diperlukan menuju ke stasiun. Sempat panik mengingat kejadian kemarin lusa di Stasiun Gambir, kami langsung lari ke peron. Untunglah keretaku belum datang. Petugas memberitahukan bahwa karena sesuatu hal kereta itu akan terlambat sekitar lima belas menit.
Semenjak pulang dari tempatmu tadi, kami tidak banyak berbincang. Sepertinya temanku ini memberikan aku kesempatan untuk sendiri. Baru di saat inilah dia mengungkit hal itu.
"Aku percaya kamu akan baik-baik saja. Saat ini mungkin dia masih yang terindah di matamu. Tapi ingat, bukan dia yang terbaik yang diciptakan untukmu. Kamu pasti akan tetap tegak menghadapi dunia ini dan kamu akan menemukan belahan jiwamu suatu saat nanti. Aku percaya itu. Jadi jangan kecewakan aku." Aku langsung memeluknya saat dia menyelesaikan kata-kata ajaib itu. "Tumben kamu waras." Candaku. Dia pun tergelak dan lagi-lagi membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Keretaku tiba, aku memeluknya lagi sebelum naik ke Gerbong 1.
***
Kilauan puncak Monas menyambutku sesaat sebelum turun dari kereta. Sudah setengah jam berlalu dari pukul sepuluh malam. Syukurlah cuaca ibu kota bersahabat kali ini, tak ada hujan maupun gerimis yang mengiringi langkahku kembali ke rutinitas. Semoga ini pertanda aku meninggalkan semua pedihku di kotamu.
Gerbong 5. Itu jawaban dari seorang ibu muda yang sedang hamil tua, tempat aku bertanya. "Mbak di gerbong berapa?" tanyanya kemudian saat aku nampak bimbang menentukan langkah. "Gerbong 1, mbak," jawabku. Ibu muda tadi mengatakan bahwa Gerbong 1 berada di ujung rangkaian sebelum kereta pembangkit. Aku langsung mengayunkan kaki ke arah yang berlawanan dengan jalannya kereta, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada ibu muda tersebut.
Setelah melewati tiga gerbong penumpang dan satu gerbong restorasi, akhirnya sampai juga di Gerbong 1. Aku pun langsung menuju bangku nomor 7A sesuai yang tertera di tiket. Bangku sebelah kosong. Untunglah, aku sedang tidak berminat berbasa-basi kali ini. Setelah merapikan bawaan yang tidak banyak, aku mengambil posisi yang nyaman dan menikmati pemandangan di luar jendela yang masih diguyur hujan. Aku baru menyadari bahwa pakaianku agak basah karena kehujanan tadi. Terpaksa aku mengganti bajuku dengan jaket serta melepas kaos kaki yang nyaris basah kuyup karena cipratan air di sepanjang jalan tadi. Bergelung dengan selimut, aku mengeluarkan sebuah novel dengan latar perbankan di Swiss, sebuah negara yang konon menjadi surga bagi para pemilik uang karena ketatnya peraturan kerahasiaan nasabah.
Satu jam berlalu dari makan malam yang dibagikan, kantuk mulai menyerangku. Lama juga aku tertidur, meski tak nyenyak. Getaran telepon selulerlah yang membangunkanku. Sebuah pesan singkat. Aku menarik napas panjang saat membaca pengirimnya. Kau. Sudah sampai mana? Ah, bahkan di saat-saat ini kau masih sempat memantau perjalananku. Sesaat aku melihat ke luar jendela, gelap. Entahlah, di luar gelap banget. Mungkin di sekitar Cirebon.
Kantukku lenyap sudah. Aku kembali menekuri novel yang tadi sempat terputus. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu. Sudah hampir tengah malam saat kereta ini tiba di kotamu. Seorang teman telah menungguku di pintu keluar. Aku langsung menghambur memeluknya. Entah berapa lama kami tak bertemu, hanya hubungan melalui telepon, pesan singkat, e-mail atau obrolan melalui internet messanger yang mengeratkan kami.
"Di luar gerimis. Aku lupa membawa jas hujan." Ujar temanku menyesali keteledorannya. "Mau menunggu sampai reda atau langsung aja?" Lanjutnya kemudian.
"Cuma gerimis kan?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk. "Langsung aja yuk, aku sudah tak sabar bertemu tempat tidur yang nyaman." Tawa temanku membuat orang-orang di sekitar kami menoleh. Dia pun menarik tanganku menuju tempat parkir.
***
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, aku langsung berbaring di tempat tidur. Temanku masuk dan membawa dua gelas minuman yang mengepulkan uap panas. Dari aromanya aku tahu, wedang jahe. "Minum ini dulu, baru boleh tidur." Katanya setengah memerintah. Aku bangkit dan mengambil wedang jahe itu. "Ceritanya besok aja. Sekarang kamu istirahat dulu." Dia kembali memerintah saat aku baru akan membuka mulut. "Kalau kau butuh sesuatu, aku ada di kamar sebelah." Katanya sebelum menutup pintu kamar.
***
Hujan deras mengguyur kota ini saat kami bersiap ke tempatmu. Kami pun terpaksa menunggu sekitar dua jam hingga hujan mereda. Di antara rintik gerimis yang masih tersisa kami melaju ke alamat yang kau berikan seminggu yang lalu. Rumah itu nampak semarak. Melewati beberapa orang di luar rumah, kami langsung menuju ruangan yang tadi ditunjukkan oleh seorang wanita paruh baya di pintu masuk. Aku melihatmu sedang bercanda dengan beberapa tamu. Saat melihat kedatangan kami, kau langsung meninggalkan tamu-tamu itu dan menjabat tanganku. "Terima kasih." Katamu singkat meski aku belum mengucapkan sepatah kata pun. Sesaat aku limbung. "Selamat ya!" Ujarku setelah menguasai keadaan. Sadar berpasang-pasang mata memperhatikan, aku melepaskan genggamanmu. Aku pun memeluk gadis yang kini menjadi istrimu dan memberinya ucapan selamat. Kalian memaksaku duduk di pelaminan itu, di antara kalian. Setelah berbagai basa basi yang sangat basi, aku meminta ijin untuk pulang. Aku beralasan bahwa keretaku akan berangkat dua jam lagi. Kalian, terutama kau, pun terpaksa mengijinkanku pergi.
***
"Kau yakin akan pulang sekarang?" kata temanku dengan nada khawatir. Aku mengangguk mantap. "Aku baik-baik saja," ucapku seolah menebak jalan pikirannya sambil melanjutkan membereskan barang bawaanku. "Sepuluh menit lagi aku siap berangkat." Kataku meyakinkannya.
"Hujan lagi." Katanya beberapa saat kemudian. Seolah tak percaya, aku mengintip ke balik jendela. "Oh, God."
Aku tak mungkin menunggu hujan reda karena menurut jadwal yang tertera di tiket, keretaku akan diberangkatkan lima belas menit lagi. Dengan mengenakan jas hujan kami meluncur ke stasiun. Tidak sampai sepuluh menit waktu yang diperlukan menuju ke stasiun. Sempat panik mengingat kejadian kemarin lusa di Stasiun Gambir, kami langsung lari ke peron. Untunglah keretaku belum datang. Petugas memberitahukan bahwa karena sesuatu hal kereta itu akan terlambat sekitar lima belas menit.
Semenjak pulang dari tempatmu tadi, kami tidak banyak berbincang. Sepertinya temanku ini memberikan aku kesempatan untuk sendiri. Baru di saat inilah dia mengungkit hal itu.
"Aku percaya kamu akan baik-baik saja. Saat ini mungkin dia masih yang terindah di matamu. Tapi ingat, bukan dia yang terbaik yang diciptakan untukmu. Kamu pasti akan tetap tegak menghadapi dunia ini dan kamu akan menemukan belahan jiwamu suatu saat nanti. Aku percaya itu. Jadi jangan kecewakan aku." Aku langsung memeluknya saat dia menyelesaikan kata-kata ajaib itu. "Tumben kamu waras." Candaku. Dia pun tergelak dan lagi-lagi membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Keretaku tiba, aku memeluknya lagi sebelum naik ke Gerbong 1.
***
Kilauan puncak Monas menyambutku sesaat sebelum turun dari kereta. Sudah setengah jam berlalu dari pukul sepuluh malam. Syukurlah cuaca ibu kota bersahabat kali ini, tak ada hujan maupun gerimis yang mengiringi langkahku kembali ke rutinitas. Semoga ini pertanda aku meninggalkan semua pedihku di kotamu.
Wednesday, December 10, 2008
Finally… Dexter Series!
Akhirnya selesai juga mengeksekusi dua musim serial Dexter yang masing-masing terdiri dari dua belas episode. Seperti yang pernah saya bilang di sini, musim pertama serial ini mengacu pada novel Darkly Dreaming Dexter. Alurnya pun hampir sama dengan di novel meski ada satu tokoh yang seharusnya meninggal di akhir cerita tetapi justru orang tersebut masih “dihidupkan” bahkan sampai musim keduanya berakhir.
Opening title-nya keren! Hal-hal kecil yang dilakukan Dexter di pagi hari sebelum ke kantor di-close-up dengan manis ditambah scoring yang misterius. Dex-nya juga keren di opening ini, hehehe….
Michael C. Hall pas banget memerankan Dexter, orang yang ramah, simpatik, charming, tetapi berdarah dingin. Letnan LaGuerta tidak semenyebalkan dalam novel dan terlihat lebih smart di serialnya. Debra (Deborah) Morgan pun terlihat lebih tangguh dari yang saya bayangkan. Hubungan Dexter dengan Rita dan kedua anaknya nampak lebih memanusiakan dia. Sayangnya, kehadiran The Dark Passanger nyaris tidak membedakannya dengan keseharian Dexter. Kesannya justru Dexter haus untuk mengeksekusi korban-korbannya.
Untunglah, adegan-adegan yang lumayan sadis di novel disajikan dengan lebih halus. Tetap berdarah-darah sih, tapi lebih terkesan elegan daripada menjijikkan. Pesan-pesan dari pembunuh berantai yang disebut Iced-truck Killer ini pun lebih cantik. Tidak hanya meninggalkan potongan kepala boneka Barbie dan bagian tubuhnya yang terpotong-potong, Iced-truck Killer juga ”mencontek” beberapa foto kenangan Dexter dengan Harry Morgan.
Scene favorit di musim pertama adalah saat Dexter memasuki sebuah kamar hotel yang penuh darah, yang kemudian memunculkan ingatannya akan kejadian saat dirinya berusia tiga tahun. Ahli percikan darah itu pun tergeletak tak kuasa melihat bayangan masa lalunya.
Di awal musim kedua, Dexter masih dibayang-bayangi Iced-truck Killer. Hingga beberapa minggu setelah kasus tersebut selesai, Dexter tidak mampu mengeksekusi korban-korbannya. Saat Dexter menemukan kembali dirinya yang dulu, sebagai pembunuh berantai, sebuah kejadian mengejutkan terhampar di hadapannya. Beberapa penyelam menemukan bungkusan-bungkusan berisi potongan tubuh korban Dexter! Tiga belas orang teridentifikasi dan penelusuran polisi menemukan bahwa sebagian besar korban terkait dengan kasus kriminal. Bay Harbor Butcher, istilah yang diberikan kepada pelaku mutilasi tersebut. Dexter pun panik. Ditambah Sersan Doakes yang selalu menguntitnya serta hubungannya dengan Rita yang retak karena kehadiran Lila, seseorang yang menjadi penyemangatnya di kelompok pecandu.
Untuk mengendus jejak Bay Harbor Butcher ini dibentuk sebuah tim yang dipimpin oleh seorang agen FBI, Frank Lundy. Debra masuk dalam tim ini dan sesekali Lundy juga melibatkan Dexter.
Kotak berisi potongan kaca yang bernoda darah korban-korbannya raib dari apartemen Dexter. Polisi menemukannya di mobil Doakes dan menetapkan Doakes sebagai tersangka. Gerak Dexter makin sempit saat dia berada dalam pengawasan empat agen FBI selama 24 jam. Konsentrasinya makin terpecah saat dia menyadari bahwa Lila berbahaya dan Doakes memergokinya tengah beraksi.
Masa lalu Dexter lebih banyak terkuak di musim kedua ini, terutama pelajaran-pelajarannya dengan mendiang Harry. Dia juga menelusuri kasus yang menyebabkan ibunya terbunuh.
Yang agak mengganggu dari serial ini adalah terlalu banyak b**bs dan hot scenes yang ditampilkan secara vulgar, terutama di musim kedua. :(
Opening title-nya keren! Hal-hal kecil yang dilakukan Dexter di pagi hari sebelum ke kantor di-close-up dengan manis ditambah scoring yang misterius. Dex-nya juga keren di opening ini, hehehe….
Michael C. Hall pas banget memerankan Dexter, orang yang ramah, simpatik, charming, tetapi berdarah dingin. Letnan LaGuerta tidak semenyebalkan dalam novel dan terlihat lebih smart di serialnya. Debra (Deborah) Morgan pun terlihat lebih tangguh dari yang saya bayangkan. Hubungan Dexter dengan Rita dan kedua anaknya nampak lebih memanusiakan dia. Sayangnya, kehadiran The Dark Passanger nyaris tidak membedakannya dengan keseharian Dexter. Kesannya justru Dexter haus untuk mengeksekusi korban-korbannya.
Untunglah, adegan-adegan yang lumayan sadis di novel disajikan dengan lebih halus. Tetap berdarah-darah sih, tapi lebih terkesan elegan daripada menjijikkan. Pesan-pesan dari pembunuh berantai yang disebut Iced-truck Killer ini pun lebih cantik. Tidak hanya meninggalkan potongan kepala boneka Barbie dan bagian tubuhnya yang terpotong-potong, Iced-truck Killer juga ”mencontek” beberapa foto kenangan Dexter dengan Harry Morgan.
Scene favorit di musim pertama adalah saat Dexter memasuki sebuah kamar hotel yang penuh darah, yang kemudian memunculkan ingatannya akan kejadian saat dirinya berusia tiga tahun. Ahli percikan darah itu pun tergeletak tak kuasa melihat bayangan masa lalunya.
Di awal musim kedua, Dexter masih dibayang-bayangi Iced-truck Killer. Hingga beberapa minggu setelah kasus tersebut selesai, Dexter tidak mampu mengeksekusi korban-korbannya. Saat Dexter menemukan kembali dirinya yang dulu, sebagai pembunuh berantai, sebuah kejadian mengejutkan terhampar di hadapannya. Beberapa penyelam menemukan bungkusan-bungkusan berisi potongan tubuh korban Dexter! Tiga belas orang teridentifikasi dan penelusuran polisi menemukan bahwa sebagian besar korban terkait dengan kasus kriminal. Bay Harbor Butcher, istilah yang diberikan kepada pelaku mutilasi tersebut. Dexter pun panik. Ditambah Sersan Doakes yang selalu menguntitnya serta hubungannya dengan Rita yang retak karena kehadiran Lila, seseorang yang menjadi penyemangatnya di kelompok pecandu.
Untuk mengendus jejak Bay Harbor Butcher ini dibentuk sebuah tim yang dipimpin oleh seorang agen FBI, Frank Lundy. Debra masuk dalam tim ini dan sesekali Lundy juga melibatkan Dexter.
Kotak berisi potongan kaca yang bernoda darah korban-korbannya raib dari apartemen Dexter. Polisi menemukannya di mobil Doakes dan menetapkan Doakes sebagai tersangka. Gerak Dexter makin sempit saat dia berada dalam pengawasan empat agen FBI selama 24 jam. Konsentrasinya makin terpecah saat dia menyadari bahwa Lila berbahaya dan Doakes memergokinya tengah beraksi.
Masa lalu Dexter lebih banyak terkuak di musim kedua ini, terutama pelajaran-pelajarannya dengan mendiang Harry. Dia juga menelusuri kasus yang menyebabkan ibunya terbunuh.
Yang agak mengganggu dari serial ini adalah terlalu banyak b**bs dan hot scenes yang ditampilkan secara vulgar, terutama di musim kedua. :(
Tuesday, December 9, 2008
Definitely, Maybe
Director: Adam Brooks
Scripwriter: Adam Brooks
Cast: Ryan Reynolds, Abigail Breslin, Elizabeth Banks, Isla Fisher, Rachel Weisz
Universal Pictures, 2008
Maya Hayes penasaran bagaimana ayah dan ibunya, yang kini telah bercerai, bertemu di masa lalu. Dia pun memaksa sang ayah, William, untuk menceritakan kisah tersebut. Will bersedia menceritakannya dengan catatan dia akan mengganti nama wanita-wanita di masa lalunya tersebut dan Maya harus menebak manakah di antara mereka yang merupakan ibunya.
Kisahnya berawal dari keputusan Will untuk pindah ke New York menjadi tim kampanye Bill Clinton dalam pemilihan presiden. Dia terpaksa berpisah tempat dengan Emily, kekasihnya waktu itu. Di New York dia menemui Summer, seorang penulis, untuk memberikan sesuatu yang dititipkan Emily kepadanya. Will juga berkenalan dengan April yang juga merupakan anggota tim kampanye Bill Clinton. Will berlatih adegan melamar dengan April yang berperan sebagai Emily. Sayangnya, saat Will benar-benar melamar Emily, wanita itu malah menyampaikan sebuah hal yang mengejutkan.
Will berpisah dengan Emily. Dia pun mulai makin dekat dengan Summer dan April. Tapi kemudian Summer memilih untuk kembali ke kekasihnya yang sesame penulis dan April memutuskan berkeliling dunia setelah kampanye berakhir. Beberapa tahun kemudian April kembali. Hampir bersamaan, Will bertemu dengan Summer yang kemudian mengundangnya ke pesta yang dia buat. Di pesta ini Will kembali bertemu dengan Emily.
Cerita dalam cerita. Penonton diajak ikut menduga-duga siapakah wanita yang melahirkan Maya. Meski film ini ber-genre komedi romantis tetapi tidak banyak mengumbar humor, paling-paling kekonyolan Will saat pertama kali bekerja di tim kampanye.
Sebuah tontonan yang cukup menghibur terutama melihat permainan Abigail Breslin sebagai Maya. Saya lebih suka permainannya di sini dibandingkan di Nim’s Island, meski masih kalah dengan aktingnya di Little Miss Sunshine.
Yang jelas, tebakan saya siapa yang menjadi ibunda Maya meleset. Padahal tebakan ini berdasarkan pengamatan terhadap chemistry mereka berdua. Tapi kekecewaan itu terbalas di akhir film.
Nilainya 6.8/10 aja deh… :)
Scripwriter: Adam Brooks
Cast: Ryan Reynolds, Abigail Breslin, Elizabeth Banks, Isla Fisher, Rachel Weisz
Universal Pictures, 2008
Maya Hayes penasaran bagaimana ayah dan ibunya, yang kini telah bercerai, bertemu di masa lalu. Dia pun memaksa sang ayah, William, untuk menceritakan kisah tersebut. Will bersedia menceritakannya dengan catatan dia akan mengganti nama wanita-wanita di masa lalunya tersebut dan Maya harus menebak manakah di antara mereka yang merupakan ibunya.
Kisahnya berawal dari keputusan Will untuk pindah ke New York menjadi tim kampanye Bill Clinton dalam pemilihan presiden. Dia terpaksa berpisah tempat dengan Emily, kekasihnya waktu itu. Di New York dia menemui Summer, seorang penulis, untuk memberikan sesuatu yang dititipkan Emily kepadanya. Will juga berkenalan dengan April yang juga merupakan anggota tim kampanye Bill Clinton. Will berlatih adegan melamar dengan April yang berperan sebagai Emily. Sayangnya, saat Will benar-benar melamar Emily, wanita itu malah menyampaikan sebuah hal yang mengejutkan.
Will berpisah dengan Emily. Dia pun mulai makin dekat dengan Summer dan April. Tapi kemudian Summer memilih untuk kembali ke kekasihnya yang sesame penulis dan April memutuskan berkeliling dunia setelah kampanye berakhir. Beberapa tahun kemudian April kembali. Hampir bersamaan, Will bertemu dengan Summer yang kemudian mengundangnya ke pesta yang dia buat. Di pesta ini Will kembali bertemu dengan Emily.
Cerita dalam cerita. Penonton diajak ikut menduga-duga siapakah wanita yang melahirkan Maya. Meski film ini ber-genre komedi romantis tetapi tidak banyak mengumbar humor, paling-paling kekonyolan Will saat pertama kali bekerja di tim kampanye.
Sebuah tontonan yang cukup menghibur terutama melihat permainan Abigail Breslin sebagai Maya. Saya lebih suka permainannya di sini dibandingkan di Nim’s Island, meski masih kalah dengan aktingnya di Little Miss Sunshine.
Yang jelas, tebakan saya siapa yang menjadi ibunda Maya meleset. Padahal tebakan ini berdasarkan pengamatan terhadap chemistry mereka berdua. Tapi kekecewaan itu terbalas di akhir film.
Nilainya 6.8/10 aja deh… :)
Friday, November 28, 2008
Mentari di Wajahmu
Setengah berlari kau berjalan ke arahku. Wajahmu pun nampak berseri-seri secerah mentari yang bersinar terik siang ini. Sedetik kemudian kau sudah berada di pelukanku. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepu…. Hampir sepuluh detik saat akhirnya kau lepas pelukan erat itu. Tanpa berkata apa pun kau menarikku menuju sebuah meja yang cukup tersembunyi. Masih dengan wajah ceria dan senyum yang mengembang. Ah, kau manis sekali siang ini! Jerit hatiku.
Ternyata kau sudah menyiapkan semuanya. Tempat yang nyaman dilengkapi suara gemercik air dan alunan seruling yang ditiup oleh seseorang di sudut lain. Kau pun telah memesan makanan dan minuman kesukaanku.
“Terima kasih,” bisikku sembari mengecup keningmu. Kau pun tersenyum.
Aku langsung menyantap makanan yang disajikan. Kau hanya memperhatikanku sambil sesekali menyedot es jeruk nipis dari gelasmu. “Aku hanya ingin menatapmu,” ujarmu saat kutanya mengapa kau tak makan.
“Ceritakanlah,” kataku setelah menyikat habis hidangan yang ada di meja.
“Hei, bukan aku yang harus bercerita!” protesmu. “Kau kan yang baru menikmati perjalanan panjang.”
“Tidak, kau dulu yang bercerita. Kau masih ingat janjimu kan?” Kataku pura-pura serius.
“Janji? Janji yang mana? Kapan aku pernah berjanji?”
“Ah, jangan pura-pura lupa. Aku masih ingat kok,” aku tetap pura-pura serius. “Aku bahkan masih menyimpan bukti-buktinya.”
“Sorry, aku benar-benar tidak ingat. Please….” Kau memasang wajah memelas. Menggemaskan, batinku.
“Oke, aku bantu menggali memorimu,” kataku masih memasang muka serius. “Ah, jangan-jangan kau men-delete sebagian arsip di memorimu?”
“Kau bisa saja. Sudah, cepat katakan.”
“Masih ingat saat kau tiba-tiba kembali ke duniaku, setahun yang lalu?” tanyaku. Kau mengangguk sebagai jawaban. “Masih ingat apa yang kutanyakan kepadamu saat itu?”
Sejenak kau terdiam, menekuri gelas es jeruk nipismu yang kedua. “Masih.” Jawabmu sesaat kemudian. Sekilas aku melihat keterkejutan di matamu. Aduh, sekarang mata itu mulai tertutup kabut, tak secerah sebelumnya.
“Sekarang aku sudah berada di Indonesia, di Jakarta, tepat di hadapanmu,” aku tersenyum untuk mencairkan ketegangan ini. “Ceritakanlah.”
“Bodoh sekali aku! Untuk apa aku berjanji segala waktu itu?” katamu merutuk diri sendiri. Aku jadi semakin penasaran mendengar ceritamu. Cerita yang sebenarnya telah aku ketahui. Tapi aku ingin mendengarnya darimu.
“Ayolah, aku sudah tak sabar mendengarnya.”
“Aku akan mengatakan alasannya saat kau kembali ke Indonesia, begitu kan yang aku katakan saat itu?” Aku mengangguk mengiyakan. “Bodoh. Bodoh. Bodoh.” Kau kemudian terdiam. Semenit. Dua menit. Tiga menit.
“Aku tahu,” ujarku tak sabar lagi menanti kata-kata itu meluncur dari bibirmu. “Kau lari dari kenyataan. Kau membohongi dirimu sendiri. Benarkan?”
“Apa maksudmu?” tanyamu dengan wajah bingung.
“Tak usah berpura-pura. Kau pikir aku buta? Kau tidak pandai menyembunyikannya, sayang.” Kuacak-acak rambut ikalmu.
“Ja… jadi kau sudah tahu?”
“Bukan hanya aku, mereka juga tahu,” aku tersenyum menggodamu. Mulutmu terbuka, matamu nyaris melompat dari tempatnya.
“Me… mereka berdua?”
“Yup!” Jawabku mantap. “Tenang saja. Kami mengerti kok dengan keputusan yang kau ambil. Kami pun memaklumi tindakan bodohmu meninggalkan kami bertiga. Meski itu bukan tindakan yang bijak.” Kau mengisyaratkan kata maaf saat aku mengatakan ini.
“Kau masih mencintainya?” tanyaku kemudian.
“Siapa maksudmu?”
“Sudah kubilang kau tak pandai menutupi perasaanmu. Apa perlu kuperjelas, kau masih mencintai orang yang sekarang berada di ujung timur kepulauan ini kan?” tanyaku dengan lembut.
Hening. Hanya ada gemercik air dan alunan seruling. Tempat ini mulai sepi.
“Aku tak tahu,” ujarmu setengah berbisik. Kau menunduk, kembali menekuri gelas keduamu yang nyaris kosong. Angin mempermainkan rambutmu, menutup sebagian wajah manis itu. Mentari yang tadi bersinar cerah dari sana kini meredup, tertutup awan hitam. Mentari itu bukan milikku.
Jemariku mencari sesuatu di kantung celana sebelah kanan. Ah, ini dia. Sebuah cincin platina yang telah diukir nama kita berdua. Namaku dan namamu.
Ternyata kau sudah menyiapkan semuanya. Tempat yang nyaman dilengkapi suara gemercik air dan alunan seruling yang ditiup oleh seseorang di sudut lain. Kau pun telah memesan makanan dan minuman kesukaanku.
“Terima kasih,” bisikku sembari mengecup keningmu. Kau pun tersenyum.
Aku langsung menyantap makanan yang disajikan. Kau hanya memperhatikanku sambil sesekali menyedot es jeruk nipis dari gelasmu. “Aku hanya ingin menatapmu,” ujarmu saat kutanya mengapa kau tak makan.
“Ceritakanlah,” kataku setelah menyikat habis hidangan yang ada di meja.
“Hei, bukan aku yang harus bercerita!” protesmu. “Kau kan yang baru menikmati perjalanan panjang.”
“Tidak, kau dulu yang bercerita. Kau masih ingat janjimu kan?” Kataku pura-pura serius.
“Janji? Janji yang mana? Kapan aku pernah berjanji?”
“Ah, jangan pura-pura lupa. Aku masih ingat kok,” aku tetap pura-pura serius. “Aku bahkan masih menyimpan bukti-buktinya.”
“Sorry, aku benar-benar tidak ingat. Please….” Kau memasang wajah memelas. Menggemaskan, batinku.
“Oke, aku bantu menggali memorimu,” kataku masih memasang muka serius. “Ah, jangan-jangan kau men-delete sebagian arsip di memorimu?”
“Kau bisa saja. Sudah, cepat katakan.”
“Masih ingat saat kau tiba-tiba kembali ke duniaku, setahun yang lalu?” tanyaku. Kau mengangguk sebagai jawaban. “Masih ingat apa yang kutanyakan kepadamu saat itu?”
Sejenak kau terdiam, menekuri gelas es jeruk nipismu yang kedua. “Masih.” Jawabmu sesaat kemudian. Sekilas aku melihat keterkejutan di matamu. Aduh, sekarang mata itu mulai tertutup kabut, tak secerah sebelumnya.
“Sekarang aku sudah berada di Indonesia, di Jakarta, tepat di hadapanmu,” aku tersenyum untuk mencairkan ketegangan ini. “Ceritakanlah.”
“Bodoh sekali aku! Untuk apa aku berjanji segala waktu itu?” katamu merutuk diri sendiri. Aku jadi semakin penasaran mendengar ceritamu. Cerita yang sebenarnya telah aku ketahui. Tapi aku ingin mendengarnya darimu.
“Ayolah, aku sudah tak sabar mendengarnya.”
“Aku akan mengatakan alasannya saat kau kembali ke Indonesia, begitu kan yang aku katakan saat itu?” Aku mengangguk mengiyakan. “Bodoh. Bodoh. Bodoh.” Kau kemudian terdiam. Semenit. Dua menit. Tiga menit.
“Aku tahu,” ujarku tak sabar lagi menanti kata-kata itu meluncur dari bibirmu. “Kau lari dari kenyataan. Kau membohongi dirimu sendiri. Benarkan?”
“Apa maksudmu?” tanyamu dengan wajah bingung.
“Tak usah berpura-pura. Kau pikir aku buta? Kau tidak pandai menyembunyikannya, sayang.” Kuacak-acak rambut ikalmu.
“Ja… jadi kau sudah tahu?”
“Bukan hanya aku, mereka juga tahu,” aku tersenyum menggodamu. Mulutmu terbuka, matamu nyaris melompat dari tempatnya.
“Me… mereka berdua?”
“Yup!” Jawabku mantap. “Tenang saja. Kami mengerti kok dengan keputusan yang kau ambil. Kami pun memaklumi tindakan bodohmu meninggalkan kami bertiga. Meski itu bukan tindakan yang bijak.” Kau mengisyaratkan kata maaf saat aku mengatakan ini.
“Kau masih mencintainya?” tanyaku kemudian.
“Siapa maksudmu?”
“Sudah kubilang kau tak pandai menutupi perasaanmu. Apa perlu kuperjelas, kau masih mencintai orang yang sekarang berada di ujung timur kepulauan ini kan?” tanyaku dengan lembut.
Hening. Hanya ada gemercik air dan alunan seruling. Tempat ini mulai sepi.
“Aku tak tahu,” ujarmu setengah berbisik. Kau menunduk, kembali menekuri gelas keduamu yang nyaris kosong. Angin mempermainkan rambutmu, menutup sebagian wajah manis itu. Mentari yang tadi bersinar cerah dari sana kini meredup, tertutup awan hitam. Mentari itu bukan milikku.
Jemariku mencari sesuatu di kantung celana sebelah kanan. Ah, ini dia. Sebuah cincin platina yang telah diukir nama kita berdua. Namaku dan namamu.
Wednesday, November 26, 2008
Mengapa Nasser Ali Memutuskan Mati?
[Graphic Novel] Chicken with Plums (Terj.)
Marjani Satrapi
Gramedia Pustaka Utama
Agustus 2008
88 halaman
Nasser Ali Khan, seorang musisi tar* terbaik di Iran, memutuskan untuk menunggu malaikat maut datang menjemputnya. Bermula dari kegagalannya menemukan pengganti tar miliknya yang rusak. Dia merasa beberapa tar yang dicoba dimainkan tidak menghasilkan melodi yang dia inginkan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mati saja.
Apakah hanya karena tar yang rusak itu yang membuat Nasser Ali memutuskan mati? Selama delapan hari penantiannya menunggu malaikat maut, muncul kilasan-kilasan peristiwa di masa lalu dan masa mendatang. Pertengkarannya dengan Nahid, istrinya. Kisah cintanya dengan Irane yang kandas karena tidak disetujui orang tua Irane hanya karena dia seorang musisi. Persaingannya dengan sang adik. Perilaku dua dari keempat anaknya, Farzaneh dan Mozaffar, yang tidak mempedulikan dia. Kematian ibunya. Menjelang halaman terakhir barulah diketahui alasan utama mengapa Nasser Ali memutuskan mati.
Kisah yang aneh, cenderung sinis malah, tetapi ada selipan humor di dalamnya. Bahkan tidak ada yang istimewa dengan tokoh utamanya, Nasser Ali. Dia meras tidak bahagia karena tidak menikah dengan cinta terbesar dalam hidupnya, anak-anaknya pun tidak peduli pada apa yang dilakukannya. Tetapi itu bukan alasan untuk terus mengasihani diri sendiri. Semua orang punya tumpukan masalahnya sendiri-sendiri, juga cara yang lebih bijak mengatasi masalah-masalah itu. Tidak seperti Nasser Ali yang tiba-tiba memutuskan mati saja.
Tapi ada satu bagian yang membuat terharu. Nasser Ali menyangka Farzanehlah yang mendoakan agar dirinya tidak meninggal karena dia lebih menyayangi Farzaneh. Tetapi ternyata orang itu adalah Mozaffar.
* alat musik Iran yang berbentuk menyerupai gitar kecil dengan tangkai yang panjang.
Marjani Satrapi
Gramedia Pustaka Utama
Agustus 2008
88 halaman
Nasser Ali Khan, seorang musisi tar* terbaik di Iran, memutuskan untuk menunggu malaikat maut datang menjemputnya. Bermula dari kegagalannya menemukan pengganti tar miliknya yang rusak. Dia merasa beberapa tar yang dicoba dimainkan tidak menghasilkan melodi yang dia inginkan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mati saja.
Apakah hanya karena tar yang rusak itu yang membuat Nasser Ali memutuskan mati? Selama delapan hari penantiannya menunggu malaikat maut, muncul kilasan-kilasan peristiwa di masa lalu dan masa mendatang. Pertengkarannya dengan Nahid, istrinya. Kisah cintanya dengan Irane yang kandas karena tidak disetujui orang tua Irane hanya karena dia seorang musisi. Persaingannya dengan sang adik. Perilaku dua dari keempat anaknya, Farzaneh dan Mozaffar, yang tidak mempedulikan dia. Kematian ibunya. Menjelang halaman terakhir barulah diketahui alasan utama mengapa Nasser Ali memutuskan mati.
Kisah yang aneh, cenderung sinis malah, tetapi ada selipan humor di dalamnya. Bahkan tidak ada yang istimewa dengan tokoh utamanya, Nasser Ali. Dia meras tidak bahagia karena tidak menikah dengan cinta terbesar dalam hidupnya, anak-anaknya pun tidak peduli pada apa yang dilakukannya. Tetapi itu bukan alasan untuk terus mengasihani diri sendiri. Semua orang punya tumpukan masalahnya sendiri-sendiri, juga cara yang lebih bijak mengatasi masalah-masalah itu. Tidak seperti Nasser Ali yang tiba-tiba memutuskan mati saja.
Tapi ada satu bagian yang membuat terharu. Nasser Ali menyangka Farzanehlah yang mendoakan agar dirinya tidak meninggal karena dia lebih menyayangi Farzaneh. Tetapi ternyata orang itu adalah Mozaffar.
* alat musik Iran yang berbentuk menyerupai gitar kecil dengan tangkai yang panjang.
Friday, November 21, 2008
Si Charming Pembunuh Berantai
Darkly Dreaming Dexter (Terj.)
Jeff Lindsay
Dastan Books
Cetakan I, September 2008
376 halaman
Dexter Morgan. Di hari-hari biasa dia adalah detektif ahli analisa percikan darah yang bertugas di Kepolisian Miami. Ramah dan menyenangkan, tetapi tidak mencolok. Orang yang sangat loveable. Tapi terkadang, di saat bulan penuh, seseorang di dalam kepalanya menyuruh dia untuk membunuh. The Dark Passanger. Bisikan-bisikannyalah yang membuat Dexter menjadi eksekutor bagi orang-orang jahat yang tak tersentuh hukum.
Tapi Dexter punya aturan dalam menjalankan eksekusinya. Kode Etik Harry. Harry Morgan adalah ayah angkat Dexter, orang pertama yang menyadari bahwa Dexter kecil “berbeda.” Harry pula yang mengajarinya bagaimana menentukan siapa serta syarat-syarat lain seperti kehati-hatian, kebersihan, tidak melibatkan emosi saat beraksi, bahkan perlunya Dexter bersosialisasi sebagaimana manusia normal. Dexter tidak pernah melupakan kode etik ini. Dia pun menjalin hubungan dengan Rita untuk mempercantik topengnya.
Miami dihebohkan oleh serangkaian pembunuhan di mana korban, yang seluruhnya PSK, ditemukan dalam kondisi termutilasi, tanpa percikan darah dan dibungkus rapi. Dexter diminta Deborah, adik angkatnya yang juga bertugas di Kepolisian Miami, untuk membantu memecahkan kasus ini karena dianggap mempunyai firasat yang selalu tepat untuk pembunuhan berantai seperti itu. Wajar, karena Dexter salah satu dari mereka. Dia juga seorang pembunuh yang bersembunyi di balik topeng analis percikan darah yang simpatik. Dexter malah merasa terobsesi dengan pembunuh berantai yang dia sebut seniman ini.
Tim penyelidikan yang dipimpin Detektif Migdia LaGuerta menangkap seseorang yang mengaku melakukan pembunuhan berantai tersebut. Tapi saat orang itu berada dalam sel, pembunuhan lain yang lebih glamour (istilah Dexter) terpampang di depan mata. Dexter mencurigai pembunuhnya adalah seseorang yang mengendarai truk berpendingin.
Sebuah pesan khusus disampaikan sang pembunuh kepada Dexter. Boneka Barbie di kulkas dalam apartemennya serta pengaturan korban pembunuhan terakhir seolah menantang dirinya. Sang pembunuh tahu siapa sebenarnya Dexter. Mimpi dan mungkin delusi mulai menghantui Dexter. Dia bahkan menyangka bahwa dialah pelaku pembunuhan berantai itu. Pembunuhan yang dia lakukan saat tak sadarkan diri dan The Dark Passanger menguasai tubuhnya.
Pernah terpikir bahwa salah satu dari orang-orang terdekat kita, keluarga, pasangan, atau teman, atau bahkan kita sendiri, yang berpanampilan biasa, normal, dan menyenangkan, adalah seorang pembunuh berantai? Ih, membayangkannya saja bisa memegakkan bulu roma. Tapi Lindsay berhasil menghadirkan seorang tokoh “protagonis” yang unik. Apalagi dengan pikiran-pikiran sinis Dexter yang terkadang membuat saya tertawa. Yang sedikit menggangggu, penggambaran suatu eksekusinya membuat saya berkunang-kunang dan berkeringat dingin, sadis. Tak terbayangkan ceceran darah dan potongan bagian tubuh manusia yang berserakan.
Lumayan untuk memberikan wawasan baru tentang seorang psikopat.
Jadi penasaran dengan serial televisinya yang di Amrik sana sudah mulai memasuki musim ketiga. Michael C. Hall yang berperan sebagai Dexter. Musim pertama yang mulai tayang tahun 2006 ditulis berdasarkan novel ini. Musim keduanya pun berdasarkan sekuel novel ini, Dearly Devoted Dexter. Musim ketiga? Mungkin berdasarkan sekuel berikutnya, Dexter in The Dark.
Hemmm… sepertinya bakal jadi salah satu serial favorit saya. Buruan nyari ah…!
Jeff Lindsay
Dastan Books
Cetakan I, September 2008
376 halaman
Dexter Morgan. Di hari-hari biasa dia adalah detektif ahli analisa percikan darah yang bertugas di Kepolisian Miami. Ramah dan menyenangkan, tetapi tidak mencolok. Orang yang sangat loveable. Tapi terkadang, di saat bulan penuh, seseorang di dalam kepalanya menyuruh dia untuk membunuh. The Dark Passanger. Bisikan-bisikannyalah yang membuat Dexter menjadi eksekutor bagi orang-orang jahat yang tak tersentuh hukum.
Tapi Dexter punya aturan dalam menjalankan eksekusinya. Kode Etik Harry. Harry Morgan adalah ayah angkat Dexter, orang pertama yang menyadari bahwa Dexter kecil “berbeda.” Harry pula yang mengajarinya bagaimana menentukan siapa serta syarat-syarat lain seperti kehati-hatian, kebersihan, tidak melibatkan emosi saat beraksi, bahkan perlunya Dexter bersosialisasi sebagaimana manusia normal. Dexter tidak pernah melupakan kode etik ini. Dia pun menjalin hubungan dengan Rita untuk mempercantik topengnya.
Miami dihebohkan oleh serangkaian pembunuhan di mana korban, yang seluruhnya PSK, ditemukan dalam kondisi termutilasi, tanpa percikan darah dan dibungkus rapi. Dexter diminta Deborah, adik angkatnya yang juga bertugas di Kepolisian Miami, untuk membantu memecahkan kasus ini karena dianggap mempunyai firasat yang selalu tepat untuk pembunuhan berantai seperti itu. Wajar, karena Dexter salah satu dari mereka. Dia juga seorang pembunuh yang bersembunyi di balik topeng analis percikan darah yang simpatik. Dexter malah merasa terobsesi dengan pembunuh berantai yang dia sebut seniman ini.
Tim penyelidikan yang dipimpin Detektif Migdia LaGuerta menangkap seseorang yang mengaku melakukan pembunuhan berantai tersebut. Tapi saat orang itu berada dalam sel, pembunuhan lain yang lebih glamour (istilah Dexter) terpampang di depan mata. Dexter mencurigai pembunuhnya adalah seseorang yang mengendarai truk berpendingin.
Sebuah pesan khusus disampaikan sang pembunuh kepada Dexter. Boneka Barbie di kulkas dalam apartemennya serta pengaturan korban pembunuhan terakhir seolah menantang dirinya. Sang pembunuh tahu siapa sebenarnya Dexter. Mimpi dan mungkin delusi mulai menghantui Dexter. Dia bahkan menyangka bahwa dialah pelaku pembunuhan berantai itu. Pembunuhan yang dia lakukan saat tak sadarkan diri dan The Dark Passanger menguasai tubuhnya.
Pernah terpikir bahwa salah satu dari orang-orang terdekat kita, keluarga, pasangan, atau teman, atau bahkan kita sendiri, yang berpanampilan biasa, normal, dan menyenangkan, adalah seorang pembunuh berantai? Ih, membayangkannya saja bisa memegakkan bulu roma. Tapi Lindsay berhasil menghadirkan seorang tokoh “protagonis” yang unik. Apalagi dengan pikiran-pikiran sinis Dexter yang terkadang membuat saya tertawa. Yang sedikit menggangggu, penggambaran suatu eksekusinya membuat saya berkunang-kunang dan berkeringat dingin, sadis. Tak terbayangkan ceceran darah dan potongan bagian tubuh manusia yang berserakan.
Lumayan untuk memberikan wawasan baru tentang seorang psikopat.
Jadi penasaran dengan serial televisinya yang di Amrik sana sudah mulai memasuki musim ketiga. Michael C. Hall yang berperan sebagai Dexter. Musim pertama yang mulai tayang tahun 2006 ditulis berdasarkan novel ini. Musim keduanya pun berdasarkan sekuel novel ini, Dearly Devoted Dexter. Musim ketiga? Mungkin berdasarkan sekuel berikutnya, Dexter in The Dark.
Hemmm… sepertinya bakal jadi salah satu serial favorit saya. Buruan nyari ah…!
Thursday, November 20, 2008
Aku, Kau dan Dia
Akhir pekan lalu.
Semalam kenapa tidak jadi datang? Tanyamu pagi itu.
Aku tertidur, jawabku.
Ah, malam minggu kau dilewati dengan tidur? Kau seolah tak percaya.
Kau tahu sendiri, malam sebelumnya aku menemani dia ngobrol sampai jam 1 pagi. Dan kemarin aku harus mengunjungi beberapa tempat sekaligus. Kau pikir aku robot yang tidak kenal lelah? Semburku membela diri.
Iya, aku ngerti. Hari ini bagaimana? Kau bisa datang ke tempatnya kan? Suaramu melunak saat mengatakan ini.
Aku sudah di sini, kataku.
Di mana?
Di tempatnya.
Pagi-pagi begini? Ini masih jam 7. Lagi-lagi kau tak percaya.
Yah, sebagai kompensasi atas kemangkiranku dari janji semalam. Lagi pula tidak ada yang aku lakukan hari ini. Aku mencoba tertawa, hambar.
Duh, makasih ya. Kamu memang teman yang paling baik. Katamu kegirangan. Aku bisa membayangkan dirimu melonjak-lonjak saat mengatakan hal ini.
Emmm... memangnya belum ada seseorang di hatimu? Tiba-tiba kau mengalihkan pembicaraan.
Ya ada lah. Beberapa hari lalu malah aku ajak nikah. Eh, dia malah berpikir aku cuma bercanda. Kataku sedikit kesal.
Kok bisa?
Mungkin karena aku bilangnya sambil ketawa-ketawa. Hahahaaa... Kali ini aku benar-benar tertawa.
Eng...
Ada apa?
Sebenarnya dari dulu aku suka kamu. Jdeerrrr...! Suara lembutmu seolah petir yang menggelegar di malam buta.
Tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Lanjutmu kemudian.
Hening.
Beberapa puluh detik berlalu.
Aku hanya mampu menatap telepon seluler di genggamanku.
***
Dua malam sebelumnya.
Kamu suka dengan dia juga kan? Dia bertanya padaku tentang perasaanku terhadapmu.
Heh? Yang benar saja. Aku tidak punya perasaan khusus buat dia. Cuma teman, tidak lebih. Kataku kepadanya.
Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Coba tanya ke dia saja. Lanjutku bermaksud menggodanya.
Dia bilang cuma menganggapmu teman, bahkan saudara. Katanya dengan sedikit sangsi.
Telepon selulernya berdering. Dari kau.
Kau suka dengan dia kan? Tanyanya kepadamu setelah berbincang beberapa menit.
Tidak. Dia teman paling baik. Katamu meyakinkannya. Aku mendengar suaramu.
***
Sehari sebelumnya.
Hari ini dia ada pelatihan di Jakarta. Tolong temani dia. Dia baru kali ini menginjakkan kaki di ibu kota. Katamu di ujung telepon.
Tapi hari ini aku mesti seharian di kantor. Jawabku tanpa bermaksud menolak permintaannya.
Tak apa. Sesempatmu saja.
Memangnya dia tidak ada teman? Kataku.
Ada. Tapi aku lebih tenang kalau kamu yang menemaninya.
Oke. Nanti malam aku ke tempatnya. Ucapku memberi persetujuan.
Terima kasih. Kamu memang teman yang paling baik.
***
Seminggu sebelumnya.
Bulan depan aku menikah. Kau bisa datang kan?
Pesan singkat yang kau kirim saat aku hendak memejamkan mata.
based on true story dengan sedikit improvisasi... :D
Semalam kenapa tidak jadi datang? Tanyamu pagi itu.
Aku tertidur, jawabku.
Ah, malam minggu kau dilewati dengan tidur? Kau seolah tak percaya.
Kau tahu sendiri, malam sebelumnya aku menemani dia ngobrol sampai jam 1 pagi. Dan kemarin aku harus mengunjungi beberapa tempat sekaligus. Kau pikir aku robot yang tidak kenal lelah? Semburku membela diri.
Iya, aku ngerti. Hari ini bagaimana? Kau bisa datang ke tempatnya kan? Suaramu melunak saat mengatakan ini.
Aku sudah di sini, kataku.
Di mana?
Di tempatnya.
Pagi-pagi begini? Ini masih jam 7. Lagi-lagi kau tak percaya.
Yah, sebagai kompensasi atas kemangkiranku dari janji semalam. Lagi pula tidak ada yang aku lakukan hari ini. Aku mencoba tertawa, hambar.
Duh, makasih ya. Kamu memang teman yang paling baik. Katamu kegirangan. Aku bisa membayangkan dirimu melonjak-lonjak saat mengatakan hal ini.
Emmm... memangnya belum ada seseorang di hatimu? Tiba-tiba kau mengalihkan pembicaraan.
Ya ada lah. Beberapa hari lalu malah aku ajak nikah. Eh, dia malah berpikir aku cuma bercanda. Kataku sedikit kesal.
Kok bisa?
Mungkin karena aku bilangnya sambil ketawa-ketawa. Hahahaaa... Kali ini aku benar-benar tertawa.
Eng...
Ada apa?
Sebenarnya dari dulu aku suka kamu. Jdeerrrr...! Suara lembutmu seolah petir yang menggelegar di malam buta.
Tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Lanjutmu kemudian.
Hening.
Beberapa puluh detik berlalu.
Aku hanya mampu menatap telepon seluler di genggamanku.
***
Dua malam sebelumnya.
Kamu suka dengan dia juga kan? Dia bertanya padaku tentang perasaanku terhadapmu.
Heh? Yang benar saja. Aku tidak punya perasaan khusus buat dia. Cuma teman, tidak lebih. Kataku kepadanya.
Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Coba tanya ke dia saja. Lanjutku bermaksud menggodanya.
Dia bilang cuma menganggapmu teman, bahkan saudara. Katanya dengan sedikit sangsi.
Telepon selulernya berdering. Dari kau.
Kau suka dengan dia kan? Tanyanya kepadamu setelah berbincang beberapa menit.
Tidak. Dia teman paling baik. Katamu meyakinkannya. Aku mendengar suaramu.
***
Sehari sebelumnya.
Hari ini dia ada pelatihan di Jakarta. Tolong temani dia. Dia baru kali ini menginjakkan kaki di ibu kota. Katamu di ujung telepon.
Tapi hari ini aku mesti seharian di kantor. Jawabku tanpa bermaksud menolak permintaannya.
Tak apa. Sesempatmu saja.
Memangnya dia tidak ada teman? Kataku.
Ada. Tapi aku lebih tenang kalau kamu yang menemaninya.
Oke. Nanti malam aku ke tempatnya. Ucapku memberi persetujuan.
Terima kasih. Kamu memang teman yang paling baik.
***
Seminggu sebelumnya.
Bulan depan aku menikah. Kau bisa datang kan?
Pesan singkat yang kau kirim saat aku hendak memejamkan mata.
based on true story dengan sedikit improvisasi... :D
Friday, November 14, 2008
Rectoverso... Dengar Fiksinya. Baca Musiknya.
Dee hadir dengan karya terbarunya, makhluk hibrida bernama Rectoverso. Sebuah buku berisi sebelas cerpen dan sebuah album yang menjadi “soundtrack” dari kesebelas cerpennya.
•Curhat buat Sahabat •Malaikat Juga Tahu •Selamat Ulang Tahun •Aku Ada •Hanya Isyarat •Peluk •Grow a Day Older •Cicak di Dinding •Firasat •Tidur •Back to Heaven’s Light
Bahas albumnya dulu ya...
Recto Verso
Dewi Lestari
Produser Eksekutif: Dewi Lestari, Ignatius Andy
Produksi: Goodfaith Production
2008
Dengan lirik yang unik dan melodi yang sederhana, album ini asyik didengar. Ditambah dukungan Andi Rianto beserta Magenta Orchestranya membuat lagu-lagunya lebih “berasa”. Terkadang mengingatkan kita dengan Rida Sita Dewi, terutama dalam lagu Aku Ada di mana Dee berduet dengan adiknya, Arina “Mocca”. Beberapa teman malah mengira bahwa suara Dee saat mendendangkan Malaikat Juga Tahu mirip dengan suara Bunga Citra Lestari. Heran, mirip di mananya sih? (protes.com)
Versi lain Cicak di Dinding yang sering dinyanyikan waktu kita masih anak-anak bisa juga dinikmati di sini. Lirik dan musiknya lumayan lucu. Lagu ini mengingatkan saia dengan salah satu cerpen Dee di Filosofi Kopi, entah yang berjudul apa.
Lagu yang paling jago jelas Malaikat Juga Tahu yang menjadi single pertamanya serta Curhat buat Sahabat (kalau yang ini sih karena “gue banget”, hehehe...). Ternyata lagu Firasat yang dulu dipopulerkan Marcel adalah karya Dee. Baru tahu nih… :D
Buat yang suka RSD seharusnya juga suka album ini.
Nah... sekarang bahas bukunya.
Rectoverso
Dewi Lestari
Penerbit Goodfaith Production
148 halaman
Cetakan I, Juli 2008
Cover berwarna gradasi dari kuning ke hiijau gelap cukup menarik perhatian. Apalagi dengan kemasan hard cover. Kualitas kertasnya gak usah ditanya. Meski hanya berjumlah 148 plus 14 halaman, buku ini tebalnya nyaris sama dengan buku lain yang memuat sekitar 300 halaman. Lembaran fullcolour di setiap judul cerpen dan lirik lagu menambah semarak. Dilengkapi dengan photo-photo memikat yang juga fullcolour. (gambar atas) Dan coba lihat, di bagian tengah bawah setiap halaman terdapat simbol yang mencerminkan isi cerpen. (gambar bawah) Buku yang benar-benar dibuat penuh perhitungan hingga detail terkecil. Mungkin inilah yang membuat harga banderolnya lumayan mahal.
Ide cerita yang sederhana namun unik dibalut dalam gaya bahasa yang cerdas yang menjadi ciri khas Dee. Cerpen yang paling membekas adalah Curhat buat Sahabat. Tentang seorang yang baru menyadari sesuatu pada saat dia sakit. Mirip dengan yang saia alami sebulan yang lalu. Baca cerpen ini diiringi alunan lagunya…
"Yang cuma ingin diam duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring… sakit"
Cerpen yang paling keren menurut saia adalah Cicak di Dinding, cerita sederhana tentang seorang pria yang mengagumi istri sahabatnya. Pas sampai di kalimat ini,
Hatinya ditemukan. Tapi tak lagi sama. Huhuhuuuu.... serasa ada pisau yang menancap di hati ini. Serasa ada yang hilang.
Saat membaca Peluk saia membayangkan bahwa kejadian itu benar-benar terjadi sebelum perpisahan antara Dee dengan Marcel. Mungkin lagu dan cerpennya memang terinspirasi dari perpisahan mereka. Entahlah.
Cerpen Tidur, seperti sebuah sindiran bagi para working mom yang meninggalkan keluarganya untuk kepentingan karir.
Saia baru menyadari setelah membaca cerpen terakhir, kesebelas cerpen ini tidak memunculkan satu pun nama tokohnya. Hanya ada aku, kamu, dan dia.
Yang jelas, lagu-lagu dalam albumnya sangat sesuai dengan cerpen dan begitu pula sebaliknya. Meski terkadang Dee menyajikannya dalam sudut pandang yang berbeda. Atas sebuah tema universal, cinta, Dee membuka mata kita bahwa siapa saja berhak mencintai dengan caranya masing-masing. Beberapa cerpennya menceritakan tentang bagaimana seseorang berkompromi dengan masa lalu. Kalau suka dengan tulisan-tulisan Dee sebelumnya pasti tidak akan melewatkan makhluk hibrida ini.
Keduanya dapat dinikmati terpisah tapi akan lebih asyik kalau pada saat membaca bukunya ada alunan musik dari albumnya.
•Curhat buat Sahabat •Malaikat Juga Tahu •Selamat Ulang Tahun •Aku Ada •Hanya Isyarat •Peluk •Grow a Day Older •Cicak di Dinding •Firasat •Tidur •Back to Heaven’s Light
Bahas albumnya dulu ya...
Recto Verso
Dewi Lestari
Produser Eksekutif: Dewi Lestari, Ignatius Andy
Produksi: Goodfaith Production
2008
Dengan lirik yang unik dan melodi yang sederhana, album ini asyik didengar. Ditambah dukungan Andi Rianto beserta Magenta Orchestranya membuat lagu-lagunya lebih “berasa”. Terkadang mengingatkan kita dengan Rida Sita Dewi, terutama dalam lagu Aku Ada di mana Dee berduet dengan adiknya, Arina “Mocca”. Beberapa teman malah mengira bahwa suara Dee saat mendendangkan Malaikat Juga Tahu mirip dengan suara Bunga Citra Lestari. Heran, mirip di mananya sih? (protes.com)
Versi lain Cicak di Dinding yang sering dinyanyikan waktu kita masih anak-anak bisa juga dinikmati di sini. Lirik dan musiknya lumayan lucu. Lagu ini mengingatkan saia dengan salah satu cerpen Dee di Filosofi Kopi, entah yang berjudul apa.
Lagu yang paling jago jelas Malaikat Juga Tahu yang menjadi single pertamanya serta Curhat buat Sahabat (kalau yang ini sih karena “gue banget”, hehehe...). Ternyata lagu Firasat yang dulu dipopulerkan Marcel adalah karya Dee. Baru tahu nih… :D
Buat yang suka RSD seharusnya juga suka album ini.
Nah... sekarang bahas bukunya.
Rectoverso
Dewi Lestari
Penerbit Goodfaith Production
148 halaman
Cetakan I, Juli 2008
Cover berwarna gradasi dari kuning ke hiijau gelap cukup menarik perhatian. Apalagi dengan kemasan hard cover. Kualitas kertasnya gak usah ditanya. Meski hanya berjumlah 148 plus 14 halaman, buku ini tebalnya nyaris sama dengan buku lain yang memuat sekitar 300 halaman. Lembaran fullcolour di setiap judul cerpen dan lirik lagu menambah semarak. Dilengkapi dengan photo-photo memikat yang juga fullcolour. (gambar atas) Dan coba lihat, di bagian tengah bawah setiap halaman terdapat simbol yang mencerminkan isi cerpen. (gambar bawah) Buku yang benar-benar dibuat penuh perhitungan hingga detail terkecil. Mungkin inilah yang membuat harga banderolnya lumayan mahal.
Ide cerita yang sederhana namun unik dibalut dalam gaya bahasa yang cerdas yang menjadi ciri khas Dee. Cerpen yang paling membekas adalah Curhat buat Sahabat. Tentang seorang yang baru menyadari sesuatu pada saat dia sakit. Mirip dengan yang saia alami sebulan yang lalu. Baca cerpen ini diiringi alunan lagunya…
"Yang cuma ingin diam duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring… sakit"
Cerpen yang paling keren menurut saia adalah Cicak di Dinding, cerita sederhana tentang seorang pria yang mengagumi istri sahabatnya. Pas sampai di kalimat ini,
Hatinya ditemukan. Tapi tak lagi sama. Huhuhuuuu.... serasa ada pisau yang menancap di hati ini. Serasa ada yang hilang.
Saat membaca Peluk saia membayangkan bahwa kejadian itu benar-benar terjadi sebelum perpisahan antara Dee dengan Marcel. Mungkin lagu dan cerpennya memang terinspirasi dari perpisahan mereka. Entahlah.
Cerpen Tidur, seperti sebuah sindiran bagi para working mom yang meninggalkan keluarganya untuk kepentingan karir.
Saia baru menyadari setelah membaca cerpen terakhir, kesebelas cerpen ini tidak memunculkan satu pun nama tokohnya. Hanya ada aku, kamu, dan dia.
Yang jelas, lagu-lagu dalam albumnya sangat sesuai dengan cerpen dan begitu pula sebaliknya. Meski terkadang Dee menyajikannya dalam sudut pandang yang berbeda. Atas sebuah tema universal, cinta, Dee membuka mata kita bahwa siapa saja berhak mencintai dengan caranya masing-masing. Beberapa cerpennya menceritakan tentang bagaimana seseorang berkompromi dengan masa lalu. Kalau suka dengan tulisan-tulisan Dee sebelumnya pasti tidak akan melewatkan makhluk hibrida ini.
Keduanya dapat dinikmati terpisah tapi akan lebih asyik kalau pada saat membaca bukunya ada alunan musik dari albumnya.
Thursday, November 13, 2008
Death Note Made Me Murder…
Lelaki itu tersungkur di aspal. Sesaat tubuhnya bergetar kemudian berhenti sama sekali. Kemeja putihnya berlumuran darah yang mengucur dari bekas sabetan senjata tajam di lehernya. Darah juga membanjiri aspal di tempat dia tergeletak. Dia tewas. Aku telah membunuhnya. Benda di tangan kananku masih meneteskan darah lelaki itu. Nanar aku menatap tubuh tak bergerak itu.
***
Penggemar manga atau anime pasti kenal mereka bertiga. L, Ligth, dan Ryukuu. Yagami Light, berniat membuat sebuah dunia baru yang bersih dari tindak kejahatan. Sebuah niat yang mulia, tapi tidak dengan cara yang ditempuhnya. Light membunuh para kriminal satu per satu. Hanya dengan mengetahui wajah dan menuliskan nama kriminal itu di Death Note yang dijatuhkan oleh shinigami Ryukuu. Dia menyebut dirinya Kira.
Kepolisian Jepang dan Interpol pun memburunya. Sebuah tim dibentuk. Tim yang dikepalai Yagami Soichiro ini bekerja sama dengan L, pemuda tanggung dengan penampilan berantakan dan kelakuan aneh tapi analisanya keren. L mencurigai Light adalah Kira meski hasil pengamatan menunjukkan bahwa Light bukan Kira. L meminta Yagami Soichiro melibatkan Light dalam tim mereka. Tiba-tiba muncul The Second Kira. Seorang model cantik dan ceria, Amane Misa. Light dan Misa menjalin hubungan tapi kemudian Misa ditangkap karena bukti-bukti di sebuah TKP mengarah ke dirinya. Jadi tambah njlimet saat Light memutuskan untuk menolong Misa dengan menyuruh Ryukuu mencabut ingatannya tentang Death Note dan mengubur catatan itu.
Bagaimana akhir perburuan Kira oleh L? Yang jelas ini bukan anime yang happy ending meski akhirnya terungkap identitas Kira.
Beberapa hal kecil yang menarik dari anime ini antara lain kebiasaan L yang tidak bisa duduk kecuali dengan nongkrong, meski di sofa sekalipun. Juga kebiasaannya menghisap jempol serta caranya memegang telepon selular. Dan yang paling utama kue-kue dan es krim yang dimakan L, hemmm...yummy...
Kalau soal ”perang” antara L dan Light aka Kira mah gak perlu ditanya lagi, seru!
Bagi yang pernah membaca manganya ato mengikuti animenya pasti mengetahui bahwa cerita di awal tulisan ini bukan bagian dari cerita Death Note. Itu sepenggal adegan yang akhirnya mengantarkan saia kembali ke alam nyata dengan napas memburu dan jantung berdebar-debar. Mungkin gara-gara selama sepekan nonton animenya secara marathon tiap menjelang tidur. Atau jangan-jangan ini alter ego saia? Entah di mana, di malam yang sama, seorang lelaki tewas terkapar bersimbah darah dengan sayatan benda tajam di lehernya.
***
Penggemar manga atau anime pasti kenal mereka bertiga. L, Ligth, dan Ryukuu. Yagami Light, berniat membuat sebuah dunia baru yang bersih dari tindak kejahatan. Sebuah niat yang mulia, tapi tidak dengan cara yang ditempuhnya. Light membunuh para kriminal satu per satu. Hanya dengan mengetahui wajah dan menuliskan nama kriminal itu di Death Note yang dijatuhkan oleh shinigami Ryukuu. Dia menyebut dirinya Kira.
Kepolisian Jepang dan Interpol pun memburunya. Sebuah tim dibentuk. Tim yang dikepalai Yagami Soichiro ini bekerja sama dengan L, pemuda tanggung dengan penampilan berantakan dan kelakuan aneh tapi analisanya keren. L mencurigai Light adalah Kira meski hasil pengamatan menunjukkan bahwa Light bukan Kira. L meminta Yagami Soichiro melibatkan Light dalam tim mereka. Tiba-tiba muncul The Second Kira. Seorang model cantik dan ceria, Amane Misa. Light dan Misa menjalin hubungan tapi kemudian Misa ditangkap karena bukti-bukti di sebuah TKP mengarah ke dirinya. Jadi tambah njlimet saat Light memutuskan untuk menolong Misa dengan menyuruh Ryukuu mencabut ingatannya tentang Death Note dan mengubur catatan itu.
Bagaimana akhir perburuan Kira oleh L? Yang jelas ini bukan anime yang happy ending meski akhirnya terungkap identitas Kira.
Beberapa hal kecil yang menarik dari anime ini antara lain kebiasaan L yang tidak bisa duduk kecuali dengan nongkrong, meski di sofa sekalipun. Juga kebiasaannya menghisap jempol serta caranya memegang telepon selular. Dan yang paling utama kue-kue dan es krim yang dimakan L, hemmm...yummy...
Kalau soal ”perang” antara L dan Light aka Kira mah gak perlu ditanya lagi, seru!
Bagi yang pernah membaca manganya ato mengikuti animenya pasti mengetahui bahwa cerita di awal tulisan ini bukan bagian dari cerita Death Note. Itu sepenggal adegan yang akhirnya mengantarkan saia kembali ke alam nyata dengan napas memburu dan jantung berdebar-debar. Mungkin gara-gara selama sepekan nonton animenya secara marathon tiap menjelang tidur. Atau jangan-jangan ini alter ego saia? Entah di mana, di malam yang sama, seorang lelaki tewas terkapar bersimbah darah dengan sayatan benda tajam di lehernya.
Monday, November 10, 2008
The Fall, Tipisnya Batas Dongeng dan Kenyataan
The Fall
Director: Tarsem Singh
Scriptwriter: Dan Gilroy, Nico Soultanakis, Tarsem Singh
Producer: Ajit Singh, Tommy Turtle, Tarsem Singh
Cast: Cantica Untaru, Lee Pace, Justine Waddell
2006
Alexandria, gadis kecil berumur 5 tahun yang terpaksa menjalani hari-harinya di rumah sakit karena harus menjalani perawatan tulang lengan kirinya yang patah akibat terjatuh ketika memetik jeruk. Dia selalu membawa sebuah kotak berisi barang-barang kesukaannya. Suatu saat dia mencari secarik kertas berisi suratnya kepada Suster Evelyn yang diterbangkan angin. Dia bertemu Roy, stuntman yang juga dalam perawatan karena kecelakaan saat pengambilan gambar. Roylah yang menemukan surat itu. Roy menceritakan sebuah kisah tentang Alexander The Great kepada gadis itu. Alexandria terkesan dan dia kembali ke kamar Roy di hari berikutnya.
Roy menceritakan sebuah kisah epik di mana ada lima orang yang diasingkan di sebuah pulau berbentuk kupu-kupu. Masked bandit, Indian, Luigi, Charles Darwin dan Otta Benga. Dengan alasan yang berbeda-beda mereka mempunyai satu tujuan, membunuh Gubernur Odious. Mereka berhasil lolos dari pulau tersebut dan bertemu dengan Mystic yang juga ingin membunuh Sang Gubernur.
Mereka berhasil mengatasi pasukan istana namun terlambat, Gubernur telah melarikan diri. Berdasarkan peta yang muncul di tubuh Mystic setelah upacara sakral yang melibatkan puluhan penari Kecak, mereka berhasil menelusuri jejak Gub. Odious. Bukan Sang Gubernur yang berada di kereta melainkan seorang wanita cantik dan seorang anak lelaki. Masked bandit jatuh cinta kepada wanita yang ternyata adalah tunangan Gub. Odious.
Tujuan Roy menceritakan kisah tersebut adalah untuk merebut kepercayaan Alexandria dan meminta gadis itu mengambil (baca: mencuri) morphine. Roy bermaksud bunuh diri.
Kenyataan dan fantasi mulai tercampur aduk, tokoh-tokoh dalam kisah Roy adalah orang-orang di rumah sakit, Alexandria masuk ke dalam kisah tersebut dan menolong mereka yang sedang ditawan pasukan Odious.
Ketika Alexandria untuk yang kedua kali mengambil morphine dia terjatuh dan harus dioperasi. Roy mengunjunginya dan menceritakan akhir kisah heroik itu. Sebuah akhir yang tidak disukai Alexandria.
Two tumbs up. Satu lagi film yang berhasil memaku mata untuk tetap menatap layar selama adegan demi adegan bergulir. Singh berhasil memanjakan mata dengan menyajikan visualisasi yang fantastis. Angle yang menarik. Warna-warni yang kontras namun memikat. Detail yang sempurna. Tempat-tempat yang indah. Terutama scene langit biru, gurun coklat dan pasir putih. Tidak dapat menentukan apakah tempat-tempat dan bangunan-bangunan indah itu benar-benar ada atau tidak, kecuali hamparan terasering di Bali plus para penari Kecak di depan pura. Juga beberapa landmark terkenal seperti Pyramid, The Great Wall, dan Eiffel Tower yang muncul sekilas. Bahkan tarian sufi turut hadir di sini. Tata suara yang pas ikut melengkapi gambar-gambar indah ini.
Ditambah permainan menarik dari Cantika Untaru yang menyajikan keluguan seorang gadis cilik lengkap dengan ketidakmengertiannya yang kadang muncul saat mencerna kata-kata lawan bicaranya. Menggemaskan. Ada juga beberapa adegan konyol yang membuat tertawa meski tidak terbahak-bahak seperti saat menonton film komedi.
Overall, nilai 9/10 untuk film ini. One of must-seen movies...!
Akhir sebuah dongeng ditentukan oleh sang pencerita. Jadi, buatlah dongengmu sendiri...
Catatan:
Bagi orang luar, salah satu yang menarik dari Bali adalah kekuatan mistiknya, adegan tubuh Mystic yang tiba-tiba dipenuhi tato dengan diiringi puluhan penari Kecak menunjukkan hal itu. Padahal di bagian lain negeri ini, agak lebih ke barat, ada sebuah suku yang terkenal dengan tato dan upacara sakral. Mentawai. Tato Mentawai dikenal sebagai salah satu tato tertua. Tapi orang lebih mengenal Bali daripada Mentawai.
Ada yang sedikit mengganjal, Charles Darwin adalah seorang pecinta makhluk hidup tetapi dia mengenakan mantel bulu merah putih hitam yang sepertinya berasal dari bulu binatang. Absurd.
Director: Tarsem Singh
Scriptwriter: Dan Gilroy, Nico Soultanakis, Tarsem Singh
Producer: Ajit Singh, Tommy Turtle, Tarsem Singh
Cast: Cantica Untaru, Lee Pace, Justine Waddell
2006
Alexandria, gadis kecil berumur 5 tahun yang terpaksa menjalani hari-harinya di rumah sakit karena harus menjalani perawatan tulang lengan kirinya yang patah akibat terjatuh ketika memetik jeruk. Dia selalu membawa sebuah kotak berisi barang-barang kesukaannya. Suatu saat dia mencari secarik kertas berisi suratnya kepada Suster Evelyn yang diterbangkan angin. Dia bertemu Roy, stuntman yang juga dalam perawatan karena kecelakaan saat pengambilan gambar. Roylah yang menemukan surat itu. Roy menceritakan sebuah kisah tentang Alexander The Great kepada gadis itu. Alexandria terkesan dan dia kembali ke kamar Roy di hari berikutnya.
Roy menceritakan sebuah kisah epik di mana ada lima orang yang diasingkan di sebuah pulau berbentuk kupu-kupu. Masked bandit, Indian, Luigi, Charles Darwin dan Otta Benga. Dengan alasan yang berbeda-beda mereka mempunyai satu tujuan, membunuh Gubernur Odious. Mereka berhasil lolos dari pulau tersebut dan bertemu dengan Mystic yang juga ingin membunuh Sang Gubernur.
Mereka berhasil mengatasi pasukan istana namun terlambat, Gubernur telah melarikan diri. Berdasarkan peta yang muncul di tubuh Mystic setelah upacara sakral yang melibatkan puluhan penari Kecak, mereka berhasil menelusuri jejak Gub. Odious. Bukan Sang Gubernur yang berada di kereta melainkan seorang wanita cantik dan seorang anak lelaki. Masked bandit jatuh cinta kepada wanita yang ternyata adalah tunangan Gub. Odious.
Tujuan Roy menceritakan kisah tersebut adalah untuk merebut kepercayaan Alexandria dan meminta gadis itu mengambil (baca: mencuri) morphine. Roy bermaksud bunuh diri.
Kenyataan dan fantasi mulai tercampur aduk, tokoh-tokoh dalam kisah Roy adalah orang-orang di rumah sakit, Alexandria masuk ke dalam kisah tersebut dan menolong mereka yang sedang ditawan pasukan Odious.
Ketika Alexandria untuk yang kedua kali mengambil morphine dia terjatuh dan harus dioperasi. Roy mengunjunginya dan menceritakan akhir kisah heroik itu. Sebuah akhir yang tidak disukai Alexandria.
Two tumbs up. Satu lagi film yang berhasil memaku mata untuk tetap menatap layar selama adegan demi adegan bergulir. Singh berhasil memanjakan mata dengan menyajikan visualisasi yang fantastis. Angle yang menarik. Warna-warni yang kontras namun memikat. Detail yang sempurna. Tempat-tempat yang indah. Terutama scene langit biru, gurun coklat dan pasir putih. Tidak dapat menentukan apakah tempat-tempat dan bangunan-bangunan indah itu benar-benar ada atau tidak, kecuali hamparan terasering di Bali plus para penari Kecak di depan pura. Juga beberapa landmark terkenal seperti Pyramid, The Great Wall, dan Eiffel Tower yang muncul sekilas. Bahkan tarian sufi turut hadir di sini. Tata suara yang pas ikut melengkapi gambar-gambar indah ini.
Ditambah permainan menarik dari Cantika Untaru yang menyajikan keluguan seorang gadis cilik lengkap dengan ketidakmengertiannya yang kadang muncul saat mencerna kata-kata lawan bicaranya. Menggemaskan. Ada juga beberapa adegan konyol yang membuat tertawa meski tidak terbahak-bahak seperti saat menonton film komedi.
Overall, nilai 9/10 untuk film ini. One of must-seen movies...!
Akhir sebuah dongeng ditentukan oleh sang pencerita. Jadi, buatlah dongengmu sendiri...
Catatan:
Bagi orang luar, salah satu yang menarik dari Bali adalah kekuatan mistiknya, adegan tubuh Mystic yang tiba-tiba dipenuhi tato dengan diiringi puluhan penari Kecak menunjukkan hal itu. Padahal di bagian lain negeri ini, agak lebih ke barat, ada sebuah suku yang terkenal dengan tato dan upacara sakral. Mentawai. Tato Mentawai dikenal sebagai salah satu tato tertua. Tapi orang lebih mengenal Bali daripada Mentawai.
Ada yang sedikit mengganjal, Charles Darwin adalah seorang pecinta makhluk hidup tetapi dia mengenakan mantel bulu merah putih hitam yang sepertinya berasal dari bulu binatang. Absurd.
Jalan-jalan di Mall of Indonesia
Mall of Indonesia alias MOI adalah salah satu fasilitas yang diberikan pengembang kelas kakap, Agung Sedayu Grup, untuk para penghuni apartemen di Kelapa Gading Square. Hunian mewah di lokasi yang oleh sebagian orang disebut sebagai kepala naganya Jakarta. Sudah diputuskan inilah tempat pertama yang akan saia kunjungi setelah masa istirahat jalan-jalan selama hampir satu bulan. Kunjungan ke Plaza Senayan saat Metro Dept. Store mengadakan sale gila-gilaan tidak dihitung karena terkait dengan kunjungan kerja yang juga berlokasi di Plaza Senayan. Apa sih menariknya MOI hingga saia rela menempuh jarak puluhan kilometer?
Apakah karena di sana sedang ada sale?
Bukan.
Tempat hang-out yang seru?
Bukan.
Atau karena ada tempat makan asyik yang murah meriah horrey?
Bukan juga.
Lalu apa?
Blitz Megaplex jawabannya.
Loh, bukankah di Grand Indonesia dan Pacific Place juga ada Blitz Megaplex?
Yup, that’s right. Tapi di Blitz GI dan PP tidak ada film yang menjadi incaran saia. Film yang terlewat saat diputar di Blitz GI beberapa bulan lalu, The Fall. Yang menjadi korban untuk menemani saia kali ini adalah Dian.
Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 13.30 WIB dengan menyusuri jalan tol dalam kota yang saat kami perhatikan di tiap gedung di sepanjang kiri jalan (karena yang sebelah kanan tertutup pembatas) terdapat janur kuning yang melambai tertiup angin.
Tak lama kemudian, dengan mengalami sedikit kemacetan, kami keluar tol Sunter. Belok kiri kemudian putar balik. Deretan beton yang menjulang tinggi menyambut kami, Kelapa Gading Square. MOI dikelilingi menara-menara apartemen dan deretan rukan. Kami masuk dari pintu selatan, pintu yang berhadapan langsung dengan Balai Samudera di seberang jalan. Begitu melewati pintu kaca, hawa dingin langsung menyergap. Tidak ada hiruk pikuk khas pusat perbelanjaan. Sepi. Ditambah lagi udara yang masih berat karena bau cat dan teman-temannya. Agak ragu kami melangkah semakin ke dalam. Sebuah tirai air dengan cahaya biru menyambut kami. Gerai-gerai masih tertutup tripleks, beberapa di antaranya sudah menempelkan logo tenant. Hanya satu dua pengunjung lain yang kami temui.
Akhirnya kami menemukan sedikit keramaian, Fun World, ajang permainan yang mirip Dunia Fantasi di Ancol tetapi dalam versi mini. Tidak banyak anak-anak yang mencoba berbagai permainan yang ditawarkan.
Kami langsung menuju lantai 2 tempat studio Blitz berada. Masih agak di dekat loket penjualan tiket. Tidak senyaman di Blitz GI. Tidak ada antrian meski ada beberapa orang yang sedang dilayani. Kami orang pertama yang membeli tiket The Fall yang diputar di Studio 6. E-11 dan E-12 menjadi pilihan tempat duduk kami. Sepertinya mall ini berakhir di lantai 2 karena lantai di atas kami berisi deretan mobil yang diparkir rapi. Masih ada waktu sekitar 2 jam untuk berkeliling sembari menunggu The Fall diputar.
Food court yang menawarkan beragam makanan baru dibuka beberapa waktu lalu, nampak dari beberapa rangkaian bunga ucapan selamat. Sebagian besar gerai masih tutup. Gerai pakaian dan sepatu wanita menarik perhatian kami. Bahkan sepotong baju putih dengan aksen bunga membuat kami berdecak dan membuat Dian nyaris mengeksekusinya. Tanpa diskon, harganya terlalu mahal untuk sepotong baju, Rp. 349.000. Perjalanan kami berlanjut ke Centro. The Body Shop sedang menggelar sale hingga tanggal 16 November. Sebotol body mist berpindah dari rak pajangan ke tas, melalui transaksi resmi tentunya. Sepotong kemeja berwarna broken white juga memenuhi tas saia.
Beberapa menit setelah masuk waktu Ashar kami menuju musholla yang berada di lantai LG, lantai di mana raksasa ritel Carrefour berada. Tapi ternyata musholla tersebut berada di tempat parkir. Untuk menuju ke sana kami harus menahan napas karena udara yang sangat berdebu. Tempat wudhunya bersih dan terpisah antara pria dan wanita tetapi tempat sholat tidak terpisah. Hanya sekitar 4x8m luasnya, dengan karpet merah bekas yang sudah menguarkan aroma tidak sedap.
Kami balik lagi ke Blitz dan memesan makanan dan minuman di Blitz Café. Spaghetti dan jus stroberi menjadi pilihan saia. Dian memesan nasi goreng rendang dan vanilla coffee late, plus lumpia dan siomay untuk kami berdua. Waitressnya masih kurang pelatihan jadi pelayanannya kurang cekatan. Spaghettinya juga biasa banget (buatan saia bahkan lebih enak dari ini), berbeda dengan spaghetti-nya Blitz Café GI yang benar-benar yummy. Saat melirik backdrop panggung yang masih kacau balau, kami baru tahu ternyata hari sebelumnya dilakukan Grand Opening Blitz MOI.
Suasana menuju studio sangat khas Blitz, merah dan hitam. Lebih cozy dibandingkan Blitz Café. Kami orang pertama yang masuk Studio 6, berasa home theater pribadi. Studionya tidak besar, sekitar 200 tempat duduk dengan kursi yang khas di studio Blitz, keras dan tidak nyaman. Total ada delapan orang yang menyaksikan permainan Cantica Untaru sebagai Alexandria di The Fall. Dinginnya hawa dari AC menusuk tulang (harusnya bawa selimut nih).
Pukul 18.40 WIB saat credit title mengiringi kami keluar studio. Kami langsung memacu langkah ke musholla yang lumayan jauh. Sebelum mengakhiri perjalanan di MOI kami menyempatkan diri ke toilet yang bersih dan nyaman. Ada salah satu closet yang rusak saat itu, airnya tidak bisa berhenti mengalir, sementara tidak ada petugas yang berpatroli di sekitar toilet.
Panataan ruang yang berkelok-kelok dan gerai-gerai yang masih tertutup tripleks putih sempat membuat kami beberapa kali kehilangan arah, termasuk saat mencari pintu selatan. Kami keluar dan disambut sebuah air mancur yang dikelilingi pohon-pohon palem yang daun-daunnya masih diikat. Ada keluarga kecil yang sedang berfoto di dekat air mancur.
Jalan-jalan kali ini berakhir sudah. Puas berhasil nonton The Fall, tetapi kecewa karena mall masih sepi. Beberapa bulan lagi mungkin MOI bakal menambah jumlah mall kelas atas yang semakin memanjakan manusia-manusia konsumtif ibu kota. Berminat tinggal di salah satu apartemen di Kelapa Gading Square? Eehmm, jelas tidak terjangkau dengan penghasilan seorang abdi negara.
Apakah karena di sana sedang ada sale?
Bukan.
Tempat hang-out yang seru?
Bukan.
Atau karena ada tempat makan asyik yang murah meriah horrey?
Bukan juga.
Lalu apa?
Blitz Megaplex jawabannya.
Loh, bukankah di Grand Indonesia dan Pacific Place juga ada Blitz Megaplex?
Yup, that’s right. Tapi di Blitz GI dan PP tidak ada film yang menjadi incaran saia. Film yang terlewat saat diputar di Blitz GI beberapa bulan lalu, The Fall. Yang menjadi korban untuk menemani saia kali ini adalah Dian.
Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 13.30 WIB dengan menyusuri jalan tol dalam kota yang saat kami perhatikan di tiap gedung di sepanjang kiri jalan (karena yang sebelah kanan tertutup pembatas) terdapat janur kuning yang melambai tertiup angin.
Tak lama kemudian, dengan mengalami sedikit kemacetan, kami keluar tol Sunter. Belok kiri kemudian putar balik. Deretan beton yang menjulang tinggi menyambut kami, Kelapa Gading Square. MOI dikelilingi menara-menara apartemen dan deretan rukan. Kami masuk dari pintu selatan, pintu yang berhadapan langsung dengan Balai Samudera di seberang jalan. Begitu melewati pintu kaca, hawa dingin langsung menyergap. Tidak ada hiruk pikuk khas pusat perbelanjaan. Sepi. Ditambah lagi udara yang masih berat karena bau cat dan teman-temannya. Agak ragu kami melangkah semakin ke dalam. Sebuah tirai air dengan cahaya biru menyambut kami. Gerai-gerai masih tertutup tripleks, beberapa di antaranya sudah menempelkan logo tenant. Hanya satu dua pengunjung lain yang kami temui.
Akhirnya kami menemukan sedikit keramaian, Fun World, ajang permainan yang mirip Dunia Fantasi di Ancol tetapi dalam versi mini. Tidak banyak anak-anak yang mencoba berbagai permainan yang ditawarkan.
Kami langsung menuju lantai 2 tempat studio Blitz berada. Masih agak di dekat loket penjualan tiket. Tidak senyaman di Blitz GI. Tidak ada antrian meski ada beberapa orang yang sedang dilayani. Kami orang pertama yang membeli tiket The Fall yang diputar di Studio 6. E-11 dan E-12 menjadi pilihan tempat duduk kami. Sepertinya mall ini berakhir di lantai 2 karena lantai di atas kami berisi deretan mobil yang diparkir rapi. Masih ada waktu sekitar 2 jam untuk berkeliling sembari menunggu The Fall diputar.
Food court yang menawarkan beragam makanan baru dibuka beberapa waktu lalu, nampak dari beberapa rangkaian bunga ucapan selamat. Sebagian besar gerai masih tutup. Gerai pakaian dan sepatu wanita menarik perhatian kami. Bahkan sepotong baju putih dengan aksen bunga membuat kami berdecak dan membuat Dian nyaris mengeksekusinya. Tanpa diskon, harganya terlalu mahal untuk sepotong baju, Rp. 349.000. Perjalanan kami berlanjut ke Centro. The Body Shop sedang menggelar sale hingga tanggal 16 November. Sebotol body mist berpindah dari rak pajangan ke tas, melalui transaksi resmi tentunya. Sepotong kemeja berwarna broken white juga memenuhi tas saia.
Beberapa menit setelah masuk waktu Ashar kami menuju musholla yang berada di lantai LG, lantai di mana raksasa ritel Carrefour berada. Tapi ternyata musholla tersebut berada di tempat parkir. Untuk menuju ke sana kami harus menahan napas karena udara yang sangat berdebu. Tempat wudhunya bersih dan terpisah antara pria dan wanita tetapi tempat sholat tidak terpisah. Hanya sekitar 4x8m luasnya, dengan karpet merah bekas yang sudah menguarkan aroma tidak sedap.
Kami balik lagi ke Blitz dan memesan makanan dan minuman di Blitz Café. Spaghetti dan jus stroberi menjadi pilihan saia. Dian memesan nasi goreng rendang dan vanilla coffee late, plus lumpia dan siomay untuk kami berdua. Waitressnya masih kurang pelatihan jadi pelayanannya kurang cekatan. Spaghettinya juga biasa banget (buatan saia bahkan lebih enak dari ini), berbeda dengan spaghetti-nya Blitz Café GI yang benar-benar yummy. Saat melirik backdrop panggung yang masih kacau balau, kami baru tahu ternyata hari sebelumnya dilakukan Grand Opening Blitz MOI.
Suasana menuju studio sangat khas Blitz, merah dan hitam. Lebih cozy dibandingkan Blitz Café. Kami orang pertama yang masuk Studio 6, berasa home theater pribadi. Studionya tidak besar, sekitar 200 tempat duduk dengan kursi yang khas di studio Blitz, keras dan tidak nyaman. Total ada delapan orang yang menyaksikan permainan Cantica Untaru sebagai Alexandria di The Fall. Dinginnya hawa dari AC menusuk tulang (harusnya bawa selimut nih).
Pukul 18.40 WIB saat credit title mengiringi kami keluar studio. Kami langsung memacu langkah ke musholla yang lumayan jauh. Sebelum mengakhiri perjalanan di MOI kami menyempatkan diri ke toilet yang bersih dan nyaman. Ada salah satu closet yang rusak saat itu, airnya tidak bisa berhenti mengalir, sementara tidak ada petugas yang berpatroli di sekitar toilet.
Panataan ruang yang berkelok-kelok dan gerai-gerai yang masih tertutup tripleks putih sempat membuat kami beberapa kali kehilangan arah, termasuk saat mencari pintu selatan. Kami keluar dan disambut sebuah air mancur yang dikelilingi pohon-pohon palem yang daun-daunnya masih diikat. Ada keluarga kecil yang sedang berfoto di dekat air mancur.
Jalan-jalan kali ini berakhir sudah. Puas berhasil nonton The Fall, tetapi kecewa karena mall masih sepi. Beberapa bulan lagi mungkin MOI bakal menambah jumlah mall kelas atas yang semakin memanjakan manusia-manusia konsumtif ibu kota. Berminat tinggal di salah satu apartemen di Kelapa Gading Square? Eehmm, jelas tidak terjangkau dengan penghasilan seorang abdi negara.
Friday, November 7, 2008
Petualangan di Perut Bumi
Journey to The Center of The Earth
Director: Eric Brevig
Scriptwriter: Michael Weiss, Jennifer Flackett, Mark Levin (based on Jules Verne’s Novel)
Cast: Brendan Fraser, Josh Hutcherson, Anita Briem
Executive Producer: Brendan Fraser
New Line Cinema, Walden Media
2008
Trevor Anderson terbangun dari mimpi tentang Max, saudaranya yang hilang beberapa tahun lalu. Max, sebagaimana halnya Trevor, adalah seorang ahli vulkanologi yang hilang dalam perjalanannya yang terakhir. Di hari yang sama saat Trevor terbangun dari mimpi, istri Max menitipkan Sean kepada Trevor selama 10 hari ke depan karena dia sedang mengurus proses kepindahan ke Canada. Selain menitipkan Sean, dia juga memberikan barang-barang peninggalan Max kepada Trevor. Sean yang semula tidak mempedulikan Trevor dan sibuk dengan PSP-nya mulai tertarik saat Trevor melihat-lihat barang milik Max serta menceritakan kisahnya.
Salah satu barang peninggalan Max adalah novel lawas karya Jules Verne, Journey to The Center of The Earth, yang menceritakan perjalanan dalam pencarian inti bumi. Dalam buku tersebut terdapat beberapa catatan yang dibuat dengan tulisan tangan oleh Max yang menunjukkan bahwa dia berusaha mencari inti bumi tersebut. Saat itulah di layar komputer Trevor muncul titik ke empat di sebuah gunung berapi di Iceland. Trevor memutuskan untuk ke sana karena dia yakin dia bisa menelusuri jejak Max. Sean memaksa ikut karena ini menyangkut ayahnya.
Mereka mencari akademi yg dipimpin Prof. Sigurbjornsdottir (susah banget namanya, ini juga hasil nyontek di wiki) sesuai petunjuk dari catatan yang dibuat Max. Tapi ternyata akademi itu tidak ada dan mereka malah bertemu Hannah, anak Prof. Sigurbjornsdottir. Hannah mengatakan bahwa ayahnya, dan juga Max, adalah Vernian, orang-orang yang mempercayai bahwa yang ditulis oleh Jules Verne adalah nyata. Hannah bersedia menjadi pemandu untuk mendaki gunung.
Petualangan dimulai saat mereka terjebak di dalam gua saat menyelamatkan diri dari terjangan petir. Mereka memutuskan menyusuri gua tersebut untuk menemukan jalan keluar di sisi lainnya. Trevor nyaris terjun bebas ke jurang yang dalamnya ratusan meter. Menaiki troli di jalur tambang yang juga nyaris memakan nyawa mereka. Menemukan dinding gua yang penuh dengan ruby, emerald, bahkan diamond hingga mereka tidak menyadari bahwa tempat mereka berpijak sangat tipis. Mereka bertemu kawanan burung yang sayapnya bercahaya dan kemudian menemukan sebuah ruangan beserta catatan yang dibuat Max. Jalan keluar dari situ adalah menemukan geiser yang akan membawa mereka ke atas. Mereka harus berkejaran dengan waktu karena suhu makin tinggi. Saat menyeberangi danau mereka bertemu ikan-ikan pemangsa hingga Sean terpisah dari Trevor dan Hannah. Ternyata Sean ditemani oleh salah satu burung bercahaya yang menuntun jalannya menuju geiser. Trevor dan Hannah tiba di sungai tetapi Sean tidak berada di sana.
Sebagai pecinta film fantasi, saia cukup terhibur dengan film ini, meskipun ceritanya sangat standar. Scene and scoring paling bagus saat mereka bertemu dengan kawanan glowing birds. Karena nontonnya di kos dengan audio video player yang standar, efek 3D-nya jadi kurang berasa. Mungkin kalau nontonnya di Theater IMAX film ini jadi lebih keren. Meski dinosaurus dan ikan-ikan di danau kelihatan banget tempelannya. Efek 3D paling berasa saat ketiganya menaiki troli tambang dan menyusuri jalur yang seperti rollercoaster. Seru juga kalau dijadiin salah satu wahana di Dunia Fantasi yang pake layar 3D dan kursi yang bergerak-gerak mengikuti gambar. Lucu juga melihat Sean dan Trevor, dua orang dari dua generasi yang berbeda, terpana melihat Hannah. Dibandingkan dengan film Fraser sebelumnya, sekuel ketiga dari The Mummy, saia lebih terhibur dengan film ini. Apalagi dibandingkan film Josh Hutcherson sebelumnya, Bridge to Terrabithia, ya kerenan yang ini lah… .
Director: Eric Brevig
Scriptwriter: Michael Weiss, Jennifer Flackett, Mark Levin (based on Jules Verne’s Novel)
Cast: Brendan Fraser, Josh Hutcherson, Anita Briem
Executive Producer: Brendan Fraser
New Line Cinema, Walden Media
2008
Trevor Anderson terbangun dari mimpi tentang Max, saudaranya yang hilang beberapa tahun lalu. Max, sebagaimana halnya Trevor, adalah seorang ahli vulkanologi yang hilang dalam perjalanannya yang terakhir. Di hari yang sama saat Trevor terbangun dari mimpi, istri Max menitipkan Sean kepada Trevor selama 10 hari ke depan karena dia sedang mengurus proses kepindahan ke Canada. Selain menitipkan Sean, dia juga memberikan barang-barang peninggalan Max kepada Trevor. Sean yang semula tidak mempedulikan Trevor dan sibuk dengan PSP-nya mulai tertarik saat Trevor melihat-lihat barang milik Max serta menceritakan kisahnya.
Salah satu barang peninggalan Max adalah novel lawas karya Jules Verne, Journey to The Center of The Earth, yang menceritakan perjalanan dalam pencarian inti bumi. Dalam buku tersebut terdapat beberapa catatan yang dibuat dengan tulisan tangan oleh Max yang menunjukkan bahwa dia berusaha mencari inti bumi tersebut. Saat itulah di layar komputer Trevor muncul titik ke empat di sebuah gunung berapi di Iceland. Trevor memutuskan untuk ke sana karena dia yakin dia bisa menelusuri jejak Max. Sean memaksa ikut karena ini menyangkut ayahnya.
Mereka mencari akademi yg dipimpin Prof. Sigurbjornsdottir (susah banget namanya, ini juga hasil nyontek di wiki) sesuai petunjuk dari catatan yang dibuat Max. Tapi ternyata akademi itu tidak ada dan mereka malah bertemu Hannah, anak Prof. Sigurbjornsdottir. Hannah mengatakan bahwa ayahnya, dan juga Max, adalah Vernian, orang-orang yang mempercayai bahwa yang ditulis oleh Jules Verne adalah nyata. Hannah bersedia menjadi pemandu untuk mendaki gunung.
Petualangan dimulai saat mereka terjebak di dalam gua saat menyelamatkan diri dari terjangan petir. Mereka memutuskan menyusuri gua tersebut untuk menemukan jalan keluar di sisi lainnya. Trevor nyaris terjun bebas ke jurang yang dalamnya ratusan meter. Menaiki troli di jalur tambang yang juga nyaris memakan nyawa mereka. Menemukan dinding gua yang penuh dengan ruby, emerald, bahkan diamond hingga mereka tidak menyadari bahwa tempat mereka berpijak sangat tipis. Mereka bertemu kawanan burung yang sayapnya bercahaya dan kemudian menemukan sebuah ruangan beserta catatan yang dibuat Max. Jalan keluar dari situ adalah menemukan geiser yang akan membawa mereka ke atas. Mereka harus berkejaran dengan waktu karena suhu makin tinggi. Saat menyeberangi danau mereka bertemu ikan-ikan pemangsa hingga Sean terpisah dari Trevor dan Hannah. Ternyata Sean ditemani oleh salah satu burung bercahaya yang menuntun jalannya menuju geiser. Trevor dan Hannah tiba di sungai tetapi Sean tidak berada di sana.
Sebagai pecinta film fantasi, saia cukup terhibur dengan film ini, meskipun ceritanya sangat standar. Scene and scoring paling bagus saat mereka bertemu dengan kawanan glowing birds. Karena nontonnya di kos dengan audio video player yang standar, efek 3D-nya jadi kurang berasa. Mungkin kalau nontonnya di Theater IMAX film ini jadi lebih keren. Meski dinosaurus dan ikan-ikan di danau kelihatan banget tempelannya. Efek 3D paling berasa saat ketiganya menaiki troli tambang dan menyusuri jalur yang seperti rollercoaster. Seru juga kalau dijadiin salah satu wahana di Dunia Fantasi yang pake layar 3D dan kursi yang bergerak-gerak mengikuti gambar. Lucu juga melihat Sean dan Trevor, dua orang dari dua generasi yang berbeda, terpana melihat Hannah. Dibandingkan dengan film Fraser sebelumnya, sekuel ketiga dari The Mummy, saia lebih terhibur dengan film ini. Apalagi dibandingkan film Josh Hutcherson sebelumnya, Bridge to Terrabithia, ya kerenan yang ini lah… .
Monday, November 3, 2008
Mystic River, Sungai yang Menjadi Saksi
MYSTIC RIVER
Director: Clint Eastwood
Scriptwriter: Brian Helgeland
Cast: Sean Penn, Tim Robbins, Kevin Bacon
2003
Diawali dengan kisah penculikan Dave Boyle saat dia bermain bersama Sean Devine dan Jimmy Markum di tahun 1975. Waktu itu mereka berumur sebelas tahun. Dave berhasil kabur empat hari kemudian dan kembali ke rumahnya, tetapi ada yang berubah.
Adegan kemudian melompat ke masa dua puluh lima tahun kemudian. Katie Markum, anak perempuan Jimmy, mengadakan pesta lajang bersama dua sahabatnya, Eve dan Diane, di beberapa bar pada malam terakhir sebelum dia merencanakan minggat ke Las Vegas dengan Brendan Harris. Itulah saat terakhir orang-orang melihat Katie dalam keadaan hidup. Mobilnya ditemukan di pinggir jalan dekat taman di pagi berikutnya dan Katie sendiri ditemukan tidak bernyawa di bawah layar drive-in di dalam taman dengan luka tembak dan bekas pukulan benda tumpul.
Di malam yang sama saat terbunuhnya Katie, Dave Boyle pulang ke rumah dengan baju berlumuran darah dan dada tersayat pisau. Dia mengaku kepada Celeste, istrinya, bahwa dia berkelahi dengan perampok dan dia berpikir mungkin dia membunuh orang itu.
Sean Devine ditugaskan menyelidiki kasus ini berpartner dengan atasannya, Whitey Powers. Jimmy pun tidak tinggal diam. Dia meminta ipar-iparnya, Savage bersaudara, untuk menanyai orang-orang yang mungkin terakhir kali melihat Katie.
Dave Boyle, salah satu yang berada di bar yang sama dengan Katie dan teman-temannya malam itu, memberikan keterangan yang banyak celah sehingga polisi mencurigainya. Celeste pun mencurigainya sebagai pembunuh Katie, hingga dia memilih meninggalkan Dave.
Setelah mengumpulkan kepingan-kepingan bukti, Sean dan Whitey berhasil memecahkan kasus ini. Saat Sean memberitahukan kabar ini kepada Jimmy dia nampak terkejut. “Kalau saja kau lebih cepat sedikit,” kata Jimmy pada Sean. Dia membunuh orang yang salah.
Dari hasil mengintip IMDB, film ini ternyata banyak dinominasikan dalam Academy Award tahun 2003 termasuk Best Picture dan berhasil meraih dua Piala Oscar untuk kategori Best Actor in a Leading Role (Sean Penn as Jimmy Markum) dan Best Actor in a Supporting Role (Tim Robbins as Dave Boyle). Mystic River juga memenangkan dan dinominasikan dalam puluhan penghargaan lainnya. Saia paling suka Marcia Gay Harden yang berperan sebagai Celeste. Meihat dia langsung mengingatkan saia dengan Mrs. Carmody di film The Mist (yaiyalah… wong dia juga yang memerankannya!) Peran sebagai istri yang resah dengan kebohongan suaminya menjadikannya orang yang gugup dan ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain, dimainkan dengan apik oleh Harden.
Film ini mengingatkan saia bahwa novel dengan judul sama yang diadaptasi untuk film ini telah teronggok berbulan-bulan di antara deretan buku di Book Corner. Karena penasaran ingin mengetahui kisah lengkapnya, saia berhasil mengeksekusi novel ini dalam waktu satu minggu.
MYSTIC RIVER (Terj.)
Dennis Lehane
Penerbit Serambi, Jakarta
639 halaman
Cetakan I, Februari 2007
Ada beberapa bagian dalam novel yang tidak digambarkan di film yang memperjelas cerita ini. Pertemanan Jimmy, Sean dan Dave berakhir setelah Dave kembali dari penculikan. Ada yang berubah dalam dirinya sehingga dia merasa orang-orang mulai menjauhinya. Sejak lolos dari penculikan Dave merasa bahwa ada orang lain dalam kepalanya, Anak Lelaki yang Lolos dari Serigala.
Ada masa lalu Jimmy saat dia berusia belasan tahun, menikahi Marita yang kemudian melahirkan Katie. Marita meninggal saat Jimmy berada di penjara karena dikhianati “Just” Ray Harris. Hal itu yang menyebabkan dia melarang Katie berhubungan dengan keluarga Harris. Beberapa tahun setelah keluar dari penjara dia menikahi Annabeth, satu-satunya anak perempuan keluarga Savage. Mereka dikaruniai Sara dan Nadine. Dia tinggal di lantai dua di sebuah flat yang dihuni Savage bersaudara. Dalam film digambarkan bahwa Jimmy dan Dave tinggal dalam flat yang sama padahal seharusnya tinggal sekitar enam blok dari flat Jimmy.
Pemecahan kasus oleh Sean dan Whitey lebih banyak diungkap dalam novel ini. Saat Whitey mencurigai Dave, Sean tidak sependapat. Bukti-bukti forensik menghubungkan mereka dengan kasus-kasus di masa lalu. Pistol yang digunakan untuk membunuh Katie adalah pistol yang sama yang digunakan dalam sebuah perampokan belasan tahun lalu. “Just” Ray Harris dicurigai dalam kasus ini tetapi tidak terbukti. Hingga kini dia tidak diketahui rimbanya sejak dua bulan setelah Jimmy keluar dari penjara. Dave dan Brendan sempat dimasukkan sel karena kasus ini tapi kemudian bebas karena tidak cukup bukti.
Mendekati akhir film ada adegan saat Sean menelepon Lauren dan begitu senang ketika wanita itu berbicara. Ternyata Lauren, istri Sean, sudah hampir setahun meninggalkan Sean untuk mengikuti pertunjukan teater berkeliling negeri di mana dia menjadi manajer panggung. Dia selalu menelepon Sean tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa sebuah kejadian di masa lalu akan berpengaruh ke perjalanan hidup berikutnya, seperti yang dikatakan Jimmy, “Kalau saja waktu itu aku ikut masuk ke dalam mobil, aku tidak akan punya cukup keberanian untuk menikahi Marita, aku tidak akan memiliki Katie, dan aku tidak akan kehilangan dia seperti saat ini.” Gak tepat seperti itu kata-katanya, tapi intinya ya gitu deh….
Saia lebih suka novelnya karena lebih banyak bercerita tentang usaha Sean dan Whitey untuk mengungkap pembunuhan Katie. Lagi-lagi, saia lebih menikmati novelnya daripada filmnya.
Catatan:
Entah apa yang menjadi alasan penerjemah mengganti nama Markum menjadi Marcus.
Alih bahasa yang terlalu kaku membuat kenikmatan saia melahap novel ini agak berkurang.
Kenapa dikasih judul Mystic River? Baca aja deh novelnya... ato tonton aja filmnya...
Director: Clint Eastwood
Scriptwriter: Brian Helgeland
Cast: Sean Penn, Tim Robbins, Kevin Bacon
2003
Diawali dengan kisah penculikan Dave Boyle saat dia bermain bersama Sean Devine dan Jimmy Markum di tahun 1975. Waktu itu mereka berumur sebelas tahun. Dave berhasil kabur empat hari kemudian dan kembali ke rumahnya, tetapi ada yang berubah.
Adegan kemudian melompat ke masa dua puluh lima tahun kemudian. Katie Markum, anak perempuan Jimmy, mengadakan pesta lajang bersama dua sahabatnya, Eve dan Diane, di beberapa bar pada malam terakhir sebelum dia merencanakan minggat ke Las Vegas dengan Brendan Harris. Itulah saat terakhir orang-orang melihat Katie dalam keadaan hidup. Mobilnya ditemukan di pinggir jalan dekat taman di pagi berikutnya dan Katie sendiri ditemukan tidak bernyawa di bawah layar drive-in di dalam taman dengan luka tembak dan bekas pukulan benda tumpul.
Di malam yang sama saat terbunuhnya Katie, Dave Boyle pulang ke rumah dengan baju berlumuran darah dan dada tersayat pisau. Dia mengaku kepada Celeste, istrinya, bahwa dia berkelahi dengan perampok dan dia berpikir mungkin dia membunuh orang itu.
Sean Devine ditugaskan menyelidiki kasus ini berpartner dengan atasannya, Whitey Powers. Jimmy pun tidak tinggal diam. Dia meminta ipar-iparnya, Savage bersaudara, untuk menanyai orang-orang yang mungkin terakhir kali melihat Katie.
Dave Boyle, salah satu yang berada di bar yang sama dengan Katie dan teman-temannya malam itu, memberikan keterangan yang banyak celah sehingga polisi mencurigainya. Celeste pun mencurigainya sebagai pembunuh Katie, hingga dia memilih meninggalkan Dave.
Setelah mengumpulkan kepingan-kepingan bukti, Sean dan Whitey berhasil memecahkan kasus ini. Saat Sean memberitahukan kabar ini kepada Jimmy dia nampak terkejut. “Kalau saja kau lebih cepat sedikit,” kata Jimmy pada Sean. Dia membunuh orang yang salah.
Dari hasil mengintip IMDB, film ini ternyata banyak dinominasikan dalam Academy Award tahun 2003 termasuk Best Picture dan berhasil meraih dua Piala Oscar untuk kategori Best Actor in a Leading Role (Sean Penn as Jimmy Markum) dan Best Actor in a Supporting Role (Tim Robbins as Dave Boyle). Mystic River juga memenangkan dan dinominasikan dalam puluhan penghargaan lainnya. Saia paling suka Marcia Gay Harden yang berperan sebagai Celeste. Meihat dia langsung mengingatkan saia dengan Mrs. Carmody di film The Mist (yaiyalah… wong dia juga yang memerankannya!) Peran sebagai istri yang resah dengan kebohongan suaminya menjadikannya orang yang gugup dan ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain, dimainkan dengan apik oleh Harden.
Film ini mengingatkan saia bahwa novel dengan judul sama yang diadaptasi untuk film ini telah teronggok berbulan-bulan di antara deretan buku di Book Corner. Karena penasaran ingin mengetahui kisah lengkapnya, saia berhasil mengeksekusi novel ini dalam waktu satu minggu.
MYSTIC RIVER (Terj.)
Dennis Lehane
Penerbit Serambi, Jakarta
639 halaman
Cetakan I, Februari 2007
Ada beberapa bagian dalam novel yang tidak digambarkan di film yang memperjelas cerita ini. Pertemanan Jimmy, Sean dan Dave berakhir setelah Dave kembali dari penculikan. Ada yang berubah dalam dirinya sehingga dia merasa orang-orang mulai menjauhinya. Sejak lolos dari penculikan Dave merasa bahwa ada orang lain dalam kepalanya, Anak Lelaki yang Lolos dari Serigala.
Ada masa lalu Jimmy saat dia berusia belasan tahun, menikahi Marita yang kemudian melahirkan Katie. Marita meninggal saat Jimmy berada di penjara karena dikhianati “Just” Ray Harris. Hal itu yang menyebabkan dia melarang Katie berhubungan dengan keluarga Harris. Beberapa tahun setelah keluar dari penjara dia menikahi Annabeth, satu-satunya anak perempuan keluarga Savage. Mereka dikaruniai Sara dan Nadine. Dia tinggal di lantai dua di sebuah flat yang dihuni Savage bersaudara. Dalam film digambarkan bahwa Jimmy dan Dave tinggal dalam flat yang sama padahal seharusnya tinggal sekitar enam blok dari flat Jimmy.
Pemecahan kasus oleh Sean dan Whitey lebih banyak diungkap dalam novel ini. Saat Whitey mencurigai Dave, Sean tidak sependapat. Bukti-bukti forensik menghubungkan mereka dengan kasus-kasus di masa lalu. Pistol yang digunakan untuk membunuh Katie adalah pistol yang sama yang digunakan dalam sebuah perampokan belasan tahun lalu. “Just” Ray Harris dicurigai dalam kasus ini tetapi tidak terbukti. Hingga kini dia tidak diketahui rimbanya sejak dua bulan setelah Jimmy keluar dari penjara. Dave dan Brendan sempat dimasukkan sel karena kasus ini tapi kemudian bebas karena tidak cukup bukti.
Mendekati akhir film ada adegan saat Sean menelepon Lauren dan begitu senang ketika wanita itu berbicara. Ternyata Lauren, istri Sean, sudah hampir setahun meninggalkan Sean untuk mengikuti pertunjukan teater berkeliling negeri di mana dia menjadi manajer panggung. Dia selalu menelepon Sean tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa sebuah kejadian di masa lalu akan berpengaruh ke perjalanan hidup berikutnya, seperti yang dikatakan Jimmy, “Kalau saja waktu itu aku ikut masuk ke dalam mobil, aku tidak akan punya cukup keberanian untuk menikahi Marita, aku tidak akan memiliki Katie, dan aku tidak akan kehilangan dia seperti saat ini.” Gak tepat seperti itu kata-katanya, tapi intinya ya gitu deh….
Saia lebih suka novelnya karena lebih banyak bercerita tentang usaha Sean dan Whitey untuk mengungkap pembunuhan Katie. Lagi-lagi, saia lebih menikmati novelnya daripada filmnya.
Catatan:
Entah apa yang menjadi alasan penerjemah mengganti nama Markum menjadi Marcus.
Alih bahasa yang terlalu kaku membuat kenikmatan saia melahap novel ini agak berkurang.
Kenapa dikasih judul Mystic River? Baca aja deh novelnya... ato tonton aja filmnya...
Thursday, October 30, 2008
Bawa Bekal Apa Hari Ini?
Semenjak didiagnosa menderita gejala tipes beberapa waktu lalu, setiap hari saia membawa bekal makanan yang tidak merangsang pencernaan. Tanpa cabai, tanpa merica. Benar-benar menu yang sangat tidak menarik untuk dinikmati. Tapi apa boleh buat... Untuk sementara ini saia terpaksa menghindari makanan yang pedas dan asam, yah paling tidak sampai minggu depan. Ini saia lakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, gejala demam tifoid itu datang lagi. Oh no...
Menu bekal harian tidak jauh-jauh dari sawi, labu siam, bayam, kacang panjang atau pokcoy. Lauknya pun hanya seputar ayam, ikan, udang atau telur ayam kampung. Ditambah susu bear brand, apel serta camilan seperti brownies, muffin, atau roti. Hehehe, lumayan banyak kan bekalnya? Maklumlah dalam masa pertumbuhan... eh penyembuhan.
Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada cabai dan merica dalam bumbu makanan yang menjadi bekal sarapan dan makan siang. Nasi tim, tumis labu siam plus wortel dan sedikit udang, ditambah ayam goreng. Enak?? Jelas lah... siapa dulu yang masak. Tapi ya itu tadi, ada yang kurang pas karena tidak ada cabai atau merica. Kali ini hanya ada tambahan apel dan dua potong wingko babat. Alhamdulillah susu bear brandnya sudah habis kemarin. Mudah-mudahan gak ada lagi teman yang bawain susu bear brand atau susu merek lain. It's enough...
Kadang sampai menelan ludah saat melihat teman di kubikel sebelah sedang makan nasi padang, soto ayam komplit dengan sambelnya, ayam bakar plus sambel juga... Hiks.
Paling sering membayangkan lezatnya ikan patin bakar bambu yang hanya bisa dinikmati di RM. Kalimantan, Cimanggis. Hemmm... Yummy!!!
Menu bekal harian tidak jauh-jauh dari sawi, labu siam, bayam, kacang panjang atau pokcoy. Lauknya pun hanya seputar ayam, ikan, udang atau telur ayam kampung. Ditambah susu bear brand, apel serta camilan seperti brownies, muffin, atau roti. Hehehe, lumayan banyak kan bekalnya? Maklumlah dalam masa pertumbuhan... eh penyembuhan.
Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada cabai dan merica dalam bumbu makanan yang menjadi bekal sarapan dan makan siang. Nasi tim, tumis labu siam plus wortel dan sedikit udang, ditambah ayam goreng. Enak?? Jelas lah... siapa dulu yang masak. Tapi ya itu tadi, ada yang kurang pas karena tidak ada cabai atau merica. Kali ini hanya ada tambahan apel dan dua potong wingko babat. Alhamdulillah susu bear brandnya sudah habis kemarin. Mudah-mudahan gak ada lagi teman yang bawain susu bear brand atau susu merek lain. It's enough...
Kadang sampai menelan ludah saat melihat teman di kubikel sebelah sedang makan nasi padang, soto ayam komplit dengan sambelnya, ayam bakar plus sambel juga... Hiks.
Paling sering membayangkan lezatnya ikan patin bakar bambu yang hanya bisa dinikmati di RM. Kalimantan, Cimanggis. Hemmm... Yummy!!!
Wednesday, October 29, 2008
Persiapan Jakarta Menghadapi Musim Penghujan
Beberapa hari ini Jakarta diguyur hujan. Kadang tengah malam, kadang pagi buta, kadang siang, kadang menjelang sore, dan sempat juga di saat jam pulang kerja. Seperti hari ini, pas bangun menjelang waktu shubuh, lagi-lagi ibu kota tercinta diguyur hujan yang cukup deras. Alhamdulillah pas jam berangkat kantor hujan sudah mereda dan menyisakan gerimis kecil yang masih memaksa saia mengenakan jas hujan.
Musim penghujan rupanya sudah mulai melakukan kunjungan rutinnya. Masih lekat dalam ingatan saia, banjir di awal tahun 2007 yang merendam sebagian besar wilayah Jakarta dan nyaris melumpuhkan semua aktivitas masyarakat.
Saat itu orang-orang yang berkuasa di negeri ini sibuk mencari kambing hitam (padahal itu kambing lagi pada asyik nongkrong di pasar kambing di Tanah Abang). Pejabat A bilang, banjir terjadi karena curah hujan yg terlalu tinggi dan kurangnya daerah resapan di kawasan hulu sehingga air dari sana mengalir semua tanpa hambatan ke hilir (Jakarta). Maksudnya sih mau menyalahkan Pemkot Bogor, tapi gak berani ngomong langsung tuh….
Pejabat B bilang, banjir karena pengaruh bulan purnama yang membuat air laut pasang jadi itu air balik lagi ke daratan. Kalau yang ini mau menyalahkan Tuhan kali yaaa, kan yang bikin bulan purnama cuma Tuhan yang bisa.
Kata Pejabat C, banjir karena siklus banjir 5 tahunan . Okelah 5 tahun yang lalu -2002- memang banjir bandang melanda Jakarta, tapi apa 5 tahun sebelumnya dan sebelumnya lagi ada banjir bandang juga?
Pejabat yang lain lagi bilang, banjir dikarenakan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) belum selesai. Yah, kita buktikan saja nanti kalau BKT sudah jadi, apa benar Jakarta tidak lagi kebanjiran.
Yang paling tragis itu komentar yang keluar dari mulut manis seorang pengusaha yang juga menjabat sebagai menteri dalam kabinet SBY. Waktu itu dia bilang supaya media tidak membesar-besarkan berita tentang banjir karena para pengungsi korban masih bisa tertawa. Yaiyalah..., apa sih yang bisa dilakukan rakyat kecil kecuali menertawakan nasib yang terus menerus tidak berpihak kpd mereka.
Ini hanya beberapa contoh dari komentar-komentar aneh yang keluar dari orang-orang yang berkuasa waktu itu.
Tapi kini ada yang sedikit berubah. Pemerintah DKI Jakarta dan Pemkot seluruh DKI Jakarta rupanya mulai berbenah diri menghadapi musim penghujan tahun ini. Beberapa minggu yang lalu Kali Grogol yang antara lain membelah Kel. Kemanggisan (yang melintas tidak jauh dari tempat saia tinggal) mulai dikeruk. Tadinya saia sempat pesimis, pasti sama saja dengan tahun kemarin saat kali tersebut dikeruk tetapi timbunan hasil kerukan tersebut teronggok di salah satu sisi kali dan lambat laun terkikis oleh hujan serta air yang mengalir di kali tersebut. Tapi ternyata dugaan saia salah. Hari berikutnya timbunan itu telah menghilang dari tempatnya dan Kali Grogol pun siap mengalirkan air di musim penghujan kali ini.
Hal yang sama juga saia lihat di Banjir Kanal Barat yang melintas di bawah Jembatan Jati Bunder, Tanah Abang, yang setiap sore saia lewati. Sungai itu nampak bersih dari timbunan sampah. Saia ingat awal tahun lalu daerah di pinggiran Banjir Kanal Barat di Tanah Abang hampir seluruhnya terendam air. Semoga hal itu tidak lagi terulang.
Di sebuah jalan kecil di Kemanggisan, Jalah H. Saili, yang setiap pagi saia lewati, beberapa waktu lalu di suatu pagi ada sesuatu yang menghambat para pengguna jalan ini. Di sebelah kanan dan kiri sepanjang jalan yang diapit dua selokan ini nampak berkarung-karung hasil pembersihan selokan. Esoknya karung-karung tersebut sudah tidak ada lagi dan Jalan H. Saili kembali lancar ditambah lagi selokan di kanan dan kirinya telah bersih dari sampah dan tanah.
Dari layar televisi saia sempat menyaksikan suatu liputan tentang pengerukan Kali Ciliwung di dekat Pintu Air Manggarai yang selalu dipenuhi timbunan sampah.
Yah, mudah-mudahan kerja keras Pemerintah ini didukung penuh oleh masyarakat. Selokan dan kali yang sudah bersih itu tidak lagi dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga sehingga debit air yang bertambah saat musim penghujan bisa disalurkan dengan baik oleh selokan-selokan dan kali-kali tersebut.
Musim penghujan rupanya sudah mulai melakukan kunjungan rutinnya. Masih lekat dalam ingatan saia, banjir di awal tahun 2007 yang merendam sebagian besar wilayah Jakarta dan nyaris melumpuhkan semua aktivitas masyarakat.
Saat itu orang-orang yang berkuasa di negeri ini sibuk mencari kambing hitam (padahal itu kambing lagi pada asyik nongkrong di pasar kambing di Tanah Abang). Pejabat A bilang, banjir terjadi karena curah hujan yg terlalu tinggi dan kurangnya daerah resapan di kawasan hulu sehingga air dari sana mengalir semua tanpa hambatan ke hilir (Jakarta). Maksudnya sih mau menyalahkan Pemkot Bogor, tapi gak berani ngomong langsung tuh….
Pejabat B bilang, banjir karena pengaruh bulan purnama yang membuat air laut pasang jadi itu air balik lagi ke daratan. Kalau yang ini mau menyalahkan Tuhan kali yaaa, kan yang bikin bulan purnama cuma Tuhan yang bisa.
Kata Pejabat C, banjir karena siklus banjir 5 tahunan . Okelah 5 tahun yang lalu -2002- memang banjir bandang melanda Jakarta, tapi apa 5 tahun sebelumnya dan sebelumnya lagi ada banjir bandang juga?
Pejabat yang lain lagi bilang, banjir dikarenakan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) belum selesai. Yah, kita buktikan saja nanti kalau BKT sudah jadi, apa benar Jakarta tidak lagi kebanjiran.
Yang paling tragis itu komentar yang keluar dari mulut manis seorang pengusaha yang juga menjabat sebagai menteri dalam kabinet SBY. Waktu itu dia bilang supaya media tidak membesar-besarkan berita tentang banjir karena para pengungsi korban masih bisa tertawa. Yaiyalah..., apa sih yang bisa dilakukan rakyat kecil kecuali menertawakan nasib yang terus menerus tidak berpihak kpd mereka.
Ini hanya beberapa contoh dari komentar-komentar aneh yang keluar dari orang-orang yang berkuasa waktu itu.
Tapi kini ada yang sedikit berubah. Pemerintah DKI Jakarta dan Pemkot seluruh DKI Jakarta rupanya mulai berbenah diri menghadapi musim penghujan tahun ini. Beberapa minggu yang lalu Kali Grogol yang antara lain membelah Kel. Kemanggisan (yang melintas tidak jauh dari tempat saia tinggal) mulai dikeruk. Tadinya saia sempat pesimis, pasti sama saja dengan tahun kemarin saat kali tersebut dikeruk tetapi timbunan hasil kerukan tersebut teronggok di salah satu sisi kali dan lambat laun terkikis oleh hujan serta air yang mengalir di kali tersebut. Tapi ternyata dugaan saia salah. Hari berikutnya timbunan itu telah menghilang dari tempatnya dan Kali Grogol pun siap mengalirkan air di musim penghujan kali ini.
Hal yang sama juga saia lihat di Banjir Kanal Barat yang melintas di bawah Jembatan Jati Bunder, Tanah Abang, yang setiap sore saia lewati. Sungai itu nampak bersih dari timbunan sampah. Saia ingat awal tahun lalu daerah di pinggiran Banjir Kanal Barat di Tanah Abang hampir seluruhnya terendam air. Semoga hal itu tidak lagi terulang.
Di sebuah jalan kecil di Kemanggisan, Jalah H. Saili, yang setiap pagi saia lewati, beberapa waktu lalu di suatu pagi ada sesuatu yang menghambat para pengguna jalan ini. Di sebelah kanan dan kiri sepanjang jalan yang diapit dua selokan ini nampak berkarung-karung hasil pembersihan selokan. Esoknya karung-karung tersebut sudah tidak ada lagi dan Jalan H. Saili kembali lancar ditambah lagi selokan di kanan dan kirinya telah bersih dari sampah dan tanah.
Dari layar televisi saia sempat menyaksikan suatu liputan tentang pengerukan Kali Ciliwung di dekat Pintu Air Manggarai yang selalu dipenuhi timbunan sampah.
Yah, mudah-mudahan kerja keras Pemerintah ini didukung penuh oleh masyarakat. Selokan dan kali yang sudah bersih itu tidak lagi dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga sehingga debit air yang bertambah saat musim penghujan bisa disalurkan dengan baik oleh selokan-selokan dan kali-kali tersebut.
Friday, October 24, 2008
Oleh-oleh dari Ladies Class Terakhir
Geli dan terharu. Itulah perasaan yang berkecamuk saat saia membuka lembar demi lembar kertas berukuran sekitar 7x7 cm. Ada dua puluh lembar totalnya. Lembaran-lembaran ini dimasukkan dalam amplop kecil yang di depannya bertuliskan nama saia. Inilah oleh-oleh dari kelas public speaking yang terakhir. Ladies class ini terpaksa dihentikan karena kebetulan arisan yang mendompleng acara ini sudah selesai dan kami mengantisipasi perkenan dari kepala kantor yang baru. Jadi sambil melihat situasi dan kondisi, kelas ini ditutup untuk waktu yang tidak ditentukan.
Dari kelas terakhir kemarin, Mbak Iis mempresentasikan tentang Ikebana, seni merangkai bunga dari Jepang. Kami juga praktek merangkai bunga, tapi bukan Ikebana karena Mbak Iis tidak sempat mempersiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan. Saat teman-teman heboh merangkai bunga, saia cuma bisa duduk manis melihat kehebohan mereka. Waktu itu masih lemah, letih dan lesu. Hari ke-2 kembali ke kantor setelah terkapar beberapa hari.Sesi berikutnya diisi permainan oleh Mbak Jessy. Permainan inilah yang akhirnya memberi kami oleh-oleh berupa amplop berisi lembaran-lembaran kecil. Inti dari permainan ini adalah bagaimana kesan kita terhadap setiap teman. Kesan itu kita tulis dalam lembaran kecil berukuran sekitar 7x7 cm. Satu lembar untuk satu orang. Kesan yang ditulis boleh lebih dari satu.Dengan berdebar-debar saia baca satu per satu lembaran-lembaran itu. Tebakan saia, pasti banyak yang menulis saia itu jutek, galak, tidak ramah, dan sejenisnya.
Ternyata...
jeng..jeng..jeng.. (scoring pake musiknya Howard Shore)
Setelah melalui proses editing, ada sebagian tidak ditampilkan, inilah hasilnya:
Rajin, pintar, kreatif = 12 suara (jadi terharu niy... qiqiqiqiqi...)
Mandiri, percaya diri = 3 suara (makin melayang deh...)
Pendiam = 6 suara (ini yang bikin ngakak... ternyata banyak juga yang menganggap saia pendiam)
Suka menyendiri = 3 suara (yang ini bener banget)
Galak, jutek, terlalu lugas = 5 suara (hahaha... gak separah yang saia sangka! Kirain sebagian besar bakal nulis ini)
Tidak setuju dengan hasil ini? Mau protes? Ayo.. ayo.. ayo... dibuka complaint center kok. Tapi tidak menjamin bakal ada perubahan signifikan. Lha wong dari sononya udah gitu... susah ngerubahnya.
Sayang sekali kelas public speaking ini mesti berhenti padahal saia merasakan banyak manfaat dari kelas ini. Mulai dari belajar ngomong di depan umum, belajar ngomong in English, sampai pengetahuan yang didapat dari para penyaji. Tiap penyaji dibebaskan memilih topik yang akan dibahas. Penyajiannya juga boleh memilih apakah akan disajikan dalam Bahasa atau in English. Mudah-mudahan kepala kantor yang baru mengizinkan kami mencuri sedikit jam kerja untuk kelas public speaking tiap dua minggu (pas cowok-cowok pada sholat Jumat) seperti yang selama ini berjalan. Yah, minimal pertemuan ini bisa menambah rasa percaya diri untuk berbicara di depan umum.
Dari kelas terakhir kemarin, Mbak Iis mempresentasikan tentang Ikebana, seni merangkai bunga dari Jepang. Kami juga praktek merangkai bunga, tapi bukan Ikebana karena Mbak Iis tidak sempat mempersiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan. Saat teman-teman heboh merangkai bunga, saia cuma bisa duduk manis melihat kehebohan mereka. Waktu itu masih lemah, letih dan lesu. Hari ke-2 kembali ke kantor setelah terkapar beberapa hari.Sesi berikutnya diisi permainan oleh Mbak Jessy. Permainan inilah yang akhirnya memberi kami oleh-oleh berupa amplop berisi lembaran-lembaran kecil. Inti dari permainan ini adalah bagaimana kesan kita terhadap setiap teman. Kesan itu kita tulis dalam lembaran kecil berukuran sekitar 7x7 cm. Satu lembar untuk satu orang. Kesan yang ditulis boleh lebih dari satu.Dengan berdebar-debar saia baca satu per satu lembaran-lembaran itu. Tebakan saia, pasti banyak yang menulis saia itu jutek, galak, tidak ramah, dan sejenisnya.
Ternyata...
jeng..jeng..jeng.. (scoring pake musiknya Howard Shore)
Setelah melalui proses editing, ada sebagian tidak ditampilkan, inilah hasilnya:
Rajin, pintar, kreatif = 12 suara (jadi terharu niy... qiqiqiqiqi...)
Mandiri, percaya diri = 3 suara (makin melayang deh...)
Pendiam = 6 suara (ini yang bikin ngakak... ternyata banyak juga yang menganggap saia pendiam)
Suka menyendiri = 3 suara (yang ini bener banget)
Galak, jutek, terlalu lugas = 5 suara (hahaha... gak separah yang saia sangka! Kirain sebagian besar bakal nulis ini)
Tidak setuju dengan hasil ini? Mau protes? Ayo.. ayo.. ayo... dibuka complaint center kok. Tapi tidak menjamin bakal ada perubahan signifikan. Lha wong dari sononya udah gitu... susah ngerubahnya.
Sayang sekali kelas public speaking ini mesti berhenti padahal saia merasakan banyak manfaat dari kelas ini. Mulai dari belajar ngomong di depan umum, belajar ngomong in English, sampai pengetahuan yang didapat dari para penyaji. Tiap penyaji dibebaskan memilih topik yang akan dibahas. Penyajiannya juga boleh memilih apakah akan disajikan dalam Bahasa atau in English. Mudah-mudahan kepala kantor yang baru mengizinkan kami mencuri sedikit jam kerja untuk kelas public speaking tiap dua minggu (pas cowok-cowok pada sholat Jumat) seperti yang selama ini berjalan. Yah, minimal pertemuan ini bisa menambah rasa percaya diri untuk berbicara di depan umum.
Wednesday, October 22, 2008
Typhoid Fever atau Demam Tifoid
Mungkin sebagian dari kita tidak familiar dengan mahluk ini, typhoid fever alias demam tifoid. Masyarakat awam mengenalnya dengan nama typhus atau tipes. Demam tifoid adalah demam yang timbul akibat infeksi akut di usus kecil yang disebabkan bakteri salmonella, yaitu salmonella typhi dan salmonella paratyphi. Bakteri ini masuk ke tubuh melalui makanan dan minuman yang tercemar. Gejala awalnya adalah demam yang sangat tinggi 39-40C yang biasanya terjadi sore hari, diikuti sakit kepala, lidah kotor, hilang napsu makan, mual dan muntah, bahkan diare. Uji laboratorium untuk mendiagnosa infeksi ini adalah melalui tes widal. Hasil di atas 1/200 merupakan indikasi positif bahwa penderita terpapar bakteri salmonella. Biasanya baru diketahui setelah minggu ke-2.
Pengobatan bagi penderita demam tifoid adalah istirahat dan diet. Maksud diet di sini adalah pengaturan makanan rendah serat agar kerja usus tidak berat. Penderita juga diberikan antibiotik seperti chloramphenicol, ampicillin/amoxicillin dan ciprofloxacin.
Untuk pencegahannya dapat dilakukan dengan peningkatan higienitas dan sanitasi, juga menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar salmonella. Pencegahan juga dapat dilakukan melalui vaksin yang diinaktivasi (secara injeksi) atau vaksin yang dilemahkan (secara oral). Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, dan hanya direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat di mana demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.
..::dari berbagai sumber::..
Minggu (12/10/08) pagi, bangun dengan kepala sangat berat. Akhirnya dengan sedikit memaksakan diri bangkit dari tempat tidur dan mandi. Sarapan seadanya. Hampir muntah karena perut mulai mual. Menjelang siang suhu badan mulai naik, pas dicek ternyata sudah lebih dari 38C. Sekitar jam 4 sore dengan sangat memaksakan diri mengeluarkan motor dari kandang menuju Slipi Jaya. Ke ATM. Ke Giant. Cuma beli Pocari Sweat (2), Susu Bear Brand (2), Sari Kacang Hijau (2), Buavita Jambu (2), Pisang cavendish dan Regal Marie Biscuits. Gemeteran. Keringat dingin. Limbung. Mampir beli bubur ayam.
Lidah hanya bisa mengecap satu rasa, pahit. Hanya berhasil memasukkan beberapa sendok bubur ayam hangat. Padahal ini bubur ayam yang enak banget, mana mahal pula. Itu bubur akhirnya dikirim ke tempat sampah. Minum sumagesic, obat penurun panas.
Tidur gelisah, tiap setengah jam terbangun. Suhu badan makin panas. Kompres air dingin. Minum Pocari Sweat. Lebih dari 39C. Sapu tangan yang buat ngompres kering. Kompres lagi.
Senin (13/10/08) kondisi badan masih tidak berubah. Panas. Lemas. Mual. Kepala berat. Ke kantor naik taksi. Minta tolong Mbak Iis mesanin bubur ayam di kantin, bubur doang dink... gak pake tambahan apa pun. Hanya makan beberapa sendok. Minum sumagesic lagi. Sms Rina minta tolong ditemenin ke dokter. Gak ada balasan. Ke masjid lantai 6. Tiduran. Suhu badan 39.6C. Masih belum ada balasan sms dari Rina. Sms Mbak Pit minta anter ke dokter. Telepon masuk. Dari Rina. Dia siap nganterin ke dokter. Lemas. Kepala berat. Sepuluh menit berlalu. Telepon masuk. Rina lagi. Ke ruangan ngambil tas. Ke ruangan Rina.
Naik angkot ke Bendungan Hilir. RSAL Dr. Mintohardjo. Daftar. Langsung ke Poliklinik Umum. Ketemu dr. Mulia. Ke laboratorium buat diambil sampel darah. Nunggu hasil tes darah. 1 jam berlalu. Tes darah rutin (leukosit, haemoglobin dll) sudah kelar. Tes widal belum. Hampir 2 jam akhirnya hasil tes widal kelar juga. Ketemu dr. Mulia lagi. ”Benar panasnya baru sehari?” Dr. Mulia seolah tak percaya sambil melihat hasil laboratorium. Typhusnya positif. 1/190. Tapi tidak menutup kemungkinan DBD (Demam Berdarah Dengue). Kalau dalam 2 hari masih mual, harus balik buat cek darah lagi. Ke apotik. Makan soto kwali di depan RS. Langsung balik ke kos naik taksi, Rina balik ke kantor.
Suhu badan tinggi. Kepala berat. Mual. Minum obat. Tidur. Sore makan bubur ayam (lagi...!). Lidah masih hanya bisa mengecap satu rasa, pahit. Esok paginya, Selasa (14/10/08) makan bubur ayam (lagi-lagi...!). Buat nasi tim. Masak sayur bayam bening. Goreng tempe. Makan siang. Teman-teman kantor datang bawa macem-macem. Susu Bear Brand. Apel. Pepaya. Bayam merah. Labu siam. Telur ayam kampung. Jus alpukat 2 gelas. Bubur kacang hijau. Suhu badan mulai turun, 38C.
Rabu (15/10/08) suhu badan mulai mendekati normal, 37.5C. Kepala masih berat. Perut masih mual. Lemas. Limbung. Mbak Puji bikinin sup krim. Hemmm, yummy... awalnya. Lama-kelamaan eneg juga. Sorenya suhu badan udah 37C. Masak air untuk mandi. Mandi dan keramas. Ah, segarnya... setelah berhari-hari gak mandi!
Kamis (16/10/08) ke kantor naik taksi. Cuma duduk di depan komputer seharian. Kepala masih berat. Perut masih mual. Pulang kantor naik taksi bareng Rina ma Bu Lia.
Jumat (17/10/08) masih seperti hari sebelumnya.
Sabtu (18/10/08) malam Ketty datang. Hari Minggu pagi dia beliin bubur ayam buat sarapan. Nyuciin baju juga, hehehe... Minggu sore ke Giant, belanja sayuran, telur ayam kampung, tahu, udang dan ikan. Juga susu Bear Brand. Naik ojek bolak balik.
Pengobatan bagi penderita demam tifoid adalah istirahat dan diet. Maksud diet di sini adalah pengaturan makanan rendah serat agar kerja usus tidak berat. Penderita juga diberikan antibiotik seperti chloramphenicol, ampicillin/amoxicillin dan ciprofloxacin.
Untuk pencegahannya dapat dilakukan dengan peningkatan higienitas dan sanitasi, juga menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar salmonella. Pencegahan juga dapat dilakukan melalui vaksin yang diinaktivasi (secara injeksi) atau vaksin yang dilemahkan (secara oral). Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, dan hanya direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat di mana demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.
..::dari berbagai sumber::..
Minggu (12/10/08) pagi, bangun dengan kepala sangat berat. Akhirnya dengan sedikit memaksakan diri bangkit dari tempat tidur dan mandi. Sarapan seadanya. Hampir muntah karena perut mulai mual. Menjelang siang suhu badan mulai naik, pas dicek ternyata sudah lebih dari 38C. Sekitar jam 4 sore dengan sangat memaksakan diri mengeluarkan motor dari kandang menuju Slipi Jaya. Ke ATM. Ke Giant. Cuma beli Pocari Sweat (2), Susu Bear Brand (2), Sari Kacang Hijau (2), Buavita Jambu (2), Pisang cavendish dan Regal Marie Biscuits. Gemeteran. Keringat dingin. Limbung. Mampir beli bubur ayam.
Lidah hanya bisa mengecap satu rasa, pahit. Hanya berhasil memasukkan beberapa sendok bubur ayam hangat. Padahal ini bubur ayam yang enak banget, mana mahal pula. Itu bubur akhirnya dikirim ke tempat sampah. Minum sumagesic, obat penurun panas.
Tidur gelisah, tiap setengah jam terbangun. Suhu badan makin panas. Kompres air dingin. Minum Pocari Sweat. Lebih dari 39C. Sapu tangan yang buat ngompres kering. Kompres lagi.
Senin (13/10/08) kondisi badan masih tidak berubah. Panas. Lemas. Mual. Kepala berat. Ke kantor naik taksi. Minta tolong Mbak Iis mesanin bubur ayam di kantin, bubur doang dink... gak pake tambahan apa pun. Hanya makan beberapa sendok. Minum sumagesic lagi. Sms Rina minta tolong ditemenin ke dokter. Gak ada balasan. Ke masjid lantai 6. Tiduran. Suhu badan 39.6C. Masih belum ada balasan sms dari Rina. Sms Mbak Pit minta anter ke dokter. Telepon masuk. Dari Rina. Dia siap nganterin ke dokter. Lemas. Kepala berat. Sepuluh menit berlalu. Telepon masuk. Rina lagi. Ke ruangan ngambil tas. Ke ruangan Rina.
Naik angkot ke Bendungan Hilir. RSAL Dr. Mintohardjo. Daftar. Langsung ke Poliklinik Umum. Ketemu dr. Mulia. Ke laboratorium buat diambil sampel darah. Nunggu hasil tes darah. 1 jam berlalu. Tes darah rutin (leukosit, haemoglobin dll) sudah kelar. Tes widal belum. Hampir 2 jam akhirnya hasil tes widal kelar juga. Ketemu dr. Mulia lagi. ”Benar panasnya baru sehari?” Dr. Mulia seolah tak percaya sambil melihat hasil laboratorium. Typhusnya positif. 1/190. Tapi tidak menutup kemungkinan DBD (Demam Berdarah Dengue). Kalau dalam 2 hari masih mual, harus balik buat cek darah lagi. Ke apotik. Makan soto kwali di depan RS. Langsung balik ke kos naik taksi, Rina balik ke kantor.
Suhu badan tinggi. Kepala berat. Mual. Minum obat. Tidur. Sore makan bubur ayam (lagi...!). Lidah masih hanya bisa mengecap satu rasa, pahit. Esok paginya, Selasa (14/10/08) makan bubur ayam (lagi-lagi...!). Buat nasi tim. Masak sayur bayam bening. Goreng tempe. Makan siang. Teman-teman kantor datang bawa macem-macem. Susu Bear Brand. Apel. Pepaya. Bayam merah. Labu siam. Telur ayam kampung. Jus alpukat 2 gelas. Bubur kacang hijau. Suhu badan mulai turun, 38C.
Rabu (15/10/08) suhu badan mulai mendekati normal, 37.5C. Kepala masih berat. Perut masih mual. Lemas. Limbung. Mbak Puji bikinin sup krim. Hemmm, yummy... awalnya. Lama-kelamaan eneg juga. Sorenya suhu badan udah 37C. Masak air untuk mandi. Mandi dan keramas. Ah, segarnya... setelah berhari-hari gak mandi!
Kamis (16/10/08) ke kantor naik taksi. Cuma duduk di depan komputer seharian. Kepala masih berat. Perut masih mual. Pulang kantor naik taksi bareng Rina ma Bu Lia.
Jumat (17/10/08) masih seperti hari sebelumnya.
Sabtu (18/10/08) malam Ketty datang. Hari Minggu pagi dia beliin bubur ayam buat sarapan. Nyuciin baju juga, hehehe... Minggu sore ke Giant, belanja sayuran, telur ayam kampung, tahu, udang dan ikan. Juga susu Bear Brand. Naik ojek bolak balik.
Minggu ini sudah lebih baik. Kepala udah gak berat lagi. Perut udah gak mual. Lidah sudah mengecap rasa manis dan asin. Tapi kalo berdiri lama dikit udah langsung capek. Jalan dikit udah ngos-ngosan. Belum berani naik tangga dari lantai 1 ke lantai 4 seperti hari-hari normal. Ke masjid juga masih naik lift. Belum berani bawa motor. Baru kemarin mulai naik angkot pergi dan pulang kantor. Ngos-ngosan juga. Tapi gak boleh dimanja terus-terusan. Boros kalo tiap hari naik taksi, 50 ribu melayang! Lagi pula kalo gak cepet pulih bakal terus minum susu Bear Brand, hal yang dengan sangat terpaksa dilakukan, meskipun tiap minum harus pake sedotan en makan sesuatu buat ngilangin rasa eneg.
Kemarin lusa ada komentar dari Pak Nanang, ”Belum kedengeran suara tawa khasnya, berarti belum sembuh dong...” Hehehe, bisa aja si bos ini.
Yang bikin heran, kenapa saia terinfeksi salmonella. Dari mana? Padahal selama ini selalu berusaha hidup sehat dan bersih. Tiap hari masak sendiri. Hampir gak pernah jajan. Higienitas jelas lebih terjaga. Rajin cuci tangan pula. Tapi tetep aja itu bakteri masuk ke tubuh. Yah, mudah-mudahan ini yang terakhir deh. Jangan lagi-lagi sakit kek gini. Merana. Apalagi anak kost. Semuanya mesti dilakukan sendiri. Hiks.
Kemarin lusa ada komentar dari Pak Nanang, ”Belum kedengeran suara tawa khasnya, berarti belum sembuh dong...” Hehehe, bisa aja si bos ini.
Yang bikin heran, kenapa saia terinfeksi salmonella. Dari mana? Padahal selama ini selalu berusaha hidup sehat dan bersih. Tiap hari masak sendiri. Hampir gak pernah jajan. Higienitas jelas lebih terjaga. Rajin cuci tangan pula. Tapi tetep aja itu bakteri masuk ke tubuh. Yah, mudah-mudahan ini yang terakhir deh. Jangan lagi-lagi sakit kek gini. Merana. Apalagi anak kost. Semuanya mesti dilakukan sendiri. Hiks.
Wednesday, October 15, 2008
Pengumuman Gak Penting...
Yg punya blog lg terkapar, smntr wkt blog ini bakal sepi tulisan...
Terima kasih buat yg setia brkunjung ksni.
Terima kasih buat yg setia brkunjung ksni.
Friday, October 10, 2008
Emas VOC, benarkah ada di sini?
Rahasia Meede: Misteri Harta Karun VOC
E. S. Ito
Penerbit Hikmah (Mizan Pustaka)
Cetakan I, September 2007
671 hal.
Batu Noah Gultom, jurnalis muda dari Indonesiaraya, ditugaskan terbang ke pedalaman Papua untuk memastikan identitas jenazah yang disinyalir sebagai korban keempat dari rangkaian pembunuhan yang mengusung Tujuh Dosa Sosial yang dicetuskan Mahatma Gandhi. Semua korban pembunuhan ditemukan di kota yang berawalan huruf B, dan kali ini adalah Boven Digoel.
Robert, Rafael, dan Erick adalah tiga peneliti yang dikirim sebuah yayasan di Belanda, De Oud Batavie, untuk menelusuri jejak De Ondergronde Stad, kota bawah tanah yang dibangun pada masa keemasan VOC di Jakarta. Mereka memulainya dari kota tua hingga akhirnya sebuah petunjuk menuntun mereka untuk melakukan pencarian dari Museum Sejarah Jakarta alias Museum Fatahillah. Di bawah museum ini ketiganya bukan menemukan kota yang mereka cari tetapi sebuah terowongan yang mengarah ke utara dan selatan. Dugaan mereka, ujung utara terowongan ini adalah pelabuhan Sunda Kelapa dan ujung selatan adalah Istana Negara.
Cathleen Zwinckel datang dari Amsterdam ke Jakarta untuk melakukan penelitian yang menunjang tesis yang sedang digarapnya mengenai ekonomi kolonial. Oleh Prof. Huygens, pembimbingnya di Univ. Leiden, dia dititipkan di Center for Strategic Affair (CSA) yang dipimpin Suryo Lelono. Dia dan Lusi, koleganya di CSA, berjalan-jalan ke Gereja Sion dan melanjutkan perjalanan mereka ke Sunda Kelapa. Itulah saat terakhir mereka terlihat di Jakarta. Saat dia kembali menginjak tanah, dia berada di antara keramaian upacara Cuci Parigi entah di mana. Upacara yang seharusnya dilakukan setiap lima tahun tetapi kali ini dilangsungkan lebih cepat karena sesosok mayat ditemukan di sumur itu, korban kelima pembunuhan Gandhi.
Kalek alias Attar Malaka, penggerak Anarki Nusantara yang dituduh menjadi dalang peristiwa berdarah di tahun 2002. Dia dikabarkan meninggal dunia dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Tapi dia terlihat segar bugar saat menemui Cathleen di Banda Neira.
Di antara koleganya dia dikenal dengan nama Lalat Merah. Suryo Lelono memanggilnya untuk mengendus jejak Cathleen dan Lusi. Roni Damhuri namanya. Seorang agen intelijen muda dari satuan Satya Yudha Kopassus. Dia ditugaskan untuk meringkus Kalek, sahabatnya saat mengenyam pendidikan di SMA Taruna Nusantara. Lalat Merah alias Roni Damhuri harus memilih salah satu di antara keduanya saat menemukan mereka, Cathleen atau Kalek.
Guru Uban, seorang pendongeng sejarah yang bisa membuat seluruh isi kelas terpana mendengarkan kisah-kisah masa lalu yang keluar dari bibirnya. Kisah-kisah yang biasanya mengantarkan orang ke alam mimpi karena terkantuk-kantuk. Tapi caranya berbeda. Ini karena dia prihatin dengan anak-anak didiknya.
Sebuah thriller sejarah yang menggabungkan fakta dan fiksi, mirip dengan gaya Dan Brown saat menulis Angles and Demons, yang cukup membuat penasaran untuk terus membuka lembar demi lembar hingga halaman terakhir. Awalnya agak membingungkan karena cerita terpenggal-penggal menyorot beberapa tokoh di dalamnya. Cerita menjadi semakin menarik saat identitas tokoh-tokoh ini mulai terkuak dan terkait. Di lengkapi dengan data-data seputar dokumen yang hilang dari Konferensi Meja Bundar serta tabir yang menyelimuti disetujuinya kompensasi yang sangat tidak masuk akal dari konferensi ini oleh delegasi Moh. Hatta, meski data-data tersebut masih diperdebatkan. Puncaknya adalah saat terkuak rahasia Meede, putri Pieter Erberveld Jr., yang tidak diketahui nasibnya setelah ayahnya tewas. Pieter Erberveld Jr. adalah anak dari Pieter Erberveld, salah satu anggota Monsterverbond, kelompok yang disinyalir mengendalikan VOC karena memegang monopoli perdagangan emas.
Banyak sekali cerita sejarah yang baru saia ketahui setelah membaca novel ini. Sepertinya E.S. Ito melakukan penelitian yang sangat detail tentang simpang siur keberadaan dokumen yang hilang itu. Yah, meski terkadang merasa bosan saat menemukan bagian yang membahas sejarah kolonial, saia cukup terhibur dengan novel ini. Kita tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, meski beberapa tebakan saia ternyata benar, hingga akhir kisah ini. Satu lagi yang menarik, penggambaran suku di pedalaman Mentawai serta adat yang masih mereka pegang erat, upacara Cuci Parigi di Banda, indahnya alam Papua dan Banda, membuat kita semakin mencintai Indonesia. Tetapi sindiran-sindiran tentang sifat orang-orang Indonesia yang bodoh, pemalas, gampang disuap, dll. membuat kita miris karena memang itulah kondisi yang sebenarnya.
Peta yang disertakan di halaman awal menurut saia kurang memadai untuk mengikuti pencarian harta karun ini. Saia suka membaca peta jadi apabila ada novel yang menyertakan gambar peta saia selalu mengamati gambar tersebut apabila dalam novel disebutkan tempat yang baru. Seperti saat saia membaca Angels and Demons – Dan Brown, Trilogi The Lord of The Ring – J. R. R. Tolkien, Eragon dan Eldest (dua bagian pertama dari Trilogi Inheritance) – Christopher Paolini. Kebiasaan ini tidak terulang saat membaca Rahasia Meede. Penggambaran tentang bangunan-bangunan di kota tua juga kurang memberikan pencerahan bagi saia yang hanya sepintas mengetahui kondisi di sana.
Overall, novel ini memperoleh nilai 7.5/10. Berhubung saia belum membaca karya E. S. Ito sebelumnya, Negara Kelima, saia tidak bisa membandingkan kedua karya tersebut.
Catatan: seandainya emas peninggalan VOC itu benar-benar ada, mungkin bisa membantu negeri ini terhindar dari pengaruh krisis ekonomi global saat ini, bahkan menjadi negeri terkuat di dunia karena mempunyai cadangan emas paling banyak, hehehe.... (harga emas dunia naik nih, gara-gara pasar modal dan pasar uang sedang rontok karena imbas krisis)
E. S. Ito
Penerbit Hikmah (Mizan Pustaka)
Cetakan I, September 2007
671 hal.
Batu Noah Gultom, jurnalis muda dari Indonesiaraya, ditugaskan terbang ke pedalaman Papua untuk memastikan identitas jenazah yang disinyalir sebagai korban keempat dari rangkaian pembunuhan yang mengusung Tujuh Dosa Sosial yang dicetuskan Mahatma Gandhi. Semua korban pembunuhan ditemukan di kota yang berawalan huruf B, dan kali ini adalah Boven Digoel.
Robert, Rafael, dan Erick adalah tiga peneliti yang dikirim sebuah yayasan di Belanda, De Oud Batavie, untuk menelusuri jejak De Ondergronde Stad, kota bawah tanah yang dibangun pada masa keemasan VOC di Jakarta. Mereka memulainya dari kota tua hingga akhirnya sebuah petunjuk menuntun mereka untuk melakukan pencarian dari Museum Sejarah Jakarta alias Museum Fatahillah. Di bawah museum ini ketiganya bukan menemukan kota yang mereka cari tetapi sebuah terowongan yang mengarah ke utara dan selatan. Dugaan mereka, ujung utara terowongan ini adalah pelabuhan Sunda Kelapa dan ujung selatan adalah Istana Negara.
Cathleen Zwinckel datang dari Amsterdam ke Jakarta untuk melakukan penelitian yang menunjang tesis yang sedang digarapnya mengenai ekonomi kolonial. Oleh Prof. Huygens, pembimbingnya di Univ. Leiden, dia dititipkan di Center for Strategic Affair (CSA) yang dipimpin Suryo Lelono. Dia dan Lusi, koleganya di CSA, berjalan-jalan ke Gereja Sion dan melanjutkan perjalanan mereka ke Sunda Kelapa. Itulah saat terakhir mereka terlihat di Jakarta. Saat dia kembali menginjak tanah, dia berada di antara keramaian upacara Cuci Parigi entah di mana. Upacara yang seharusnya dilakukan setiap lima tahun tetapi kali ini dilangsungkan lebih cepat karena sesosok mayat ditemukan di sumur itu, korban kelima pembunuhan Gandhi.
Kalek alias Attar Malaka, penggerak Anarki Nusantara yang dituduh menjadi dalang peristiwa berdarah di tahun 2002. Dia dikabarkan meninggal dunia dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Tapi dia terlihat segar bugar saat menemui Cathleen di Banda Neira.
Di antara koleganya dia dikenal dengan nama Lalat Merah. Suryo Lelono memanggilnya untuk mengendus jejak Cathleen dan Lusi. Roni Damhuri namanya. Seorang agen intelijen muda dari satuan Satya Yudha Kopassus. Dia ditugaskan untuk meringkus Kalek, sahabatnya saat mengenyam pendidikan di SMA Taruna Nusantara. Lalat Merah alias Roni Damhuri harus memilih salah satu di antara keduanya saat menemukan mereka, Cathleen atau Kalek.
Guru Uban, seorang pendongeng sejarah yang bisa membuat seluruh isi kelas terpana mendengarkan kisah-kisah masa lalu yang keluar dari bibirnya. Kisah-kisah yang biasanya mengantarkan orang ke alam mimpi karena terkantuk-kantuk. Tapi caranya berbeda. Ini karena dia prihatin dengan anak-anak didiknya.
Sebuah thriller sejarah yang menggabungkan fakta dan fiksi, mirip dengan gaya Dan Brown saat menulis Angles and Demons, yang cukup membuat penasaran untuk terus membuka lembar demi lembar hingga halaman terakhir. Awalnya agak membingungkan karena cerita terpenggal-penggal menyorot beberapa tokoh di dalamnya. Cerita menjadi semakin menarik saat identitas tokoh-tokoh ini mulai terkuak dan terkait. Di lengkapi dengan data-data seputar dokumen yang hilang dari Konferensi Meja Bundar serta tabir yang menyelimuti disetujuinya kompensasi yang sangat tidak masuk akal dari konferensi ini oleh delegasi Moh. Hatta, meski data-data tersebut masih diperdebatkan. Puncaknya adalah saat terkuak rahasia Meede, putri Pieter Erberveld Jr., yang tidak diketahui nasibnya setelah ayahnya tewas. Pieter Erberveld Jr. adalah anak dari Pieter Erberveld, salah satu anggota Monsterverbond, kelompok yang disinyalir mengendalikan VOC karena memegang monopoli perdagangan emas.
Banyak sekali cerita sejarah yang baru saia ketahui setelah membaca novel ini. Sepertinya E.S. Ito melakukan penelitian yang sangat detail tentang simpang siur keberadaan dokumen yang hilang itu. Yah, meski terkadang merasa bosan saat menemukan bagian yang membahas sejarah kolonial, saia cukup terhibur dengan novel ini. Kita tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, meski beberapa tebakan saia ternyata benar, hingga akhir kisah ini. Satu lagi yang menarik, penggambaran suku di pedalaman Mentawai serta adat yang masih mereka pegang erat, upacara Cuci Parigi di Banda, indahnya alam Papua dan Banda, membuat kita semakin mencintai Indonesia. Tetapi sindiran-sindiran tentang sifat orang-orang Indonesia yang bodoh, pemalas, gampang disuap, dll. membuat kita miris karena memang itulah kondisi yang sebenarnya.
Peta yang disertakan di halaman awal menurut saia kurang memadai untuk mengikuti pencarian harta karun ini. Saia suka membaca peta jadi apabila ada novel yang menyertakan gambar peta saia selalu mengamati gambar tersebut apabila dalam novel disebutkan tempat yang baru. Seperti saat saia membaca Angels and Demons – Dan Brown, Trilogi The Lord of The Ring – J. R. R. Tolkien, Eragon dan Eldest (dua bagian pertama dari Trilogi Inheritance) – Christopher Paolini. Kebiasaan ini tidak terulang saat membaca Rahasia Meede. Penggambaran tentang bangunan-bangunan di kota tua juga kurang memberikan pencerahan bagi saia yang hanya sepintas mengetahui kondisi di sana.
Overall, novel ini memperoleh nilai 7.5/10. Berhubung saia belum membaca karya E. S. Ito sebelumnya, Negara Kelima, saia tidak bisa membandingkan kedua karya tersebut.
Catatan: seandainya emas peninggalan VOC itu benar-benar ada, mungkin bisa membantu negeri ini terhindar dari pengaruh krisis ekonomi global saat ini, bahkan menjadi negeri terkuat di dunia karena mempunyai cadangan emas paling banyak, hehehe.... (harga emas dunia naik nih, gara-gara pasar modal dan pasar uang sedang rontok karena imbas krisis)
Wednesday, October 8, 2008
Yang Beda di Lebaran Kali Ini
- Perjuangan mencari tiket kereta api -
Beberapa hari menjelang Ramadhan, semua media massa mengabarkan sulitnya mencari tiket kereta api untuk mudik Lebaran khususnya untuk tanggal-tanggal yang diperkirakan menjadi puncak arus mudik. Tahun lalu (2007), tiga puluh hari sebelum hari keberangkatan, saia ke Stasiun Tanah Abang pagi-pagi setelah setor sidik jari di kantor. Sempat kaget waktu lihat antrian yang mengular hingga lebih dari lima belas meter tapi terpaksa ikut ngantri juga. Padahal tahun sebelumnya (2006) tidak ada antrian mengular seperti itu. Tidak sampai sepuluh orang yang mengantri di depan loket pemesanan tiket Stasiun Tanah Abang. Mungkin karena orang-orang sudah tahu kalau tiket dapat dibeli di beberapa stasiun yang on-line. Sekitar sepuluh menit kemudian saia bertemu dengan teman kantor yang lebih dulu mengantri beberapa meter di depan. Dia bersedia membelikan tiket untuk saia dan saia langsung balik ke kantor, hehehe…
Alhamdulillah berhasil dapat tiket meski terpaksa pulang cepat dari kantor saat hari keberangkatan karena jadwal kereta jam setengah sebelas pagi.
Akhirnya, daripada kecewa karena sudah capek antri tetapi kehabisan tiket, saia menghubungi orang-orang di rumah untuk mencarikan tiket dari Stasiun Tegal. Beberapa waktu lalu saia juga pernah memesan dari sana saat musim liburan. Alhamdulillah, tetangga Om Ashari yang berdinas di Stasiun Tegal berhasil mendapatkan tiket Argo Sindoro untuk saia dan Taksaka Pagi untuk Ketty. Mungkin kongkalikong seperti ini salah satu penyebab tiket kereta ludes dalam waktu kurang dari sepuluh menit setelah loket pemesanan dibuka. Ah, peduli amat… yang penting bisa mudik dengan tenang, hehehe….
- Nasi kuning atau nasi merah? –
Idul Fitri 1429H jatuh pada 1 Oktober 2008. Ini bertepatan dengan hari lahir Adi, adik saia yang paling ganteng karena dia satu-satunya saudara laki-laki saia. Kami (baca: ibu dan saia) memutuskan untuk membuat nasi kuning di lebaran kali ini. Tapi ibu juga pingin tetep ada opor ayam yang jadi ciri khas lebaran. Akhirnya opor ayam (dengan lontong yang dibeli di pasar) dijadikan menu buku puasa di hari terakhir Ramadhan.
Sebelum subuh Idul Fitri semua lauk pelengkap nasi kuning sudah siap, tinggal nasinya yang belum di masak. Ini sih bagian ibu, saia sih gak berani masaknya. Waktu nasi mulai diaron, ibu bilang ini warnanya terlalu kuning. Gak papa lah, kata saia. Ternyata, setelah nasi matang warnanya berubah jadi merah! Mirip nasi beras merah gitu. Ibu langsung sedih gitu. Pas saia icip-icip, rasanya lezat kok… sama seperti nasi kuning yang biasa ibu bikin.
- Anak-anak “Laskar Pelangi” -
Ini bukan anak-anak dari film Laskar Pelangi yang dirilis beberapa hari sebelum lebaran. Ini adalah sebutan yang diberikan Arin untuk anak-anak di lingkungan rumah kami. Baru empat belas bulan keluarga kami tinggal di daerah ini, Gang Pelangi. Meski namanya gang, jalan di depan rumah cukup untuk lewat dua mobil, sudah diaspal hotmix pula! Hanya ada enam rumah di gang ini, sisanya masih berupa kapling tanah. Nah, dari rumah yang tidak banyak inilah terkumpul anak-anak Laskar Pelangi. Ada Lia, anak laki-laki ini baru kelas 2 SD tapi badannya gede banget. Icham, seumuran Lia dengan badan yang lebih gendut tapi lebih pendek. Kemudian ada Adi dan Atmi, kedua kakak beradik ini sempat membuat Adi (adik saia) terpana karena warna kulitnya yang terbakar matahari. Yang terakhir adalah Ozan, baru tujuh bulan tetapi jadi kesayangan anak-anak di sini karena gendut, lucu, dan bikin gemes. Personil temporer Laskar Pelangi adalah Hazza, keponakan saia yang tinggal di Purwakarta dan hanya mudik dua kali dalam setahun.
Beberapa kali Hazza dimarahi oleh ibunya (Mbak Mila) karena main-main dengan korek api. Selidik punya selidik, ternyata anak-anak Laskar Pelangi selalu “njajan” korek api di warung karena mereka dilarang main petasan. Korek api itu dinyalakan kemudian dilempar ke atas layaknya petasan. Haduhhhhh… serem amat yak mainan anak-anak ini!
- Hotel Dewadaru -
Di hari ke-3 lebaran bapak dan saia sepakat membawa ibu ke tempat ini. Sejak seminggu sebelum lebaran ibu terpapar virus influenza, batuk dan pilek. Batuk ibu semakin menjadi saat mendekati lebaran. Waktu itu saia sudah melarang ibu untuk masak macem-macem (nasi kuning dan kawan-kawan) melihat kondisi beliau yang makin turun. Mungkin yang namanya ibu, pasti pinginnya masak macem-macem saat anak-anak ngumpul semua. Akhirnya ya itu tadi, nasi kuning or nasi merah berhasil dibuat. Tapi saat lebaran tiba kondisi ibu makin drop. Kalau biasanya keluarga besar dari bapak berkumpul di rumah Mbah Jaleha sekitar jam 10an, lebaran kali ini kami tidak bisa menghadirinya. Kami baru ke rumah Mbah sore harinya, itu pun Arin tidak ikut karena menemani ibu di rumah. Esoknya kondisi ibu bukannya membaik tetapi malah makin turun karena beliau bersikeras menemani tamu-tamu yang datang. Saia meminta ibu untuk ke rumah sakit tapi beliau bilang gak apa-apa kok. Kata Arin, ibu udah mulai sesak napas, asmanya kambuh. Beliau juga kurang istirahat karena rumah yang selalu rame. Ditambah lagi nafsu makannya turun. Hari ke-3 lebaran, suhu badan ibu naik. Saia diminta membalur punggung beliau dengan minyak kayu putih yang dicampur jeruk nipis dan bawang merah. Ibu berkeras tidak mau ke rumah sakit meski akhirnya beliau menyerah waktu kami memaksa dan menyiapkan kebutuhan selama di rumah sakit. Dewadaru adalah ruangan tempat ibu dirawat. Alhamdulillah ibu diizinkan pulang kemarin sore setelah menginap di Dewadaru selama empat malam. Tetapi beliau harus bedrest selama beberapa minggu.
- Berita mengejutkan di TransCab –
Hampir jam 12 siang, sekitar 30 menit lebih lambat dari jadwal yang tercantum dalam tiket, Argo Sindoro yang saia naiki sampai juga di Stasiun Gambir. Saia langsung menuju halte di Medan Merdeka Timur untuk mencari taksi. Alhamdulillah belum satu menit saia berdiri di halte ada si orens TransCab kosong yang melintas. Ini kali kedua saia naik TransCab, taxi with tv cable. TV dinyalakan. Jempol saia berhenti menekan remote control ketika TV menampilkan saluran TVOne yang sedang mewartakan penghentian transaksi di Bursa Efek Indonesia mulai pukul 11.06 WIB hari ini karena IHSG terjun bebas lebih dari 10% hingga nyaris mendekati level 1.450! Saia terpana mengikuti berita ini. Kabarnya hal ini dikarenakan para investor asing melepaskan sahamnya karena khawatir dengan krisis keuangan yang melanda Amerika dan berimbas ke negara lainnya. Ah, akankan resesi yang dulu sempat melanda negeri ini akan terulang? I hope not.
Gara-gara serius melihat berita itu saia baru menyadari, sekitar 200 meter sebelum sampai kos, bahwa TransCab tidak lagi menggunakan tarif lama tetapi tarif bawah. Setelah dikonfirmasi ke pak supir ternyata mereka mengganti tarif setelah Express juga melakukan hal serupa tidak lama setelah Blue Bird menggunakan tarif tertinggi. Wah, mesti merogoh kocek lebih dalam nih kalau naik taksi.
Liburan usai sudah. Besok harus bertemu lagi dengan padatnya jalanan Jakarta dan kembali beraktivitas dengan rutinitas kantor.
Beberapa hari menjelang Ramadhan, semua media massa mengabarkan sulitnya mencari tiket kereta api untuk mudik Lebaran khususnya untuk tanggal-tanggal yang diperkirakan menjadi puncak arus mudik. Tahun lalu (2007), tiga puluh hari sebelum hari keberangkatan, saia ke Stasiun Tanah Abang pagi-pagi setelah setor sidik jari di kantor. Sempat kaget waktu lihat antrian yang mengular hingga lebih dari lima belas meter tapi terpaksa ikut ngantri juga. Padahal tahun sebelumnya (2006) tidak ada antrian mengular seperti itu. Tidak sampai sepuluh orang yang mengantri di depan loket pemesanan tiket Stasiun Tanah Abang. Mungkin karena orang-orang sudah tahu kalau tiket dapat dibeli di beberapa stasiun yang on-line. Sekitar sepuluh menit kemudian saia bertemu dengan teman kantor yang lebih dulu mengantri beberapa meter di depan. Dia bersedia membelikan tiket untuk saia dan saia langsung balik ke kantor, hehehe…
Alhamdulillah berhasil dapat tiket meski terpaksa pulang cepat dari kantor saat hari keberangkatan karena jadwal kereta jam setengah sebelas pagi.
Akhirnya, daripada kecewa karena sudah capek antri tetapi kehabisan tiket, saia menghubungi orang-orang di rumah untuk mencarikan tiket dari Stasiun Tegal. Beberapa waktu lalu saia juga pernah memesan dari sana saat musim liburan. Alhamdulillah, tetangga Om Ashari yang berdinas di Stasiun Tegal berhasil mendapatkan tiket Argo Sindoro untuk saia dan Taksaka Pagi untuk Ketty. Mungkin kongkalikong seperti ini salah satu penyebab tiket kereta ludes dalam waktu kurang dari sepuluh menit setelah loket pemesanan dibuka. Ah, peduli amat… yang penting bisa mudik dengan tenang, hehehe….
- Nasi kuning atau nasi merah? –
Idul Fitri 1429H jatuh pada 1 Oktober 2008. Ini bertepatan dengan hari lahir Adi, adik saia yang paling ganteng karena dia satu-satunya saudara laki-laki saia. Kami (baca: ibu dan saia) memutuskan untuk membuat nasi kuning di lebaran kali ini. Tapi ibu juga pingin tetep ada opor ayam yang jadi ciri khas lebaran. Akhirnya opor ayam (dengan lontong yang dibeli di pasar) dijadikan menu buku puasa di hari terakhir Ramadhan.
Sebelum subuh Idul Fitri semua lauk pelengkap nasi kuning sudah siap, tinggal nasinya yang belum di masak. Ini sih bagian ibu, saia sih gak berani masaknya. Waktu nasi mulai diaron, ibu bilang ini warnanya terlalu kuning. Gak papa lah, kata saia. Ternyata, setelah nasi matang warnanya berubah jadi merah! Mirip nasi beras merah gitu. Ibu langsung sedih gitu. Pas saia icip-icip, rasanya lezat kok… sama seperti nasi kuning yang biasa ibu bikin.
- Anak-anak “Laskar Pelangi” -
Ini bukan anak-anak dari film Laskar Pelangi yang dirilis beberapa hari sebelum lebaran. Ini adalah sebutan yang diberikan Arin untuk anak-anak di lingkungan rumah kami. Baru empat belas bulan keluarga kami tinggal di daerah ini, Gang Pelangi. Meski namanya gang, jalan di depan rumah cukup untuk lewat dua mobil, sudah diaspal hotmix pula! Hanya ada enam rumah di gang ini, sisanya masih berupa kapling tanah. Nah, dari rumah yang tidak banyak inilah terkumpul anak-anak Laskar Pelangi. Ada Lia, anak laki-laki ini baru kelas 2 SD tapi badannya gede banget. Icham, seumuran Lia dengan badan yang lebih gendut tapi lebih pendek. Kemudian ada Adi dan Atmi, kedua kakak beradik ini sempat membuat Adi (adik saia) terpana karena warna kulitnya yang terbakar matahari. Yang terakhir adalah Ozan, baru tujuh bulan tetapi jadi kesayangan anak-anak di sini karena gendut, lucu, dan bikin gemes. Personil temporer Laskar Pelangi adalah Hazza, keponakan saia yang tinggal di Purwakarta dan hanya mudik dua kali dalam setahun.
Beberapa kali Hazza dimarahi oleh ibunya (Mbak Mila) karena main-main dengan korek api. Selidik punya selidik, ternyata anak-anak Laskar Pelangi selalu “njajan” korek api di warung karena mereka dilarang main petasan. Korek api itu dinyalakan kemudian dilempar ke atas layaknya petasan. Haduhhhhh… serem amat yak mainan anak-anak ini!
- Hotel Dewadaru -
Di hari ke-3 lebaran bapak dan saia sepakat membawa ibu ke tempat ini. Sejak seminggu sebelum lebaran ibu terpapar virus influenza, batuk dan pilek. Batuk ibu semakin menjadi saat mendekati lebaran. Waktu itu saia sudah melarang ibu untuk masak macem-macem (nasi kuning dan kawan-kawan) melihat kondisi beliau yang makin turun. Mungkin yang namanya ibu, pasti pinginnya masak macem-macem saat anak-anak ngumpul semua. Akhirnya ya itu tadi, nasi kuning or nasi merah berhasil dibuat. Tapi saat lebaran tiba kondisi ibu makin drop. Kalau biasanya keluarga besar dari bapak berkumpul di rumah Mbah Jaleha sekitar jam 10an, lebaran kali ini kami tidak bisa menghadirinya. Kami baru ke rumah Mbah sore harinya, itu pun Arin tidak ikut karena menemani ibu di rumah. Esoknya kondisi ibu bukannya membaik tetapi malah makin turun karena beliau bersikeras menemani tamu-tamu yang datang. Saia meminta ibu untuk ke rumah sakit tapi beliau bilang gak apa-apa kok. Kata Arin, ibu udah mulai sesak napas, asmanya kambuh. Beliau juga kurang istirahat karena rumah yang selalu rame. Ditambah lagi nafsu makannya turun. Hari ke-3 lebaran, suhu badan ibu naik. Saia diminta membalur punggung beliau dengan minyak kayu putih yang dicampur jeruk nipis dan bawang merah. Ibu berkeras tidak mau ke rumah sakit meski akhirnya beliau menyerah waktu kami memaksa dan menyiapkan kebutuhan selama di rumah sakit. Dewadaru adalah ruangan tempat ibu dirawat. Alhamdulillah ibu diizinkan pulang kemarin sore setelah menginap di Dewadaru selama empat malam. Tetapi beliau harus bedrest selama beberapa minggu.
- Berita mengejutkan di TransCab –
Hampir jam 12 siang, sekitar 30 menit lebih lambat dari jadwal yang tercantum dalam tiket, Argo Sindoro yang saia naiki sampai juga di Stasiun Gambir. Saia langsung menuju halte di Medan Merdeka Timur untuk mencari taksi. Alhamdulillah belum satu menit saia berdiri di halte ada si orens TransCab kosong yang melintas. Ini kali kedua saia naik TransCab, taxi with tv cable. TV dinyalakan. Jempol saia berhenti menekan remote control ketika TV menampilkan saluran TVOne yang sedang mewartakan penghentian transaksi di Bursa Efek Indonesia mulai pukul 11.06 WIB hari ini karena IHSG terjun bebas lebih dari 10% hingga nyaris mendekati level 1.450! Saia terpana mengikuti berita ini. Kabarnya hal ini dikarenakan para investor asing melepaskan sahamnya karena khawatir dengan krisis keuangan yang melanda Amerika dan berimbas ke negara lainnya. Ah, akankan resesi yang dulu sempat melanda negeri ini akan terulang? I hope not.
Gara-gara serius melihat berita itu saia baru menyadari, sekitar 200 meter sebelum sampai kos, bahwa TransCab tidak lagi menggunakan tarif lama tetapi tarif bawah. Setelah dikonfirmasi ke pak supir ternyata mereka mengganti tarif setelah Express juga melakukan hal serupa tidak lama setelah Blue Bird menggunakan tarif tertinggi. Wah, mesti merogoh kocek lebih dalam nih kalau naik taksi.
Liburan usai sudah. Besok harus bertemu lagi dengan padatnya jalanan Jakarta dan kembali beraktivitas dengan rutinitas kantor.
Subscribe to:
Posts (Atom)