Friday, October 10, 2008

Emas VOC, benarkah ada di sini?

Rahasia Meede: Misteri Harta Karun VOC
E. S. Ito
Penerbit Hikmah (Mizan Pustaka)
Cetakan I, September 2007
671 hal.

Batu Noah Gultom, jurnalis muda dari Indonesiaraya, ditugaskan terbang ke pedalaman Papua untuk memastikan identitas jenazah yang disinyalir sebagai korban keempat dari rangkaian pembunuhan yang mengusung Tujuh Dosa Sosial yang dicetuskan Mahatma Gandhi. Semua korban pembunuhan ditemukan di kota yang berawalan huruf B, dan kali ini adalah Boven Digoel.

Robert, Rafael, dan Erick adalah tiga peneliti yang dikirim sebuah yayasan di Belanda, De Oud Batavie, untuk menelusuri jejak De Ondergronde Stad, kota bawah tanah yang dibangun pada masa keemasan VOC di Jakarta. Mereka memulainya dari kota tua hingga akhirnya sebuah petunjuk menuntun mereka untuk melakukan pencarian dari Museum Sejarah Jakarta alias Museum Fatahillah. Di bawah museum ini ketiganya bukan menemukan kota yang mereka cari tetapi sebuah terowongan yang mengarah ke utara dan selatan. Dugaan mereka, ujung utara terowongan ini adalah pelabuhan Sunda Kelapa dan ujung selatan adalah Istana Negara.

Cathleen Zwinckel datang dari Amsterdam ke Jakarta untuk melakukan penelitian yang menunjang tesis yang sedang digarapnya mengenai ekonomi kolonial. Oleh Prof. Huygens, pembimbingnya di Univ. Leiden, dia dititipkan di Center for Strategic Affair (CSA) yang dipimpin Suryo Lelono. Dia dan Lusi, koleganya di CSA, berjalan-jalan ke Gereja Sion dan melanjutkan perjalanan mereka ke Sunda Kelapa. Itulah saat terakhir mereka terlihat di Jakarta. Saat dia kembali menginjak tanah, dia berada di antara keramaian upacara Cuci Parigi entah di mana. Upacara yang seharusnya dilakukan setiap lima tahun tetapi kali ini dilangsungkan lebih cepat karena sesosok mayat ditemukan di sumur itu, korban kelima pembunuhan Gandhi.

Kalek alias Attar Malaka, penggerak Anarki Nusantara yang dituduh menjadi dalang peristiwa berdarah di tahun 2002. Dia dikabarkan meninggal dunia dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Tapi dia terlihat segar bugar saat menemui Cathleen di Banda Neira.

Di antara koleganya dia dikenal dengan nama Lalat Merah. Suryo Lelono memanggilnya untuk mengendus jejak Cathleen dan Lusi. Roni Damhuri namanya. Seorang agen intelijen muda dari satuan Satya Yudha Kopassus. Dia ditugaskan untuk meringkus Kalek, sahabatnya saat mengenyam pendidikan di SMA Taruna Nusantara. Lalat Merah alias Roni Damhuri harus memilih salah satu di antara keduanya saat menemukan mereka, Cathleen atau Kalek.

Guru Uban, seorang pendongeng sejarah yang bisa membuat seluruh isi kelas terpana mendengarkan kisah-kisah masa lalu yang keluar dari bibirnya. Kisah-kisah yang biasanya mengantarkan orang ke alam mimpi karena terkantuk-kantuk. Tapi caranya berbeda. Ini karena dia prihatin dengan anak-anak didiknya.

Sebuah thriller sejarah yang menggabungkan fakta dan fiksi, mirip dengan gaya Dan Brown saat menulis Angles and Demons, yang cukup membuat penasaran untuk terus membuka lembar demi lembar hingga halaman terakhir. Awalnya agak membingungkan karena cerita terpenggal-penggal menyorot beberapa tokoh di dalamnya. Cerita menjadi semakin menarik saat identitas tokoh-tokoh ini mulai terkuak dan terkait. Di lengkapi dengan data-data seputar dokumen yang hilang dari Konferensi Meja Bundar serta tabir yang menyelimuti disetujuinya kompensasi yang sangat tidak masuk akal dari konferensi ini oleh delegasi Moh. Hatta, meski data-data tersebut masih diperdebatkan. Puncaknya adalah saat terkuak rahasia Meede, putri Pieter Erberveld Jr., yang tidak diketahui nasibnya setelah ayahnya tewas. Pieter Erberveld Jr. adalah anak dari Pieter Erberveld, salah satu anggota Monsterverbond, kelompok yang disinyalir mengendalikan VOC karena memegang monopoli perdagangan emas.

Banyak sekali cerita sejarah yang baru saia ketahui setelah membaca novel ini. Sepertinya E.S. Ito melakukan penelitian yang sangat detail tentang simpang siur keberadaan dokumen yang hilang itu. Yah, meski terkadang merasa bosan saat menemukan bagian yang membahas sejarah kolonial, saia cukup terhibur dengan novel ini. Kita tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, meski beberapa tebakan saia ternyata benar, hingga akhir kisah ini. Satu lagi yang menarik, penggambaran suku di pedalaman Mentawai serta adat yang masih mereka pegang erat, upacara Cuci Parigi di Banda, indahnya alam Papua dan Banda, membuat kita semakin mencintai Indonesia. Tetapi sindiran-sindiran tentang sifat orang-orang Indonesia yang bodoh, pemalas, gampang disuap, dll. membuat kita miris karena memang itulah kondisi yang sebenarnya.

Peta yang disertakan di halaman awal menurut saia kurang memadai untuk mengikuti pencarian harta karun ini. Saia suka membaca peta jadi apabila ada novel yang menyertakan gambar peta saia selalu mengamati gambar tersebut apabila dalam novel disebutkan tempat yang baru. Seperti saat saia membaca Angels and Demons – Dan Brown, Trilogi The Lord of The Ring – J. R. R. Tolkien, Eragon dan Eldest (dua bagian pertama dari Trilogi Inheritance) – Christopher Paolini. Kebiasaan ini tidak terulang saat membaca Rahasia Meede. Penggambaran tentang bangunan-bangunan di kota tua juga kurang memberikan pencerahan bagi saia yang hanya sepintas mengetahui kondisi di sana.

Overall, novel ini memperoleh nilai 7.5/10. Berhubung saia belum membaca karya E. S. Ito sebelumnya, Negara Kelima, saia tidak bisa membandingkan kedua karya tersebut.

Catatan: seandainya emas peninggalan VOC itu benar-benar ada, mungkin bisa membantu negeri ini terhindar dari pengaruh krisis ekonomi global saat ini, bahkan menjadi negeri terkuat di dunia karena mempunyai cadangan emas paling banyak, hehehe.... (harga emas dunia naik nih, gara-gara pasar modal dan pasar uang sedang rontok karena imbas krisis)


No comments: