Setengah berlari kau berjalan ke arahku. Wajahmu pun nampak berseri-seri secerah mentari yang bersinar terik siang ini. Sedetik kemudian kau sudah berada di pelukanku. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepu…. Hampir sepuluh detik saat akhirnya kau lepas pelukan erat itu. Tanpa berkata apa pun kau menarikku menuju sebuah meja yang cukup tersembunyi. Masih dengan wajah ceria dan senyum yang mengembang. Ah, kau manis sekali siang ini! Jerit hatiku.
Ternyata kau sudah menyiapkan semuanya. Tempat yang nyaman dilengkapi suara gemercik air dan alunan seruling yang ditiup oleh seseorang di sudut lain. Kau pun telah memesan makanan dan minuman kesukaanku.
“Terima kasih,” bisikku sembari mengecup keningmu. Kau pun tersenyum.
Aku langsung menyantap makanan yang disajikan. Kau hanya memperhatikanku sambil sesekali menyedot es jeruk nipis dari gelasmu. “Aku hanya ingin menatapmu,” ujarmu saat kutanya mengapa kau tak makan.
“Ceritakanlah,” kataku setelah menyikat habis hidangan yang ada di meja.
“Hei, bukan aku yang harus bercerita!” protesmu. “Kau kan yang baru menikmati perjalanan panjang.”
“Tidak, kau dulu yang bercerita. Kau masih ingat janjimu kan?” Kataku pura-pura serius.
“Janji? Janji yang mana? Kapan aku pernah berjanji?”
“Ah, jangan pura-pura lupa. Aku masih ingat kok,” aku tetap pura-pura serius. “Aku bahkan masih menyimpan bukti-buktinya.”
“Sorry, aku benar-benar tidak ingat. Please….” Kau memasang wajah memelas. Menggemaskan, batinku.
“Oke, aku bantu menggali memorimu,” kataku masih memasang muka serius. “Ah, jangan-jangan kau men-delete sebagian arsip di memorimu?”
“Kau bisa saja. Sudah, cepat katakan.”
“Masih ingat saat kau tiba-tiba kembali ke duniaku, setahun yang lalu?” tanyaku. Kau mengangguk sebagai jawaban. “Masih ingat apa yang kutanyakan kepadamu saat itu?”
Sejenak kau terdiam, menekuri gelas es jeruk nipismu yang kedua. “Masih.” Jawabmu sesaat kemudian. Sekilas aku melihat keterkejutan di matamu. Aduh, sekarang mata itu mulai tertutup kabut, tak secerah sebelumnya.
“Sekarang aku sudah berada di Indonesia, di Jakarta, tepat di hadapanmu,” aku tersenyum untuk mencairkan ketegangan ini. “Ceritakanlah.”
“Bodoh sekali aku! Untuk apa aku berjanji segala waktu itu?” katamu merutuk diri sendiri. Aku jadi semakin penasaran mendengar ceritamu. Cerita yang sebenarnya telah aku ketahui. Tapi aku ingin mendengarnya darimu.
“Ayolah, aku sudah tak sabar mendengarnya.”
“Aku akan mengatakan alasannya saat kau kembali ke Indonesia, begitu kan yang aku katakan saat itu?” Aku mengangguk mengiyakan. “Bodoh. Bodoh. Bodoh.” Kau kemudian terdiam. Semenit. Dua menit. Tiga menit.
“Aku tahu,” ujarku tak sabar lagi menanti kata-kata itu meluncur dari bibirmu. “Kau lari dari kenyataan. Kau membohongi dirimu sendiri. Benarkan?”
“Apa maksudmu?” tanyamu dengan wajah bingung.
“Tak usah berpura-pura. Kau pikir aku buta? Kau tidak pandai menyembunyikannya, sayang.” Kuacak-acak rambut ikalmu.
“Ja… jadi kau sudah tahu?”
“Bukan hanya aku, mereka juga tahu,” aku tersenyum menggodamu. Mulutmu terbuka, matamu nyaris melompat dari tempatnya.
“Me… mereka berdua?”
“Yup!” Jawabku mantap. “Tenang saja. Kami mengerti kok dengan keputusan yang kau ambil. Kami pun memaklumi tindakan bodohmu meninggalkan kami bertiga. Meski itu bukan tindakan yang bijak.” Kau mengisyaratkan kata maaf saat aku mengatakan ini.
“Kau masih mencintainya?” tanyaku kemudian.
“Siapa maksudmu?”
“Sudah kubilang kau tak pandai menutupi perasaanmu. Apa perlu kuperjelas, kau masih mencintai orang yang sekarang berada di ujung timur kepulauan ini kan?” tanyaku dengan lembut.
Hening. Hanya ada gemercik air dan alunan seruling. Tempat ini mulai sepi.
“Aku tak tahu,” ujarmu setengah berbisik. Kau menunduk, kembali menekuri gelas keduamu yang nyaris kosong. Angin mempermainkan rambutmu, menutup sebagian wajah manis itu. Mentari yang tadi bersinar cerah dari sana kini meredup, tertutup awan hitam. Mentari itu bukan milikku.
Jemariku mencari sesuatu di kantung celana sebelah kanan. Ah, ini dia. Sebuah cincin platina yang telah diukir nama kita berdua. Namaku dan namamu.
Friday, November 28, 2008
Wednesday, November 26, 2008
Mengapa Nasser Ali Memutuskan Mati?
[Graphic Novel] Chicken with Plums (Terj.)
Marjani Satrapi
Gramedia Pustaka Utama
Agustus 2008
88 halaman
Nasser Ali Khan, seorang musisi tar* terbaik di Iran, memutuskan untuk menunggu malaikat maut datang menjemputnya. Bermula dari kegagalannya menemukan pengganti tar miliknya yang rusak. Dia merasa beberapa tar yang dicoba dimainkan tidak menghasilkan melodi yang dia inginkan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mati saja.
Apakah hanya karena tar yang rusak itu yang membuat Nasser Ali memutuskan mati? Selama delapan hari penantiannya menunggu malaikat maut, muncul kilasan-kilasan peristiwa di masa lalu dan masa mendatang. Pertengkarannya dengan Nahid, istrinya. Kisah cintanya dengan Irane yang kandas karena tidak disetujui orang tua Irane hanya karena dia seorang musisi. Persaingannya dengan sang adik. Perilaku dua dari keempat anaknya, Farzaneh dan Mozaffar, yang tidak mempedulikan dia. Kematian ibunya. Menjelang halaman terakhir barulah diketahui alasan utama mengapa Nasser Ali memutuskan mati.
Kisah yang aneh, cenderung sinis malah, tetapi ada selipan humor di dalamnya. Bahkan tidak ada yang istimewa dengan tokoh utamanya, Nasser Ali. Dia meras tidak bahagia karena tidak menikah dengan cinta terbesar dalam hidupnya, anak-anaknya pun tidak peduli pada apa yang dilakukannya. Tetapi itu bukan alasan untuk terus mengasihani diri sendiri. Semua orang punya tumpukan masalahnya sendiri-sendiri, juga cara yang lebih bijak mengatasi masalah-masalah itu. Tidak seperti Nasser Ali yang tiba-tiba memutuskan mati saja.
Tapi ada satu bagian yang membuat terharu. Nasser Ali menyangka Farzanehlah yang mendoakan agar dirinya tidak meninggal karena dia lebih menyayangi Farzaneh. Tetapi ternyata orang itu adalah Mozaffar.
* alat musik Iran yang berbentuk menyerupai gitar kecil dengan tangkai yang panjang.
Marjani Satrapi
Gramedia Pustaka Utama
Agustus 2008
88 halaman
Nasser Ali Khan, seorang musisi tar* terbaik di Iran, memutuskan untuk menunggu malaikat maut datang menjemputnya. Bermula dari kegagalannya menemukan pengganti tar miliknya yang rusak. Dia merasa beberapa tar yang dicoba dimainkan tidak menghasilkan melodi yang dia inginkan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mati saja.
Apakah hanya karena tar yang rusak itu yang membuat Nasser Ali memutuskan mati? Selama delapan hari penantiannya menunggu malaikat maut, muncul kilasan-kilasan peristiwa di masa lalu dan masa mendatang. Pertengkarannya dengan Nahid, istrinya. Kisah cintanya dengan Irane yang kandas karena tidak disetujui orang tua Irane hanya karena dia seorang musisi. Persaingannya dengan sang adik. Perilaku dua dari keempat anaknya, Farzaneh dan Mozaffar, yang tidak mempedulikan dia. Kematian ibunya. Menjelang halaman terakhir barulah diketahui alasan utama mengapa Nasser Ali memutuskan mati.
Kisah yang aneh, cenderung sinis malah, tetapi ada selipan humor di dalamnya. Bahkan tidak ada yang istimewa dengan tokoh utamanya, Nasser Ali. Dia meras tidak bahagia karena tidak menikah dengan cinta terbesar dalam hidupnya, anak-anaknya pun tidak peduli pada apa yang dilakukannya. Tetapi itu bukan alasan untuk terus mengasihani diri sendiri. Semua orang punya tumpukan masalahnya sendiri-sendiri, juga cara yang lebih bijak mengatasi masalah-masalah itu. Tidak seperti Nasser Ali yang tiba-tiba memutuskan mati saja.
Tapi ada satu bagian yang membuat terharu. Nasser Ali menyangka Farzanehlah yang mendoakan agar dirinya tidak meninggal karena dia lebih menyayangi Farzaneh. Tetapi ternyata orang itu adalah Mozaffar.
* alat musik Iran yang berbentuk menyerupai gitar kecil dengan tangkai yang panjang.
Friday, November 21, 2008
Si Charming Pembunuh Berantai
Darkly Dreaming Dexter (Terj.)
Jeff Lindsay
Dastan Books
Cetakan I, September 2008
376 halaman
Dexter Morgan. Di hari-hari biasa dia adalah detektif ahli analisa percikan darah yang bertugas di Kepolisian Miami. Ramah dan menyenangkan, tetapi tidak mencolok. Orang yang sangat loveable. Tapi terkadang, di saat bulan penuh, seseorang di dalam kepalanya menyuruh dia untuk membunuh. The Dark Passanger. Bisikan-bisikannyalah yang membuat Dexter menjadi eksekutor bagi orang-orang jahat yang tak tersentuh hukum.
Tapi Dexter punya aturan dalam menjalankan eksekusinya. Kode Etik Harry. Harry Morgan adalah ayah angkat Dexter, orang pertama yang menyadari bahwa Dexter kecil “berbeda.” Harry pula yang mengajarinya bagaimana menentukan siapa serta syarat-syarat lain seperti kehati-hatian, kebersihan, tidak melibatkan emosi saat beraksi, bahkan perlunya Dexter bersosialisasi sebagaimana manusia normal. Dexter tidak pernah melupakan kode etik ini. Dia pun menjalin hubungan dengan Rita untuk mempercantik topengnya.
Miami dihebohkan oleh serangkaian pembunuhan di mana korban, yang seluruhnya PSK, ditemukan dalam kondisi termutilasi, tanpa percikan darah dan dibungkus rapi. Dexter diminta Deborah, adik angkatnya yang juga bertugas di Kepolisian Miami, untuk membantu memecahkan kasus ini karena dianggap mempunyai firasat yang selalu tepat untuk pembunuhan berantai seperti itu. Wajar, karena Dexter salah satu dari mereka. Dia juga seorang pembunuh yang bersembunyi di balik topeng analis percikan darah yang simpatik. Dexter malah merasa terobsesi dengan pembunuh berantai yang dia sebut seniman ini.
Tim penyelidikan yang dipimpin Detektif Migdia LaGuerta menangkap seseorang yang mengaku melakukan pembunuhan berantai tersebut. Tapi saat orang itu berada dalam sel, pembunuhan lain yang lebih glamour (istilah Dexter) terpampang di depan mata. Dexter mencurigai pembunuhnya adalah seseorang yang mengendarai truk berpendingin.
Sebuah pesan khusus disampaikan sang pembunuh kepada Dexter. Boneka Barbie di kulkas dalam apartemennya serta pengaturan korban pembunuhan terakhir seolah menantang dirinya. Sang pembunuh tahu siapa sebenarnya Dexter. Mimpi dan mungkin delusi mulai menghantui Dexter. Dia bahkan menyangka bahwa dialah pelaku pembunuhan berantai itu. Pembunuhan yang dia lakukan saat tak sadarkan diri dan The Dark Passanger menguasai tubuhnya.
Pernah terpikir bahwa salah satu dari orang-orang terdekat kita, keluarga, pasangan, atau teman, atau bahkan kita sendiri, yang berpanampilan biasa, normal, dan menyenangkan, adalah seorang pembunuh berantai? Ih, membayangkannya saja bisa memegakkan bulu roma. Tapi Lindsay berhasil menghadirkan seorang tokoh “protagonis” yang unik. Apalagi dengan pikiran-pikiran sinis Dexter yang terkadang membuat saya tertawa. Yang sedikit menggangggu, penggambaran suatu eksekusinya membuat saya berkunang-kunang dan berkeringat dingin, sadis. Tak terbayangkan ceceran darah dan potongan bagian tubuh manusia yang berserakan.
Lumayan untuk memberikan wawasan baru tentang seorang psikopat.
Jadi penasaran dengan serial televisinya yang di Amrik sana sudah mulai memasuki musim ketiga. Michael C. Hall yang berperan sebagai Dexter. Musim pertama yang mulai tayang tahun 2006 ditulis berdasarkan novel ini. Musim keduanya pun berdasarkan sekuel novel ini, Dearly Devoted Dexter. Musim ketiga? Mungkin berdasarkan sekuel berikutnya, Dexter in The Dark.
Hemmm… sepertinya bakal jadi salah satu serial favorit saya. Buruan nyari ah…!
Jeff Lindsay
Dastan Books
Cetakan I, September 2008
376 halaman
Dexter Morgan. Di hari-hari biasa dia adalah detektif ahli analisa percikan darah yang bertugas di Kepolisian Miami. Ramah dan menyenangkan, tetapi tidak mencolok. Orang yang sangat loveable. Tapi terkadang, di saat bulan penuh, seseorang di dalam kepalanya menyuruh dia untuk membunuh. The Dark Passanger. Bisikan-bisikannyalah yang membuat Dexter menjadi eksekutor bagi orang-orang jahat yang tak tersentuh hukum.
Tapi Dexter punya aturan dalam menjalankan eksekusinya. Kode Etik Harry. Harry Morgan adalah ayah angkat Dexter, orang pertama yang menyadari bahwa Dexter kecil “berbeda.” Harry pula yang mengajarinya bagaimana menentukan siapa serta syarat-syarat lain seperti kehati-hatian, kebersihan, tidak melibatkan emosi saat beraksi, bahkan perlunya Dexter bersosialisasi sebagaimana manusia normal. Dexter tidak pernah melupakan kode etik ini. Dia pun menjalin hubungan dengan Rita untuk mempercantik topengnya.
Miami dihebohkan oleh serangkaian pembunuhan di mana korban, yang seluruhnya PSK, ditemukan dalam kondisi termutilasi, tanpa percikan darah dan dibungkus rapi. Dexter diminta Deborah, adik angkatnya yang juga bertugas di Kepolisian Miami, untuk membantu memecahkan kasus ini karena dianggap mempunyai firasat yang selalu tepat untuk pembunuhan berantai seperti itu. Wajar, karena Dexter salah satu dari mereka. Dia juga seorang pembunuh yang bersembunyi di balik topeng analis percikan darah yang simpatik. Dexter malah merasa terobsesi dengan pembunuh berantai yang dia sebut seniman ini.
Tim penyelidikan yang dipimpin Detektif Migdia LaGuerta menangkap seseorang yang mengaku melakukan pembunuhan berantai tersebut. Tapi saat orang itu berada dalam sel, pembunuhan lain yang lebih glamour (istilah Dexter) terpampang di depan mata. Dexter mencurigai pembunuhnya adalah seseorang yang mengendarai truk berpendingin.
Sebuah pesan khusus disampaikan sang pembunuh kepada Dexter. Boneka Barbie di kulkas dalam apartemennya serta pengaturan korban pembunuhan terakhir seolah menantang dirinya. Sang pembunuh tahu siapa sebenarnya Dexter. Mimpi dan mungkin delusi mulai menghantui Dexter. Dia bahkan menyangka bahwa dialah pelaku pembunuhan berantai itu. Pembunuhan yang dia lakukan saat tak sadarkan diri dan The Dark Passanger menguasai tubuhnya.
Pernah terpikir bahwa salah satu dari orang-orang terdekat kita, keluarga, pasangan, atau teman, atau bahkan kita sendiri, yang berpanampilan biasa, normal, dan menyenangkan, adalah seorang pembunuh berantai? Ih, membayangkannya saja bisa memegakkan bulu roma. Tapi Lindsay berhasil menghadirkan seorang tokoh “protagonis” yang unik. Apalagi dengan pikiran-pikiran sinis Dexter yang terkadang membuat saya tertawa. Yang sedikit menggangggu, penggambaran suatu eksekusinya membuat saya berkunang-kunang dan berkeringat dingin, sadis. Tak terbayangkan ceceran darah dan potongan bagian tubuh manusia yang berserakan.
Lumayan untuk memberikan wawasan baru tentang seorang psikopat.
Jadi penasaran dengan serial televisinya yang di Amrik sana sudah mulai memasuki musim ketiga. Michael C. Hall yang berperan sebagai Dexter. Musim pertama yang mulai tayang tahun 2006 ditulis berdasarkan novel ini. Musim keduanya pun berdasarkan sekuel novel ini, Dearly Devoted Dexter. Musim ketiga? Mungkin berdasarkan sekuel berikutnya, Dexter in The Dark.
Hemmm… sepertinya bakal jadi salah satu serial favorit saya. Buruan nyari ah…!
Thursday, November 20, 2008
Aku, Kau dan Dia
Akhir pekan lalu.
Semalam kenapa tidak jadi datang? Tanyamu pagi itu.
Aku tertidur, jawabku.
Ah, malam minggu kau dilewati dengan tidur? Kau seolah tak percaya.
Kau tahu sendiri, malam sebelumnya aku menemani dia ngobrol sampai jam 1 pagi. Dan kemarin aku harus mengunjungi beberapa tempat sekaligus. Kau pikir aku robot yang tidak kenal lelah? Semburku membela diri.
Iya, aku ngerti. Hari ini bagaimana? Kau bisa datang ke tempatnya kan? Suaramu melunak saat mengatakan ini.
Aku sudah di sini, kataku.
Di mana?
Di tempatnya.
Pagi-pagi begini? Ini masih jam 7. Lagi-lagi kau tak percaya.
Yah, sebagai kompensasi atas kemangkiranku dari janji semalam. Lagi pula tidak ada yang aku lakukan hari ini. Aku mencoba tertawa, hambar.
Duh, makasih ya. Kamu memang teman yang paling baik. Katamu kegirangan. Aku bisa membayangkan dirimu melonjak-lonjak saat mengatakan hal ini.
Emmm... memangnya belum ada seseorang di hatimu? Tiba-tiba kau mengalihkan pembicaraan.
Ya ada lah. Beberapa hari lalu malah aku ajak nikah. Eh, dia malah berpikir aku cuma bercanda. Kataku sedikit kesal.
Kok bisa?
Mungkin karena aku bilangnya sambil ketawa-ketawa. Hahahaaa... Kali ini aku benar-benar tertawa.
Eng...
Ada apa?
Sebenarnya dari dulu aku suka kamu. Jdeerrrr...! Suara lembutmu seolah petir yang menggelegar di malam buta.
Tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Lanjutmu kemudian.
Hening.
Beberapa puluh detik berlalu.
Aku hanya mampu menatap telepon seluler di genggamanku.
***
Dua malam sebelumnya.
Kamu suka dengan dia juga kan? Dia bertanya padaku tentang perasaanku terhadapmu.
Heh? Yang benar saja. Aku tidak punya perasaan khusus buat dia. Cuma teman, tidak lebih. Kataku kepadanya.
Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Coba tanya ke dia saja. Lanjutku bermaksud menggodanya.
Dia bilang cuma menganggapmu teman, bahkan saudara. Katanya dengan sedikit sangsi.
Telepon selulernya berdering. Dari kau.
Kau suka dengan dia kan? Tanyanya kepadamu setelah berbincang beberapa menit.
Tidak. Dia teman paling baik. Katamu meyakinkannya. Aku mendengar suaramu.
***
Sehari sebelumnya.
Hari ini dia ada pelatihan di Jakarta. Tolong temani dia. Dia baru kali ini menginjakkan kaki di ibu kota. Katamu di ujung telepon.
Tapi hari ini aku mesti seharian di kantor. Jawabku tanpa bermaksud menolak permintaannya.
Tak apa. Sesempatmu saja.
Memangnya dia tidak ada teman? Kataku.
Ada. Tapi aku lebih tenang kalau kamu yang menemaninya.
Oke. Nanti malam aku ke tempatnya. Ucapku memberi persetujuan.
Terima kasih. Kamu memang teman yang paling baik.
***
Seminggu sebelumnya.
Bulan depan aku menikah. Kau bisa datang kan?
Pesan singkat yang kau kirim saat aku hendak memejamkan mata.
based on true story dengan sedikit improvisasi... :D
Semalam kenapa tidak jadi datang? Tanyamu pagi itu.
Aku tertidur, jawabku.
Ah, malam minggu kau dilewati dengan tidur? Kau seolah tak percaya.
Kau tahu sendiri, malam sebelumnya aku menemani dia ngobrol sampai jam 1 pagi. Dan kemarin aku harus mengunjungi beberapa tempat sekaligus. Kau pikir aku robot yang tidak kenal lelah? Semburku membela diri.
Iya, aku ngerti. Hari ini bagaimana? Kau bisa datang ke tempatnya kan? Suaramu melunak saat mengatakan ini.
Aku sudah di sini, kataku.
Di mana?
Di tempatnya.
Pagi-pagi begini? Ini masih jam 7. Lagi-lagi kau tak percaya.
Yah, sebagai kompensasi atas kemangkiranku dari janji semalam. Lagi pula tidak ada yang aku lakukan hari ini. Aku mencoba tertawa, hambar.
Duh, makasih ya. Kamu memang teman yang paling baik. Katamu kegirangan. Aku bisa membayangkan dirimu melonjak-lonjak saat mengatakan hal ini.
Emmm... memangnya belum ada seseorang di hatimu? Tiba-tiba kau mengalihkan pembicaraan.
Ya ada lah. Beberapa hari lalu malah aku ajak nikah. Eh, dia malah berpikir aku cuma bercanda. Kataku sedikit kesal.
Kok bisa?
Mungkin karena aku bilangnya sambil ketawa-ketawa. Hahahaaa... Kali ini aku benar-benar tertawa.
Eng...
Ada apa?
Sebenarnya dari dulu aku suka kamu. Jdeerrrr...! Suara lembutmu seolah petir yang menggelegar di malam buta.
Tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Lanjutmu kemudian.
Hening.
Beberapa puluh detik berlalu.
Aku hanya mampu menatap telepon seluler di genggamanku.
***
Dua malam sebelumnya.
Kamu suka dengan dia juga kan? Dia bertanya padaku tentang perasaanku terhadapmu.
Heh? Yang benar saja. Aku tidak punya perasaan khusus buat dia. Cuma teman, tidak lebih. Kataku kepadanya.
Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Coba tanya ke dia saja. Lanjutku bermaksud menggodanya.
Dia bilang cuma menganggapmu teman, bahkan saudara. Katanya dengan sedikit sangsi.
Telepon selulernya berdering. Dari kau.
Kau suka dengan dia kan? Tanyanya kepadamu setelah berbincang beberapa menit.
Tidak. Dia teman paling baik. Katamu meyakinkannya. Aku mendengar suaramu.
***
Sehari sebelumnya.
Hari ini dia ada pelatihan di Jakarta. Tolong temani dia. Dia baru kali ini menginjakkan kaki di ibu kota. Katamu di ujung telepon.
Tapi hari ini aku mesti seharian di kantor. Jawabku tanpa bermaksud menolak permintaannya.
Tak apa. Sesempatmu saja.
Memangnya dia tidak ada teman? Kataku.
Ada. Tapi aku lebih tenang kalau kamu yang menemaninya.
Oke. Nanti malam aku ke tempatnya. Ucapku memberi persetujuan.
Terima kasih. Kamu memang teman yang paling baik.
***
Seminggu sebelumnya.
Bulan depan aku menikah. Kau bisa datang kan?
Pesan singkat yang kau kirim saat aku hendak memejamkan mata.
based on true story dengan sedikit improvisasi... :D
Friday, November 14, 2008
Rectoverso... Dengar Fiksinya. Baca Musiknya.
Dee hadir dengan karya terbarunya, makhluk hibrida bernama Rectoverso. Sebuah buku berisi sebelas cerpen dan sebuah album yang menjadi “soundtrack” dari kesebelas cerpennya.
•Curhat buat Sahabat •Malaikat Juga Tahu •Selamat Ulang Tahun •Aku Ada •Hanya Isyarat •Peluk •Grow a Day Older •Cicak di Dinding •Firasat •Tidur •Back to Heaven’s Light
Bahas albumnya dulu ya...
Recto Verso
Dewi Lestari
Produser Eksekutif: Dewi Lestari, Ignatius Andy
Produksi: Goodfaith Production
2008
Dengan lirik yang unik dan melodi yang sederhana, album ini asyik didengar. Ditambah dukungan Andi Rianto beserta Magenta Orchestranya membuat lagu-lagunya lebih “berasa”. Terkadang mengingatkan kita dengan Rida Sita Dewi, terutama dalam lagu Aku Ada di mana Dee berduet dengan adiknya, Arina “Mocca”. Beberapa teman malah mengira bahwa suara Dee saat mendendangkan Malaikat Juga Tahu mirip dengan suara Bunga Citra Lestari. Heran, mirip di mananya sih? (protes.com)
Versi lain Cicak di Dinding yang sering dinyanyikan waktu kita masih anak-anak bisa juga dinikmati di sini. Lirik dan musiknya lumayan lucu. Lagu ini mengingatkan saia dengan salah satu cerpen Dee di Filosofi Kopi, entah yang berjudul apa.
Lagu yang paling jago jelas Malaikat Juga Tahu yang menjadi single pertamanya serta Curhat buat Sahabat (kalau yang ini sih karena “gue banget”, hehehe...). Ternyata lagu Firasat yang dulu dipopulerkan Marcel adalah karya Dee. Baru tahu nih… :D
Buat yang suka RSD seharusnya juga suka album ini.
Nah... sekarang bahas bukunya.
Rectoverso
Dewi Lestari
Penerbit Goodfaith Production
148 halaman
Cetakan I, Juli 2008
Cover berwarna gradasi dari kuning ke hiijau gelap cukup menarik perhatian. Apalagi dengan kemasan hard cover. Kualitas kertasnya gak usah ditanya. Meski hanya berjumlah 148 plus 14 halaman, buku ini tebalnya nyaris sama dengan buku lain yang memuat sekitar 300 halaman. Lembaran fullcolour di setiap judul cerpen dan lirik lagu menambah semarak. Dilengkapi dengan photo-photo memikat yang juga fullcolour. (gambar atas) Dan coba lihat, di bagian tengah bawah setiap halaman terdapat simbol yang mencerminkan isi cerpen. (gambar bawah) Buku yang benar-benar dibuat penuh perhitungan hingga detail terkecil. Mungkin inilah yang membuat harga banderolnya lumayan mahal.
Ide cerita yang sederhana namun unik dibalut dalam gaya bahasa yang cerdas yang menjadi ciri khas Dee. Cerpen yang paling membekas adalah Curhat buat Sahabat. Tentang seorang yang baru menyadari sesuatu pada saat dia sakit. Mirip dengan yang saia alami sebulan yang lalu. Baca cerpen ini diiringi alunan lagunya…
"Yang cuma ingin diam duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring… sakit"
Cerpen yang paling keren menurut saia adalah Cicak di Dinding, cerita sederhana tentang seorang pria yang mengagumi istri sahabatnya. Pas sampai di kalimat ini,
Hatinya ditemukan. Tapi tak lagi sama. Huhuhuuuu.... serasa ada pisau yang menancap di hati ini. Serasa ada yang hilang.
Saat membaca Peluk saia membayangkan bahwa kejadian itu benar-benar terjadi sebelum perpisahan antara Dee dengan Marcel. Mungkin lagu dan cerpennya memang terinspirasi dari perpisahan mereka. Entahlah.
Cerpen Tidur, seperti sebuah sindiran bagi para working mom yang meninggalkan keluarganya untuk kepentingan karir.
Saia baru menyadari setelah membaca cerpen terakhir, kesebelas cerpen ini tidak memunculkan satu pun nama tokohnya. Hanya ada aku, kamu, dan dia.
Yang jelas, lagu-lagu dalam albumnya sangat sesuai dengan cerpen dan begitu pula sebaliknya. Meski terkadang Dee menyajikannya dalam sudut pandang yang berbeda. Atas sebuah tema universal, cinta, Dee membuka mata kita bahwa siapa saja berhak mencintai dengan caranya masing-masing. Beberapa cerpennya menceritakan tentang bagaimana seseorang berkompromi dengan masa lalu. Kalau suka dengan tulisan-tulisan Dee sebelumnya pasti tidak akan melewatkan makhluk hibrida ini.
Keduanya dapat dinikmati terpisah tapi akan lebih asyik kalau pada saat membaca bukunya ada alunan musik dari albumnya.
•Curhat buat Sahabat •Malaikat Juga Tahu •Selamat Ulang Tahun •Aku Ada •Hanya Isyarat •Peluk •Grow a Day Older •Cicak di Dinding •Firasat •Tidur •Back to Heaven’s Light
Bahas albumnya dulu ya...
Recto Verso
Dewi Lestari
Produser Eksekutif: Dewi Lestari, Ignatius Andy
Produksi: Goodfaith Production
2008
Dengan lirik yang unik dan melodi yang sederhana, album ini asyik didengar. Ditambah dukungan Andi Rianto beserta Magenta Orchestranya membuat lagu-lagunya lebih “berasa”. Terkadang mengingatkan kita dengan Rida Sita Dewi, terutama dalam lagu Aku Ada di mana Dee berduet dengan adiknya, Arina “Mocca”. Beberapa teman malah mengira bahwa suara Dee saat mendendangkan Malaikat Juga Tahu mirip dengan suara Bunga Citra Lestari. Heran, mirip di mananya sih? (protes.com)
Versi lain Cicak di Dinding yang sering dinyanyikan waktu kita masih anak-anak bisa juga dinikmati di sini. Lirik dan musiknya lumayan lucu. Lagu ini mengingatkan saia dengan salah satu cerpen Dee di Filosofi Kopi, entah yang berjudul apa.
Lagu yang paling jago jelas Malaikat Juga Tahu yang menjadi single pertamanya serta Curhat buat Sahabat (kalau yang ini sih karena “gue banget”, hehehe...). Ternyata lagu Firasat yang dulu dipopulerkan Marcel adalah karya Dee. Baru tahu nih… :D
Buat yang suka RSD seharusnya juga suka album ini.
Nah... sekarang bahas bukunya.
Rectoverso
Dewi Lestari
Penerbit Goodfaith Production
148 halaman
Cetakan I, Juli 2008
Cover berwarna gradasi dari kuning ke hiijau gelap cukup menarik perhatian. Apalagi dengan kemasan hard cover. Kualitas kertasnya gak usah ditanya. Meski hanya berjumlah 148 plus 14 halaman, buku ini tebalnya nyaris sama dengan buku lain yang memuat sekitar 300 halaman. Lembaran fullcolour di setiap judul cerpen dan lirik lagu menambah semarak. Dilengkapi dengan photo-photo memikat yang juga fullcolour. (gambar atas) Dan coba lihat, di bagian tengah bawah setiap halaman terdapat simbol yang mencerminkan isi cerpen. (gambar bawah) Buku yang benar-benar dibuat penuh perhitungan hingga detail terkecil. Mungkin inilah yang membuat harga banderolnya lumayan mahal.
Ide cerita yang sederhana namun unik dibalut dalam gaya bahasa yang cerdas yang menjadi ciri khas Dee. Cerpen yang paling membekas adalah Curhat buat Sahabat. Tentang seorang yang baru menyadari sesuatu pada saat dia sakit. Mirip dengan yang saia alami sebulan yang lalu. Baca cerpen ini diiringi alunan lagunya…
"Yang cuma ingin diam duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air di tangannya, kala kuterbaring… sakit"
Cerpen yang paling keren menurut saia adalah Cicak di Dinding, cerita sederhana tentang seorang pria yang mengagumi istri sahabatnya. Pas sampai di kalimat ini,
Hatinya ditemukan. Tapi tak lagi sama. Huhuhuuuu.... serasa ada pisau yang menancap di hati ini. Serasa ada yang hilang.
Saat membaca Peluk saia membayangkan bahwa kejadian itu benar-benar terjadi sebelum perpisahan antara Dee dengan Marcel. Mungkin lagu dan cerpennya memang terinspirasi dari perpisahan mereka. Entahlah.
Cerpen Tidur, seperti sebuah sindiran bagi para working mom yang meninggalkan keluarganya untuk kepentingan karir.
Saia baru menyadari setelah membaca cerpen terakhir, kesebelas cerpen ini tidak memunculkan satu pun nama tokohnya. Hanya ada aku, kamu, dan dia.
Yang jelas, lagu-lagu dalam albumnya sangat sesuai dengan cerpen dan begitu pula sebaliknya. Meski terkadang Dee menyajikannya dalam sudut pandang yang berbeda. Atas sebuah tema universal, cinta, Dee membuka mata kita bahwa siapa saja berhak mencintai dengan caranya masing-masing. Beberapa cerpennya menceritakan tentang bagaimana seseorang berkompromi dengan masa lalu. Kalau suka dengan tulisan-tulisan Dee sebelumnya pasti tidak akan melewatkan makhluk hibrida ini.
Keduanya dapat dinikmati terpisah tapi akan lebih asyik kalau pada saat membaca bukunya ada alunan musik dari albumnya.
Thursday, November 13, 2008
Death Note Made Me Murder…
Lelaki itu tersungkur di aspal. Sesaat tubuhnya bergetar kemudian berhenti sama sekali. Kemeja putihnya berlumuran darah yang mengucur dari bekas sabetan senjata tajam di lehernya. Darah juga membanjiri aspal di tempat dia tergeletak. Dia tewas. Aku telah membunuhnya. Benda di tangan kananku masih meneteskan darah lelaki itu. Nanar aku menatap tubuh tak bergerak itu.
***
Penggemar manga atau anime pasti kenal mereka bertiga. L, Ligth, dan Ryukuu. Yagami Light, berniat membuat sebuah dunia baru yang bersih dari tindak kejahatan. Sebuah niat yang mulia, tapi tidak dengan cara yang ditempuhnya. Light membunuh para kriminal satu per satu. Hanya dengan mengetahui wajah dan menuliskan nama kriminal itu di Death Note yang dijatuhkan oleh shinigami Ryukuu. Dia menyebut dirinya Kira.
Kepolisian Jepang dan Interpol pun memburunya. Sebuah tim dibentuk. Tim yang dikepalai Yagami Soichiro ini bekerja sama dengan L, pemuda tanggung dengan penampilan berantakan dan kelakuan aneh tapi analisanya keren. L mencurigai Light adalah Kira meski hasil pengamatan menunjukkan bahwa Light bukan Kira. L meminta Yagami Soichiro melibatkan Light dalam tim mereka. Tiba-tiba muncul The Second Kira. Seorang model cantik dan ceria, Amane Misa. Light dan Misa menjalin hubungan tapi kemudian Misa ditangkap karena bukti-bukti di sebuah TKP mengarah ke dirinya. Jadi tambah njlimet saat Light memutuskan untuk menolong Misa dengan menyuruh Ryukuu mencabut ingatannya tentang Death Note dan mengubur catatan itu.
Bagaimana akhir perburuan Kira oleh L? Yang jelas ini bukan anime yang happy ending meski akhirnya terungkap identitas Kira.
Beberapa hal kecil yang menarik dari anime ini antara lain kebiasaan L yang tidak bisa duduk kecuali dengan nongkrong, meski di sofa sekalipun. Juga kebiasaannya menghisap jempol serta caranya memegang telepon selular. Dan yang paling utama kue-kue dan es krim yang dimakan L, hemmm...yummy...
Kalau soal ”perang” antara L dan Light aka Kira mah gak perlu ditanya lagi, seru!
Bagi yang pernah membaca manganya ato mengikuti animenya pasti mengetahui bahwa cerita di awal tulisan ini bukan bagian dari cerita Death Note. Itu sepenggal adegan yang akhirnya mengantarkan saia kembali ke alam nyata dengan napas memburu dan jantung berdebar-debar. Mungkin gara-gara selama sepekan nonton animenya secara marathon tiap menjelang tidur. Atau jangan-jangan ini alter ego saia? Entah di mana, di malam yang sama, seorang lelaki tewas terkapar bersimbah darah dengan sayatan benda tajam di lehernya.
***
Penggemar manga atau anime pasti kenal mereka bertiga. L, Ligth, dan Ryukuu. Yagami Light, berniat membuat sebuah dunia baru yang bersih dari tindak kejahatan. Sebuah niat yang mulia, tapi tidak dengan cara yang ditempuhnya. Light membunuh para kriminal satu per satu. Hanya dengan mengetahui wajah dan menuliskan nama kriminal itu di Death Note yang dijatuhkan oleh shinigami Ryukuu. Dia menyebut dirinya Kira.
Kepolisian Jepang dan Interpol pun memburunya. Sebuah tim dibentuk. Tim yang dikepalai Yagami Soichiro ini bekerja sama dengan L, pemuda tanggung dengan penampilan berantakan dan kelakuan aneh tapi analisanya keren. L mencurigai Light adalah Kira meski hasil pengamatan menunjukkan bahwa Light bukan Kira. L meminta Yagami Soichiro melibatkan Light dalam tim mereka. Tiba-tiba muncul The Second Kira. Seorang model cantik dan ceria, Amane Misa. Light dan Misa menjalin hubungan tapi kemudian Misa ditangkap karena bukti-bukti di sebuah TKP mengarah ke dirinya. Jadi tambah njlimet saat Light memutuskan untuk menolong Misa dengan menyuruh Ryukuu mencabut ingatannya tentang Death Note dan mengubur catatan itu.
Bagaimana akhir perburuan Kira oleh L? Yang jelas ini bukan anime yang happy ending meski akhirnya terungkap identitas Kira.
Beberapa hal kecil yang menarik dari anime ini antara lain kebiasaan L yang tidak bisa duduk kecuali dengan nongkrong, meski di sofa sekalipun. Juga kebiasaannya menghisap jempol serta caranya memegang telepon selular. Dan yang paling utama kue-kue dan es krim yang dimakan L, hemmm...yummy...
Kalau soal ”perang” antara L dan Light aka Kira mah gak perlu ditanya lagi, seru!
Bagi yang pernah membaca manganya ato mengikuti animenya pasti mengetahui bahwa cerita di awal tulisan ini bukan bagian dari cerita Death Note. Itu sepenggal adegan yang akhirnya mengantarkan saia kembali ke alam nyata dengan napas memburu dan jantung berdebar-debar. Mungkin gara-gara selama sepekan nonton animenya secara marathon tiap menjelang tidur. Atau jangan-jangan ini alter ego saia? Entah di mana, di malam yang sama, seorang lelaki tewas terkapar bersimbah darah dengan sayatan benda tajam di lehernya.
Monday, November 10, 2008
The Fall, Tipisnya Batas Dongeng dan Kenyataan
The Fall
Director: Tarsem Singh
Scriptwriter: Dan Gilroy, Nico Soultanakis, Tarsem Singh
Producer: Ajit Singh, Tommy Turtle, Tarsem Singh
Cast: Cantica Untaru, Lee Pace, Justine Waddell
2006
Alexandria, gadis kecil berumur 5 tahun yang terpaksa menjalani hari-harinya di rumah sakit karena harus menjalani perawatan tulang lengan kirinya yang patah akibat terjatuh ketika memetik jeruk. Dia selalu membawa sebuah kotak berisi barang-barang kesukaannya. Suatu saat dia mencari secarik kertas berisi suratnya kepada Suster Evelyn yang diterbangkan angin. Dia bertemu Roy, stuntman yang juga dalam perawatan karena kecelakaan saat pengambilan gambar. Roylah yang menemukan surat itu. Roy menceritakan sebuah kisah tentang Alexander The Great kepada gadis itu. Alexandria terkesan dan dia kembali ke kamar Roy di hari berikutnya.
Roy menceritakan sebuah kisah epik di mana ada lima orang yang diasingkan di sebuah pulau berbentuk kupu-kupu. Masked bandit, Indian, Luigi, Charles Darwin dan Otta Benga. Dengan alasan yang berbeda-beda mereka mempunyai satu tujuan, membunuh Gubernur Odious. Mereka berhasil lolos dari pulau tersebut dan bertemu dengan Mystic yang juga ingin membunuh Sang Gubernur.
Mereka berhasil mengatasi pasukan istana namun terlambat, Gubernur telah melarikan diri. Berdasarkan peta yang muncul di tubuh Mystic setelah upacara sakral yang melibatkan puluhan penari Kecak, mereka berhasil menelusuri jejak Gub. Odious. Bukan Sang Gubernur yang berada di kereta melainkan seorang wanita cantik dan seorang anak lelaki. Masked bandit jatuh cinta kepada wanita yang ternyata adalah tunangan Gub. Odious.
Tujuan Roy menceritakan kisah tersebut adalah untuk merebut kepercayaan Alexandria dan meminta gadis itu mengambil (baca: mencuri) morphine. Roy bermaksud bunuh diri.
Kenyataan dan fantasi mulai tercampur aduk, tokoh-tokoh dalam kisah Roy adalah orang-orang di rumah sakit, Alexandria masuk ke dalam kisah tersebut dan menolong mereka yang sedang ditawan pasukan Odious.
Ketika Alexandria untuk yang kedua kali mengambil morphine dia terjatuh dan harus dioperasi. Roy mengunjunginya dan menceritakan akhir kisah heroik itu. Sebuah akhir yang tidak disukai Alexandria.
Two tumbs up. Satu lagi film yang berhasil memaku mata untuk tetap menatap layar selama adegan demi adegan bergulir. Singh berhasil memanjakan mata dengan menyajikan visualisasi yang fantastis. Angle yang menarik. Warna-warni yang kontras namun memikat. Detail yang sempurna. Tempat-tempat yang indah. Terutama scene langit biru, gurun coklat dan pasir putih. Tidak dapat menentukan apakah tempat-tempat dan bangunan-bangunan indah itu benar-benar ada atau tidak, kecuali hamparan terasering di Bali plus para penari Kecak di depan pura. Juga beberapa landmark terkenal seperti Pyramid, The Great Wall, dan Eiffel Tower yang muncul sekilas. Bahkan tarian sufi turut hadir di sini. Tata suara yang pas ikut melengkapi gambar-gambar indah ini.
Ditambah permainan menarik dari Cantika Untaru yang menyajikan keluguan seorang gadis cilik lengkap dengan ketidakmengertiannya yang kadang muncul saat mencerna kata-kata lawan bicaranya. Menggemaskan. Ada juga beberapa adegan konyol yang membuat tertawa meski tidak terbahak-bahak seperti saat menonton film komedi.
Overall, nilai 9/10 untuk film ini. One of must-seen movies...!
Akhir sebuah dongeng ditentukan oleh sang pencerita. Jadi, buatlah dongengmu sendiri...
Catatan:
Bagi orang luar, salah satu yang menarik dari Bali adalah kekuatan mistiknya, adegan tubuh Mystic yang tiba-tiba dipenuhi tato dengan diiringi puluhan penari Kecak menunjukkan hal itu. Padahal di bagian lain negeri ini, agak lebih ke barat, ada sebuah suku yang terkenal dengan tato dan upacara sakral. Mentawai. Tato Mentawai dikenal sebagai salah satu tato tertua. Tapi orang lebih mengenal Bali daripada Mentawai.
Ada yang sedikit mengganjal, Charles Darwin adalah seorang pecinta makhluk hidup tetapi dia mengenakan mantel bulu merah putih hitam yang sepertinya berasal dari bulu binatang. Absurd.
Director: Tarsem Singh
Scriptwriter: Dan Gilroy, Nico Soultanakis, Tarsem Singh
Producer: Ajit Singh, Tommy Turtle, Tarsem Singh
Cast: Cantica Untaru, Lee Pace, Justine Waddell
2006
Alexandria, gadis kecil berumur 5 tahun yang terpaksa menjalani hari-harinya di rumah sakit karena harus menjalani perawatan tulang lengan kirinya yang patah akibat terjatuh ketika memetik jeruk. Dia selalu membawa sebuah kotak berisi barang-barang kesukaannya. Suatu saat dia mencari secarik kertas berisi suratnya kepada Suster Evelyn yang diterbangkan angin. Dia bertemu Roy, stuntman yang juga dalam perawatan karena kecelakaan saat pengambilan gambar. Roylah yang menemukan surat itu. Roy menceritakan sebuah kisah tentang Alexander The Great kepada gadis itu. Alexandria terkesan dan dia kembali ke kamar Roy di hari berikutnya.
Roy menceritakan sebuah kisah epik di mana ada lima orang yang diasingkan di sebuah pulau berbentuk kupu-kupu. Masked bandit, Indian, Luigi, Charles Darwin dan Otta Benga. Dengan alasan yang berbeda-beda mereka mempunyai satu tujuan, membunuh Gubernur Odious. Mereka berhasil lolos dari pulau tersebut dan bertemu dengan Mystic yang juga ingin membunuh Sang Gubernur.
Mereka berhasil mengatasi pasukan istana namun terlambat, Gubernur telah melarikan diri. Berdasarkan peta yang muncul di tubuh Mystic setelah upacara sakral yang melibatkan puluhan penari Kecak, mereka berhasil menelusuri jejak Gub. Odious. Bukan Sang Gubernur yang berada di kereta melainkan seorang wanita cantik dan seorang anak lelaki. Masked bandit jatuh cinta kepada wanita yang ternyata adalah tunangan Gub. Odious.
Tujuan Roy menceritakan kisah tersebut adalah untuk merebut kepercayaan Alexandria dan meminta gadis itu mengambil (baca: mencuri) morphine. Roy bermaksud bunuh diri.
Kenyataan dan fantasi mulai tercampur aduk, tokoh-tokoh dalam kisah Roy adalah orang-orang di rumah sakit, Alexandria masuk ke dalam kisah tersebut dan menolong mereka yang sedang ditawan pasukan Odious.
Ketika Alexandria untuk yang kedua kali mengambil morphine dia terjatuh dan harus dioperasi. Roy mengunjunginya dan menceritakan akhir kisah heroik itu. Sebuah akhir yang tidak disukai Alexandria.
Two tumbs up. Satu lagi film yang berhasil memaku mata untuk tetap menatap layar selama adegan demi adegan bergulir. Singh berhasil memanjakan mata dengan menyajikan visualisasi yang fantastis. Angle yang menarik. Warna-warni yang kontras namun memikat. Detail yang sempurna. Tempat-tempat yang indah. Terutama scene langit biru, gurun coklat dan pasir putih. Tidak dapat menentukan apakah tempat-tempat dan bangunan-bangunan indah itu benar-benar ada atau tidak, kecuali hamparan terasering di Bali plus para penari Kecak di depan pura. Juga beberapa landmark terkenal seperti Pyramid, The Great Wall, dan Eiffel Tower yang muncul sekilas. Bahkan tarian sufi turut hadir di sini. Tata suara yang pas ikut melengkapi gambar-gambar indah ini.
Ditambah permainan menarik dari Cantika Untaru yang menyajikan keluguan seorang gadis cilik lengkap dengan ketidakmengertiannya yang kadang muncul saat mencerna kata-kata lawan bicaranya. Menggemaskan. Ada juga beberapa adegan konyol yang membuat tertawa meski tidak terbahak-bahak seperti saat menonton film komedi.
Overall, nilai 9/10 untuk film ini. One of must-seen movies...!
Akhir sebuah dongeng ditentukan oleh sang pencerita. Jadi, buatlah dongengmu sendiri...
Catatan:
Bagi orang luar, salah satu yang menarik dari Bali adalah kekuatan mistiknya, adegan tubuh Mystic yang tiba-tiba dipenuhi tato dengan diiringi puluhan penari Kecak menunjukkan hal itu. Padahal di bagian lain negeri ini, agak lebih ke barat, ada sebuah suku yang terkenal dengan tato dan upacara sakral. Mentawai. Tato Mentawai dikenal sebagai salah satu tato tertua. Tapi orang lebih mengenal Bali daripada Mentawai.
Ada yang sedikit mengganjal, Charles Darwin adalah seorang pecinta makhluk hidup tetapi dia mengenakan mantel bulu merah putih hitam yang sepertinya berasal dari bulu binatang. Absurd.
Jalan-jalan di Mall of Indonesia
Mall of Indonesia alias MOI adalah salah satu fasilitas yang diberikan pengembang kelas kakap, Agung Sedayu Grup, untuk para penghuni apartemen di Kelapa Gading Square. Hunian mewah di lokasi yang oleh sebagian orang disebut sebagai kepala naganya Jakarta. Sudah diputuskan inilah tempat pertama yang akan saia kunjungi setelah masa istirahat jalan-jalan selama hampir satu bulan. Kunjungan ke Plaza Senayan saat Metro Dept. Store mengadakan sale gila-gilaan tidak dihitung karena terkait dengan kunjungan kerja yang juga berlokasi di Plaza Senayan. Apa sih menariknya MOI hingga saia rela menempuh jarak puluhan kilometer?
Apakah karena di sana sedang ada sale?
Bukan.
Tempat hang-out yang seru?
Bukan.
Atau karena ada tempat makan asyik yang murah meriah horrey?
Bukan juga.
Lalu apa?
Blitz Megaplex jawabannya.
Loh, bukankah di Grand Indonesia dan Pacific Place juga ada Blitz Megaplex?
Yup, that’s right. Tapi di Blitz GI dan PP tidak ada film yang menjadi incaran saia. Film yang terlewat saat diputar di Blitz GI beberapa bulan lalu, The Fall. Yang menjadi korban untuk menemani saia kali ini adalah Dian.
Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 13.30 WIB dengan menyusuri jalan tol dalam kota yang saat kami perhatikan di tiap gedung di sepanjang kiri jalan (karena yang sebelah kanan tertutup pembatas) terdapat janur kuning yang melambai tertiup angin.
Tak lama kemudian, dengan mengalami sedikit kemacetan, kami keluar tol Sunter. Belok kiri kemudian putar balik. Deretan beton yang menjulang tinggi menyambut kami, Kelapa Gading Square. MOI dikelilingi menara-menara apartemen dan deretan rukan. Kami masuk dari pintu selatan, pintu yang berhadapan langsung dengan Balai Samudera di seberang jalan. Begitu melewati pintu kaca, hawa dingin langsung menyergap. Tidak ada hiruk pikuk khas pusat perbelanjaan. Sepi. Ditambah lagi udara yang masih berat karena bau cat dan teman-temannya. Agak ragu kami melangkah semakin ke dalam. Sebuah tirai air dengan cahaya biru menyambut kami. Gerai-gerai masih tertutup tripleks, beberapa di antaranya sudah menempelkan logo tenant. Hanya satu dua pengunjung lain yang kami temui.
Akhirnya kami menemukan sedikit keramaian, Fun World, ajang permainan yang mirip Dunia Fantasi di Ancol tetapi dalam versi mini. Tidak banyak anak-anak yang mencoba berbagai permainan yang ditawarkan.
Kami langsung menuju lantai 2 tempat studio Blitz berada. Masih agak di dekat loket penjualan tiket. Tidak senyaman di Blitz GI. Tidak ada antrian meski ada beberapa orang yang sedang dilayani. Kami orang pertama yang membeli tiket The Fall yang diputar di Studio 6. E-11 dan E-12 menjadi pilihan tempat duduk kami. Sepertinya mall ini berakhir di lantai 2 karena lantai di atas kami berisi deretan mobil yang diparkir rapi. Masih ada waktu sekitar 2 jam untuk berkeliling sembari menunggu The Fall diputar.
Food court yang menawarkan beragam makanan baru dibuka beberapa waktu lalu, nampak dari beberapa rangkaian bunga ucapan selamat. Sebagian besar gerai masih tutup. Gerai pakaian dan sepatu wanita menarik perhatian kami. Bahkan sepotong baju putih dengan aksen bunga membuat kami berdecak dan membuat Dian nyaris mengeksekusinya. Tanpa diskon, harganya terlalu mahal untuk sepotong baju, Rp. 349.000. Perjalanan kami berlanjut ke Centro. The Body Shop sedang menggelar sale hingga tanggal 16 November. Sebotol body mist berpindah dari rak pajangan ke tas, melalui transaksi resmi tentunya. Sepotong kemeja berwarna broken white juga memenuhi tas saia.
Beberapa menit setelah masuk waktu Ashar kami menuju musholla yang berada di lantai LG, lantai di mana raksasa ritel Carrefour berada. Tapi ternyata musholla tersebut berada di tempat parkir. Untuk menuju ke sana kami harus menahan napas karena udara yang sangat berdebu. Tempat wudhunya bersih dan terpisah antara pria dan wanita tetapi tempat sholat tidak terpisah. Hanya sekitar 4x8m luasnya, dengan karpet merah bekas yang sudah menguarkan aroma tidak sedap.
Kami balik lagi ke Blitz dan memesan makanan dan minuman di Blitz Café. Spaghetti dan jus stroberi menjadi pilihan saia. Dian memesan nasi goreng rendang dan vanilla coffee late, plus lumpia dan siomay untuk kami berdua. Waitressnya masih kurang pelatihan jadi pelayanannya kurang cekatan. Spaghettinya juga biasa banget (buatan saia bahkan lebih enak dari ini), berbeda dengan spaghetti-nya Blitz Café GI yang benar-benar yummy. Saat melirik backdrop panggung yang masih kacau balau, kami baru tahu ternyata hari sebelumnya dilakukan Grand Opening Blitz MOI.
Suasana menuju studio sangat khas Blitz, merah dan hitam. Lebih cozy dibandingkan Blitz Café. Kami orang pertama yang masuk Studio 6, berasa home theater pribadi. Studionya tidak besar, sekitar 200 tempat duduk dengan kursi yang khas di studio Blitz, keras dan tidak nyaman. Total ada delapan orang yang menyaksikan permainan Cantica Untaru sebagai Alexandria di The Fall. Dinginnya hawa dari AC menusuk tulang (harusnya bawa selimut nih).
Pukul 18.40 WIB saat credit title mengiringi kami keluar studio. Kami langsung memacu langkah ke musholla yang lumayan jauh. Sebelum mengakhiri perjalanan di MOI kami menyempatkan diri ke toilet yang bersih dan nyaman. Ada salah satu closet yang rusak saat itu, airnya tidak bisa berhenti mengalir, sementara tidak ada petugas yang berpatroli di sekitar toilet.
Panataan ruang yang berkelok-kelok dan gerai-gerai yang masih tertutup tripleks putih sempat membuat kami beberapa kali kehilangan arah, termasuk saat mencari pintu selatan. Kami keluar dan disambut sebuah air mancur yang dikelilingi pohon-pohon palem yang daun-daunnya masih diikat. Ada keluarga kecil yang sedang berfoto di dekat air mancur.
Jalan-jalan kali ini berakhir sudah. Puas berhasil nonton The Fall, tetapi kecewa karena mall masih sepi. Beberapa bulan lagi mungkin MOI bakal menambah jumlah mall kelas atas yang semakin memanjakan manusia-manusia konsumtif ibu kota. Berminat tinggal di salah satu apartemen di Kelapa Gading Square? Eehmm, jelas tidak terjangkau dengan penghasilan seorang abdi negara.
Apakah karena di sana sedang ada sale?
Bukan.
Tempat hang-out yang seru?
Bukan.
Atau karena ada tempat makan asyik yang murah meriah horrey?
Bukan juga.
Lalu apa?
Blitz Megaplex jawabannya.
Loh, bukankah di Grand Indonesia dan Pacific Place juga ada Blitz Megaplex?
Yup, that’s right. Tapi di Blitz GI dan PP tidak ada film yang menjadi incaran saia. Film yang terlewat saat diputar di Blitz GI beberapa bulan lalu, The Fall. Yang menjadi korban untuk menemani saia kali ini adalah Dian.
Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 13.30 WIB dengan menyusuri jalan tol dalam kota yang saat kami perhatikan di tiap gedung di sepanjang kiri jalan (karena yang sebelah kanan tertutup pembatas) terdapat janur kuning yang melambai tertiup angin.
Tak lama kemudian, dengan mengalami sedikit kemacetan, kami keluar tol Sunter. Belok kiri kemudian putar balik. Deretan beton yang menjulang tinggi menyambut kami, Kelapa Gading Square. MOI dikelilingi menara-menara apartemen dan deretan rukan. Kami masuk dari pintu selatan, pintu yang berhadapan langsung dengan Balai Samudera di seberang jalan. Begitu melewati pintu kaca, hawa dingin langsung menyergap. Tidak ada hiruk pikuk khas pusat perbelanjaan. Sepi. Ditambah lagi udara yang masih berat karena bau cat dan teman-temannya. Agak ragu kami melangkah semakin ke dalam. Sebuah tirai air dengan cahaya biru menyambut kami. Gerai-gerai masih tertutup tripleks, beberapa di antaranya sudah menempelkan logo tenant. Hanya satu dua pengunjung lain yang kami temui.
Akhirnya kami menemukan sedikit keramaian, Fun World, ajang permainan yang mirip Dunia Fantasi di Ancol tetapi dalam versi mini. Tidak banyak anak-anak yang mencoba berbagai permainan yang ditawarkan.
Kami langsung menuju lantai 2 tempat studio Blitz berada. Masih agak di dekat loket penjualan tiket. Tidak senyaman di Blitz GI. Tidak ada antrian meski ada beberapa orang yang sedang dilayani. Kami orang pertama yang membeli tiket The Fall yang diputar di Studio 6. E-11 dan E-12 menjadi pilihan tempat duduk kami. Sepertinya mall ini berakhir di lantai 2 karena lantai di atas kami berisi deretan mobil yang diparkir rapi. Masih ada waktu sekitar 2 jam untuk berkeliling sembari menunggu The Fall diputar.
Food court yang menawarkan beragam makanan baru dibuka beberapa waktu lalu, nampak dari beberapa rangkaian bunga ucapan selamat. Sebagian besar gerai masih tutup. Gerai pakaian dan sepatu wanita menarik perhatian kami. Bahkan sepotong baju putih dengan aksen bunga membuat kami berdecak dan membuat Dian nyaris mengeksekusinya. Tanpa diskon, harganya terlalu mahal untuk sepotong baju, Rp. 349.000. Perjalanan kami berlanjut ke Centro. The Body Shop sedang menggelar sale hingga tanggal 16 November. Sebotol body mist berpindah dari rak pajangan ke tas, melalui transaksi resmi tentunya. Sepotong kemeja berwarna broken white juga memenuhi tas saia.
Beberapa menit setelah masuk waktu Ashar kami menuju musholla yang berada di lantai LG, lantai di mana raksasa ritel Carrefour berada. Tapi ternyata musholla tersebut berada di tempat parkir. Untuk menuju ke sana kami harus menahan napas karena udara yang sangat berdebu. Tempat wudhunya bersih dan terpisah antara pria dan wanita tetapi tempat sholat tidak terpisah. Hanya sekitar 4x8m luasnya, dengan karpet merah bekas yang sudah menguarkan aroma tidak sedap.
Kami balik lagi ke Blitz dan memesan makanan dan minuman di Blitz Café. Spaghetti dan jus stroberi menjadi pilihan saia. Dian memesan nasi goreng rendang dan vanilla coffee late, plus lumpia dan siomay untuk kami berdua. Waitressnya masih kurang pelatihan jadi pelayanannya kurang cekatan. Spaghettinya juga biasa banget (buatan saia bahkan lebih enak dari ini), berbeda dengan spaghetti-nya Blitz Café GI yang benar-benar yummy. Saat melirik backdrop panggung yang masih kacau balau, kami baru tahu ternyata hari sebelumnya dilakukan Grand Opening Blitz MOI.
Suasana menuju studio sangat khas Blitz, merah dan hitam. Lebih cozy dibandingkan Blitz Café. Kami orang pertama yang masuk Studio 6, berasa home theater pribadi. Studionya tidak besar, sekitar 200 tempat duduk dengan kursi yang khas di studio Blitz, keras dan tidak nyaman. Total ada delapan orang yang menyaksikan permainan Cantica Untaru sebagai Alexandria di The Fall. Dinginnya hawa dari AC menusuk tulang (harusnya bawa selimut nih).
Pukul 18.40 WIB saat credit title mengiringi kami keluar studio. Kami langsung memacu langkah ke musholla yang lumayan jauh. Sebelum mengakhiri perjalanan di MOI kami menyempatkan diri ke toilet yang bersih dan nyaman. Ada salah satu closet yang rusak saat itu, airnya tidak bisa berhenti mengalir, sementara tidak ada petugas yang berpatroli di sekitar toilet.
Panataan ruang yang berkelok-kelok dan gerai-gerai yang masih tertutup tripleks putih sempat membuat kami beberapa kali kehilangan arah, termasuk saat mencari pintu selatan. Kami keluar dan disambut sebuah air mancur yang dikelilingi pohon-pohon palem yang daun-daunnya masih diikat. Ada keluarga kecil yang sedang berfoto di dekat air mancur.
Jalan-jalan kali ini berakhir sudah. Puas berhasil nonton The Fall, tetapi kecewa karena mall masih sepi. Beberapa bulan lagi mungkin MOI bakal menambah jumlah mall kelas atas yang semakin memanjakan manusia-manusia konsumtif ibu kota. Berminat tinggal di salah satu apartemen di Kelapa Gading Square? Eehmm, jelas tidak terjangkau dengan penghasilan seorang abdi negara.
Friday, November 7, 2008
Petualangan di Perut Bumi
Journey to The Center of The Earth
Director: Eric Brevig
Scriptwriter: Michael Weiss, Jennifer Flackett, Mark Levin (based on Jules Verne’s Novel)
Cast: Brendan Fraser, Josh Hutcherson, Anita Briem
Executive Producer: Brendan Fraser
New Line Cinema, Walden Media
2008
Trevor Anderson terbangun dari mimpi tentang Max, saudaranya yang hilang beberapa tahun lalu. Max, sebagaimana halnya Trevor, adalah seorang ahli vulkanologi yang hilang dalam perjalanannya yang terakhir. Di hari yang sama saat Trevor terbangun dari mimpi, istri Max menitipkan Sean kepada Trevor selama 10 hari ke depan karena dia sedang mengurus proses kepindahan ke Canada. Selain menitipkan Sean, dia juga memberikan barang-barang peninggalan Max kepada Trevor. Sean yang semula tidak mempedulikan Trevor dan sibuk dengan PSP-nya mulai tertarik saat Trevor melihat-lihat barang milik Max serta menceritakan kisahnya.
Salah satu barang peninggalan Max adalah novel lawas karya Jules Verne, Journey to The Center of The Earth, yang menceritakan perjalanan dalam pencarian inti bumi. Dalam buku tersebut terdapat beberapa catatan yang dibuat dengan tulisan tangan oleh Max yang menunjukkan bahwa dia berusaha mencari inti bumi tersebut. Saat itulah di layar komputer Trevor muncul titik ke empat di sebuah gunung berapi di Iceland. Trevor memutuskan untuk ke sana karena dia yakin dia bisa menelusuri jejak Max. Sean memaksa ikut karena ini menyangkut ayahnya.
Mereka mencari akademi yg dipimpin Prof. Sigurbjornsdottir (susah banget namanya, ini juga hasil nyontek di wiki) sesuai petunjuk dari catatan yang dibuat Max. Tapi ternyata akademi itu tidak ada dan mereka malah bertemu Hannah, anak Prof. Sigurbjornsdottir. Hannah mengatakan bahwa ayahnya, dan juga Max, adalah Vernian, orang-orang yang mempercayai bahwa yang ditulis oleh Jules Verne adalah nyata. Hannah bersedia menjadi pemandu untuk mendaki gunung.
Petualangan dimulai saat mereka terjebak di dalam gua saat menyelamatkan diri dari terjangan petir. Mereka memutuskan menyusuri gua tersebut untuk menemukan jalan keluar di sisi lainnya. Trevor nyaris terjun bebas ke jurang yang dalamnya ratusan meter. Menaiki troli di jalur tambang yang juga nyaris memakan nyawa mereka. Menemukan dinding gua yang penuh dengan ruby, emerald, bahkan diamond hingga mereka tidak menyadari bahwa tempat mereka berpijak sangat tipis. Mereka bertemu kawanan burung yang sayapnya bercahaya dan kemudian menemukan sebuah ruangan beserta catatan yang dibuat Max. Jalan keluar dari situ adalah menemukan geiser yang akan membawa mereka ke atas. Mereka harus berkejaran dengan waktu karena suhu makin tinggi. Saat menyeberangi danau mereka bertemu ikan-ikan pemangsa hingga Sean terpisah dari Trevor dan Hannah. Ternyata Sean ditemani oleh salah satu burung bercahaya yang menuntun jalannya menuju geiser. Trevor dan Hannah tiba di sungai tetapi Sean tidak berada di sana.
Sebagai pecinta film fantasi, saia cukup terhibur dengan film ini, meskipun ceritanya sangat standar. Scene and scoring paling bagus saat mereka bertemu dengan kawanan glowing birds. Karena nontonnya di kos dengan audio video player yang standar, efek 3D-nya jadi kurang berasa. Mungkin kalau nontonnya di Theater IMAX film ini jadi lebih keren. Meski dinosaurus dan ikan-ikan di danau kelihatan banget tempelannya. Efek 3D paling berasa saat ketiganya menaiki troli tambang dan menyusuri jalur yang seperti rollercoaster. Seru juga kalau dijadiin salah satu wahana di Dunia Fantasi yang pake layar 3D dan kursi yang bergerak-gerak mengikuti gambar. Lucu juga melihat Sean dan Trevor, dua orang dari dua generasi yang berbeda, terpana melihat Hannah. Dibandingkan dengan film Fraser sebelumnya, sekuel ketiga dari The Mummy, saia lebih terhibur dengan film ini. Apalagi dibandingkan film Josh Hutcherson sebelumnya, Bridge to Terrabithia, ya kerenan yang ini lah… .
Director: Eric Brevig
Scriptwriter: Michael Weiss, Jennifer Flackett, Mark Levin (based on Jules Verne’s Novel)
Cast: Brendan Fraser, Josh Hutcherson, Anita Briem
Executive Producer: Brendan Fraser
New Line Cinema, Walden Media
2008
Trevor Anderson terbangun dari mimpi tentang Max, saudaranya yang hilang beberapa tahun lalu. Max, sebagaimana halnya Trevor, adalah seorang ahli vulkanologi yang hilang dalam perjalanannya yang terakhir. Di hari yang sama saat Trevor terbangun dari mimpi, istri Max menitipkan Sean kepada Trevor selama 10 hari ke depan karena dia sedang mengurus proses kepindahan ke Canada. Selain menitipkan Sean, dia juga memberikan barang-barang peninggalan Max kepada Trevor. Sean yang semula tidak mempedulikan Trevor dan sibuk dengan PSP-nya mulai tertarik saat Trevor melihat-lihat barang milik Max serta menceritakan kisahnya.
Salah satu barang peninggalan Max adalah novel lawas karya Jules Verne, Journey to The Center of The Earth, yang menceritakan perjalanan dalam pencarian inti bumi. Dalam buku tersebut terdapat beberapa catatan yang dibuat dengan tulisan tangan oleh Max yang menunjukkan bahwa dia berusaha mencari inti bumi tersebut. Saat itulah di layar komputer Trevor muncul titik ke empat di sebuah gunung berapi di Iceland. Trevor memutuskan untuk ke sana karena dia yakin dia bisa menelusuri jejak Max. Sean memaksa ikut karena ini menyangkut ayahnya.
Mereka mencari akademi yg dipimpin Prof. Sigurbjornsdottir (susah banget namanya, ini juga hasil nyontek di wiki) sesuai petunjuk dari catatan yang dibuat Max. Tapi ternyata akademi itu tidak ada dan mereka malah bertemu Hannah, anak Prof. Sigurbjornsdottir. Hannah mengatakan bahwa ayahnya, dan juga Max, adalah Vernian, orang-orang yang mempercayai bahwa yang ditulis oleh Jules Verne adalah nyata. Hannah bersedia menjadi pemandu untuk mendaki gunung.
Petualangan dimulai saat mereka terjebak di dalam gua saat menyelamatkan diri dari terjangan petir. Mereka memutuskan menyusuri gua tersebut untuk menemukan jalan keluar di sisi lainnya. Trevor nyaris terjun bebas ke jurang yang dalamnya ratusan meter. Menaiki troli di jalur tambang yang juga nyaris memakan nyawa mereka. Menemukan dinding gua yang penuh dengan ruby, emerald, bahkan diamond hingga mereka tidak menyadari bahwa tempat mereka berpijak sangat tipis. Mereka bertemu kawanan burung yang sayapnya bercahaya dan kemudian menemukan sebuah ruangan beserta catatan yang dibuat Max. Jalan keluar dari situ adalah menemukan geiser yang akan membawa mereka ke atas. Mereka harus berkejaran dengan waktu karena suhu makin tinggi. Saat menyeberangi danau mereka bertemu ikan-ikan pemangsa hingga Sean terpisah dari Trevor dan Hannah. Ternyata Sean ditemani oleh salah satu burung bercahaya yang menuntun jalannya menuju geiser. Trevor dan Hannah tiba di sungai tetapi Sean tidak berada di sana.
Sebagai pecinta film fantasi, saia cukup terhibur dengan film ini, meskipun ceritanya sangat standar. Scene and scoring paling bagus saat mereka bertemu dengan kawanan glowing birds. Karena nontonnya di kos dengan audio video player yang standar, efek 3D-nya jadi kurang berasa. Mungkin kalau nontonnya di Theater IMAX film ini jadi lebih keren. Meski dinosaurus dan ikan-ikan di danau kelihatan banget tempelannya. Efek 3D paling berasa saat ketiganya menaiki troli tambang dan menyusuri jalur yang seperti rollercoaster. Seru juga kalau dijadiin salah satu wahana di Dunia Fantasi yang pake layar 3D dan kursi yang bergerak-gerak mengikuti gambar. Lucu juga melihat Sean dan Trevor, dua orang dari dua generasi yang berbeda, terpana melihat Hannah. Dibandingkan dengan film Fraser sebelumnya, sekuel ketiga dari The Mummy, saia lebih terhibur dengan film ini. Apalagi dibandingkan film Josh Hutcherson sebelumnya, Bridge to Terrabithia, ya kerenan yang ini lah… .
Monday, November 3, 2008
Mystic River, Sungai yang Menjadi Saksi
MYSTIC RIVER
Director: Clint Eastwood
Scriptwriter: Brian Helgeland
Cast: Sean Penn, Tim Robbins, Kevin Bacon
2003
Diawali dengan kisah penculikan Dave Boyle saat dia bermain bersama Sean Devine dan Jimmy Markum di tahun 1975. Waktu itu mereka berumur sebelas tahun. Dave berhasil kabur empat hari kemudian dan kembali ke rumahnya, tetapi ada yang berubah.
Adegan kemudian melompat ke masa dua puluh lima tahun kemudian. Katie Markum, anak perempuan Jimmy, mengadakan pesta lajang bersama dua sahabatnya, Eve dan Diane, di beberapa bar pada malam terakhir sebelum dia merencanakan minggat ke Las Vegas dengan Brendan Harris. Itulah saat terakhir orang-orang melihat Katie dalam keadaan hidup. Mobilnya ditemukan di pinggir jalan dekat taman di pagi berikutnya dan Katie sendiri ditemukan tidak bernyawa di bawah layar drive-in di dalam taman dengan luka tembak dan bekas pukulan benda tumpul.
Di malam yang sama saat terbunuhnya Katie, Dave Boyle pulang ke rumah dengan baju berlumuran darah dan dada tersayat pisau. Dia mengaku kepada Celeste, istrinya, bahwa dia berkelahi dengan perampok dan dia berpikir mungkin dia membunuh orang itu.
Sean Devine ditugaskan menyelidiki kasus ini berpartner dengan atasannya, Whitey Powers. Jimmy pun tidak tinggal diam. Dia meminta ipar-iparnya, Savage bersaudara, untuk menanyai orang-orang yang mungkin terakhir kali melihat Katie.
Dave Boyle, salah satu yang berada di bar yang sama dengan Katie dan teman-temannya malam itu, memberikan keterangan yang banyak celah sehingga polisi mencurigainya. Celeste pun mencurigainya sebagai pembunuh Katie, hingga dia memilih meninggalkan Dave.
Setelah mengumpulkan kepingan-kepingan bukti, Sean dan Whitey berhasil memecahkan kasus ini. Saat Sean memberitahukan kabar ini kepada Jimmy dia nampak terkejut. “Kalau saja kau lebih cepat sedikit,” kata Jimmy pada Sean. Dia membunuh orang yang salah.
Dari hasil mengintip IMDB, film ini ternyata banyak dinominasikan dalam Academy Award tahun 2003 termasuk Best Picture dan berhasil meraih dua Piala Oscar untuk kategori Best Actor in a Leading Role (Sean Penn as Jimmy Markum) dan Best Actor in a Supporting Role (Tim Robbins as Dave Boyle). Mystic River juga memenangkan dan dinominasikan dalam puluhan penghargaan lainnya. Saia paling suka Marcia Gay Harden yang berperan sebagai Celeste. Meihat dia langsung mengingatkan saia dengan Mrs. Carmody di film The Mist (yaiyalah… wong dia juga yang memerankannya!) Peran sebagai istri yang resah dengan kebohongan suaminya menjadikannya orang yang gugup dan ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain, dimainkan dengan apik oleh Harden.
Film ini mengingatkan saia bahwa novel dengan judul sama yang diadaptasi untuk film ini telah teronggok berbulan-bulan di antara deretan buku di Book Corner. Karena penasaran ingin mengetahui kisah lengkapnya, saia berhasil mengeksekusi novel ini dalam waktu satu minggu.
MYSTIC RIVER (Terj.)
Dennis Lehane
Penerbit Serambi, Jakarta
639 halaman
Cetakan I, Februari 2007
Ada beberapa bagian dalam novel yang tidak digambarkan di film yang memperjelas cerita ini. Pertemanan Jimmy, Sean dan Dave berakhir setelah Dave kembali dari penculikan. Ada yang berubah dalam dirinya sehingga dia merasa orang-orang mulai menjauhinya. Sejak lolos dari penculikan Dave merasa bahwa ada orang lain dalam kepalanya, Anak Lelaki yang Lolos dari Serigala.
Ada masa lalu Jimmy saat dia berusia belasan tahun, menikahi Marita yang kemudian melahirkan Katie. Marita meninggal saat Jimmy berada di penjara karena dikhianati “Just” Ray Harris. Hal itu yang menyebabkan dia melarang Katie berhubungan dengan keluarga Harris. Beberapa tahun setelah keluar dari penjara dia menikahi Annabeth, satu-satunya anak perempuan keluarga Savage. Mereka dikaruniai Sara dan Nadine. Dia tinggal di lantai dua di sebuah flat yang dihuni Savage bersaudara. Dalam film digambarkan bahwa Jimmy dan Dave tinggal dalam flat yang sama padahal seharusnya tinggal sekitar enam blok dari flat Jimmy.
Pemecahan kasus oleh Sean dan Whitey lebih banyak diungkap dalam novel ini. Saat Whitey mencurigai Dave, Sean tidak sependapat. Bukti-bukti forensik menghubungkan mereka dengan kasus-kasus di masa lalu. Pistol yang digunakan untuk membunuh Katie adalah pistol yang sama yang digunakan dalam sebuah perampokan belasan tahun lalu. “Just” Ray Harris dicurigai dalam kasus ini tetapi tidak terbukti. Hingga kini dia tidak diketahui rimbanya sejak dua bulan setelah Jimmy keluar dari penjara. Dave dan Brendan sempat dimasukkan sel karena kasus ini tapi kemudian bebas karena tidak cukup bukti.
Mendekati akhir film ada adegan saat Sean menelepon Lauren dan begitu senang ketika wanita itu berbicara. Ternyata Lauren, istri Sean, sudah hampir setahun meninggalkan Sean untuk mengikuti pertunjukan teater berkeliling negeri di mana dia menjadi manajer panggung. Dia selalu menelepon Sean tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa sebuah kejadian di masa lalu akan berpengaruh ke perjalanan hidup berikutnya, seperti yang dikatakan Jimmy, “Kalau saja waktu itu aku ikut masuk ke dalam mobil, aku tidak akan punya cukup keberanian untuk menikahi Marita, aku tidak akan memiliki Katie, dan aku tidak akan kehilangan dia seperti saat ini.” Gak tepat seperti itu kata-katanya, tapi intinya ya gitu deh….
Saia lebih suka novelnya karena lebih banyak bercerita tentang usaha Sean dan Whitey untuk mengungkap pembunuhan Katie. Lagi-lagi, saia lebih menikmati novelnya daripada filmnya.
Catatan:
Entah apa yang menjadi alasan penerjemah mengganti nama Markum menjadi Marcus.
Alih bahasa yang terlalu kaku membuat kenikmatan saia melahap novel ini agak berkurang.
Kenapa dikasih judul Mystic River? Baca aja deh novelnya... ato tonton aja filmnya...
Director: Clint Eastwood
Scriptwriter: Brian Helgeland
Cast: Sean Penn, Tim Robbins, Kevin Bacon
2003
Diawali dengan kisah penculikan Dave Boyle saat dia bermain bersama Sean Devine dan Jimmy Markum di tahun 1975. Waktu itu mereka berumur sebelas tahun. Dave berhasil kabur empat hari kemudian dan kembali ke rumahnya, tetapi ada yang berubah.
Adegan kemudian melompat ke masa dua puluh lima tahun kemudian. Katie Markum, anak perempuan Jimmy, mengadakan pesta lajang bersama dua sahabatnya, Eve dan Diane, di beberapa bar pada malam terakhir sebelum dia merencanakan minggat ke Las Vegas dengan Brendan Harris. Itulah saat terakhir orang-orang melihat Katie dalam keadaan hidup. Mobilnya ditemukan di pinggir jalan dekat taman di pagi berikutnya dan Katie sendiri ditemukan tidak bernyawa di bawah layar drive-in di dalam taman dengan luka tembak dan bekas pukulan benda tumpul.
Di malam yang sama saat terbunuhnya Katie, Dave Boyle pulang ke rumah dengan baju berlumuran darah dan dada tersayat pisau. Dia mengaku kepada Celeste, istrinya, bahwa dia berkelahi dengan perampok dan dia berpikir mungkin dia membunuh orang itu.
Sean Devine ditugaskan menyelidiki kasus ini berpartner dengan atasannya, Whitey Powers. Jimmy pun tidak tinggal diam. Dia meminta ipar-iparnya, Savage bersaudara, untuk menanyai orang-orang yang mungkin terakhir kali melihat Katie.
Dave Boyle, salah satu yang berada di bar yang sama dengan Katie dan teman-temannya malam itu, memberikan keterangan yang banyak celah sehingga polisi mencurigainya. Celeste pun mencurigainya sebagai pembunuh Katie, hingga dia memilih meninggalkan Dave.
Setelah mengumpulkan kepingan-kepingan bukti, Sean dan Whitey berhasil memecahkan kasus ini. Saat Sean memberitahukan kabar ini kepada Jimmy dia nampak terkejut. “Kalau saja kau lebih cepat sedikit,” kata Jimmy pada Sean. Dia membunuh orang yang salah.
Dari hasil mengintip IMDB, film ini ternyata banyak dinominasikan dalam Academy Award tahun 2003 termasuk Best Picture dan berhasil meraih dua Piala Oscar untuk kategori Best Actor in a Leading Role (Sean Penn as Jimmy Markum) dan Best Actor in a Supporting Role (Tim Robbins as Dave Boyle). Mystic River juga memenangkan dan dinominasikan dalam puluhan penghargaan lainnya. Saia paling suka Marcia Gay Harden yang berperan sebagai Celeste. Meihat dia langsung mengingatkan saia dengan Mrs. Carmody di film The Mist (yaiyalah… wong dia juga yang memerankannya!) Peran sebagai istri yang resah dengan kebohongan suaminya menjadikannya orang yang gugup dan ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain, dimainkan dengan apik oleh Harden.
Film ini mengingatkan saia bahwa novel dengan judul sama yang diadaptasi untuk film ini telah teronggok berbulan-bulan di antara deretan buku di Book Corner. Karena penasaran ingin mengetahui kisah lengkapnya, saia berhasil mengeksekusi novel ini dalam waktu satu minggu.
MYSTIC RIVER (Terj.)
Dennis Lehane
Penerbit Serambi, Jakarta
639 halaman
Cetakan I, Februari 2007
Ada beberapa bagian dalam novel yang tidak digambarkan di film yang memperjelas cerita ini. Pertemanan Jimmy, Sean dan Dave berakhir setelah Dave kembali dari penculikan. Ada yang berubah dalam dirinya sehingga dia merasa orang-orang mulai menjauhinya. Sejak lolos dari penculikan Dave merasa bahwa ada orang lain dalam kepalanya, Anak Lelaki yang Lolos dari Serigala.
Ada masa lalu Jimmy saat dia berusia belasan tahun, menikahi Marita yang kemudian melahirkan Katie. Marita meninggal saat Jimmy berada di penjara karena dikhianati “Just” Ray Harris. Hal itu yang menyebabkan dia melarang Katie berhubungan dengan keluarga Harris. Beberapa tahun setelah keluar dari penjara dia menikahi Annabeth, satu-satunya anak perempuan keluarga Savage. Mereka dikaruniai Sara dan Nadine. Dia tinggal di lantai dua di sebuah flat yang dihuni Savage bersaudara. Dalam film digambarkan bahwa Jimmy dan Dave tinggal dalam flat yang sama padahal seharusnya tinggal sekitar enam blok dari flat Jimmy.
Pemecahan kasus oleh Sean dan Whitey lebih banyak diungkap dalam novel ini. Saat Whitey mencurigai Dave, Sean tidak sependapat. Bukti-bukti forensik menghubungkan mereka dengan kasus-kasus di masa lalu. Pistol yang digunakan untuk membunuh Katie adalah pistol yang sama yang digunakan dalam sebuah perampokan belasan tahun lalu. “Just” Ray Harris dicurigai dalam kasus ini tetapi tidak terbukti. Hingga kini dia tidak diketahui rimbanya sejak dua bulan setelah Jimmy keluar dari penjara. Dave dan Brendan sempat dimasukkan sel karena kasus ini tapi kemudian bebas karena tidak cukup bukti.
Mendekati akhir film ada adegan saat Sean menelepon Lauren dan begitu senang ketika wanita itu berbicara. Ternyata Lauren, istri Sean, sudah hampir setahun meninggalkan Sean untuk mengikuti pertunjukan teater berkeliling negeri di mana dia menjadi manajer panggung. Dia selalu menelepon Sean tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Yang bisa diambil dari kisah ini adalah bahwa sebuah kejadian di masa lalu akan berpengaruh ke perjalanan hidup berikutnya, seperti yang dikatakan Jimmy, “Kalau saja waktu itu aku ikut masuk ke dalam mobil, aku tidak akan punya cukup keberanian untuk menikahi Marita, aku tidak akan memiliki Katie, dan aku tidak akan kehilangan dia seperti saat ini.” Gak tepat seperti itu kata-katanya, tapi intinya ya gitu deh….
Saia lebih suka novelnya karena lebih banyak bercerita tentang usaha Sean dan Whitey untuk mengungkap pembunuhan Katie. Lagi-lagi, saia lebih menikmati novelnya daripada filmnya.
Catatan:
Entah apa yang menjadi alasan penerjemah mengganti nama Markum menjadi Marcus.
Alih bahasa yang terlalu kaku membuat kenikmatan saia melahap novel ini agak berkurang.
Kenapa dikasih judul Mystic River? Baca aja deh novelnya... ato tonton aja filmnya...
Subscribe to:
Posts (Atom)