Akhir pekan lalu.
Semalam kenapa tidak jadi datang? Tanyamu pagi itu.
Aku tertidur, jawabku.
Ah, malam minggu kau dilewati dengan tidur? Kau seolah tak percaya.
Kau tahu sendiri, malam sebelumnya aku menemani dia ngobrol sampai jam 1 pagi. Dan kemarin aku harus mengunjungi beberapa tempat sekaligus. Kau pikir aku robot yang tidak kenal lelah? Semburku membela diri.
Iya, aku ngerti. Hari ini bagaimana? Kau bisa datang ke tempatnya kan? Suaramu melunak saat mengatakan ini.
Aku sudah di sini, kataku.
Di mana?
Di tempatnya.
Pagi-pagi begini? Ini masih jam 7. Lagi-lagi kau tak percaya.
Yah, sebagai kompensasi atas kemangkiranku dari janji semalam. Lagi pula tidak ada yang aku lakukan hari ini. Aku mencoba tertawa, hambar.
Duh, makasih ya. Kamu memang teman yang paling baik. Katamu kegirangan. Aku bisa membayangkan dirimu melonjak-lonjak saat mengatakan hal ini.
Emmm... memangnya belum ada seseorang di hatimu? Tiba-tiba kau mengalihkan pembicaraan.
Ya ada lah. Beberapa hari lalu malah aku ajak nikah. Eh, dia malah berpikir aku cuma bercanda. Kataku sedikit kesal.
Kok bisa?
Mungkin karena aku bilangnya sambil ketawa-ketawa. Hahahaaa... Kali ini aku benar-benar tertawa.
Eng...
Ada apa?
Sebenarnya dari dulu aku suka kamu. Jdeerrrr...! Suara lembutmu seolah petir yang menggelegar di malam buta.
Tapi aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Lanjutmu kemudian.
Hening.
Beberapa puluh detik berlalu.
Aku hanya mampu menatap telepon seluler di genggamanku.
***
Dua malam sebelumnya.
Kamu suka dengan dia juga kan? Dia bertanya padaku tentang perasaanku terhadapmu.
Heh? Yang benar saja. Aku tidak punya perasaan khusus buat dia. Cuma teman, tidak lebih. Kataku kepadanya.
Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Coba tanya ke dia saja. Lanjutku bermaksud menggodanya.
Dia bilang cuma menganggapmu teman, bahkan saudara. Katanya dengan sedikit sangsi.
Telepon selulernya berdering. Dari kau.
Kau suka dengan dia kan? Tanyanya kepadamu setelah berbincang beberapa menit.
Tidak. Dia teman paling baik. Katamu meyakinkannya. Aku mendengar suaramu.
***
Sehari sebelumnya.
Hari ini dia ada pelatihan di Jakarta. Tolong temani dia. Dia baru kali ini menginjakkan kaki di ibu kota. Katamu di ujung telepon.
Tapi hari ini aku mesti seharian di kantor. Jawabku tanpa bermaksud menolak permintaannya.
Tak apa. Sesempatmu saja.
Memangnya dia tidak ada teman? Kataku.
Ada. Tapi aku lebih tenang kalau kamu yang menemaninya.
Oke. Nanti malam aku ke tempatnya. Ucapku memberi persetujuan.
Terima kasih. Kamu memang teman yang paling baik.
***
Seminggu sebelumnya.
Bulan depan aku menikah. Kau bisa datang kan?
Pesan singkat yang kau kirim saat aku hendak memejamkan mata.
based on true story dengan sedikit improvisasi... :D
3 comments:
prequelnya donk :D
bikin sendiri aja yak..! :D
(gw keknya tau siapa oknum ini - detektif mode: ON)
Komentar atas coretan ini di blog tetangga:
Komentar dari Natta:
satu kata dari tta:
KEREN!!!!!!!!!!
tta perlu membaca ulang 2 kali dari atas ke bawah, bawah ke atas sebelum menyadari ini flashback yg sangat rapih dan berurutan....
dan di dalamnya tersimpan cerita yang tidak dangkal...
Komentar dari kangmase:
sip
bagus flashbacknya, rapi!
Komentar dari ayik:
keren euy!!!
wah..keren banget alurnya, hmm...pantes nich jadi sutradara?hehe...
Komentar dari rull4:
Keren
Komentar dari topique:
keren banged!!!
topiq jadi pingin bisa nulis kayak gini, sering2 posting ya biar topiq belajar...
topiq mulai ngefans nie!
apalagi tadi baca tulisannya sambil denger OST blognya si candle...
akhir bagiannya yang justru awal cerita jadi klimaks yang manis banget...
awal-awal juga keren, tapi baru terasa keren kalo baca sampe ahir...
mantep deh!!!
pokoqnya kalo udah dipuji kangmase pasti keren, apa lagi dipuji topiq, hihihi...
Komentar dari naiasaja:
dapet referensi dari topique...
tulisan lo bagus...^^
Komentar dari bundaneen:
baca yg direferensi kangmase. wah emang bagus, ide simple tp penyajian TOP markotop deh hehe
Post a Comment