Setengah berlari kau berjalan ke arahku. Wajahmu pun nampak berseri-seri secerah mentari yang bersinar terik siang ini. Sedetik kemudian kau sudah berada di pelukanku. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepu…. Hampir sepuluh detik saat akhirnya kau lepas pelukan erat itu. Tanpa berkata apa pun kau menarikku menuju sebuah meja yang cukup tersembunyi. Masih dengan wajah ceria dan senyum yang mengembang. Ah, kau manis sekali siang ini! Jerit hatiku.
Ternyata kau sudah menyiapkan semuanya. Tempat yang nyaman dilengkapi suara gemercik air dan alunan seruling yang ditiup oleh seseorang di sudut lain. Kau pun telah memesan makanan dan minuman kesukaanku.
“Terima kasih,” bisikku sembari mengecup keningmu. Kau pun tersenyum.
Aku langsung menyantap makanan yang disajikan. Kau hanya memperhatikanku sambil sesekali menyedot es jeruk nipis dari gelasmu. “Aku hanya ingin menatapmu,” ujarmu saat kutanya mengapa kau tak makan.
“Ceritakanlah,” kataku setelah menyikat habis hidangan yang ada di meja.
“Hei, bukan aku yang harus bercerita!” protesmu. “Kau kan yang baru menikmati perjalanan panjang.”
“Tidak, kau dulu yang bercerita. Kau masih ingat janjimu kan?” Kataku pura-pura serius.
“Janji? Janji yang mana? Kapan aku pernah berjanji?”
“Ah, jangan pura-pura lupa. Aku masih ingat kok,” aku tetap pura-pura serius. “Aku bahkan masih menyimpan bukti-buktinya.”
“Sorry, aku benar-benar tidak ingat. Please….” Kau memasang wajah memelas. Menggemaskan, batinku.
“Oke, aku bantu menggali memorimu,” kataku masih memasang muka serius. “Ah, jangan-jangan kau men-delete sebagian arsip di memorimu?”
“Kau bisa saja. Sudah, cepat katakan.”
“Masih ingat saat kau tiba-tiba kembali ke duniaku, setahun yang lalu?” tanyaku. Kau mengangguk sebagai jawaban. “Masih ingat apa yang kutanyakan kepadamu saat itu?”
Sejenak kau terdiam, menekuri gelas es jeruk nipismu yang kedua. “Masih.” Jawabmu sesaat kemudian. Sekilas aku melihat keterkejutan di matamu. Aduh, sekarang mata itu mulai tertutup kabut, tak secerah sebelumnya.
“Sekarang aku sudah berada di Indonesia, di Jakarta, tepat di hadapanmu,” aku tersenyum untuk mencairkan ketegangan ini. “Ceritakanlah.”
“Bodoh sekali aku! Untuk apa aku berjanji segala waktu itu?” katamu merutuk diri sendiri. Aku jadi semakin penasaran mendengar ceritamu. Cerita yang sebenarnya telah aku ketahui. Tapi aku ingin mendengarnya darimu.
“Ayolah, aku sudah tak sabar mendengarnya.”
“Aku akan mengatakan alasannya saat kau kembali ke Indonesia, begitu kan yang aku katakan saat itu?” Aku mengangguk mengiyakan. “Bodoh. Bodoh. Bodoh.” Kau kemudian terdiam. Semenit. Dua menit. Tiga menit.
“Aku tahu,” ujarku tak sabar lagi menanti kata-kata itu meluncur dari bibirmu. “Kau lari dari kenyataan. Kau membohongi dirimu sendiri. Benarkan?”
“Apa maksudmu?” tanyamu dengan wajah bingung.
“Tak usah berpura-pura. Kau pikir aku buta? Kau tidak pandai menyembunyikannya, sayang.” Kuacak-acak rambut ikalmu.
“Ja… jadi kau sudah tahu?”
“Bukan hanya aku, mereka juga tahu,” aku tersenyum menggodamu. Mulutmu terbuka, matamu nyaris melompat dari tempatnya.
“Me… mereka berdua?”
“Yup!” Jawabku mantap. “Tenang saja. Kami mengerti kok dengan keputusan yang kau ambil. Kami pun memaklumi tindakan bodohmu meninggalkan kami bertiga. Meski itu bukan tindakan yang bijak.” Kau mengisyaratkan kata maaf saat aku mengatakan ini.
“Kau masih mencintainya?” tanyaku kemudian.
“Siapa maksudmu?”
“Sudah kubilang kau tak pandai menutupi perasaanmu. Apa perlu kuperjelas, kau masih mencintai orang yang sekarang berada di ujung timur kepulauan ini kan?” tanyaku dengan lembut.
Hening. Hanya ada gemercik air dan alunan seruling. Tempat ini mulai sepi.
“Aku tak tahu,” ujarmu setengah berbisik. Kau menunduk, kembali menekuri gelas keduamu yang nyaris kosong. Angin mempermainkan rambutmu, menutup sebagian wajah manis itu. Mentari yang tadi bersinar cerah dari sana kini meredup, tertutup awan hitam. Mentari itu bukan milikku.
Jemariku mencari sesuatu di kantung celana sebelah kanan. Ah, ini dia. Sebuah cincin platina yang telah diukir nama kita berdua. Namaku dan namamu.
1 comment:
Komentar atas coretan ini di blog tetangga:
Komentar dari penguasaAngin:
gak mudeng... hehe
Komentar dari wtohari:
ini udah selesai?
atau masih panjang?
Komentar dari Anonymous:
kalo cerita ini aku jg g mudeng... ato masih ada lanjutannya?
Post a Comment