The Other Boleyn Girl
Director: Justin Chadwick
Scriptwriter: Peter Morgan (based on Philippa Gregory’s novel)
Cast: Natalie Portman, Scarlett Johanssen, Eric Bana
2008
Raja Inggris di abad ke-16, Henry Tudor (Henry VIII), belum dikaruniai seorang anak lelaki sebagai penerus tahtanya. Sir Thomas Boleyn dan saudara iparnya, Duke of Norfolk, meminta Anne mendekati Henry agar bisa melahirkan anak lelaki bagi sang raja. Tapi King Henry justru jatuh cinta kepada Mary, adik Anne, yang baru saja menikah dengan William Carey. Henry juga mengatur agar Mary tinggal di istana. Keluarga Boleyn pun diboyong ke istana. Carey juga diberi kedudukan yang memaksanya berpisah dengan Mary.
Anne menikah diam-diam dengan Henry Percy. Mary yang mengetahui hal ini dari George, adik bungsunya, melaporkannya kepada ayah dan paman mereka. Anne dianggap merusak reputasinya karena menikah tanpa ijin dari raja. Sebagai hukuman, Anne diasingkan ke Perancis untuk belajar dari ratu di sana. Sementara itu George dipaksa menikah dengan Jane Parker untuk memperkuat kedudukan mereka di istana.
Saat Mary hamil, bersukarialah keluarga Boleyn. Sayangnya, Mary harus bedrest untuk menjaga kehamilannya. Boleyn memanggil kembali Anne dari Perancis. Henry terkesan dengan perubahan dalam diri Anne dan mulai terobsesi dengan gadis ini. Saat Mary melahirkan seorang anak lelaki, Henry justru tidak mempedulikannya tetapi memilih untuk menggantungkan harapan kepada Anne. Anne memberikan syarat kepada raja bahwa dia akan menyerahkan dirinya apabila raja membatalkan pernikahannya dengan ratu, Catherine of Aragon. Raja pun mencari cara untuk menyingkirkan ratu dan bahkan harus memutuskan hubungan dengan Gereja Vatikan.
Anne berhasil menjadi Ratu Inggris. Tapi kehidupannya menjadi tragis saat anak pertamanya ternyata seorang perempuan, Elizabeth. Dia juga keguguran saat mengandung anak kedua. Dia pun harus menghadapi tuduhan incest dengan saudara laki-lakinya, George.
Novel karya Gregory yang diangkat ke layar lebar ini memang tidak seratus persen akurat menggambarkan carut marut keluarga kerajaan Inggris di abad ke-16. Jadi jangan protes apabila tokoh dan jalan ceritanya tidak sesuai dengan catatan sejarah. Saya suka setting yang di kastil-kastil, juga kostum-kostum yang glamour. Angkat jempol deh buat acting Portman (Anne Boleyn) dan Johanssen (Mary Boleyn), terutama Portman sih, keren banget mainnya! Eric Bana mah ke laut aja...
Film secara keseluruhan saya kasih skor 7/10, khusus untuk acting memikat Portman... 8.5/10 deh!
Perpaduan yang manis dari cinta, penghianatan, ambisi, kekuasaan, kejujuran, balas dendam, pengorbanan. Ah, jadi penasaran pingin baca novelnya. :)
Tuesday, December 23, 2008
Monday, December 22, 2008
Inikah Harga Sebuah Kepercayaan?
Trust (Terj.)Charles Epping
Penerbit Serambi
526 Halaman
Cetakan I, Januari 2008
Tahun 1938, Aladar Kohen, warga Negara Hongaria keturunan Yahudi, memutuskan untuk menyimpan uang, emas batangan, surat berharga dan perhiasan milik keluarganya di sebuah bank di Swiss. Untuk mengamankan harta tersebut dari tangan Nazi yang saat itu mulai menduduki sebagian Eropa, Aladar mempercayakannya kepada Rudolph Tobbler untuk membuat sebuah rekening perwalian. Atas rekening ini pihak bank hanya mengetahui nama orang yang membuka rekening, bukan pemilik sebenarnya.
Di awal millennium baru, Alex Payton yang dikontrak sebagai pengolah data di Helvetica Bank of Zurich, menemukan kode yang aneh yang merujuk ke suatu tanggal di tahun 1987. Karena penasaran, dia mencoba mencari tahu pemilik rekening tersebut dengan mempertaruhkan karirnya karena menurut peraturan perbankan di Swiss, seorang bankir tidak boleh berhubungan dengan nasabah mereka kecuali nasabahnya yang menghubungi bankir tersebut. Rasa penasaran inilah yang membuat Alex terbang dari satu negara ke negara lain hanya dalam waktu sekitar satu minggu untuk menemukan ahli waris sebenarnya dari rekening perwalian tersebut. Alex bahkan harus mempertaruhkan nyawa dan kehormatannya saat menelusuri sang ahli waris serta memastikan bahwa kecurigaan mereka akan adanya pencucian uang melalui rekening tersebut oleh teroris Hisbullah tidak terbukti.
Novel ini menyajikan seluk beluk peraturan kerahasiaan nasabah dalam perbankan Swiss sehingga banyak orang berbondong-bondong menyimpan uangnya di negara netral tersebut, bahkan kadang memanfaatkannya untuk pencucian uang. Dibumbui dengan peristiwa The Black Monday, kejatuhan bursa saham Dow Jones di bulan Oktober 1987, perkawinan sesama jenis, pejabat korup, serta pembantaian kaum Yahudi di masa Nazi.
Lumayan menghibur dan memberi wawasan tentang dunia perbankan Swiss. Tapi sayangnya, thriller-nya kurang menggigit. Alurnya monoton. Pencarian Alex nyaris selalu berjalan mulus. Bahkan dari awal pun saya bisa menebak seseorang dalam lingkaran Alex yang terlibat dalam kejahatan perbankan ini.
Penerbit Serambi
526 Halaman
Cetakan I, Januari 2008
Tahun 1938, Aladar Kohen, warga Negara Hongaria keturunan Yahudi, memutuskan untuk menyimpan uang, emas batangan, surat berharga dan perhiasan milik keluarganya di sebuah bank di Swiss. Untuk mengamankan harta tersebut dari tangan Nazi yang saat itu mulai menduduki sebagian Eropa, Aladar mempercayakannya kepada Rudolph Tobbler untuk membuat sebuah rekening perwalian. Atas rekening ini pihak bank hanya mengetahui nama orang yang membuka rekening, bukan pemilik sebenarnya.
Di awal millennium baru, Alex Payton yang dikontrak sebagai pengolah data di Helvetica Bank of Zurich, menemukan kode yang aneh yang merujuk ke suatu tanggal di tahun 1987. Karena penasaran, dia mencoba mencari tahu pemilik rekening tersebut dengan mempertaruhkan karirnya karena menurut peraturan perbankan di Swiss, seorang bankir tidak boleh berhubungan dengan nasabah mereka kecuali nasabahnya yang menghubungi bankir tersebut. Rasa penasaran inilah yang membuat Alex terbang dari satu negara ke negara lain hanya dalam waktu sekitar satu minggu untuk menemukan ahli waris sebenarnya dari rekening perwalian tersebut. Alex bahkan harus mempertaruhkan nyawa dan kehormatannya saat menelusuri sang ahli waris serta memastikan bahwa kecurigaan mereka akan adanya pencucian uang melalui rekening tersebut oleh teroris Hisbullah tidak terbukti.
Novel ini menyajikan seluk beluk peraturan kerahasiaan nasabah dalam perbankan Swiss sehingga banyak orang berbondong-bondong menyimpan uangnya di negara netral tersebut, bahkan kadang memanfaatkannya untuk pencucian uang. Dibumbui dengan peristiwa The Black Monday, kejatuhan bursa saham Dow Jones di bulan Oktober 1987, perkawinan sesama jenis, pejabat korup, serta pembantaian kaum Yahudi di masa Nazi.
Lumayan menghibur dan memberi wawasan tentang dunia perbankan Swiss. Tapi sayangnya, thriller-nya kurang menggigit. Alurnya monoton. Pencarian Alex nyaris selalu berjalan mulus. Bahkan dari awal pun saya bisa menebak seseorang dalam lingkaran Alex yang terlibat dalam kejahatan perbankan ini.
Monday, December 15, 2008
Hujan Pasti Berlalu
Hujan ringan mengiringi perjalananku menuju Stasiun Gambir. Aku terpaksa berbasah ria bersama bapak tukang ojek yang memacu motornya menembus hujan dan kemacetan khas ibu kota untuk mengejar kereta yang akan mengantarku ke kotamu. Begitu tiba di terminal keberangkatan, aku segera berlari karena mendengar pemberitahuan bahwa keretaku akan segera diberangkatkan. "Tuhan, tolong tahan kereta itu," bisikku dalam hati. Aku sempat mendengar dua patah kata dari petugas di pintu masuk terminal saat memeriksa tiketku, "Jalur 3." Aku pun berlari ke jalur tersebut. "Terima kasih, Tuhan!" Keretaku masih ada di Jalur 3. Aku langsung melompat ke salah satu pintu yang terbuka dari rangkaian kereta tersebut, entah di gerbong berapa aku tak peduli. Kakiku baru melangkah tiga kali saat kereta itu mulai bergerak meninggalkan Stasiun Gambir. Nyaris, batinku.
Gerbong 5. Itu jawaban dari seorang ibu muda yang sedang hamil tua, tempat aku bertanya. "Mbak di gerbong berapa?" tanyanya kemudian saat aku nampak bimbang menentukan langkah. "Gerbong 1, mbak," jawabku. Ibu muda tadi mengatakan bahwa Gerbong 1 berada di ujung rangkaian sebelum kereta pembangkit. Aku langsung mengayunkan kaki ke arah yang berlawanan dengan jalannya kereta, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada ibu muda tersebut.
Setelah melewati tiga gerbong penumpang dan satu gerbong restorasi, akhirnya sampai juga di Gerbong 1. Aku pun langsung menuju bangku nomor 7A sesuai yang tertera di tiket. Bangku sebelah kosong. Untunglah, aku sedang tidak berminat berbasa-basi kali ini. Setelah merapikan bawaan yang tidak banyak, aku mengambil posisi yang nyaman dan menikmati pemandangan di luar jendela yang masih diguyur hujan. Aku baru menyadari bahwa pakaianku agak basah karena kehujanan tadi. Terpaksa aku mengganti bajuku dengan jaket serta melepas kaos kaki yang nyaris basah kuyup karena cipratan air di sepanjang jalan tadi. Bergelung dengan selimut, aku mengeluarkan sebuah novel dengan latar perbankan di Swiss, sebuah negara yang konon menjadi surga bagi para pemilik uang karena ketatnya peraturan kerahasiaan nasabah.
Satu jam berlalu dari makan malam yang dibagikan, kantuk mulai menyerangku. Lama juga aku tertidur, meski tak nyenyak. Getaran telepon selulerlah yang membangunkanku. Sebuah pesan singkat. Aku menarik napas panjang saat membaca pengirimnya. Kau. Sudah sampai mana? Ah, bahkan di saat-saat ini kau masih sempat memantau perjalananku. Sesaat aku melihat ke luar jendela, gelap. Entahlah, di luar gelap banget. Mungkin di sekitar Cirebon.
Kantukku lenyap sudah. Aku kembali menekuri novel yang tadi sempat terputus. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu. Sudah hampir tengah malam saat kereta ini tiba di kotamu. Seorang teman telah menungguku di pintu keluar. Aku langsung menghambur memeluknya. Entah berapa lama kami tak bertemu, hanya hubungan melalui telepon, pesan singkat, e-mail atau obrolan melalui internet messanger yang mengeratkan kami.
"Di luar gerimis. Aku lupa membawa jas hujan." Ujar temanku menyesali keteledorannya. "Mau menunggu sampai reda atau langsung aja?" Lanjutnya kemudian.
"Cuma gerimis kan?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk. "Langsung aja yuk, aku sudah tak sabar bertemu tempat tidur yang nyaman." Tawa temanku membuat orang-orang di sekitar kami menoleh. Dia pun menarik tanganku menuju tempat parkir.
***
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, aku langsung berbaring di tempat tidur. Temanku masuk dan membawa dua gelas minuman yang mengepulkan uap panas. Dari aromanya aku tahu, wedang jahe. "Minum ini dulu, baru boleh tidur." Katanya setengah memerintah. Aku bangkit dan mengambil wedang jahe itu. "Ceritanya besok aja. Sekarang kamu istirahat dulu." Dia kembali memerintah saat aku baru akan membuka mulut. "Kalau kau butuh sesuatu, aku ada di kamar sebelah." Katanya sebelum menutup pintu kamar.
***
Hujan deras mengguyur kota ini saat kami bersiap ke tempatmu. Kami pun terpaksa menunggu sekitar dua jam hingga hujan mereda. Di antara rintik gerimis yang masih tersisa kami melaju ke alamat yang kau berikan seminggu yang lalu. Rumah itu nampak semarak. Melewati beberapa orang di luar rumah, kami langsung menuju ruangan yang tadi ditunjukkan oleh seorang wanita paruh baya di pintu masuk. Aku melihatmu sedang bercanda dengan beberapa tamu. Saat melihat kedatangan kami, kau langsung meninggalkan tamu-tamu itu dan menjabat tanganku. "Terima kasih." Katamu singkat meski aku belum mengucapkan sepatah kata pun. Sesaat aku limbung. "Selamat ya!" Ujarku setelah menguasai keadaan. Sadar berpasang-pasang mata memperhatikan, aku melepaskan genggamanmu. Aku pun memeluk gadis yang kini menjadi istrimu dan memberinya ucapan selamat. Kalian memaksaku duduk di pelaminan itu, di antara kalian. Setelah berbagai basa basi yang sangat basi, aku meminta ijin untuk pulang. Aku beralasan bahwa keretaku akan berangkat dua jam lagi. Kalian, terutama kau, pun terpaksa mengijinkanku pergi.
***
"Kau yakin akan pulang sekarang?" kata temanku dengan nada khawatir. Aku mengangguk mantap. "Aku baik-baik saja," ucapku seolah menebak jalan pikirannya sambil melanjutkan membereskan barang bawaanku. "Sepuluh menit lagi aku siap berangkat." Kataku meyakinkannya.
"Hujan lagi." Katanya beberapa saat kemudian. Seolah tak percaya, aku mengintip ke balik jendela. "Oh, God."
Aku tak mungkin menunggu hujan reda karena menurut jadwal yang tertera di tiket, keretaku akan diberangkatkan lima belas menit lagi. Dengan mengenakan jas hujan kami meluncur ke stasiun. Tidak sampai sepuluh menit waktu yang diperlukan menuju ke stasiun. Sempat panik mengingat kejadian kemarin lusa di Stasiun Gambir, kami langsung lari ke peron. Untunglah keretaku belum datang. Petugas memberitahukan bahwa karena sesuatu hal kereta itu akan terlambat sekitar lima belas menit.
Semenjak pulang dari tempatmu tadi, kami tidak banyak berbincang. Sepertinya temanku ini memberikan aku kesempatan untuk sendiri. Baru di saat inilah dia mengungkit hal itu.
"Aku percaya kamu akan baik-baik saja. Saat ini mungkin dia masih yang terindah di matamu. Tapi ingat, bukan dia yang terbaik yang diciptakan untukmu. Kamu pasti akan tetap tegak menghadapi dunia ini dan kamu akan menemukan belahan jiwamu suatu saat nanti. Aku percaya itu. Jadi jangan kecewakan aku." Aku langsung memeluknya saat dia menyelesaikan kata-kata ajaib itu. "Tumben kamu waras." Candaku. Dia pun tergelak dan lagi-lagi membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Keretaku tiba, aku memeluknya lagi sebelum naik ke Gerbong 1.
***
Kilauan puncak Monas menyambutku sesaat sebelum turun dari kereta. Sudah setengah jam berlalu dari pukul sepuluh malam. Syukurlah cuaca ibu kota bersahabat kali ini, tak ada hujan maupun gerimis yang mengiringi langkahku kembali ke rutinitas. Semoga ini pertanda aku meninggalkan semua pedihku di kotamu.
Gerbong 5. Itu jawaban dari seorang ibu muda yang sedang hamil tua, tempat aku bertanya. "Mbak di gerbong berapa?" tanyanya kemudian saat aku nampak bimbang menentukan langkah. "Gerbong 1, mbak," jawabku. Ibu muda tadi mengatakan bahwa Gerbong 1 berada di ujung rangkaian sebelum kereta pembangkit. Aku langsung mengayunkan kaki ke arah yang berlawanan dengan jalannya kereta, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada ibu muda tersebut.
Setelah melewati tiga gerbong penumpang dan satu gerbong restorasi, akhirnya sampai juga di Gerbong 1. Aku pun langsung menuju bangku nomor 7A sesuai yang tertera di tiket. Bangku sebelah kosong. Untunglah, aku sedang tidak berminat berbasa-basi kali ini. Setelah merapikan bawaan yang tidak banyak, aku mengambil posisi yang nyaman dan menikmati pemandangan di luar jendela yang masih diguyur hujan. Aku baru menyadari bahwa pakaianku agak basah karena kehujanan tadi. Terpaksa aku mengganti bajuku dengan jaket serta melepas kaos kaki yang nyaris basah kuyup karena cipratan air di sepanjang jalan tadi. Bergelung dengan selimut, aku mengeluarkan sebuah novel dengan latar perbankan di Swiss, sebuah negara yang konon menjadi surga bagi para pemilik uang karena ketatnya peraturan kerahasiaan nasabah.
Satu jam berlalu dari makan malam yang dibagikan, kantuk mulai menyerangku. Lama juga aku tertidur, meski tak nyenyak. Getaran telepon selulerlah yang membangunkanku. Sebuah pesan singkat. Aku menarik napas panjang saat membaca pengirimnya. Kau. Sudah sampai mana? Ah, bahkan di saat-saat ini kau masih sempat memantau perjalananku. Sesaat aku melihat ke luar jendela, gelap. Entahlah, di luar gelap banget. Mungkin di sekitar Cirebon.
Kantukku lenyap sudah. Aku kembali menekuri novel yang tadi sempat terputus. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu. Sudah hampir tengah malam saat kereta ini tiba di kotamu. Seorang teman telah menungguku di pintu keluar. Aku langsung menghambur memeluknya. Entah berapa lama kami tak bertemu, hanya hubungan melalui telepon, pesan singkat, e-mail atau obrolan melalui internet messanger yang mengeratkan kami.
"Di luar gerimis. Aku lupa membawa jas hujan." Ujar temanku menyesali keteledorannya. "Mau menunggu sampai reda atau langsung aja?" Lanjutnya kemudian.
"Cuma gerimis kan?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk. "Langsung aja yuk, aku sudah tak sabar bertemu tempat tidur yang nyaman." Tawa temanku membuat orang-orang di sekitar kami menoleh. Dia pun menarik tanganku menuju tempat parkir.
***
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, aku langsung berbaring di tempat tidur. Temanku masuk dan membawa dua gelas minuman yang mengepulkan uap panas. Dari aromanya aku tahu, wedang jahe. "Minum ini dulu, baru boleh tidur." Katanya setengah memerintah. Aku bangkit dan mengambil wedang jahe itu. "Ceritanya besok aja. Sekarang kamu istirahat dulu." Dia kembali memerintah saat aku baru akan membuka mulut. "Kalau kau butuh sesuatu, aku ada di kamar sebelah." Katanya sebelum menutup pintu kamar.
***
Hujan deras mengguyur kota ini saat kami bersiap ke tempatmu. Kami pun terpaksa menunggu sekitar dua jam hingga hujan mereda. Di antara rintik gerimis yang masih tersisa kami melaju ke alamat yang kau berikan seminggu yang lalu. Rumah itu nampak semarak. Melewati beberapa orang di luar rumah, kami langsung menuju ruangan yang tadi ditunjukkan oleh seorang wanita paruh baya di pintu masuk. Aku melihatmu sedang bercanda dengan beberapa tamu. Saat melihat kedatangan kami, kau langsung meninggalkan tamu-tamu itu dan menjabat tanganku. "Terima kasih." Katamu singkat meski aku belum mengucapkan sepatah kata pun. Sesaat aku limbung. "Selamat ya!" Ujarku setelah menguasai keadaan. Sadar berpasang-pasang mata memperhatikan, aku melepaskan genggamanmu. Aku pun memeluk gadis yang kini menjadi istrimu dan memberinya ucapan selamat. Kalian memaksaku duduk di pelaminan itu, di antara kalian. Setelah berbagai basa basi yang sangat basi, aku meminta ijin untuk pulang. Aku beralasan bahwa keretaku akan berangkat dua jam lagi. Kalian, terutama kau, pun terpaksa mengijinkanku pergi.
***
"Kau yakin akan pulang sekarang?" kata temanku dengan nada khawatir. Aku mengangguk mantap. "Aku baik-baik saja," ucapku seolah menebak jalan pikirannya sambil melanjutkan membereskan barang bawaanku. "Sepuluh menit lagi aku siap berangkat." Kataku meyakinkannya.
"Hujan lagi." Katanya beberapa saat kemudian. Seolah tak percaya, aku mengintip ke balik jendela. "Oh, God."
Aku tak mungkin menunggu hujan reda karena menurut jadwal yang tertera di tiket, keretaku akan diberangkatkan lima belas menit lagi. Dengan mengenakan jas hujan kami meluncur ke stasiun. Tidak sampai sepuluh menit waktu yang diperlukan menuju ke stasiun. Sempat panik mengingat kejadian kemarin lusa di Stasiun Gambir, kami langsung lari ke peron. Untunglah keretaku belum datang. Petugas memberitahukan bahwa karena sesuatu hal kereta itu akan terlambat sekitar lima belas menit.
Semenjak pulang dari tempatmu tadi, kami tidak banyak berbincang. Sepertinya temanku ini memberikan aku kesempatan untuk sendiri. Baru di saat inilah dia mengungkit hal itu.
"Aku percaya kamu akan baik-baik saja. Saat ini mungkin dia masih yang terindah di matamu. Tapi ingat, bukan dia yang terbaik yang diciptakan untukmu. Kamu pasti akan tetap tegak menghadapi dunia ini dan kamu akan menemukan belahan jiwamu suatu saat nanti. Aku percaya itu. Jadi jangan kecewakan aku." Aku langsung memeluknya saat dia menyelesaikan kata-kata ajaib itu. "Tumben kamu waras." Candaku. Dia pun tergelak dan lagi-lagi membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Keretaku tiba, aku memeluknya lagi sebelum naik ke Gerbong 1.
***
Kilauan puncak Monas menyambutku sesaat sebelum turun dari kereta. Sudah setengah jam berlalu dari pukul sepuluh malam. Syukurlah cuaca ibu kota bersahabat kali ini, tak ada hujan maupun gerimis yang mengiringi langkahku kembali ke rutinitas. Semoga ini pertanda aku meninggalkan semua pedihku di kotamu.
Wednesday, December 10, 2008
Finally… Dexter Series!
Akhirnya selesai juga mengeksekusi dua musim serial Dexter yang masing-masing terdiri dari dua belas episode. Seperti yang pernah saya bilang di sini, musim pertama serial ini mengacu pada novel Darkly Dreaming Dexter. Alurnya pun hampir sama dengan di novel meski ada satu tokoh yang seharusnya meninggal di akhir cerita tetapi justru orang tersebut masih “dihidupkan” bahkan sampai musim keduanya berakhir.
Opening title-nya keren! Hal-hal kecil yang dilakukan Dexter di pagi hari sebelum ke kantor di-close-up dengan manis ditambah scoring yang misterius. Dex-nya juga keren di opening ini, hehehe….
Michael C. Hall pas banget memerankan Dexter, orang yang ramah, simpatik, charming, tetapi berdarah dingin. Letnan LaGuerta tidak semenyebalkan dalam novel dan terlihat lebih smart di serialnya. Debra (Deborah) Morgan pun terlihat lebih tangguh dari yang saya bayangkan. Hubungan Dexter dengan Rita dan kedua anaknya nampak lebih memanusiakan dia. Sayangnya, kehadiran The Dark Passanger nyaris tidak membedakannya dengan keseharian Dexter. Kesannya justru Dexter haus untuk mengeksekusi korban-korbannya.
Untunglah, adegan-adegan yang lumayan sadis di novel disajikan dengan lebih halus. Tetap berdarah-darah sih, tapi lebih terkesan elegan daripada menjijikkan. Pesan-pesan dari pembunuh berantai yang disebut Iced-truck Killer ini pun lebih cantik. Tidak hanya meninggalkan potongan kepala boneka Barbie dan bagian tubuhnya yang terpotong-potong, Iced-truck Killer juga ”mencontek” beberapa foto kenangan Dexter dengan Harry Morgan.
Scene favorit di musim pertama adalah saat Dexter memasuki sebuah kamar hotel yang penuh darah, yang kemudian memunculkan ingatannya akan kejadian saat dirinya berusia tiga tahun. Ahli percikan darah itu pun tergeletak tak kuasa melihat bayangan masa lalunya.
Di awal musim kedua, Dexter masih dibayang-bayangi Iced-truck Killer. Hingga beberapa minggu setelah kasus tersebut selesai, Dexter tidak mampu mengeksekusi korban-korbannya. Saat Dexter menemukan kembali dirinya yang dulu, sebagai pembunuh berantai, sebuah kejadian mengejutkan terhampar di hadapannya. Beberapa penyelam menemukan bungkusan-bungkusan berisi potongan tubuh korban Dexter! Tiga belas orang teridentifikasi dan penelusuran polisi menemukan bahwa sebagian besar korban terkait dengan kasus kriminal. Bay Harbor Butcher, istilah yang diberikan kepada pelaku mutilasi tersebut. Dexter pun panik. Ditambah Sersan Doakes yang selalu menguntitnya serta hubungannya dengan Rita yang retak karena kehadiran Lila, seseorang yang menjadi penyemangatnya di kelompok pecandu.
Untuk mengendus jejak Bay Harbor Butcher ini dibentuk sebuah tim yang dipimpin oleh seorang agen FBI, Frank Lundy. Debra masuk dalam tim ini dan sesekali Lundy juga melibatkan Dexter.
Kotak berisi potongan kaca yang bernoda darah korban-korbannya raib dari apartemen Dexter. Polisi menemukannya di mobil Doakes dan menetapkan Doakes sebagai tersangka. Gerak Dexter makin sempit saat dia berada dalam pengawasan empat agen FBI selama 24 jam. Konsentrasinya makin terpecah saat dia menyadari bahwa Lila berbahaya dan Doakes memergokinya tengah beraksi.
Masa lalu Dexter lebih banyak terkuak di musim kedua ini, terutama pelajaran-pelajarannya dengan mendiang Harry. Dia juga menelusuri kasus yang menyebabkan ibunya terbunuh.
Yang agak mengganggu dari serial ini adalah terlalu banyak b**bs dan hot scenes yang ditampilkan secara vulgar, terutama di musim kedua. :(
Opening title-nya keren! Hal-hal kecil yang dilakukan Dexter di pagi hari sebelum ke kantor di-close-up dengan manis ditambah scoring yang misterius. Dex-nya juga keren di opening ini, hehehe….
Michael C. Hall pas banget memerankan Dexter, orang yang ramah, simpatik, charming, tetapi berdarah dingin. Letnan LaGuerta tidak semenyebalkan dalam novel dan terlihat lebih smart di serialnya. Debra (Deborah) Morgan pun terlihat lebih tangguh dari yang saya bayangkan. Hubungan Dexter dengan Rita dan kedua anaknya nampak lebih memanusiakan dia. Sayangnya, kehadiran The Dark Passanger nyaris tidak membedakannya dengan keseharian Dexter. Kesannya justru Dexter haus untuk mengeksekusi korban-korbannya.
Untunglah, adegan-adegan yang lumayan sadis di novel disajikan dengan lebih halus. Tetap berdarah-darah sih, tapi lebih terkesan elegan daripada menjijikkan. Pesan-pesan dari pembunuh berantai yang disebut Iced-truck Killer ini pun lebih cantik. Tidak hanya meninggalkan potongan kepala boneka Barbie dan bagian tubuhnya yang terpotong-potong, Iced-truck Killer juga ”mencontek” beberapa foto kenangan Dexter dengan Harry Morgan.
Scene favorit di musim pertama adalah saat Dexter memasuki sebuah kamar hotel yang penuh darah, yang kemudian memunculkan ingatannya akan kejadian saat dirinya berusia tiga tahun. Ahli percikan darah itu pun tergeletak tak kuasa melihat bayangan masa lalunya.
Di awal musim kedua, Dexter masih dibayang-bayangi Iced-truck Killer. Hingga beberapa minggu setelah kasus tersebut selesai, Dexter tidak mampu mengeksekusi korban-korbannya. Saat Dexter menemukan kembali dirinya yang dulu, sebagai pembunuh berantai, sebuah kejadian mengejutkan terhampar di hadapannya. Beberapa penyelam menemukan bungkusan-bungkusan berisi potongan tubuh korban Dexter! Tiga belas orang teridentifikasi dan penelusuran polisi menemukan bahwa sebagian besar korban terkait dengan kasus kriminal. Bay Harbor Butcher, istilah yang diberikan kepada pelaku mutilasi tersebut. Dexter pun panik. Ditambah Sersan Doakes yang selalu menguntitnya serta hubungannya dengan Rita yang retak karena kehadiran Lila, seseorang yang menjadi penyemangatnya di kelompok pecandu.
Untuk mengendus jejak Bay Harbor Butcher ini dibentuk sebuah tim yang dipimpin oleh seorang agen FBI, Frank Lundy. Debra masuk dalam tim ini dan sesekali Lundy juga melibatkan Dexter.
Kotak berisi potongan kaca yang bernoda darah korban-korbannya raib dari apartemen Dexter. Polisi menemukannya di mobil Doakes dan menetapkan Doakes sebagai tersangka. Gerak Dexter makin sempit saat dia berada dalam pengawasan empat agen FBI selama 24 jam. Konsentrasinya makin terpecah saat dia menyadari bahwa Lila berbahaya dan Doakes memergokinya tengah beraksi.
Masa lalu Dexter lebih banyak terkuak di musim kedua ini, terutama pelajaran-pelajarannya dengan mendiang Harry. Dia juga menelusuri kasus yang menyebabkan ibunya terbunuh.
Yang agak mengganggu dari serial ini adalah terlalu banyak b**bs dan hot scenes yang ditampilkan secara vulgar, terutama di musim kedua. :(
Tuesday, December 9, 2008
Definitely, Maybe
Director: Adam Brooks
Scripwriter: Adam Brooks
Cast: Ryan Reynolds, Abigail Breslin, Elizabeth Banks, Isla Fisher, Rachel Weisz
Universal Pictures, 2008
Maya Hayes penasaran bagaimana ayah dan ibunya, yang kini telah bercerai, bertemu di masa lalu. Dia pun memaksa sang ayah, William, untuk menceritakan kisah tersebut. Will bersedia menceritakannya dengan catatan dia akan mengganti nama wanita-wanita di masa lalunya tersebut dan Maya harus menebak manakah di antara mereka yang merupakan ibunya.
Kisahnya berawal dari keputusan Will untuk pindah ke New York menjadi tim kampanye Bill Clinton dalam pemilihan presiden. Dia terpaksa berpisah tempat dengan Emily, kekasihnya waktu itu. Di New York dia menemui Summer, seorang penulis, untuk memberikan sesuatu yang dititipkan Emily kepadanya. Will juga berkenalan dengan April yang juga merupakan anggota tim kampanye Bill Clinton. Will berlatih adegan melamar dengan April yang berperan sebagai Emily. Sayangnya, saat Will benar-benar melamar Emily, wanita itu malah menyampaikan sebuah hal yang mengejutkan.
Will berpisah dengan Emily. Dia pun mulai makin dekat dengan Summer dan April. Tapi kemudian Summer memilih untuk kembali ke kekasihnya yang sesame penulis dan April memutuskan berkeliling dunia setelah kampanye berakhir. Beberapa tahun kemudian April kembali. Hampir bersamaan, Will bertemu dengan Summer yang kemudian mengundangnya ke pesta yang dia buat. Di pesta ini Will kembali bertemu dengan Emily.
Cerita dalam cerita. Penonton diajak ikut menduga-duga siapakah wanita yang melahirkan Maya. Meski film ini ber-genre komedi romantis tetapi tidak banyak mengumbar humor, paling-paling kekonyolan Will saat pertama kali bekerja di tim kampanye.
Sebuah tontonan yang cukup menghibur terutama melihat permainan Abigail Breslin sebagai Maya. Saya lebih suka permainannya di sini dibandingkan di Nim’s Island, meski masih kalah dengan aktingnya di Little Miss Sunshine.
Yang jelas, tebakan saya siapa yang menjadi ibunda Maya meleset. Padahal tebakan ini berdasarkan pengamatan terhadap chemistry mereka berdua. Tapi kekecewaan itu terbalas di akhir film.
Nilainya 6.8/10 aja deh… :)
Scripwriter: Adam Brooks
Cast: Ryan Reynolds, Abigail Breslin, Elizabeth Banks, Isla Fisher, Rachel Weisz
Universal Pictures, 2008
Maya Hayes penasaran bagaimana ayah dan ibunya, yang kini telah bercerai, bertemu di masa lalu. Dia pun memaksa sang ayah, William, untuk menceritakan kisah tersebut. Will bersedia menceritakannya dengan catatan dia akan mengganti nama wanita-wanita di masa lalunya tersebut dan Maya harus menebak manakah di antara mereka yang merupakan ibunya.
Kisahnya berawal dari keputusan Will untuk pindah ke New York menjadi tim kampanye Bill Clinton dalam pemilihan presiden. Dia terpaksa berpisah tempat dengan Emily, kekasihnya waktu itu. Di New York dia menemui Summer, seorang penulis, untuk memberikan sesuatu yang dititipkan Emily kepadanya. Will juga berkenalan dengan April yang juga merupakan anggota tim kampanye Bill Clinton. Will berlatih adegan melamar dengan April yang berperan sebagai Emily. Sayangnya, saat Will benar-benar melamar Emily, wanita itu malah menyampaikan sebuah hal yang mengejutkan.
Will berpisah dengan Emily. Dia pun mulai makin dekat dengan Summer dan April. Tapi kemudian Summer memilih untuk kembali ke kekasihnya yang sesame penulis dan April memutuskan berkeliling dunia setelah kampanye berakhir. Beberapa tahun kemudian April kembali. Hampir bersamaan, Will bertemu dengan Summer yang kemudian mengundangnya ke pesta yang dia buat. Di pesta ini Will kembali bertemu dengan Emily.
Cerita dalam cerita. Penonton diajak ikut menduga-duga siapakah wanita yang melahirkan Maya. Meski film ini ber-genre komedi romantis tetapi tidak banyak mengumbar humor, paling-paling kekonyolan Will saat pertama kali bekerja di tim kampanye.
Sebuah tontonan yang cukup menghibur terutama melihat permainan Abigail Breslin sebagai Maya. Saya lebih suka permainannya di sini dibandingkan di Nim’s Island, meski masih kalah dengan aktingnya di Little Miss Sunshine.
Yang jelas, tebakan saya siapa yang menjadi ibunda Maya meleset. Padahal tebakan ini berdasarkan pengamatan terhadap chemistry mereka berdua. Tapi kekecewaan itu terbalas di akhir film.
Nilainya 6.8/10 aja deh… :)
Subscribe to:
Posts (Atom)