Hujan ringan mengiringi perjalananku menuju Stasiun Gambir. Aku terpaksa berbasah ria bersama bapak tukang ojek yang memacu motornya menembus hujan dan kemacetan khas ibu kota untuk mengejar kereta yang akan mengantarku ke kotamu. Begitu tiba di terminal keberangkatan, aku segera berlari karena mendengar pemberitahuan bahwa keretaku akan segera diberangkatkan. "Tuhan, tolong tahan kereta itu," bisikku dalam hati. Aku sempat mendengar dua patah kata dari petugas di pintu masuk terminal saat memeriksa tiketku, "Jalur 3." Aku pun berlari ke jalur tersebut. "Terima kasih, Tuhan!" Keretaku masih ada di Jalur 3. Aku langsung melompat ke salah satu pintu yang terbuka dari rangkaian kereta tersebut, entah di gerbong berapa aku tak peduli. Kakiku baru melangkah tiga kali saat kereta itu mulai bergerak meninggalkan Stasiun Gambir. Nyaris, batinku.
Gerbong 5. Itu jawaban dari seorang ibu muda yang sedang hamil tua, tempat aku bertanya. "Mbak di gerbong berapa?" tanyanya kemudian saat aku nampak bimbang menentukan langkah. "Gerbong 1, mbak," jawabku. Ibu muda tadi mengatakan bahwa Gerbong 1 berada di ujung rangkaian sebelum kereta pembangkit. Aku langsung mengayunkan kaki ke arah yang berlawanan dengan jalannya kereta, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada ibu muda tersebut.
Setelah melewati tiga gerbong penumpang dan satu gerbong restorasi, akhirnya sampai juga di Gerbong 1. Aku pun langsung menuju bangku nomor 7A sesuai yang tertera di tiket. Bangku sebelah kosong. Untunglah, aku sedang tidak berminat berbasa-basi kali ini. Setelah merapikan bawaan yang tidak banyak, aku mengambil posisi yang nyaman dan menikmati pemandangan di luar jendela yang masih diguyur hujan. Aku baru menyadari bahwa pakaianku agak basah karena kehujanan tadi. Terpaksa aku mengganti bajuku dengan jaket serta melepas kaos kaki yang nyaris basah kuyup karena cipratan air di sepanjang jalan tadi. Bergelung dengan selimut, aku mengeluarkan sebuah novel dengan latar perbankan di Swiss, sebuah negara yang konon menjadi surga bagi para pemilik uang karena ketatnya peraturan kerahasiaan nasabah.
Satu jam berlalu dari makan malam yang dibagikan, kantuk mulai menyerangku. Lama juga aku tertidur, meski tak nyenyak. Getaran telepon selulerlah yang membangunkanku. Sebuah pesan singkat. Aku menarik napas panjang saat membaca pengirimnya. Kau. Sudah sampai mana? Ah, bahkan di saat-saat ini kau masih sempat memantau perjalananku. Sesaat aku melihat ke luar jendela, gelap. Entahlah, di luar gelap banget. Mungkin di sekitar Cirebon.
Kantukku lenyap sudah. Aku kembali menekuri novel yang tadi sempat terputus. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu. Sudah hampir tengah malam saat kereta ini tiba di kotamu. Seorang teman telah menungguku di pintu keluar. Aku langsung menghambur memeluknya. Entah berapa lama kami tak bertemu, hanya hubungan melalui telepon, pesan singkat, e-mail atau obrolan melalui internet messanger yang mengeratkan kami.
"Di luar gerimis. Aku lupa membawa jas hujan." Ujar temanku menyesali keteledorannya. "Mau menunggu sampai reda atau langsung aja?" Lanjutnya kemudian.
"Cuma gerimis kan?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk. "Langsung aja yuk, aku sudah tak sabar bertemu tempat tidur yang nyaman." Tawa temanku membuat orang-orang di sekitar kami menoleh. Dia pun menarik tanganku menuju tempat parkir.
***
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, aku langsung berbaring di tempat tidur. Temanku masuk dan membawa dua gelas minuman yang mengepulkan uap panas. Dari aromanya aku tahu, wedang jahe. "Minum ini dulu, baru boleh tidur." Katanya setengah memerintah. Aku bangkit dan mengambil wedang jahe itu. "Ceritanya besok aja. Sekarang kamu istirahat dulu." Dia kembali memerintah saat aku baru akan membuka mulut. "Kalau kau butuh sesuatu, aku ada di kamar sebelah." Katanya sebelum menutup pintu kamar.
***
Hujan deras mengguyur kota ini saat kami bersiap ke tempatmu. Kami pun terpaksa menunggu sekitar dua jam hingga hujan mereda. Di antara rintik gerimis yang masih tersisa kami melaju ke alamat yang kau berikan seminggu yang lalu. Rumah itu nampak semarak. Melewati beberapa orang di luar rumah, kami langsung menuju ruangan yang tadi ditunjukkan oleh seorang wanita paruh baya di pintu masuk. Aku melihatmu sedang bercanda dengan beberapa tamu. Saat melihat kedatangan kami, kau langsung meninggalkan tamu-tamu itu dan menjabat tanganku. "Terima kasih." Katamu singkat meski aku belum mengucapkan sepatah kata pun. Sesaat aku limbung. "Selamat ya!" Ujarku setelah menguasai keadaan. Sadar berpasang-pasang mata memperhatikan, aku melepaskan genggamanmu. Aku pun memeluk gadis yang kini menjadi istrimu dan memberinya ucapan selamat. Kalian memaksaku duduk di pelaminan itu, di antara kalian. Setelah berbagai basa basi yang sangat basi, aku meminta ijin untuk pulang. Aku beralasan bahwa keretaku akan berangkat dua jam lagi. Kalian, terutama kau, pun terpaksa mengijinkanku pergi.
***
"Kau yakin akan pulang sekarang?" kata temanku dengan nada khawatir. Aku mengangguk mantap. "Aku baik-baik saja," ucapku seolah menebak jalan pikirannya sambil melanjutkan membereskan barang bawaanku. "Sepuluh menit lagi aku siap berangkat." Kataku meyakinkannya.
"Hujan lagi." Katanya beberapa saat kemudian. Seolah tak percaya, aku mengintip ke balik jendela. "Oh, God."
Aku tak mungkin menunggu hujan reda karena menurut jadwal yang tertera di tiket, keretaku akan diberangkatkan lima belas menit lagi. Dengan mengenakan jas hujan kami meluncur ke stasiun. Tidak sampai sepuluh menit waktu yang diperlukan menuju ke stasiun. Sempat panik mengingat kejadian kemarin lusa di Stasiun Gambir, kami langsung lari ke peron. Untunglah keretaku belum datang. Petugas memberitahukan bahwa karena sesuatu hal kereta itu akan terlambat sekitar lima belas menit.
Semenjak pulang dari tempatmu tadi, kami tidak banyak berbincang. Sepertinya temanku ini memberikan aku kesempatan untuk sendiri. Baru di saat inilah dia mengungkit hal itu.
"Aku percaya kamu akan baik-baik saja. Saat ini mungkin dia masih yang terindah di matamu. Tapi ingat, bukan dia yang terbaik yang diciptakan untukmu. Kamu pasti akan tetap tegak menghadapi dunia ini dan kamu akan menemukan belahan jiwamu suatu saat nanti. Aku percaya itu. Jadi jangan kecewakan aku." Aku langsung memeluknya saat dia menyelesaikan kata-kata ajaib itu. "Tumben kamu waras." Candaku. Dia pun tergelak dan lagi-lagi membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. Keretaku tiba, aku memeluknya lagi sebelum naik ke Gerbong 1.
***
Kilauan puncak Monas menyambutku sesaat sebelum turun dari kereta. Sudah setengah jam berlalu dari pukul sepuluh malam. Syukurlah cuaca ibu kota bersahabat kali ini, tak ada hujan maupun gerimis yang mengiringi langkahku kembali ke rutinitas. Semoga ini pertanda aku meninggalkan semua pedihku di kotamu.
3 comments:
kayaknya aku tau oknum nya :)
tenang mb ku sayang, semua akan indah pada waktunya :)
wakakaaa...
tenang aja jeng, ini fiksi kok... ga mungkinlah curhat di sini :D
alur & settingnya aja yg mirip, selebihnya ngarang abis! :P
menurutmu siapa tersangkanya?
Komentar atas coretan ini di blog tetangga:
Komentar dari komeng:
seperti membaca cerpen.. ^-^ but nice story
Komentar dari insanbiasa:
Mhmmhhh
saya senang alurnya tidak membosankan, tapi ceritanya membingungkan dibagian pemeranannya. walaupun itu kisah nyata dan tidak membingungkan penulis tapi yang membaca masih sedikit bingung.
maaf bila terlalu banyak mengkritik
Komentar dari shafaraisya:
Bagus
Komentar dari ayik:
ceritanya bagus banget, alurnya pas...kayak baca novel aja...
ntar dari postingan2 kamu jadiin novel aja coz kata2nya novel banget?hihihi..
Komentar dari pradztblog:
Wah
bagus,,,, coba difilmkan he3x
Komentar dari brownies:
True story gak?
bagus
Post a Comment