Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel yang cukup menarik. Di situ disebutkan bahwa orang yang suka membuat coretan-coretan tidak jelas (saat di kelas, rapat, dan sejenisnya) mempunyai daya ingat yang kuat. Hal ini dikarenakan kegiatan coret-coret tak jelas tersebut mencegah seseorang dari melamun. Berdasarkan penelitian, kegiatan coret-coret ini meningkatkan kewaspadaan otak karena otak akan terus aktif, sedangkan melamun hanya akan membuyarkan konsentrasi.
Hmmm.... Karena penasaran akhirnya saya coba mengintip agenda yang selalu menemani saya saat rapat. Seingat saya, hampir setiap rapat saya membuat coret-coret di sana-sini. And... here they are!
^ini sebagian coret-coret yg ada di agenda, ada juga yang tercecer di lembaran-lembaran kertas.^
Kegiatan gak jelas ini biasanya terjadi saat pembahasan dalam rapat mulai membosankan atau saya mulai terserang penyakit berbahaya, ngantuk! :D
Lumayanlah... artinya saya tidak membiarkan otak ini berhenti bekerja tetapi mengasahnya agar selalu waspada, hehehehe.
Catatan:
Tulisan gak penting nih, biar kesannya ada tulisan aja bulan ini... wkwkwkwkwk.
Thursday, October 22, 2009
Monday, September 14, 2009
Tips Mengatasi Migrain (Harus dengan Petunjuk Dokter!)
Fyuh... lagi-lagi sakaw karena migrain. Sudah lebih dari sepuluh tahun penyakit ini bercokol di kepala saya. Saking seringnya sakit kepala sebelah ini melancarkan serangan mendadak, saya menjadi lebih siap dalam menyusun strategi penumpasannya. :D
Sayangnya, pertahanan saya sedang lemah saat musuh bebuyutan ini menyerang di suatu sore beberapa hari yang lalu. Serangan itu mulai terasa saat saya masih berada di kantor. Bukan sebuah serangan hebat tapi cukup membuat saya mundur beberapa langkah karena tak dapat melancarkan serangan balasan. Senjata saya tak dapat digunakan saat itu juga. Masih harus menunggu beberapa jam lagi hingga waktu berbuka tiba untuk melontarkan sebutir aspirin.
Perut kosong. Sakit kepala sebelah. Perut mual. Kondisi tubuh sudah semakin menurun saat adzan Maghrib berkumandang. Setelah mengganjal perut dengan sedikit makanan saya mencari aspirin di kotak obat. Oh God... saya tak menemukan satu pun senjata andalan itu. Masih berusaha mencari di antara obat-obat lainnya, saya mulai limbung. Keringat dingin mulai bercucuran. Jemari tangan yang mengaduk-aduk kotak obat mulai gemetar. Sepertinya mulai sakaw nih, pikir saya saat itu. Tiba-tiba saya teringat bahwa saya selalu menyimpan aspirin di tas yang setiap hari menemani saya ke kantor. Alhamdulillah masih ada empat butir. Saya pun langsung menelan sebutir. Strategi berikutnya, kerokan! Hanya di daerah tengkuk untuk meringankan ketegangan yang timbul. Mata semakin tak bisa bertahan karena terkena cahaya. Saya pun memutuskan tidur dan berharap musuh juga mundur.
Esoknya serangan itu berkurang tekanannya. Tapi rupanya musuh ini belum menyerah. Mereka kembali melancarkan serangan di pertengahan hari, bahkan dengan serangan yang lebih hebat. Alhasil, hingga jam pulang tiba saya tak lagi bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan. Saya pun teringat bahwa salah satu ritual pengusir migrain tidak saya lakukan semalam. Sudah menjadi sugesti, apabila hal itu luput saya lakukan saat migrain menyerang, dalam beberapa hari pasti akan ada serangan berikutnya.
Begitu waktu berbuka tiba saya mengulangi ritual hari sebelumnya ditambah salah satu hal penting yang terlupa.
1. makan dulu lah...
2. minum sebutir aspirin
3. minum kopi tubruk <<=== ini dia yang terlewat!
4. kerokan di daerah tengkuk
5. tidur dalam gelap
Alhamdulillah, esok paginya saya bangun dalam kondisi segar tanpa sedikitpun sisa-sisa migrain. Harus diperhatikan, tips ini mungkin tak bekerja dengan cara yang sama pada orang yang berbeda mengingat ada dua bahan yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi dalam waktu bersamaan (aspirin dan kafein). But they've done the best to me! :D
Catatan: silakan mampir ke sini dan ke sini untuk mengetahui lebih banyak tentang migrain dan aspirin.
Sayangnya, pertahanan saya sedang lemah saat musuh bebuyutan ini menyerang di suatu sore beberapa hari yang lalu. Serangan itu mulai terasa saat saya masih berada di kantor. Bukan sebuah serangan hebat tapi cukup membuat saya mundur beberapa langkah karena tak dapat melancarkan serangan balasan. Senjata saya tak dapat digunakan saat itu juga. Masih harus menunggu beberapa jam lagi hingga waktu berbuka tiba untuk melontarkan sebutir aspirin.
Perut kosong. Sakit kepala sebelah. Perut mual. Kondisi tubuh sudah semakin menurun saat adzan Maghrib berkumandang. Setelah mengganjal perut dengan sedikit makanan saya mencari aspirin di kotak obat. Oh God... saya tak menemukan satu pun senjata andalan itu. Masih berusaha mencari di antara obat-obat lainnya, saya mulai limbung. Keringat dingin mulai bercucuran. Jemari tangan yang mengaduk-aduk kotak obat mulai gemetar. Sepertinya mulai sakaw nih, pikir saya saat itu. Tiba-tiba saya teringat bahwa saya selalu menyimpan aspirin di tas yang setiap hari menemani saya ke kantor. Alhamdulillah masih ada empat butir. Saya pun langsung menelan sebutir. Strategi berikutnya, kerokan! Hanya di daerah tengkuk untuk meringankan ketegangan yang timbul. Mata semakin tak bisa bertahan karena terkena cahaya. Saya pun memutuskan tidur dan berharap musuh juga mundur.
Esoknya serangan itu berkurang tekanannya. Tapi rupanya musuh ini belum menyerah. Mereka kembali melancarkan serangan di pertengahan hari, bahkan dengan serangan yang lebih hebat. Alhasil, hingga jam pulang tiba saya tak lagi bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan. Saya pun teringat bahwa salah satu ritual pengusir migrain tidak saya lakukan semalam. Sudah menjadi sugesti, apabila hal itu luput saya lakukan saat migrain menyerang, dalam beberapa hari pasti akan ada serangan berikutnya.
Begitu waktu berbuka tiba saya mengulangi ritual hari sebelumnya ditambah salah satu hal penting yang terlupa.
1. makan dulu lah...
2. minum sebutir aspirin
3. minum kopi tubruk <<=== ini dia yang terlewat!
4. kerokan di daerah tengkuk
5. tidur dalam gelap
Alhamdulillah, esok paginya saya bangun dalam kondisi segar tanpa sedikitpun sisa-sisa migrain. Harus diperhatikan, tips ini mungkin tak bekerja dengan cara yang sama pada orang yang berbeda mengingat ada dua bahan yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi dalam waktu bersamaan (aspirin dan kafein). But they've done the best to me! :D
Catatan: silakan mampir ke sini dan ke sini untuk mengetahui lebih banyak tentang migrain dan aspirin.
Wednesday, September 2, 2009
Laporan Gempa dari Ridwan Rais
Saya baru saja merasakan getaran aneh ketika salah satu rekan di ruangan berteriak "GEMPAAAA...!" Mengira ini hanya berlangsung sekejap, kami masih menimbang-nimbang apakah akan tetap tinggal di ruangan atau mengevakuasi diri keluar gedung. Bukannya mereda, goncangan justru makin terasa. Sebagian teman langsung lari keluar ruangan. Kami yang masih berada di ruangan segera merapat ke dinding. Lafaz dzikir mengalir dari bibir kami. Saya pun pasrah, menyerahkan segalanya kepada Yang Di Atas. Di sini, di lantai 14 ini, guncangan serasa hampir membuat gedung ini runtuh. Lutut lemas. Setengah mati berusah menahan agar air mata tak mengalir. Saya masih merapat ke dinding. Saat guncangan reda kami langsung menyambar tas dan keluar ruangan karena takut terjadi gempa susulan. Sejenak ragu, kami akhirnya memberanikan diri menggunakan lift daripada turun melalui tangga darurat. Alhamdulillah tak ada insiden apapun dan kami bergabung dengan seluruh penghuni gedung berlantai 16 ini.
Beginilah suasana di depan gedung tak lama setelah saya berhasil menenangkan diri. Sebuah pesan singkat masuk, dari Arin, yang mengabarkan bahwa Tegal juga diguncang gempa. Ternyata gempa yang lumayan dahsyat ini berpusat di sebelah barat daya Tasikmalaya di kedalaman 30m. 7.3 skala Richter kekuatannya. Nyaris seluruh Pulau Jawa merasakan efek dari gempa ini. Allahu Akbar.
Kami baru berani masuk gedung setengah jam kemudian, itupun hanya di lantai 1 sembari melihat liputan mengenai gempa di televisi. Saya kembali ke ruangan di lantai 14 untuk mengambil jaket dan mengirim file yang baru saya selesaikan sesaat sebelum gempa. Ternyata di beberapa bagian terdapat sedikit kerusakan akibat gempa, antara lain di dekat ruang tamu dan di tengah-tengah ruangan. Retakan dinding menjalar dari langit-langit hingga lantai. Ini patut dipertanyakan karena gedung ini belum genap berumur satu tahun. Baru mulai digunakan awal Desember tahun lalu dan baru diresmikan penggunaannya bulan Maret tahun ini. Kalau kondisi bangunan rawan seperti ini bagaimana kami bisa tenang bekerja dan menggali potensi penerimaan sementara nyawa kami jadi taruhannya???
Harusnya para petinggi itu tak hanya menekan kami dengan permintaan yang selalu berubah tiap saat, dengan target yang nyaris di awang-awang tapi harus dicapai, dengan segala tetek bengek laporan ABS. Sementara timbal baliknya? Nyaris tak ada. Hanya tunjangan berdasarkan renumerasi saja yang membuat kami bertahan. Mbok yo keselamatan kami juga dijamin... Anggaran untuk proyek pembangunan mbok yo jangan di-tilep juga. :D
Beginilah suasana di depan gedung tak lama setelah saya berhasil menenangkan diri. Sebuah pesan singkat masuk, dari Arin, yang mengabarkan bahwa Tegal juga diguncang gempa. Ternyata gempa yang lumayan dahsyat ini berpusat di sebelah barat daya Tasikmalaya di kedalaman 30m. 7.3 skala Richter kekuatannya. Nyaris seluruh Pulau Jawa merasakan efek dari gempa ini. Allahu Akbar.
Kami baru berani masuk gedung setengah jam kemudian, itupun hanya di lantai 1 sembari melihat liputan mengenai gempa di televisi. Saya kembali ke ruangan di lantai 14 untuk mengambil jaket dan mengirim file yang baru saya selesaikan sesaat sebelum gempa. Ternyata di beberapa bagian terdapat sedikit kerusakan akibat gempa, antara lain di dekat ruang tamu dan di tengah-tengah ruangan. Retakan dinding menjalar dari langit-langit hingga lantai. Ini patut dipertanyakan karena gedung ini belum genap berumur satu tahun. Baru mulai digunakan awal Desember tahun lalu dan baru diresmikan penggunaannya bulan Maret tahun ini. Kalau kondisi bangunan rawan seperti ini bagaimana kami bisa tenang bekerja dan menggali potensi penerimaan sementara nyawa kami jadi taruhannya???
Harusnya para petinggi itu tak hanya menekan kami dengan permintaan yang selalu berubah tiap saat, dengan target yang nyaris di awang-awang tapi harus dicapai, dengan segala tetek bengek laporan ABS. Sementara timbal baliknya? Nyaris tak ada. Hanya tunjangan berdasarkan renumerasi saja yang membuat kami bertahan. Mbok yo keselamatan kami juga dijamin... Anggaran untuk proyek pembangunan mbok yo jangan di-tilep juga. :D
Tuesday, August 25, 2009
Susah Cari Tiket Kereta Buat Mudik? Coba Cara Ini...
Sebuah pemandangan khas menjelang Ramadhan tertangkap mata saya tak lama setelah menginjakkan kaki di stasiun Gambir malam itu di hari perayaan kemerdekaan negeri ini yang ke-64. Lebih dari dua puluh orang duduk bersila sambil bercengkrama dengan kawannya di seluruh jalur antrian di depan loket pemesanan tiket. Sebagian telah lelap dalam tidurnya. Mereka rela menginap di depan loket “hanya” untuk mendapatkan selembar tiket kereta api untuk pemberangkatan tanggal 17 September 2009 meski loket baru akan dibuka pukul 07.00 WIB esok harinya.
Yah, sistem pembelian tiket secara online di banyak stasiun membuat tiket kereta api laris manis bak kacang goreng. Terlebih lagi setelah dua tahun terakhir PT. KAI bekerja sama dengan delapan biro perjalanan untuk melayani pembelian tiket secara online. Sistem pembelian yang dibuka pada H-30 sebelum keberangkatan ini membuat banyak calon pembeli yang harus gigit jari karena tiket untuk hampir semua jurusan langsung ludes hanya dalam waktu sekitar 10 menit setelah loket dibuka. Tak masuk akal memang.
Anggaplah ada 50 loket yang dibuka di seluruh Pulau Jawa. Masing-masing orang hanya dapat membeli paling banyak dua tiket. Lama transaksi di depan loket diasumsikan selama satu menit per orang. Pada menit pertama akan terjual 100 tiket untuk seluruh kereta api kelas bisnis dan eksekutif. Satu rangkaian kereta api bisa mengangkut sekitar 500 penumpang dan untuk setiap jalur (utara dan selatan) PT. KAI telah menyediakan sekitar 10 rangkaian kereta. Artinya dalam satu hari PT. KAI bisa mengangkut sekitar 10.000 penumpang. Kalau dalam satu menit terjual 100 tiket, maka dalam 10 menit diperkirakan terjual 1.000 tiket. Tapi mengapa bisa langsung habis? Kemana 9.000 tiket lainnya?
Salah satunya ada di tangan saya. Tanpa repot-repot mengantri saya berhasil mendapatkan tiket untuk mudik lebaran tahun ini. Dua tahun terakhir saya menggunakan jasa “orang dalam” untuk memperoleh tiket terutama di saat lebaran dan akhir pekan yang panjang. Sebut saja namanya Om Budi. Beliau adalah salah satu pegawai PT. KAI yang bertugas di stasiun Tegal. Sehari sebelum loket dibuka untuk keberangkatan yang dimaksud, Bapak menitipkan sejumlah uang kepada beliau sebesar harga tiket ditambah Rp.50.000 sebagai uang terima kasih. Alhasil, tiket yang menjadi barang langka itu dapat dengan mudah ada digenggaman. :D
Ada yang menarik saat saya sempat dilanda kepanikan dua hari yang lalu. Minggu siang itu, 23 Agustus 2009, saya tiba-tiba tersadar bahwa saya harus berburu tiket untuk balik ke Jakarta tanggal 23 September 2009. Saya sedang berada di Purwakarta saat itu. Saya langsung meminta Bapak memesan tiket di stasiun Tegal. Tak lebih dari lima belas menit berikutnya saya menerima kabar bahwa tiket untuk tanggal tersebut telah terjual habis. Waduh... pasrah deh. Kalau terpaksa naik bus juga deh. :-(
Malam harinya, masih di hari Minggu itu, saya baru menyadari bahwa telah terjadi suatu kesalahan fatal! Seharusnya tiket untuk 23 September kan baru bisa dibeli besok pas tanggal 24 Agustus. Lalu kenapa petugas di loket mengatakan bahwa tiket telah habis? Harusnya kan dia memberitahukan bahwa tiket yang dimaksud baru bisa dibeli besok. Permainan apa pula ini? Aaaarrrrrggghhhhh....!!! Menyadari hal ini, saya kembali meminta bantuan Om Budi untuk memesan tiket tanggal 23 September. Tentu saja, berhasil! :D
Apakah ini sebuah pelanggaran? Entahlah. Yang penting saya bisa mudik dengan menggunakan moda transportasi paling favorit ini. Coba ada rute penerbangan Jakarta-Tegal, saya mungkin lebih memilih itu, hehehehe....
Yah, sistem pembelian tiket secara online di banyak stasiun membuat tiket kereta api laris manis bak kacang goreng. Terlebih lagi setelah dua tahun terakhir PT. KAI bekerja sama dengan delapan biro perjalanan untuk melayani pembelian tiket secara online. Sistem pembelian yang dibuka pada H-30 sebelum keberangkatan ini membuat banyak calon pembeli yang harus gigit jari karena tiket untuk hampir semua jurusan langsung ludes hanya dalam waktu sekitar 10 menit setelah loket dibuka. Tak masuk akal memang.
Anggaplah ada 50 loket yang dibuka di seluruh Pulau Jawa. Masing-masing orang hanya dapat membeli paling banyak dua tiket. Lama transaksi di depan loket diasumsikan selama satu menit per orang. Pada menit pertama akan terjual 100 tiket untuk seluruh kereta api kelas bisnis dan eksekutif. Satu rangkaian kereta api bisa mengangkut sekitar 500 penumpang dan untuk setiap jalur (utara dan selatan) PT. KAI telah menyediakan sekitar 10 rangkaian kereta. Artinya dalam satu hari PT. KAI bisa mengangkut sekitar 10.000 penumpang. Kalau dalam satu menit terjual 100 tiket, maka dalam 10 menit diperkirakan terjual 1.000 tiket. Tapi mengapa bisa langsung habis? Kemana 9.000 tiket lainnya?
^Ah, ini mah hitung-hitungan kasar saja. Datanya pun tidak akurat.^
Salah satunya ada di tangan saya. Tanpa repot-repot mengantri saya berhasil mendapatkan tiket untuk mudik lebaran tahun ini. Dua tahun terakhir saya menggunakan jasa “orang dalam” untuk memperoleh tiket terutama di saat lebaran dan akhir pekan yang panjang. Sebut saja namanya Om Budi. Beliau adalah salah satu pegawai PT. KAI yang bertugas di stasiun Tegal. Sehari sebelum loket dibuka untuk keberangkatan yang dimaksud, Bapak menitipkan sejumlah uang kepada beliau sebesar harga tiket ditambah Rp.50.000 sebagai uang terima kasih. Alhasil, tiket yang menjadi barang langka itu dapat dengan mudah ada digenggaman. :D
Ada yang menarik saat saya sempat dilanda kepanikan dua hari yang lalu. Minggu siang itu, 23 Agustus 2009, saya tiba-tiba tersadar bahwa saya harus berburu tiket untuk balik ke Jakarta tanggal 23 September 2009. Saya sedang berada di Purwakarta saat itu. Saya langsung meminta Bapak memesan tiket di stasiun Tegal. Tak lebih dari lima belas menit berikutnya saya menerima kabar bahwa tiket untuk tanggal tersebut telah terjual habis. Waduh... pasrah deh. Kalau terpaksa naik bus juga deh. :-(
Malam harinya, masih di hari Minggu itu, saya baru menyadari bahwa telah terjadi suatu kesalahan fatal! Seharusnya tiket untuk 23 September kan baru bisa dibeli besok pas tanggal 24 Agustus. Lalu kenapa petugas di loket mengatakan bahwa tiket telah habis? Harusnya kan dia memberitahukan bahwa tiket yang dimaksud baru bisa dibeli besok. Permainan apa pula ini? Aaaarrrrrggghhhhh....!!! Menyadari hal ini, saya kembali meminta bantuan Om Budi untuk memesan tiket tanggal 23 September. Tentu saja, berhasil! :D
Apakah ini sebuah pelanggaran? Entahlah. Yang penting saya bisa mudik dengan menggunakan moda transportasi paling favorit ini. Coba ada rute penerbangan Jakarta-Tegal, saya mungkin lebih memilih itu, hehehehe....
Terima Kasih, Malaysia
Berbagai hujatan dan kecaman yang ditujukan kepada salah satu negeri jiran ini datang dari segala penjuru tanah air. Pemicunya adalah sepenggal iklan pariwisata berjudul Enigmatic Malaysia yang ditayangkan Discovery Channel. Dalam iklan ini nampak bahwa salah satu budaya andalan Indonesia dari Bali, Tari Pendet, ditampilkan seolah-olah itu adalah budaya Malaysia. Sontak semua orang meradang dengan pengaku-akuan dari Malaysia ini. Teriakan "Ganyang Malaysia" kembali sering terdengar.
Tak hanya kali ini Malaysia mengakui warisan budaya Indonesia sebagai budaya dari negeri mereka. Masih lekat dalam ingatan kita saat Malaysia mengklaim Reog yang selama ini kita kenal berasal dari Ponorogo, Jawa Timur, hingga lebih beken dengan nama Reog Ponorogo. Tak hanya itu. Alat musik Angklung dari Tanah Parahiyangan menjadi korban berikutnya. Batik pun tak luput dari klaim negara tetangga ini. Entah berapa banyak lagi.
Tapi saya justru ingin berterima kasih kepada Malaysia karena telah mengingatkan kita bahwa Indonesia kaya akan warisan budaya. Selama ini rakyat Indonesia, terutama generasi mudanya, terlena dengan makin maraknya budaya dari luar khususnya dunia Barat. Mereka lebih bangga bila dianggap kebarat-baratan dan mereka merasa malu untuk melestarikan budaya dari nenek moyangnya. Kemudian saat negara lain mengakui budaya Indonesia sebagai budaya mereka, orang-orang ini langsung menghujat dan mengecam, berlagak seolah mereka yang paling peduli dengan warisan budaya bangsa. Selama ini kemana saja???
Semoga ini menjadi pelajaran terakhir bagi kita. Semoga Pemerintah tak hanya berbasa-basi untuk melindungi seluruh warisan budaya Indonesia. Kita tak butuh segala macam hujatan dan kecaman, yang kita butuhkan tindakan nyata untuk melindungi dan melestarikan warisan ini.
Tak hanya kali ini Malaysia mengakui warisan budaya Indonesia sebagai budaya dari negeri mereka. Masih lekat dalam ingatan kita saat Malaysia mengklaim Reog yang selama ini kita kenal berasal dari Ponorogo, Jawa Timur, hingga lebih beken dengan nama Reog Ponorogo. Tak hanya itu. Alat musik Angklung dari Tanah Parahiyangan menjadi korban berikutnya. Batik pun tak luput dari klaim negara tetangga ini. Entah berapa banyak lagi.
Tapi saya justru ingin berterima kasih kepada Malaysia karena telah mengingatkan kita bahwa Indonesia kaya akan warisan budaya. Selama ini rakyat Indonesia, terutama generasi mudanya, terlena dengan makin maraknya budaya dari luar khususnya dunia Barat. Mereka lebih bangga bila dianggap kebarat-baratan dan mereka merasa malu untuk melestarikan budaya dari nenek moyangnya. Kemudian saat negara lain mengakui budaya Indonesia sebagai budaya mereka, orang-orang ini langsung menghujat dan mengecam, berlagak seolah mereka yang paling peduli dengan warisan budaya bangsa. Selama ini kemana saja???
Semoga ini menjadi pelajaran terakhir bagi kita. Semoga Pemerintah tak hanya berbasa-basi untuk melindungi seluruh warisan budaya Indonesia. Kita tak butuh segala macam hujatan dan kecaman, yang kita butuhkan tindakan nyata untuk melindungi dan melestarikan warisan ini.
Wednesday, July 22, 2009
Kematian Hari Ini
Death Du Jour (Terj.)
Kathy Reichs
Penerbit Serambi
Cetakan I, Desember 2007
640 halaman
Saat sedang menyelesaikan proses identifikasi tulang-belulang seorang biarawati yang akan dianugerahi gelar Santa, Temperance Brennan juga harus mengidentifikasi para korban yang ditemukan di sebuah rumah yang terbakar di tengah bekunya Quebec. Seorang wanita lanjut usia, sepasang laki-laki dan wanita dewasa dan dua orang bayi kembar yang berusia tak lebih dari 4 bulan. Bersama Detective Andrew Ryan, ahli antropologi forensik yang juga berprofesi sebagai dosen ini mencoba menguak latar belakang korban kebakaran yang disengaja tersebut.
Kematian seolah tak pernah menjauh dari wanita ini. Di saat berlibur sejenak bersama puterinya, tanpa sengaja dia menemukan dua mayat yang sudah menjadi tempat pesta belatung dan berbagai serangga. Tambahan pekerjaan ini membuat Dr. Brennan semakin sibuk. Dia masih harus menemani Det. Ryan menyelidiki sebuah tempat yang diyakini berhubungan dengan para korban kebakaran di Quebec. Di tempat ini mereka menemukan sebuah komunitas yang menjauhkan diri dari kehidupan luar.
Dr. Brennan akhirnya menyadari bahwa dua korban yang terakhir dia temukan berhubungan dengan para korban kebakaran dan seorang korban lain yang ditemukan dalam kondisi yang tak kalah mengenaskan. Di saat itu dia menyadari bahwa Harry, adik perempuannya, sudah beberapa hari menghilang tanpa kabar. Nyaris kehilangan nyawanya, Dr. Brennan berusaha meluruskan benang kusut kasus ini.
Awalnya cukup membosankan karena alur yang lambat. Tapi ketegangan makin terasa saat kasus-kasus ini mulai memiliki keterkaitan. Ngeri juga membayangkan jadi Dr. Brennan, mengorek-ngorek “catatan” dari mayat-mayat dengan kondisi mengenaskan. Hiyyyyyy...
Ternyata para serangga di jasad korban sangat berperan dalam menentukan waktu kematian. Kapan lalat datang kemudian bertelur dan menjadi larva. Kapan larva berubah menjadi lalat dan memulai kembali daur hidup tadi. Kapan kumbang daging datang. Bahkan di larva dapat ditemukan zat yang dikonsumsi korban, narkotika misalnya. Lumayan buat menambah wawasan tentang ilmu forensik.:D
Kathy Reichs
Penerbit Serambi
Cetakan I, Desember 2007
640 halaman
Saat sedang menyelesaikan proses identifikasi tulang-belulang seorang biarawati yang akan dianugerahi gelar Santa, Temperance Brennan juga harus mengidentifikasi para korban yang ditemukan di sebuah rumah yang terbakar di tengah bekunya Quebec. Seorang wanita lanjut usia, sepasang laki-laki dan wanita dewasa dan dua orang bayi kembar yang berusia tak lebih dari 4 bulan. Bersama Detective Andrew Ryan, ahli antropologi forensik yang juga berprofesi sebagai dosen ini mencoba menguak latar belakang korban kebakaran yang disengaja tersebut.
Kematian seolah tak pernah menjauh dari wanita ini. Di saat berlibur sejenak bersama puterinya, tanpa sengaja dia menemukan dua mayat yang sudah menjadi tempat pesta belatung dan berbagai serangga. Tambahan pekerjaan ini membuat Dr. Brennan semakin sibuk. Dia masih harus menemani Det. Ryan menyelidiki sebuah tempat yang diyakini berhubungan dengan para korban kebakaran di Quebec. Di tempat ini mereka menemukan sebuah komunitas yang menjauhkan diri dari kehidupan luar.
Dr. Brennan akhirnya menyadari bahwa dua korban yang terakhir dia temukan berhubungan dengan para korban kebakaran dan seorang korban lain yang ditemukan dalam kondisi yang tak kalah mengenaskan. Di saat itu dia menyadari bahwa Harry, adik perempuannya, sudah beberapa hari menghilang tanpa kabar. Nyaris kehilangan nyawanya, Dr. Brennan berusaha meluruskan benang kusut kasus ini.
Awalnya cukup membosankan karena alur yang lambat. Tapi ketegangan makin terasa saat kasus-kasus ini mulai memiliki keterkaitan. Ngeri juga membayangkan jadi Dr. Brennan, mengorek-ngorek “catatan” dari mayat-mayat dengan kondisi mengenaskan. Hiyyyyyy...
Ternyata para serangga di jasad korban sangat berperan dalam menentukan waktu kematian. Kapan lalat datang kemudian bertelur dan menjadi larva. Kapan larva berubah menjadi lalat dan memulai kembali daur hidup tadi. Kapan kumbang daging datang. Bahkan di larva dapat ditemukan zat yang dikonsumsi korban, narkotika misalnya. Lumayan buat menambah wawasan tentang ilmu forensik.:D
Wednesday, July 8, 2009
Tak Lagi (Terpaksa) Golput
Setelah pengalaman pahit di pemilihan calon legislatif awal April lalu karena tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan terpaksa golput, saya tak mau hal tersebut terulang kembali. Saat kesempatan itu terbuka, saya pun meminta Bapak di Tegal untuk mendaftarkan nama saya ke KPPS tempat anggota keluarga yang lain terdaftar.
Tapi ternyata jadwal pemilihan presiden jatuh di hari Rabu, 8 Juli 2009. Meski ditetapkan sebagai hari libur nasional saya tak mungkin pulang ke Tegal “hanya” untuk menentukan pilihan. Saya pun terancam tak dapat menyalurkan aspirasi.
Sehari sebelum penutupan pendaftaran pemilih tambahan, tanpa sengaja saya bertemu dengan Ketua RT di sini. Beliau menyampaikan bahwa kami, anak-anak yang kos di rumah ini, bisa mendaftar di KPPS di wilayan ini cukup dengan menyerahkan fotokopi KTP dan sebuah surat pernyataan. Alhamdulillah.
Kemarin sore sepulang dari kantor, sebuah undangan untuk memilih di TPS 024 sudah di tangan. Ibu di Tegal juga mengabarkan bahwa saya memperoleh undangan di TPS di dekat rumah. Hahahaha... di saat banyak orang mengeluh karena namanya tak terdaftar di DPT, nama saya justru terdaftar di dua DPT di wilayah yang berbeda. Apakah ini sebuah pelanggaran pemilu? Entahlah. Toh saya hanya memilih di satu tempat. Yang jelas saya senang karena bisa ikut meramaikan pesta demokrasi kali ini.
Sekitar pukul 10.20 WIB saya melangkahkan kaki ke TPS 024 yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari kos. Tanpa antrian, tak lebih dari 5 menit saya berada di TPS, mulai dari pendaftaran, pengambilan surat suara, pencontrengan, hingga pencelupan jari ke tinta sebagai tanda telah memilih.
Siapa pun yang terpilih nantinya, semoga dia adalah yang terbaik yang bisa membawa bangsa ini ke kondisi yang lebih baik. Semoga.
Tapi ternyata jadwal pemilihan presiden jatuh di hari Rabu, 8 Juli 2009. Meski ditetapkan sebagai hari libur nasional saya tak mungkin pulang ke Tegal “hanya” untuk menentukan pilihan. Saya pun terancam tak dapat menyalurkan aspirasi.
Sehari sebelum penutupan pendaftaran pemilih tambahan, tanpa sengaja saya bertemu dengan Ketua RT di sini. Beliau menyampaikan bahwa kami, anak-anak yang kos di rumah ini, bisa mendaftar di KPPS di wilayan ini cukup dengan menyerahkan fotokopi KTP dan sebuah surat pernyataan. Alhamdulillah.
Kemarin sore sepulang dari kantor, sebuah undangan untuk memilih di TPS 024 sudah di tangan. Ibu di Tegal juga mengabarkan bahwa saya memperoleh undangan di TPS di dekat rumah. Hahahaha... di saat banyak orang mengeluh karena namanya tak terdaftar di DPT, nama saya justru terdaftar di dua DPT di wilayah yang berbeda. Apakah ini sebuah pelanggaran pemilu? Entahlah. Toh saya hanya memilih di satu tempat. Yang jelas saya senang karena bisa ikut meramaikan pesta demokrasi kali ini.
Sekitar pukul 10.20 WIB saya melangkahkan kaki ke TPS 024 yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari kos. Tanpa antrian, tak lebih dari 5 menit saya berada di TPS, mulai dari pendaftaran, pengambilan surat suara, pencontrengan, hingga pencelupan jari ke tinta sebagai tanda telah memilih.
Siapa pun yang terpilih nantinya, semoga dia adalah yang terbaik yang bisa membawa bangsa ini ke kondisi yang lebih baik. Semoga.
Monday, July 6, 2009
Kios Jujur
SEBERAPA JUJURKAH ANDA...???
SILAHKAN BELANJA DI KIOS JUJUR
KPP MADYA JAKARTA TIMUR
Kios Jujur KPP Madya Jakarta Timur adalah kios tanpa penjaga.. Silahkan ambil barang yang anda kehendaki. Letakkan uang di kotak yang telah disediakan, ambil sendiri uang kembalian anda jika ada...
Jujur itu mudah, tapi menjadi begitu sulit ketika ada unsur uang dan kesempatan di dalamnya...
Orang lain mungkin tidak melihat perbuatan kita... Tapi... Yakinlah Tuhan selalu mengawasi setiap hembusan nafas kita...
Sekali lagi, menjadi jujur itu mudah!!!
Mulailah dari hal yang kecil...
Mulailah dari diri kita...
Dan... mulailah saat ini juga...!!!
Itulah tulisan yang terdapat dalam standing banner di salah satu sudut kantor ini. Banner ini melengkapi sebuah rak pendingin yang diisi berbagai macam minuman serta sebuah rak kaca tempat makanan ringan. Ditambah sebuah meja bundar dengan sebuah toples kaca serta tulisan “Taruh Uang Anda dan Ambil Uang Kembalian Anda Sendiri Di Sini.”
Memang tak selengkap minimarket, tapi setidaknya kios ini menyediakan beberapa minuman dan makanan ringan sebagai pelepas dahaga dan pengganjal perut bagi para Wajib Pajak yang berkunjung. Tak sedikit pula pegawai yang juga menjadi pembeli di kios ini. Meski tak ada penjaga yang mengawasi pergerakan uang dan barang, kios ini tak pernah tekor. Bahkan menurut kabar yang beredar, hanya dalam waktu tak lebih dari dua pekan kios ini sudah mencapai break event point! Ternyata masih banyak orang jujur di negeri ini. :D
SILAHKAN BELANJA DI KIOS JUJUR
KPP MADYA JAKARTA TIMUR
Kios Jujur KPP Madya Jakarta Timur adalah kios tanpa penjaga.. Silahkan ambil barang yang anda kehendaki. Letakkan uang di kotak yang telah disediakan, ambil sendiri uang kembalian anda jika ada...
Jujur itu mudah, tapi menjadi begitu sulit ketika ada unsur uang dan kesempatan di dalamnya...
Orang lain mungkin tidak melihat perbuatan kita... Tapi... Yakinlah Tuhan selalu mengawasi setiap hembusan nafas kita...
Sekali lagi, menjadi jujur itu mudah!!!
Mulailah dari hal yang kecil...
Mulailah dari diri kita...
Dan... mulailah saat ini juga...!!!
Itulah tulisan yang terdapat dalam standing banner di salah satu sudut kantor ini. Banner ini melengkapi sebuah rak pendingin yang diisi berbagai macam minuman serta sebuah rak kaca tempat makanan ringan. Ditambah sebuah meja bundar dengan sebuah toples kaca serta tulisan “Taruh Uang Anda dan Ambil Uang Kembalian Anda Sendiri Di Sini.”
Memang tak selengkap minimarket, tapi setidaknya kios ini menyediakan beberapa minuman dan makanan ringan sebagai pelepas dahaga dan pengganjal perut bagi para Wajib Pajak yang berkunjung. Tak sedikit pula pegawai yang juga menjadi pembeli di kios ini. Meski tak ada penjaga yang mengawasi pergerakan uang dan barang, kios ini tak pernah tekor. Bahkan menurut kabar yang beredar, hanya dalam waktu tak lebih dari dua pekan kios ini sudah mencapai break event point! Ternyata masih banyak orang jujur di negeri ini. :D
Thursday, July 2, 2009
Saat Jason Mraz Bertemu Kla Project
I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Alunan suara Jason Mraz yang berduet dengan Colbie Caillat masih betah menemani hari-hari saya belakangan ini. Sudah beberapa bulan terakhir lagu ini berulang kali saya dengar bersama sederet lagu lainnya dari album We Sing, We Dance, We Steal Things. Entah kenapa tiba-tiba lagu ini seolah meloncat begitu saja dari 12 lagu di album itu dan membuat saya tertegun sejenak.
Tiba-tiba saya merasa de javu. Bukan dengan lagu ini tentu saja. Tapi lagu ini membangkitkan ingatan saya ke sebuah tembang manis dari grup yang pernah menjajah dunia musik tanah air, Kla Project. Sebuah Rahasia. Satu-satunya lagu baru dari album The Best of Kla yang dirilis tahun 2001 ini tak banyak diketahui khalayak. Bahkan seorang teman yang menyatakan dirinya sebagai Klanist (penggemar Kla Project) mengaku tidak mengetahui lagu ini! T e r l a l u ... –Rhoma Irama Mode: On–
Saat pertama kali mendengar lagu ini dari sebuah stasiun radio, saya langsung tertawa ngakak karena lagunya pas banget dengan yang terjadi saat itu. Coba perhatikan beberapa baris liriknya.
Niscaya hatimu 'kan terkesima sebuah rahasia
Diriku yang seolah sekedar sahabatmu
tempat curahan kesah tangismu di bahu
sesungguhnya inginkan mu
Diriku yang seolah sekedar sahabatmu
tempat curahan kesah tangismu di bahu
sesungguhnya inginkan mu
Yup, inti dari lagu ini tentang seseorang yang jatuh cinta kepada sahabatnya. Tak jauh berbeda dengan Lucky-nya Jason Mraz. Pernah mengalami yang seperti ini? Saya pernah. Hihihihi... jadi nostalgia deh, ingat jaman muda dulu. :D
Tuesday, June 30, 2009
Diselamatkan Kartu KORPRI
Di awal bulan ini saya merencanakan pulang ke kampung halaman sebelum bulan berganti. Tiket pergi-pulang Jakarta Tegal untuk tanggal 26 dan 28 Juni 2009 sudah di tangan. Tiket KA Gumarang dan Argo Muria ini dibeli dengan memanfaatkan potongan harga yang ditawarkan bagi pemilik Kartu KORPRI. Lumayan lah bisa menghemat 10% dari harga normal. Selain potongan harga 10% untuk pembelian tiket PT. KAI, pemegang Kartu KORPRI juga dapat memperoleh keuntungan lain seperti potongan harga untuk pembelian tiket PT. PELNI, Damri, serta pembelian obat dari PT. Kimia Farma.
Beberapa hari menjelang keberangkatan, saat pikiran sudah mulai melayang ke tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, seorang sahabat melayangkan kabar yang membuat saya kesal, sedikit marah, sedih, tapi juga bahagia. Selasa, 23 Juni 2009, sekitar pukul 18.30 WIB. Ana memberitahukan bahwa dia akan melangsungkan pernikahan tanggal 28 Juni 2009 di Klaten. Damn! Saya panik. Saya langsung memutar otak untuk mencari cara bagaimana agar bisa menghadiri pernikahan kawan karib ini meski harus mengorbankan sedikit waktu untuk orang-orang di rumah.
Tiket KA dari Yogyakarta maupun Solo untuk keberangkatan tanggal 28 Juni 2009 malam telah ludes. Rupanya moda transportasi ini masih menjadi favorit terutama di musim liburan sekolah. Mencoba mengintip harga tiket penerbangan dari beberapa maskapai. Oh God... mahal banget! Rata-rata berada di kisaran Rp.560.000 untuk sekali jalan.
Jadwal keberangkatan KA Argo Muria dari Sta. Tegal pukul 18.13 WIB. Tidak mungkin terkejar kalau saya berangkat dari Klaten setelah acara Akad Nikah yang baru dimulai pukul 09.00 WIB. Sebuah rencana nekat terlintas di kepala. Saya akan naik kereta ini dari Sta. Tawang Semarang, tempat kereta diberangkatkan pada pukul 16.00 WIB. Saya berpikiran bahwa yang saya akan lakukan tidak melanggar karena harga tiket Tegal-Jakarta dengan Semarang-Jakarta tak ada bedanya. Saya pun langsung menyusun rencana perjalanan dengan Andri dan Lita.
26 Juni 2009 saya memulai perjalanan dari Sta. Gambir. KA Gumarang diberangkatkan 15 lebih lambat dari jadwal seharusnya. Tiba di Sta. Tegal sekitar pukul 23.00 WIB. Tak banyak yang saya lakukan di kota yang telah menempa hampir dua pertiga hidup saya. Bahkan rencana untuk mencoba memperbaiki komputer di rumah pun tak berhasil dijalankan karena sempitnya waktu.
27 Juni 2009 pukul 21.30 WIB sebuah mobil L300 berwarna merah menyala hadir di depan rumah. Mobil inilah yang mengantar kami – saya dan Andri – menuju Magelang. 28 Juni 2009 pukul 02.30 WIB, sejuknya udara Magelang menyambut kami menapakkan kaki di kota itu, untuk merepotkan (lagi) Lita dan Mas Yoga, sebelum kami sampai ke tujuan utama, Klaten.
Pukul 07.00 WIB kami berempat sudah meluncur membelah jalanan Magelang. Mas Yoga melajukan mobil lebih cepat karena kami tak mau tertinggal acara akad nikah yang rencananya digelar pukul 09.00 WIB. Melintas di Ring-Road Utara di pinggiran DIY, kami masuk ke Jalan Raya Solo menuju Klaten. Berbekal peta yang diberikan Ana kami pun tiba di lokasi tepat saat acara baru saja dimulai. Alhamdulillah.
Sudah 45 menit berlalu dari pukul 10.00 WIB, tetapi rangkaian acara yang mengikuti akad nikah belum juga berakhir. Resah. Saya tak lagi bisa berkonsentrasi mengikuti jalannya acara. Akhirnya kami memutuskan berpamitan karena saya harus mengejar kereta ke Semarang. Mas Yoga kembali memacu mobilnya menuju Terminal Jombor, Sleman. Andri memilih PO. Nusantara sebagai armada yang akan mengantar kami ke Semarang.
Pukul 12.15 WIB bus yang kami naiki mulai melaju perlahan. Sampai Magelang bus ini hanya melaju dengan rata-rata 40km/jam! Saya makin resah karena takut tidak bisa mengejar KA Argo Muria. Kami berdua geregetan. Selidik punya selidik ternyata sang sopir dalam kondisi mengantuk berat sehingga dia tidak berani tancap gas. Kami pun sempat mengabadikan adegan dia sedang mengantuk saat mengendara.
Alhamdulillah kami tiba dengan selamat di Semarang sekitar pukul 15.15 WIB. Mas Wawan, teman kantor Andri, telah menunggu kami di daerah Banyumanik. Mereka berdua mengantar saya ke Sta. Tawang. Saya meminta supir taksi yang kami naiki untuk memacu kendaraannya. Alhamdulillah KA Argo Muria masih nongkrong di situ. “Tinggal satu halangan lagi,” kata saya kepada Andri sebelum bergegas memasuki peron dan berpisah dengan mereka.
Setelah menunggu penumpang lain naik, saya masuk ke gerbong 3 sesuai yang tertera di tiket. Ternyata kursi 7D tidak ada yang menempati. Saya pun langsung duduk di sebelah lelaki seumuran Bapak saya yang terlihat ramah. Tak lama kemudian dari arah belakang tiga orang petugas PT. KAI memeriksa tiket kami dan terjadi dialog yang kurang lebih seperti ini:
Saya: “Pak, tiket saya dari Tegal. Boleh kan naik dari sini?” (sembari menyerahkan tiket kepada salah satu petugas)
Petugas I: “Kenapa naik dari sini?”
Saya: “Tadinya saya mau berangkat dari Tegal tapi ada acara mendadak di sini. Gak terkejar kalau balik ke Tegal dulu.” (memberi alasan)
Petugas I: “KORPRI ya?” (sambil memeriksa tiket saya)
Saya: “Iya, Pak.”
Petugas I: “Wah, seharusnya ini gak bisa. Nih, coba tanya KS. Gimana Pak?” (berpaling ke petugas lainnya)
Petugas III: (memeriksa daftar di tangannya) “7D kosong.”
Saya: “Tapi kan harganya sama, Pak.” (mencoba memberi argumen)
Petugas II (KS): (memeriksa tiket saya) “Ada Kartu KORPRI-nya?”
Saya: “Ada, Pak.” (mencari kartu yang dimaksud dan menyerahkan kepada beliau)
Saya: “Boleh ya, Pak?” (pinta saya sedikit memelas)
Petugas II (KS): “Kalau mau aman sebaiknya Mbak beli tiket untuk jurusan terjauh. Takutnya tiket Semarang-Tegal sudah kami jual.”
Saya: “Baik, Pak. Tapi sekarang boleh kan?”
Petugas II (KS): “Boleh. Untung kursinya belum dijual.” (mengembalikan tiket dan Kartu KORPRI)
Saya: “Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”
(Petugas II berlalu dari hadapan saya menyusul rekan-rekannya)
Meski sudah memperoleh persetujuan KS (Kepala Stasiun – penulis) saya belum bisa tenang menikmati perjalanan menuju Jakarta. Saat kondektur memeriksa tiket, beliau tidak memperhatikan bahwa tiket saya bukan dari Semarang. Perasaan was-was kembali hadir saat kereta berhenti di Sta. Pekalongan untuk menaikkan penumpang. Takut ada yang menuntut kursi ini. Alhamdulillah tidak ada. Tapi saya tetap was-was saat kondektur kembali berkeliling.
Saya baru bisa tenang setelah kereta melewati Sta. Tegal. Fyuh... berasa seperti maling yang takut tertangkap basah!
Entah karena Kartu KORPRI atau sebab lain, saya benar-benar merasa terselamatkan karena memiliki kartu ini.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah mempermudah perjalanan ini.
Sepertinya judulnya kurang sesuai dengan isinya, bodo amat... :D
Beberapa hari menjelang keberangkatan, saat pikiran sudah mulai melayang ke tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, seorang sahabat melayangkan kabar yang membuat saya kesal, sedikit marah, sedih, tapi juga bahagia. Selasa, 23 Juni 2009, sekitar pukul 18.30 WIB. Ana memberitahukan bahwa dia akan melangsungkan pernikahan tanggal 28 Juni 2009 di Klaten. Damn! Saya panik. Saya langsung memutar otak untuk mencari cara bagaimana agar bisa menghadiri pernikahan kawan karib ini meski harus mengorbankan sedikit waktu untuk orang-orang di rumah.
Tiket KA dari Yogyakarta maupun Solo untuk keberangkatan tanggal 28 Juni 2009 malam telah ludes. Rupanya moda transportasi ini masih menjadi favorit terutama di musim liburan sekolah. Mencoba mengintip harga tiket penerbangan dari beberapa maskapai. Oh God... mahal banget! Rata-rata berada di kisaran Rp.560.000 untuk sekali jalan.
Jadwal keberangkatan KA Argo Muria dari Sta. Tegal pukul 18.13 WIB. Tidak mungkin terkejar kalau saya berangkat dari Klaten setelah acara Akad Nikah yang baru dimulai pukul 09.00 WIB. Sebuah rencana nekat terlintas di kepala. Saya akan naik kereta ini dari Sta. Tawang Semarang, tempat kereta diberangkatkan pada pukul 16.00 WIB. Saya berpikiran bahwa yang saya akan lakukan tidak melanggar karena harga tiket Tegal-Jakarta dengan Semarang-Jakarta tak ada bedanya. Saya pun langsung menyusun rencana perjalanan dengan Andri dan Lita.
26 Juni 2009 saya memulai perjalanan dari Sta. Gambir. KA Gumarang diberangkatkan 15 lebih lambat dari jadwal seharusnya. Tiba di Sta. Tegal sekitar pukul 23.00 WIB. Tak banyak yang saya lakukan di kota yang telah menempa hampir dua pertiga hidup saya. Bahkan rencana untuk mencoba memperbaiki komputer di rumah pun tak berhasil dijalankan karena sempitnya waktu.
27 Juni 2009 pukul 21.30 WIB sebuah mobil L300 berwarna merah menyala hadir di depan rumah. Mobil inilah yang mengantar kami – saya dan Andri – menuju Magelang. 28 Juni 2009 pukul 02.30 WIB, sejuknya udara Magelang menyambut kami menapakkan kaki di kota itu, untuk merepotkan (lagi) Lita dan Mas Yoga, sebelum kami sampai ke tujuan utama, Klaten.
Pukul 07.00 WIB kami berempat sudah meluncur membelah jalanan Magelang. Mas Yoga melajukan mobil lebih cepat karena kami tak mau tertinggal acara akad nikah yang rencananya digelar pukul 09.00 WIB. Melintas di Ring-Road Utara di pinggiran DIY, kami masuk ke Jalan Raya Solo menuju Klaten. Berbekal peta yang diberikan Ana kami pun tiba di lokasi tepat saat acara baru saja dimulai. Alhamdulillah.
Sudah 45 menit berlalu dari pukul 10.00 WIB, tetapi rangkaian acara yang mengikuti akad nikah belum juga berakhir. Resah. Saya tak lagi bisa berkonsentrasi mengikuti jalannya acara. Akhirnya kami memutuskan berpamitan karena saya harus mengejar kereta ke Semarang. Mas Yoga kembali memacu mobilnya menuju Terminal Jombor, Sleman. Andri memilih PO. Nusantara sebagai armada yang akan mengantar kami ke Semarang.
Pukul 12.15 WIB bus yang kami naiki mulai melaju perlahan. Sampai Magelang bus ini hanya melaju dengan rata-rata 40km/jam! Saya makin resah karena takut tidak bisa mengejar KA Argo Muria. Kami berdua geregetan. Selidik punya selidik ternyata sang sopir dalam kondisi mengantuk berat sehingga dia tidak berani tancap gas. Kami pun sempat mengabadikan adegan dia sedang mengantuk saat mengendara.
Alhamdulillah kami tiba dengan selamat di Semarang sekitar pukul 15.15 WIB. Mas Wawan, teman kantor Andri, telah menunggu kami di daerah Banyumanik. Mereka berdua mengantar saya ke Sta. Tawang. Saya meminta supir taksi yang kami naiki untuk memacu kendaraannya. Alhamdulillah KA Argo Muria masih nongkrong di situ. “Tinggal satu halangan lagi,” kata saya kepada Andri sebelum bergegas memasuki peron dan berpisah dengan mereka.
Setelah menunggu penumpang lain naik, saya masuk ke gerbong 3 sesuai yang tertera di tiket. Ternyata kursi 7D tidak ada yang menempati. Saya pun langsung duduk di sebelah lelaki seumuran Bapak saya yang terlihat ramah. Tak lama kemudian dari arah belakang tiga orang petugas PT. KAI memeriksa tiket kami dan terjadi dialog yang kurang lebih seperti ini:
Saya: “Pak, tiket saya dari Tegal. Boleh kan naik dari sini?” (sembari menyerahkan tiket kepada salah satu petugas)
Petugas I: “Kenapa naik dari sini?”
Saya: “Tadinya saya mau berangkat dari Tegal tapi ada acara mendadak di sini. Gak terkejar kalau balik ke Tegal dulu.” (memberi alasan)
Petugas I: “KORPRI ya?” (sambil memeriksa tiket saya)
Saya: “Iya, Pak.”
Petugas I: “Wah, seharusnya ini gak bisa. Nih, coba tanya KS. Gimana Pak?” (berpaling ke petugas lainnya)
Petugas III: (memeriksa daftar di tangannya) “7D kosong.”
Saya: “Tapi kan harganya sama, Pak.” (mencoba memberi argumen)
Petugas II (KS): (memeriksa tiket saya) “Ada Kartu KORPRI-nya?”
Saya: “Ada, Pak.” (mencari kartu yang dimaksud dan menyerahkan kepada beliau)
Saya: “Boleh ya, Pak?” (pinta saya sedikit memelas)
Petugas II (KS): “Kalau mau aman sebaiknya Mbak beli tiket untuk jurusan terjauh. Takutnya tiket Semarang-Tegal sudah kami jual.”
Saya: “Baik, Pak. Tapi sekarang boleh kan?”
Petugas II (KS): “Boleh. Untung kursinya belum dijual.” (mengembalikan tiket dan Kartu KORPRI)
Saya: “Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”
(Petugas II berlalu dari hadapan saya menyusul rekan-rekannya)
Meski sudah memperoleh persetujuan KS (Kepala Stasiun – penulis) saya belum bisa tenang menikmati perjalanan menuju Jakarta. Saat kondektur memeriksa tiket, beliau tidak memperhatikan bahwa tiket saya bukan dari Semarang. Perasaan was-was kembali hadir saat kereta berhenti di Sta. Pekalongan untuk menaikkan penumpang. Takut ada yang menuntut kursi ini. Alhamdulillah tidak ada. Tapi saya tetap was-was saat kondektur kembali berkeliling.
Saya baru bisa tenang setelah kereta melewati Sta. Tegal. Fyuh... berasa seperti maling yang takut tertangkap basah!
Entah karena Kartu KORPRI atau sebab lain, saya benar-benar merasa terselamatkan karena memiliki kartu ini.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah mempermudah perjalanan ini.
Sepertinya judulnya kurang sesuai dengan isinya, bodo amat... :D
Thursday, June 11, 2009
Jelajah Kota Tua
Hampir pukul 09.00 WIB ketika kami - saya, Adi dan Ketty - memulai perjalanan di minggu pagi yang cerah ini. Ibukota belum sepenuhnya terjaga dari tidur lelapnya. Jalanan masih lengang saat kami bergegas naik ke Kopaja 86 dari halte Plaza Slipi Jaya. Hanya dengan membayar ongkos sebesar Rp.2.000/orang, angkutan dengan trayek Lebak Bulus – Kota ini akan mengantar kami ke tujuan, kawasan Kota Tua. Tak sampai setengah jam ketika kondektur meneriakkan, “Kota, Kota, Kota.” Sebagian penumpang turun di halte busway tak jauh dari Sta. Kota. Saya memilih untuk turun di Terminal Kota Lama karena dari semula saya memang belum menentukan titik awal penjelajahan. Ini adalah perjalanan pertama kami ke kawasan Kota Tua.
Dari terminal kecil itu kami berjalan perlahan sembari memperhatikan bangunan-bangunan di kanan kiri jalan. Hampir semua bangunan merupakan bangunan model lama dan tak sedikit yang tak terawat. Saya hanya menebak-nebak arah langkah kami menuju satu-satunya tempat yang terlintas dalam pikiran saya, Museum Sejarah Jakarta yang lebih terkenal dengan nama Museum Fatahillah. Sayup-sayup terdengar keramaian saat kami makin mendekati Museum Fatahillah. Terlebih saat kami tiba di jantungnya.
Wah, ini di luar dugaan saya. Ternyata kawasan ini ramai dikunjungi saat akhir pekan! Dari rombongan-rombongan kecil seperti kami, rombongan keluarga, anak-anak Sekolah Dasar, serta beberapa kelompok remaja dengan dress code tertentu yang, sepertinya, berfoto untuk buku tahunan sekolah mereka. Juga para pecinta fotografi yang mencari angle terbaik untuk bidikan mereka dengan kamera laras panjang (istilah saya). Tak ketinggalan beberapa pasang calon mempelai yang menjadikan kawasan ini sebagai latar foto-foto prewedding-nya. Kawasan ini semakin hidup dengan hadirnya para pedagang makanan dan sekelompok seniman jalanan. Benar-benar semarak.
Es potong yang dijual seharga Rp.2.000/potong menarik perhatian kami di hari yang mulai terik ini. Berbagai macam rasa tersedia, mulai dari rasa kelapa muda, kacang hijau, alpukat, bahkan rasa durian. Saya mencoba menghubungi Wahyu yang akan bergabung dengan kami. Dia masih dalam perjalanan dan menyuruh kami untuk berkeliling dulu. Berjalan lambat-lambat di tengah keramaian, saya mengedarkan pandang ke sekeliling Museum Fatahillah. Pelataran depan museum ini dikelilingi puluhan bola-bola batu sebagai pembatas. Dua buah meriam besar diletakkan di bagian depan museum. Di sebelah kanan museum terdapat Museum Seni Rupa. Persis di depannya adalah Kantor Pos Kota lengkap dengan bis surat kuno berwarna jingga. Di sebelah kiri terdapat bangunan-bangunan lama yang salah satunya difungsikan sebagai Museum Wayang.
Perhatian kami ditarik oleh beberapa deretan sepeda onthel yang disewakan untuk berkeliling kawasan. Kami pun berbincang dengan salah satu pemilik sepeda. Tarif sewa untuk satu jam penggunaan adalah Rp.20.000, tetapi hanya diperkenankan untuk mengelilingi seputaran Museum Fatahillah. Pengunjung dapat menyewa sepeda (plus pemandunya) untuk berkeliling kawasan Kota Tua dengan membayar sedikit lebih mahal, Rp.35.000/sepeda tanpa dibatasi waktu (kata beliau ini tarif resmi dari pengelola museum). Kami akan diantar ke Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari dan Menara Syah Bandar, Jembatan Kota Intan serta singgah di Rumah Merah. Kami bertiga sepakat untuk menyewa sepeda setelah Wahyu bergabung dengan kami.
Hari semakin terik saat kami menunggu. Sembari berlindung dari pancaran sinar ultraviolet, kami menyeret kaki menuju Museum Seni Rupa. Sama seperti di Museum Tekstil yang tempo hari saya kunjungi, kami dikenai tiket masuk sebesar Rp.2.000/orang. Kami disambut rombongan siswa Sekolah Dasar, lengkap dengan alat tulis di tangan, yang sedang asyik menyimak penjelasan dari pemandu mengenai benda-benda koleksi museum. Keramik-keramik kuno dari Cina, lukisan-lukisan karya anak bangsa, serta patung-patung kayu yang sebagian tak terawat, adalah sebagian benda-benda unik di museum ini. Bangunan tua yang kokoh ini agak terkesan angker karena pencahayaan yang kurang. Juga karena sirkulasi udara yang kurang sehingga tempat berbagai benda seni ini menjadi pengap. Tapi ada yang menarik di bagian belakang museum. Kamar kecil yang bersih melengkapi sebuah musholla mungil. Agak kontradiktif dengan kondisi museum.
Tepat saat kami melangkah di antara pilar-pilar raksasa di bagian depan Museum Seni Rupa selepas dari pintu keluar, Wahyu mengabarkan bahwa dia telah tiba di halte busway Kota. Saya memintanya untuk langsung menemui kami di depan Museum Fatahillah. Ritual pertemuan dan perkenalan singkat dengan Chusnul, adik Wahyu, mengawali penjelajahan kota tua. Masih dengan tarif yang sama, Rp.2.000/orang, kami diizinkan masuk museum yang telah padat pengunjung. Sejenak bingung memulai perjalanan dari bagian mana, karena tak ada pemandu atau petunjuk khusus, kami berbelok ke sayap kanan museum. Di sini ada sedikit sejarah Batavia dan beberapa peninggalannya. Dari situ kami melanjutkan ke bagian terbuka di belakang museum yang sejuk dan cukup rindang. Sedikit terlindung pagar dinding, beberapa ruangan berpintu lengkung menarik perhatian kami.
Kami memasuki salah satunya. Gelap. Bahkan sinar matahari pun nyaris tak bisa menembus jeruji jendela serta pintu lengkung itu. Setelah sejenak memejamkan mata untuk beradaptasi, samar-samar kemudian makin jelas, nampak beberapa bola-bola batu dan rantai yang berserak di lantai. Juga beberapa coretan di dinding hitamnya. Rupanya, dulu di sini adalah penjara bawah tanah (meski tidak benar-benar di bawah tanah). Fyuh, jadi langsung teringat novelnya E.S. Ito, Rahasia Meede, yang menyebutkan bahwa di bawah penjara ini terdapat terowongan yang menghubungkan museum dengan Monumen Nasional serta di ujung lainnya bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Salah satu buku menarik yang merangkum sejarah dibalut dengan thriller yang penuh teka-teki. :D
Sebuah meriam yang cukup besar terletak di bagian belakang museum. Sebuah patung, dari informasi yang tertulis di bawahnya di ketahui bahwa ini adalah Hermes, melengkapi halaman belakang museum yang cukup asri. Kami kembali ke dalam museum dan menelusuri sayap kirinya. Beberapa peninggalan kuno seperti prasasti dan tembikar, miniatur kapal layar serta patung dan gambar menceritakan bagaimana bangsa-bangsa Eropa tiba di Batavia. Kami pun menyudahi kunjungan di tempat yang semakin sesak pengunjung ini.
Matahari sudah tinggi saat kami sepakat menyewa tiga sepeda untuk berkeliling kota tua. Seorang pemandu, Mas Hardi namanya, ditugaskan menemani perjalanan kami. Tadinya saya berpikir akan melewatii jalan yang menggunakan paving block sebagaimana di sekitar Museum Fatahillah. Ternyata oh ternyata kami menyusuri jalanan beraspal dan bersaing dengan pengguna lainnya sebagaimana jalanan ibukota yang penuh asap.
Tujuan pertama adalah Pelabuhan Sunda Kelapa yang berjarak tak lebih dari 3km. Pelabuhan kuno ini masih dioperasikan untuk tempat bersandar kapal-kapal tradisional dari penjuru Nusantara. Di sini kami tidak dipungut biaya sepeser pun, kecuali bila menaiki kapal-kapal selain kapal yang ditunjuk. Berlagak jadi bajak laut yuk...!
Penjelajahan berlanjut ke Museum Bahari yang hanya sejengkal dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Kami mampir dulu di Menara Syah Bandar yang merupakan bagian dari Museum Bahari. HTM-nya masih sama, Rp.2.000/orang, berlaku untuk kedua tempat tadi. Menara ini didirikan untuk mengawasi lalu lintas kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, meski kini tak lagi difungsikan. Gambar bawah (kiri) adalah pemandangan dari puncak menara. Sepeda kami tinggalkan di tempat parkir menara dan berjalan kaki menuju Museum Bahari yang berada di tengah kepadatan dan kekumuhan Jalan Pasar Ikan. Berbagai miniatur kapal dan perahu tradisional serta gambar-gambar masa lalu yang juga menceritakan kedatangan bangsa Eropa di perairan Nusantara mengisi sebagian besar museum ini. Maket Batavia sebagai salah satu jalur perdagangan utama dimasa VOC juga menggambarkan betapa majunya Batavia di saat itu. Ada juga maket Pulau Onrust, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, yang menjadi pulau pertama yang berhasil diduduki Belanda.
Ada kejadian menarik di sini. Saat kami sedang terbuai dengan khayalan tentang masa lalu ketika memperhatikan benda-benda yang ada di sana, seorang anak mendekati saya. Rupanya dia mewakili teman-temannya yang lumayan banyak. Dengan lugu dan tersenyum malu-malu anak ini bertanya, ”Mbak, boleh minta foto gak?” Semua temannya bersorak saat saya memenuhi permintaan mereka. Lihat keceriaan mereka di gambar atas (kanan)Duh, lucu sekali anak-anak ini dengan kepolosan mereka. :D
Teriknya mentari nyaris menguras energi kami. Entah berapa botol air mineral yang telah membasahi tenggorokan. Penjelajahan masih berlanjut. Persinggahan berikutnya adalah Jembatan Kota Intan, sekitar 1.5km dari Museum Bahari. Jembatan yang bentuk mininya dapat kita temukan di Dunia Fantasi, Ancol, ini berada tak jauh dari Hotel Batavia. Dulunya jembatan ini dibangun untuk menghubungkan Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Namun kini tak lagi difungsikan dan menjadi salah satu peninggalan jaman kolonial. Mas Hardi memberitahukan bahwa kebiasaan di situ adalah memberi tips seikhlasnya kepada seorang bapak setengah baya yang menjaga jembatan.
Tak jauh dari Jembatan Kota Intan, kami mampir sejenak di Toko Merah. Di masa lalu, bangunan yang dibangun oleh Gustaf Willem Baron van Imhoff ini adalah tempat tinggalnya sebagai Gubernur Jenderal VOC tahun 1743-1750. Juga digunakan sebagai tempat tinggal para Gubernur Jenderal VOC berikutnya. Kini, bangunan dengan dinding dan pintu berwarna merah ini menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi dengan Undang-undang.
Sepeda kami kembali melaju di antara padatnya lalu lintas. Kami kembali ke titik awal penjelajahan Kota Tua di depan Museum Fatahillah. Sebuah musholla kecil di salah satu sudut di samping Cafe Batavia telah dipadati pengunjung. Kami memutuskan untuk masuk kembali ke Museum Seni Rupa, mencicipi musholla di bagian belakangnya dan melepas lelah di teras tengah yang cukup sejuk. Semilir angin seolah melenakan kami hingga enggan beranjak dari tempat itu. Sudah lewat dari jam 14.00 WIB saat teriknya mentari menyambut kami selepas dari Museum Seni Rupa. Salah satu sudut di sebelah kiri Museum Fatahillah menjadi tujuan berikutnya. Jalan kecil ini dipenuhi beberapa pedagang makanan khas Indonesia, mulai dari gado-gado, ketoprak, sate padang, makanan padang, siomay, soto, bahkan tahu gejrot dan es buah masa lalu. Kami langsung berpencar mencari kesukaan masing-masing. Dengan harga yang relatif murah (gado-gado cuma Rp.6.000/porsi!) kami mengisi perut yang keroncongan sedari tadi.
Sore yang menjelang tak membuat kawasan ini berkurang keramaiannya. Kami pun menyudahi penjelajahan di kota tua ini. Meski niat hati masih ingin berkeliling dan mencari objek-objek foto yang menarik (halah, dah kayak fotografer pro aja!), energi kami nyaris habis terutama karena teriknya mentari yang membakar kulit.
Semoga masih mempunyai kesempatan menjelajahi kawasan Kota Tua di lain waktu dan semoga Pemprov DKI Jakarta dapat mempercantik bangunan-bangunan di kawasan ini tanpa mengubah bentuk aslinya untuk menambah minat pengunjung.
Dari terminal kecil itu kami berjalan perlahan sembari memperhatikan bangunan-bangunan di kanan kiri jalan. Hampir semua bangunan merupakan bangunan model lama dan tak sedikit yang tak terawat. Saya hanya menebak-nebak arah langkah kami menuju satu-satunya tempat yang terlintas dalam pikiran saya, Museum Sejarah Jakarta yang lebih terkenal dengan nama Museum Fatahillah. Sayup-sayup terdengar keramaian saat kami makin mendekati Museum Fatahillah. Terlebih saat kami tiba di jantungnya.
Wah, ini di luar dugaan saya. Ternyata kawasan ini ramai dikunjungi saat akhir pekan! Dari rombongan-rombongan kecil seperti kami, rombongan keluarga, anak-anak Sekolah Dasar, serta beberapa kelompok remaja dengan dress code tertentu yang, sepertinya, berfoto untuk buku tahunan sekolah mereka. Juga para pecinta fotografi yang mencari angle terbaik untuk bidikan mereka dengan kamera laras panjang (istilah saya). Tak ketinggalan beberapa pasang calon mempelai yang menjadikan kawasan ini sebagai latar foto-foto prewedding-nya. Kawasan ini semakin hidup dengan hadirnya para pedagang makanan dan sekelompok seniman jalanan. Benar-benar semarak.
Es potong yang dijual seharga Rp.2.000/potong menarik perhatian kami di hari yang mulai terik ini. Berbagai macam rasa tersedia, mulai dari rasa kelapa muda, kacang hijau, alpukat, bahkan rasa durian. Saya mencoba menghubungi Wahyu yang akan bergabung dengan kami. Dia masih dalam perjalanan dan menyuruh kami untuk berkeliling dulu. Berjalan lambat-lambat di tengah keramaian, saya mengedarkan pandang ke sekeliling Museum Fatahillah. Pelataran depan museum ini dikelilingi puluhan bola-bola batu sebagai pembatas. Dua buah meriam besar diletakkan di bagian depan museum. Di sebelah kanan museum terdapat Museum Seni Rupa. Persis di depannya adalah Kantor Pos Kota lengkap dengan bis surat kuno berwarna jingga. Di sebelah kiri terdapat bangunan-bangunan lama yang salah satunya difungsikan sebagai Museum Wayang.
Perhatian kami ditarik oleh beberapa deretan sepeda onthel yang disewakan untuk berkeliling kawasan. Kami pun berbincang dengan salah satu pemilik sepeda. Tarif sewa untuk satu jam penggunaan adalah Rp.20.000, tetapi hanya diperkenankan untuk mengelilingi seputaran Museum Fatahillah. Pengunjung dapat menyewa sepeda (plus pemandunya) untuk berkeliling kawasan Kota Tua dengan membayar sedikit lebih mahal, Rp.35.000/sepeda tanpa dibatasi waktu (kata beliau ini tarif resmi dari pengelola museum). Kami akan diantar ke Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari dan Menara Syah Bandar, Jembatan Kota Intan serta singgah di Rumah Merah. Kami bertiga sepakat untuk menyewa sepeda setelah Wahyu bergabung dengan kami.
Hari semakin terik saat kami menunggu. Sembari berlindung dari pancaran sinar ultraviolet, kami menyeret kaki menuju Museum Seni Rupa. Sama seperti di Museum Tekstil yang tempo hari saya kunjungi, kami dikenai tiket masuk sebesar Rp.2.000/orang. Kami disambut rombongan siswa Sekolah Dasar, lengkap dengan alat tulis di tangan, yang sedang asyik menyimak penjelasan dari pemandu mengenai benda-benda koleksi museum. Keramik-keramik kuno dari Cina, lukisan-lukisan karya anak bangsa, serta patung-patung kayu yang sebagian tak terawat, adalah sebagian benda-benda unik di museum ini. Bangunan tua yang kokoh ini agak terkesan angker karena pencahayaan yang kurang. Juga karena sirkulasi udara yang kurang sehingga tempat berbagai benda seni ini menjadi pengap. Tapi ada yang menarik di bagian belakang museum. Kamar kecil yang bersih melengkapi sebuah musholla mungil. Agak kontradiktif dengan kondisi museum.
Tepat saat kami melangkah di antara pilar-pilar raksasa di bagian depan Museum Seni Rupa selepas dari pintu keluar, Wahyu mengabarkan bahwa dia telah tiba di halte busway Kota. Saya memintanya untuk langsung menemui kami di depan Museum Fatahillah. Ritual pertemuan dan perkenalan singkat dengan Chusnul, adik Wahyu, mengawali penjelajahan kota tua. Masih dengan tarif yang sama, Rp.2.000/orang, kami diizinkan masuk museum yang telah padat pengunjung. Sejenak bingung memulai perjalanan dari bagian mana, karena tak ada pemandu atau petunjuk khusus, kami berbelok ke sayap kanan museum. Di sini ada sedikit sejarah Batavia dan beberapa peninggalannya. Dari situ kami melanjutkan ke bagian terbuka di belakang museum yang sejuk dan cukup rindang. Sedikit terlindung pagar dinding, beberapa ruangan berpintu lengkung menarik perhatian kami.
Kami memasuki salah satunya. Gelap. Bahkan sinar matahari pun nyaris tak bisa menembus jeruji jendela serta pintu lengkung itu. Setelah sejenak memejamkan mata untuk beradaptasi, samar-samar kemudian makin jelas, nampak beberapa bola-bola batu dan rantai yang berserak di lantai. Juga beberapa coretan di dinding hitamnya. Rupanya, dulu di sini adalah penjara bawah tanah (meski tidak benar-benar di bawah tanah). Fyuh, jadi langsung teringat novelnya E.S. Ito, Rahasia Meede, yang menyebutkan bahwa di bawah penjara ini terdapat terowongan yang menghubungkan museum dengan Monumen Nasional serta di ujung lainnya bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Salah satu buku menarik yang merangkum sejarah dibalut dengan thriller yang penuh teka-teki. :D
Sebuah meriam yang cukup besar terletak di bagian belakang museum. Sebuah patung, dari informasi yang tertulis di bawahnya di ketahui bahwa ini adalah Hermes, melengkapi halaman belakang museum yang cukup asri. Kami kembali ke dalam museum dan menelusuri sayap kirinya. Beberapa peninggalan kuno seperti prasasti dan tembikar, miniatur kapal layar serta patung dan gambar menceritakan bagaimana bangsa-bangsa Eropa tiba di Batavia. Kami pun menyudahi kunjungan di tempat yang semakin sesak pengunjung ini.
Matahari sudah tinggi saat kami sepakat menyewa tiga sepeda untuk berkeliling kota tua. Seorang pemandu, Mas Hardi namanya, ditugaskan menemani perjalanan kami. Tadinya saya berpikir akan melewatii jalan yang menggunakan paving block sebagaimana di sekitar Museum Fatahillah. Ternyata oh ternyata kami menyusuri jalanan beraspal dan bersaing dengan pengguna lainnya sebagaimana jalanan ibukota yang penuh asap.
Tujuan pertama adalah Pelabuhan Sunda Kelapa yang berjarak tak lebih dari 3km. Pelabuhan kuno ini masih dioperasikan untuk tempat bersandar kapal-kapal tradisional dari penjuru Nusantara. Di sini kami tidak dipungut biaya sepeser pun, kecuali bila menaiki kapal-kapal selain kapal yang ditunjuk. Berlagak jadi bajak laut yuk...!
Penjelajahan berlanjut ke Museum Bahari yang hanya sejengkal dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Kami mampir dulu di Menara Syah Bandar yang merupakan bagian dari Museum Bahari. HTM-nya masih sama, Rp.2.000/orang, berlaku untuk kedua tempat tadi. Menara ini didirikan untuk mengawasi lalu lintas kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, meski kini tak lagi difungsikan. Gambar bawah (kiri) adalah pemandangan dari puncak menara. Sepeda kami tinggalkan di tempat parkir menara dan berjalan kaki menuju Museum Bahari yang berada di tengah kepadatan dan kekumuhan Jalan Pasar Ikan. Berbagai miniatur kapal dan perahu tradisional serta gambar-gambar masa lalu yang juga menceritakan kedatangan bangsa Eropa di perairan Nusantara mengisi sebagian besar museum ini. Maket Batavia sebagai salah satu jalur perdagangan utama dimasa VOC juga menggambarkan betapa majunya Batavia di saat itu. Ada juga maket Pulau Onrust, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, yang menjadi pulau pertama yang berhasil diduduki Belanda.
Ada kejadian menarik di sini. Saat kami sedang terbuai dengan khayalan tentang masa lalu ketika memperhatikan benda-benda yang ada di sana, seorang anak mendekati saya. Rupanya dia mewakili teman-temannya yang lumayan banyak. Dengan lugu dan tersenyum malu-malu anak ini bertanya, ”Mbak, boleh minta foto gak?” Semua temannya bersorak saat saya memenuhi permintaan mereka. Lihat keceriaan mereka di gambar atas (kanan)Duh, lucu sekali anak-anak ini dengan kepolosan mereka. :D
Teriknya mentari nyaris menguras energi kami. Entah berapa botol air mineral yang telah membasahi tenggorokan. Penjelajahan masih berlanjut. Persinggahan berikutnya adalah Jembatan Kota Intan, sekitar 1.5km dari Museum Bahari. Jembatan yang bentuk mininya dapat kita temukan di Dunia Fantasi, Ancol, ini berada tak jauh dari Hotel Batavia. Dulunya jembatan ini dibangun untuk menghubungkan Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Namun kini tak lagi difungsikan dan menjadi salah satu peninggalan jaman kolonial. Mas Hardi memberitahukan bahwa kebiasaan di situ adalah memberi tips seikhlasnya kepada seorang bapak setengah baya yang menjaga jembatan.
Tak jauh dari Jembatan Kota Intan, kami mampir sejenak di Toko Merah. Di masa lalu, bangunan yang dibangun oleh Gustaf Willem Baron van Imhoff ini adalah tempat tinggalnya sebagai Gubernur Jenderal VOC tahun 1743-1750. Juga digunakan sebagai tempat tinggal para Gubernur Jenderal VOC berikutnya. Kini, bangunan dengan dinding dan pintu berwarna merah ini menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi dengan Undang-undang.
Sepeda kami kembali melaju di antara padatnya lalu lintas. Kami kembali ke titik awal penjelajahan Kota Tua di depan Museum Fatahillah. Sebuah musholla kecil di salah satu sudut di samping Cafe Batavia telah dipadati pengunjung. Kami memutuskan untuk masuk kembali ke Museum Seni Rupa, mencicipi musholla di bagian belakangnya dan melepas lelah di teras tengah yang cukup sejuk. Semilir angin seolah melenakan kami hingga enggan beranjak dari tempat itu. Sudah lewat dari jam 14.00 WIB saat teriknya mentari menyambut kami selepas dari Museum Seni Rupa. Salah satu sudut di sebelah kiri Museum Fatahillah menjadi tujuan berikutnya. Jalan kecil ini dipenuhi beberapa pedagang makanan khas Indonesia, mulai dari gado-gado, ketoprak, sate padang, makanan padang, siomay, soto, bahkan tahu gejrot dan es buah masa lalu. Kami langsung berpencar mencari kesukaan masing-masing. Dengan harga yang relatif murah (gado-gado cuma Rp.6.000/porsi!) kami mengisi perut yang keroncongan sedari tadi.
Sore yang menjelang tak membuat kawasan ini berkurang keramaiannya. Kami pun menyudahi penjelajahan di kota tua ini. Meski niat hati masih ingin berkeliling dan mencari objek-objek foto yang menarik (halah, dah kayak fotografer pro aja!), energi kami nyaris habis terutama karena teriknya mentari yang membakar kulit.
Semoga masih mempunyai kesempatan menjelajahi kawasan Kota Tua di lain waktu dan semoga Pemprov DKI Jakarta dapat mempercantik bangunan-bangunan di kawasan ini tanpa mengubah bentuk aslinya untuk menambah minat pengunjung.
Sunday, June 7, 2009
Kondangan Berbonus Jalan-jalan - Bagian II - Tamat
Sepertinya baru sebentar memejamkan mata saat saya terbangun. Waduh, sudah pukul 05.30! Saya langsung melompat dan mengambil wudhu. Tadinya sih berniat tidur lagi setelah sholat subuh, tapi ternyata kantuk saya lenyap setelah terbasuh air. Andin masih terlelap. Bu Har sedang sibuk di dapur menyiapkan makanan. Setelah mandi dan merapikan barang bawaan, saya berkeliling di green house milik keluarga ini. Sarapan sudah terhidang di meja makan, saya ditemani Ketty menyantap bacem ayam dan tempe serta terong balado. Tumben-tumbenan saya doyan terong balado, hehehe….
Selesai makan, dengan sedikit gak tega, Ketty membangunkan Andin. Kami bertiga telah siap saat rombongan cowok, plus Pak Hendro yang sudah segar bugar, tiba. Karena di hotel hanya memperoleh sarapan berupa roti bakar, mereka pun tanpa malu-malu menyantap hidangan di meja yang kini bertambah dengan balado telur. Huhuhuhuuuu….
Setelah berpamitan dengan Pak Har, Bu Har, dan Windy, serta tak ketinggalan Tyas yang baru saja terjaga dari mimpi, kami meninggalkan kawasan Singosaren sekitar pukul 09.00. Pak Hendro membawa kami ke Malioboro dan memarkir mobil di pelataran Benteng Vredenburg. Sebagai guide, Ketty memberi kesempatan 1 jam untuk mengubek-ubek salah satu toko di ujung Malioboro, Mirota Batik. Hampir dua jam berlalu saat sebuah panggilan dari Informasi mengagetkan saya yang sedang bertransaksi di kasir. “Rombongan Kanwil DJP Banten diharap berkumpul di depan Informasi.” Jiakakakaka…. Dodol, rupanya Ketty sengaja memanggil kami untuk menyudahi acara belanja. Tawa kami pecah saat mengetahui bahwa Heri sempat diingatkan seseorang karena dia mengenakan kaos bertuliskan Futsal Kanwil DJP Banten. “Mas, mas… dari Kanwil Banten ya? Itu sudah dipanggil-panggil.” Wakakakakakaka….
Dari Mirota Batik kami meluncur ke sebuah jalan di samping RS. PKU Muhammadiyah. Tujuannya: Bakpia Patok 75. Semuanya, termasuk Pak Hendro, langsung berburu oleh-oleh. Panther yang sudah sarat muatan itu pun makin terbebani dengan bakpia patok, getuk trio dan berbagai panganan khas Jogja dan sekitarnya. Adzan dhuhur berkumandang saat kami meninggalkan tempat ini.
Tadinya kami akan langsung makan siang sebelum meninggalkan Jogja tapi dengan wajah memelas Helmi berusaha membujuk kami untuk mampir di Keraton Ngayogyakarta. Dengan tiket masuk Rp.5.000 per orang ditambah Rp.1.000 untuk tiap kamera kami memasuki cagar budaya yang dikelola sendiri oleh pihak keraton. Ditemani oleh Ibu Sri yang dengan sabar menjelaskan satu per satu berbagai benda koleksi keraton. Sayangnya kami sedikit terlambat. Menurut Ibu Sri, pagelaran tari yang biasa dipertunjukkan setiap minggu baru saja selesai. Waaaaaaaaaa….
Sebagian besar isi museum menceritakan kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara yang lain, masih asyik menyimak penjelasan Ibu Sri, saya mulai jenuh dan kegerahan (Jogja ternyata tak beda jauh dengan Jakarta, sama-sama panas!). Saya pun agak memisahkan diri dari rombongan untuk mencari beberapa objek foto yang menarik. Rupanya Heri juga agak menjauh dari rombongan, entah apa yang ada dibenaknya, dia sepertinya tak nyaman dengan acara kami di sini.
Saya mengintip ke beberapa ruang terpisah yang berisi benda-benda yang dikeramatkan. Kami dilarang mengambil gambar di ruangan yang khusus memajang koleksi batik klasik dari berbagai daerah di Jawa. Selesai berkeliling kami mampir di Masjid … yang terletak persis di depan keraton. Masjid ini kecil tapi begitu menginjakkan kaki di dalamnya saya langsung mengagumi kenyamanan dan kebersihannya. Wangiiiii…. Mukena yang disediakan pun bersih. Sangat berbeda dengan musholla-musholla di pusat-pusat perbelanjaan di ibukota yang hanya disediakan seadanya. Hanya beberapa mall yang peduli dengan kenyamanan pengunjungnya yang ingin beribadah.
Sudah 30 menit berlalu dari pukul 13.00 saat kami menginggalkan areal parkir keraton menuju Warung Es Handayani yang terletak di dekat Alun-alun Kidul. Menu andalan di warung ini adalah es campur dan nasi brongkos. Saya memesan nasi brongkos plus ayam serta segelas teh hangat. Ternyata nasi brongkos adalah nasi yang disiram kuah santan dengan campuran kacang tolo dan tahu. Hmmmm… yummy. Saya tak berhasil menghabiskan seporsi nasi brongkos karena ukurannya memang lumayan besar. Cukuplah untuk bekal perjalanan kembali ke Jakarta.
Sekitar pukul 14.30 kami meluncur menuju ring-road selatan. Tadi telah diputuskan bahwa kami akan mengambil jalur selatan melalui Nagrek. Belum ada yang mulai tertidur. Kami masih asyik membicarakan kenorakan dan kegilaan selama di Jogja. Saat saya tengah serius menyelesaikan permainan kubik yang dibeli Indra, entah siapa yang memulai dan entah apa yang menjadi pemicunya, semua orang sepakat untuk mewujudkan koalisi antara Tegal dan Kertosono. Jiakakakaka…. Helmi terpojok. Saya sampai gak tega melihat wajahnya yang berubah seperti kepiting rebus. Apapun yang dikatakan dan dilakukan Helmi selalu dikaitkan dengan saya. Saya sih santai saja. Percuma melawan orang-orang gila ini yang entah kesurupan dhemit dari mana, mending didiamkan saja. Lama-lama juga capek sendiri. :D
Menjelang adzan maghrib kami menepi ke SPBU yang lumayan besar di daerah Banyumas. Kami melanjutkan perjalanan sembari mencari warung untuk mengisi perut. Membelah jalan di antara jajaran pohon yang angkuh dan jalur yang berkelok-kelok membuat perasaan saya kurang nyaman. Saat menemukan kehidupan kembali barulah saya tenang. Kami tak jua menemukan tempat yang layak untuk makan malam. Perut mulai keroncongan. Saat menemukan warung yang lumayan ramai, Pak Hendro langsung menepikan mobil. Sudah hampir pukul 21.00. Rupanya tak banyak yang tersisa di warung ini. Hanya ada pepes ayam, ayam goreng dan tahu goreng serta lalapan. Yah, lumayan lah daripada tidak makan sama sekali.
Begitu melanjutkan perjalanan saya langsung berusaha untuk tidur. Saya harus menghemat energi karena esok harus kembali beraktivitas di kantor. Saat yang lain berbelanja di pasar oleh-oleh khas Tasikmalaya, saya lebih memilih tidur di mobil. Kami sempat beristirahat di salah satu tempat peristirahatan di jalan tol Cipularang. Kesadaran saya baru pulih saat mobil keluar dari gerbang tol Pondok Gede Timur. Sudah 2 jam lewat dari tengah malam. Melewati tol dalam kota yang lengang di dini hari itu, kami keluar di Senayan dan menuju jalan KS. Tubun (Slipi) untuk mengantarkan Andin. Rombongan lalu mengantarkan saya ke Kemanggisan yang tak jauh dari rumah Andin. Alhamdulillah bisa kembali dengan selamat. Di sini saya berpisah dengan Ketty dkk yang masih melanjutkan perjalanan ke Serang.
Setelah masuk rumah saya langsung membasuh wajah dan tidur. Lumayan bisa memejamkan mata sejenak sebelum adzan subuh menggema dari musholla sebelah. Semoga masih bisa melanjutkan tidur di kantor seharian ini.
Perjalanan yang melelahkan tetapi juga menyenangkan. Terima kasih Allah. Terima kasih teman. Terima kasih untuk semua yang telah mempermudah perjalanan ini.
Catatan:
Rencana untuk tidur seharian di kantor terpaksa batal karena harus menyiapkan analisa penerimaan. Mata yang dengan susah payah terbuka harus terus-menerus menatap layar komputer. Fyuh… mata sepet, kepala pening, badan lemas, analisa penerimaan. Lengkap sudah.
Balas dendam baru bisa terlaksana sepulang kantor. Tanpa mempedulikan tas punggung yang belum juga dibongkar, saya sukses tidur nyenyak hingga esoknya. :D
Selesai makan, dengan sedikit gak tega, Ketty membangunkan Andin. Kami bertiga telah siap saat rombongan cowok, plus Pak Hendro yang sudah segar bugar, tiba. Karena di hotel hanya memperoleh sarapan berupa roti bakar, mereka pun tanpa malu-malu menyantap hidangan di meja yang kini bertambah dengan balado telur. Huhuhuhuuuu….
Setelah berpamitan dengan Pak Har, Bu Har, dan Windy, serta tak ketinggalan Tyas yang baru saja terjaga dari mimpi, kami meninggalkan kawasan Singosaren sekitar pukul 09.00. Pak Hendro membawa kami ke Malioboro dan memarkir mobil di pelataran Benteng Vredenburg. Sebagai guide, Ketty memberi kesempatan 1 jam untuk mengubek-ubek salah satu toko di ujung Malioboro, Mirota Batik. Hampir dua jam berlalu saat sebuah panggilan dari Informasi mengagetkan saya yang sedang bertransaksi di kasir. “Rombongan Kanwil DJP Banten diharap berkumpul di depan Informasi.” Jiakakakaka…. Dodol, rupanya Ketty sengaja memanggil kami untuk menyudahi acara belanja. Tawa kami pecah saat mengetahui bahwa Heri sempat diingatkan seseorang karena dia mengenakan kaos bertuliskan Futsal Kanwil DJP Banten. “Mas, mas… dari Kanwil Banten ya? Itu sudah dipanggil-panggil.” Wakakakakakaka….
Dari Mirota Batik kami meluncur ke sebuah jalan di samping RS. PKU Muhammadiyah. Tujuannya: Bakpia Patok 75. Semuanya, termasuk Pak Hendro, langsung berburu oleh-oleh. Panther yang sudah sarat muatan itu pun makin terbebani dengan bakpia patok, getuk trio dan berbagai panganan khas Jogja dan sekitarnya. Adzan dhuhur berkumandang saat kami meninggalkan tempat ini.
Tadinya kami akan langsung makan siang sebelum meninggalkan Jogja tapi dengan wajah memelas Helmi berusaha membujuk kami untuk mampir di Keraton Ngayogyakarta. Dengan tiket masuk Rp.5.000 per orang ditambah Rp.1.000 untuk tiap kamera kami memasuki cagar budaya yang dikelola sendiri oleh pihak keraton. Ditemani oleh Ibu Sri yang dengan sabar menjelaskan satu per satu berbagai benda koleksi keraton. Sayangnya kami sedikit terlambat. Menurut Ibu Sri, pagelaran tari yang biasa dipertunjukkan setiap minggu baru saja selesai. Waaaaaaaaaa….
Sebagian besar isi museum menceritakan kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara yang lain, masih asyik menyimak penjelasan Ibu Sri, saya mulai jenuh dan kegerahan (Jogja ternyata tak beda jauh dengan Jakarta, sama-sama panas!). Saya pun agak memisahkan diri dari rombongan untuk mencari beberapa objek foto yang menarik. Rupanya Heri juga agak menjauh dari rombongan, entah apa yang ada dibenaknya, dia sepertinya tak nyaman dengan acara kami di sini.
Saya mengintip ke beberapa ruang terpisah yang berisi benda-benda yang dikeramatkan. Kami dilarang mengambil gambar di ruangan yang khusus memajang koleksi batik klasik dari berbagai daerah di Jawa. Selesai berkeliling kami mampir di Masjid … yang terletak persis di depan keraton. Masjid ini kecil tapi begitu menginjakkan kaki di dalamnya saya langsung mengagumi kenyamanan dan kebersihannya. Wangiiiii…. Mukena yang disediakan pun bersih. Sangat berbeda dengan musholla-musholla di pusat-pusat perbelanjaan di ibukota yang hanya disediakan seadanya. Hanya beberapa mall yang peduli dengan kenyamanan pengunjungnya yang ingin beribadah.
Sudah 30 menit berlalu dari pukul 13.00 saat kami menginggalkan areal parkir keraton menuju Warung Es Handayani yang terletak di dekat Alun-alun Kidul. Menu andalan di warung ini adalah es campur dan nasi brongkos. Saya memesan nasi brongkos plus ayam serta segelas teh hangat. Ternyata nasi brongkos adalah nasi yang disiram kuah santan dengan campuran kacang tolo dan tahu. Hmmmm… yummy. Saya tak berhasil menghabiskan seporsi nasi brongkos karena ukurannya memang lumayan besar. Cukuplah untuk bekal perjalanan kembali ke Jakarta.
Sekitar pukul 14.30 kami meluncur menuju ring-road selatan. Tadi telah diputuskan bahwa kami akan mengambil jalur selatan melalui Nagrek. Belum ada yang mulai tertidur. Kami masih asyik membicarakan kenorakan dan kegilaan selama di Jogja. Saat saya tengah serius menyelesaikan permainan kubik yang dibeli Indra, entah siapa yang memulai dan entah apa yang menjadi pemicunya, semua orang sepakat untuk mewujudkan koalisi antara Tegal dan Kertosono. Jiakakakaka…. Helmi terpojok. Saya sampai gak tega melihat wajahnya yang berubah seperti kepiting rebus. Apapun yang dikatakan dan dilakukan Helmi selalu dikaitkan dengan saya. Saya sih santai saja. Percuma melawan orang-orang gila ini yang entah kesurupan dhemit dari mana, mending didiamkan saja. Lama-lama juga capek sendiri. :D
Menjelang adzan maghrib kami menepi ke SPBU yang lumayan besar di daerah Banyumas. Kami melanjutkan perjalanan sembari mencari warung untuk mengisi perut. Membelah jalan di antara jajaran pohon yang angkuh dan jalur yang berkelok-kelok membuat perasaan saya kurang nyaman. Saat menemukan kehidupan kembali barulah saya tenang. Kami tak jua menemukan tempat yang layak untuk makan malam. Perut mulai keroncongan. Saat menemukan warung yang lumayan ramai, Pak Hendro langsung menepikan mobil. Sudah hampir pukul 21.00. Rupanya tak banyak yang tersisa di warung ini. Hanya ada pepes ayam, ayam goreng dan tahu goreng serta lalapan. Yah, lumayan lah daripada tidak makan sama sekali.
Begitu melanjutkan perjalanan saya langsung berusaha untuk tidur. Saya harus menghemat energi karena esok harus kembali beraktivitas di kantor. Saat yang lain berbelanja di pasar oleh-oleh khas Tasikmalaya, saya lebih memilih tidur di mobil. Kami sempat beristirahat di salah satu tempat peristirahatan di jalan tol Cipularang. Kesadaran saya baru pulih saat mobil keluar dari gerbang tol Pondok Gede Timur. Sudah 2 jam lewat dari tengah malam. Melewati tol dalam kota yang lengang di dini hari itu, kami keluar di Senayan dan menuju jalan KS. Tubun (Slipi) untuk mengantarkan Andin. Rombongan lalu mengantarkan saya ke Kemanggisan yang tak jauh dari rumah Andin. Alhamdulillah bisa kembali dengan selamat. Di sini saya berpisah dengan Ketty dkk yang masih melanjutkan perjalanan ke Serang.
Setelah masuk rumah saya langsung membasuh wajah dan tidur. Lumayan bisa memejamkan mata sejenak sebelum adzan subuh menggema dari musholla sebelah. Semoga masih bisa melanjutkan tidur di kantor seharian ini.
Perjalanan yang melelahkan tetapi juga menyenangkan. Terima kasih Allah. Terima kasih teman. Terima kasih untuk semua yang telah mempermudah perjalanan ini.
Catatan:
Rencana untuk tidur seharian di kantor terpaksa batal karena harus menyiapkan analisa penerimaan. Mata yang dengan susah payah terbuka harus terus-menerus menatap layar komputer. Fyuh… mata sepet, kepala pening, badan lemas, analisa penerimaan. Lengkap sudah.
Balas dendam baru bisa terlaksana sepulang kantor. Tanpa mempedulikan tas punggung yang belum juga dibongkar, saya sukses tidur nyenyak hingga esoknya. :D
Kondangan Berbonus Jalan-jalan - Bagian I
Lima belas menit telah lewat dari pukul 21.00 tapi rombongan dari Serang belum juga memberi kabar. Meski tadi sempat terlelap sejenak, serangan kantuk tak juga berkurang bahkan makin menjadi. Hampir pukul 21.30 saat Ketty memberi tahu bahwa mereka sudah di pintu tol Kebon Jeruk. Saya langsung menyambar tas punggung dan cepat-cepat menuju halte (liar) di depan Hotel Menara Peninsula, tempat yang telah kami sepakati sebagai titik penjemputan. Oh no, ternyata tak satu pun tukang ojek yang masih nongkrong di dekat kos. Terpaksa jalan kaki nih. Setengah berlari karena tak mau membuat rombongan Ketty dkk menunggu terlalu lama. Lumayan juga jalan kaki dengan beban berat di punggung, lumayan bikin keringetan. Hosh hosh hosh...
Sebuah Panther biru dongker sudah menunggu tak jauh dari halte. Tak lama setelah menghenyakkan badan di jok tengah, mobil kembali melaju. Selain Ketty, ada Andini, kami sudah kenal sebelumnya karena pernah satu kos meski tak lama. Ketty memperkenalkan personel lain dalam rombongan ini. Indra yang duduk di depan di samping pak sopir, Helmi, Heri, Murdi dan Deni yang harus berdesakan di jok belakang. Tapi karena gelap saya belum bisa menghafal satu persatu wajah mereka. Oh ya, sopirnya adalah Pak Hendro, yang berdasarkan informasi Ketty beliau merupakan sopir Pregio yang mengantar jemput pegawai Kanwil Banten yang tinggal di Tangerang.
Ternyata rombongan kami berkurang saat sampai di pintu tol Pondok Gede Timur alias Jatibening. Deni rupanya tidak ikut ke Magelang dan Jogja. Memasuki tol Jakarta-Cikampek yang lumayan padat di Jumat malam itu, cowok-cowok di belakang mulai berteriak kelaparan. Pak Hendro menepikan mobil tak lama setelah kami keluar dari gerbang tol Cikampek. Tapi mereka sudah kehilangan nafsu makan. Mobil kembali melaju setelah memberi harapan semu kepada penjual pecel lele.
Memasuki daerah Sukamandi, sebuah kenyataan pahit menghadang kami. Macet. Pak Hendro dibantu Indra sebagai navigator dengan lihai mencari jalan di antara bis-bis AKAP dan truk-truk besar. Sampai di sini saya mulai tak sadarkan diri alias tertidur. Benar-benar lelap. Saya tak tahu kapan kami terbebas dari kemacetan panjang itu. Bahkan saat mobil menepi untuk beristirahat sejenak (seperti dalam catatan perjalanan Indra). Saya terbangun saat kami menepi di sebuah SPBU yang tadinya saya pikir rumah makan. Maklumlah nyawa belum terkumpul. Sudah pukul 04.30 dan kami baru sampai di daerah Tanjung, Brebes.
Setelah istirahat dan menunaikan sholat subuh, saya dan Ketty membuat Rencana B. Rencana A: di Brebes rombongan akan belok ke kanan dan melalui jalur selatan, langsung menuju rumah Ketty di Jogja untuk bersiap kondangan ke Magelang. Tapi kemacetan yang menjebak kami membuat rencana terancam amburadul. Diperkirakan waktu tempuh dari Brebes ke Jogja adalah sekitar 8 jam dan kami harus mengejar resepsi yang menurut undangan hanya digelar sampai pukul 13.00. Inilah Rencana B yang merupakan rencana dadakan: rombongan akan mampir ke Tegal, di rumah orang tua saya pastinya, untuk membersihkan diri dan sarapan, kemudian melanjutkan ke Magelang melalui Jalur Pantura, baru setelah kondangan kami ke Jogja. Anggota lain setuju dengan perubahan rencana ini. Saya langsung menelepon ibu untuk bersiap atas kunjungan mendadak ini.
Pukul 06.00 kami tiba di Tegal. Saya dan Ketty langsung mencari sarapan setelah mempersilakan personil lain untuk mandi. Nasi bogana menjadi pilihan karena praktis. Rupanya baru Andin yang selesai mandi. Cowok-cowok itu masih bermalas-malasan di teras. Setelah dipaksa untuk bergegas barulah mereka bergerak. Jujur, sampai di sini saya belum bisa mengingat teman-teman seperjalanan selain Ketty, Andin dan Pak Hendro. Hehehe…
Pukul 07.30 kami telah selesai mandi dan sarapan. Tanpa buang-buang waktu kami langsung meluncur di Jalur Pantura. Gerimis kecil mengiringi perjalanan kami. Saya mulai familiar dengan para brondong ini. Kali ini giliran Helmi sebagai navigator. Memasuki Kab. Batang, Murdi menjadi pemandu wisata dadakan dengan menjelaskan banyak hal di tanah kelahirannya itu. Kalau ada kuis di Facebook yang berjudul “Seberapa Batang-kah Kamu?” maka hasil yang diperoleh Murdi adalah “Kamu adalah penguasa Batang.” ^_^v
Hampir di sebagian besar Jalur Pantura yang kami lalui sedang dilakukan perbaikan jalan. Di Weleri kami mengambil jalur ke kanan yang mengarah ke Temanggung melalui Sukorejo. Jalanan naik turun dan berkelok, mirip di Puncak, Bogor. Ketika hampir memasuki Magelang, kami singgah di sebuah SPBU untuk berganti kostum. Tanpa mempedulikan para petugas SPBU dan pengguna SPBU yang lain serta anak-anak sekolah di seberang SPBU yang baru saja bubaran, kami heboh berfoto.
Ketty yang pernah berkunjung ke rumah Farah, sang mempelai, berganti posisi menjadi navigator. Sudah 30 menit lebih berlalu dari pukul 13.00 saat kami tiba di tujuan. Masih tersisa beberapa tamu. Kedua mempelai, Farah dan Wahyu, sedang berfoto dengan keluarga dan panitia.
Setelah memberi selamat dan berfoto dengan sang raja dan ratu, kami langsung menyambangi gubug-gubug yang Alhamdulillah masih menyisakan makanan untuk kami. Farah memberikan setangkai mawar untuk kami semua. Seorang mendapatkan satu tangkai. “Ini buat yang masih lajang,” katanya. Entah apa maksud pemberian ini. Tradisi dari mana yak? :D
Rupanya bakat narsis orang-orang ini mulai muncul. Kami malah sibuk berfoto-foto tanpa mempedulikan keluarga mempelai dan beberapa tamu yang masih tersisa.
Hampir pukul 15.00 saat kami meninggalkan rumah Farah yang menjadi tempat resepsi. Ketty menyadari bahwa Pak Hendro mulai kepayahan. Kami berhenti di sebuah SPBU (lagi) memberikan kesempatan kepada beliau untuk beristirahat sejenak. Rapat darurat kembali digelar dan diputuskan bahwa kami langsung ke hotel tempat cowok-cowok menginap dan mempersilakan Pak Hendro untuk melepas lelah hingga esok pagi sementara kami akan berkeliling Jogja dengan Murdi atau Indra sebagai penguasa kemudi. Semua sepakat meski Heri sempat tak setuju karena dia yang diberi kepercayaan untuk menjaga mobil inventaris Kanwil Banten ini.
Kami memasuki Jogja dari ring-road Utara kemudian berputar nyaris mengelilingi DIY hingga ke ring-road Selatan. Mobil memasuki sebuah hotel mungil di daerah Kotagede, tak jauh dari Terminal Giwangan dan dari rumah Ketty. Tarif sewa per kamar Rp.110.000. Lumayan nyaman. Pak Hendro langsung meluruskan badan di salah satu kamar. Sementara cowok-cowok membersihkan diri, kami bertiga mencari makan malam untuk Pak Hendro. Sekitar pukul 18.30 Indra membawa kami meluncur ke rumah Ketty. Cukup sering saya berkunjung ke sini. Terakhir adalah kunjungan saat saya backpacking dengan Ana dan Andri akhir tahun lalu.
Saya, Ketty dan Andin bergegas membersihkan diri dan kami bertujuh kembali meluncur untuk menikmati atmosfer Jogja di waktu malam. Tujuan pertama adalah mencari lesehan oseng-oseng mercon di daerah sekitar RS. PKU Muhammadiyah. Beberapa orang dari rombongan, termasuk saya, penasaran dengan makanan yang konon katanya sangat pedas ini. Di antara sekian banyak warung oseng-oseng mercon, warung Bu Narti menjadi pilihan sesuai rekomendasi dari Annas. Hanya Indra dan Murdi yang tidak memesan makanan ini. Mereka berdua lebih memilih ayam goreng dang burung dara goreng. Begitu pesanan tiba saya langsung mencicipi sedikit kuah oseng-oseng ini. Pedas dan manis. Perlahan saya menyantap makanan super pedas itu. Suapan pertama belum terlalu berasa. Suapan kedua mulai berasa pedas. Suapan ketiga dan seterusnya sedikit memaksakan diri. Bibir mulai bergetar saking pedasnya. Gila… mulut serasa meledak! Sesuai dengan namanya, oseng-oseng mercon.
Fyuh, kelar juga makan. Harus waspada nih, takut perut bereaksi menerima makanan aneh tadi. Selanjutnya kami menuju jalan paling ramai dan selalu menjadi tujuan orang yang baru pertama kali ke Jogja, Malioboro. Setelah kebingungan mencari tempat parkir dan sempat berputar sekali lagi, kami akhirnya memarkir mobil di ujung jalan ini di dekat Istana Negara. Rombongan terpecah, cewek-cewek ke arah Pasar Sore karena Andin harus segera menemukan kamar kecil sementara cowok-cowok menyusuri Malioboro yang sangat ramai. Dari Pasar Sore kami menuju pelataran Museum Serangan Umum 1 Maret di mana digelar pertunjukkan wayang kulit dan wayang golek dalam satu panggung. Tak begitu mengerti dengan lakon yang dimainkan ketiga dalang, ditambah angin sepoi-sepoi yang membelai, kantuk mulai menyerang. Ketty menghubungi rombongan cowok dan meminta mereka segera bergabung dengan kami untuk melanjutkan perjalanan.
Sudah hampir pukul 22.30 ketika kami meninggalkan pertunjukkan wayang. Sembari berjalan ke tempat mobil diparkir, kami menyempatkan diri berfoto di depan gerbang Istana Negara di antara tatapan puluhan pasang mata. Rencana berikutnya, kami akan menghabiskan malam ini dengan berkaraoke di Happy Puppy yang berada tak jauh dari ring-road utara. Memenuhi permintaan Helmi, kami melewati kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Sayangnya, kami tak bisa memasuki areal kampus. Oh ya, hampir lupa. Sepanjang perjalanan Ketty memberikan penjelasan layaknya guide tentang tempat-tempat yang kami lewati.
Tiba di Happy Puppy pukul 23.00. 45 menit lagi baru ada kamar kosong yang bisa kami gunakan. Semuanya setuju untuk menunggu. Cowok-cowok menunggu di luar, di dekat halte Trans Jogja, sementara kami terkantuk-kantuk di lobby. Akhirnya penantian kami berakhir. Hilang semua kantuk dan lelah. Semuanya larut dalam keriangan. Malam semakin panas saat lagu Menunggu yang dipopulerkan kembali oleh Ridho Rhoma disenandungkan. Juga lagu Hampa Hatiku milik Ungu. Ternyata oh ternyata, Ketty punya bakan nyinden! Keren euy.... Tanpa terasa dua jam berlalu. Kami harus menyudahi konser keroyokan ini. Saya sempat tertegun saat melihat total tagihan, wew… murah banget!
Tiba di rumah Ketty sekitar pukul 02.30. Beberapa cacing di perut menjalankan aksi demonstrasi. Saya dan Andin pun menyantap hidangan di meja sebelum beranjak ke tempat tidur.
Sebuah Panther biru dongker sudah menunggu tak jauh dari halte. Tak lama setelah menghenyakkan badan di jok tengah, mobil kembali melaju. Selain Ketty, ada Andini, kami sudah kenal sebelumnya karena pernah satu kos meski tak lama. Ketty memperkenalkan personel lain dalam rombongan ini. Indra yang duduk di depan di samping pak sopir, Helmi, Heri, Murdi dan Deni yang harus berdesakan di jok belakang. Tapi karena gelap saya belum bisa menghafal satu persatu wajah mereka. Oh ya, sopirnya adalah Pak Hendro, yang berdasarkan informasi Ketty beliau merupakan sopir Pregio yang mengantar jemput pegawai Kanwil Banten yang tinggal di Tangerang.
Ternyata rombongan kami berkurang saat sampai di pintu tol Pondok Gede Timur alias Jatibening. Deni rupanya tidak ikut ke Magelang dan Jogja. Memasuki tol Jakarta-Cikampek yang lumayan padat di Jumat malam itu, cowok-cowok di belakang mulai berteriak kelaparan. Pak Hendro menepikan mobil tak lama setelah kami keluar dari gerbang tol Cikampek. Tapi mereka sudah kehilangan nafsu makan. Mobil kembali melaju setelah memberi harapan semu kepada penjual pecel lele.
Memasuki daerah Sukamandi, sebuah kenyataan pahit menghadang kami. Macet. Pak Hendro dibantu Indra sebagai navigator dengan lihai mencari jalan di antara bis-bis AKAP dan truk-truk besar. Sampai di sini saya mulai tak sadarkan diri alias tertidur. Benar-benar lelap. Saya tak tahu kapan kami terbebas dari kemacetan panjang itu. Bahkan saat mobil menepi untuk beristirahat sejenak (seperti dalam catatan perjalanan Indra). Saya terbangun saat kami menepi di sebuah SPBU yang tadinya saya pikir rumah makan. Maklumlah nyawa belum terkumpul. Sudah pukul 04.30 dan kami baru sampai di daerah Tanjung, Brebes.
Setelah istirahat dan menunaikan sholat subuh, saya dan Ketty membuat Rencana B. Rencana A: di Brebes rombongan akan belok ke kanan dan melalui jalur selatan, langsung menuju rumah Ketty di Jogja untuk bersiap kondangan ke Magelang. Tapi kemacetan yang menjebak kami membuat rencana terancam amburadul. Diperkirakan waktu tempuh dari Brebes ke Jogja adalah sekitar 8 jam dan kami harus mengejar resepsi yang menurut undangan hanya digelar sampai pukul 13.00. Inilah Rencana B yang merupakan rencana dadakan: rombongan akan mampir ke Tegal, di rumah orang tua saya pastinya, untuk membersihkan diri dan sarapan, kemudian melanjutkan ke Magelang melalui Jalur Pantura, baru setelah kondangan kami ke Jogja. Anggota lain setuju dengan perubahan rencana ini. Saya langsung menelepon ibu untuk bersiap atas kunjungan mendadak ini.
Pukul 06.00 kami tiba di Tegal. Saya dan Ketty langsung mencari sarapan setelah mempersilakan personil lain untuk mandi. Nasi bogana menjadi pilihan karena praktis. Rupanya baru Andin yang selesai mandi. Cowok-cowok itu masih bermalas-malasan di teras. Setelah dipaksa untuk bergegas barulah mereka bergerak. Jujur, sampai di sini saya belum bisa mengingat teman-teman seperjalanan selain Ketty, Andin dan Pak Hendro. Hehehe…
Pukul 07.30 kami telah selesai mandi dan sarapan. Tanpa buang-buang waktu kami langsung meluncur di Jalur Pantura. Gerimis kecil mengiringi perjalanan kami. Saya mulai familiar dengan para brondong ini. Kali ini giliran Helmi sebagai navigator. Memasuki Kab. Batang, Murdi menjadi pemandu wisata dadakan dengan menjelaskan banyak hal di tanah kelahirannya itu. Kalau ada kuis di Facebook yang berjudul “Seberapa Batang-kah Kamu?” maka hasil yang diperoleh Murdi adalah “Kamu adalah penguasa Batang.” ^_^v
Hampir di sebagian besar Jalur Pantura yang kami lalui sedang dilakukan perbaikan jalan. Di Weleri kami mengambil jalur ke kanan yang mengarah ke Temanggung melalui Sukorejo. Jalanan naik turun dan berkelok, mirip di Puncak, Bogor. Ketika hampir memasuki Magelang, kami singgah di sebuah SPBU untuk berganti kostum. Tanpa mempedulikan para petugas SPBU dan pengguna SPBU yang lain serta anak-anak sekolah di seberang SPBU yang baru saja bubaran, kami heboh berfoto.
Ketty yang pernah berkunjung ke rumah Farah, sang mempelai, berganti posisi menjadi navigator. Sudah 30 menit lebih berlalu dari pukul 13.00 saat kami tiba di tujuan. Masih tersisa beberapa tamu. Kedua mempelai, Farah dan Wahyu, sedang berfoto dengan keluarga dan panitia.
Setelah memberi selamat dan berfoto dengan sang raja dan ratu, kami langsung menyambangi gubug-gubug yang Alhamdulillah masih menyisakan makanan untuk kami. Farah memberikan setangkai mawar untuk kami semua. Seorang mendapatkan satu tangkai. “Ini buat yang masih lajang,” katanya. Entah apa maksud pemberian ini. Tradisi dari mana yak? :D
Rupanya bakat narsis orang-orang ini mulai muncul. Kami malah sibuk berfoto-foto tanpa mempedulikan keluarga mempelai dan beberapa tamu yang masih tersisa.
Hampir pukul 15.00 saat kami meninggalkan rumah Farah yang menjadi tempat resepsi. Ketty menyadari bahwa Pak Hendro mulai kepayahan. Kami berhenti di sebuah SPBU (lagi) memberikan kesempatan kepada beliau untuk beristirahat sejenak. Rapat darurat kembali digelar dan diputuskan bahwa kami langsung ke hotel tempat cowok-cowok menginap dan mempersilakan Pak Hendro untuk melepas lelah hingga esok pagi sementara kami akan berkeliling Jogja dengan Murdi atau Indra sebagai penguasa kemudi. Semua sepakat meski Heri sempat tak setuju karena dia yang diberi kepercayaan untuk menjaga mobil inventaris Kanwil Banten ini.
Kami memasuki Jogja dari ring-road Utara kemudian berputar nyaris mengelilingi DIY hingga ke ring-road Selatan. Mobil memasuki sebuah hotel mungil di daerah Kotagede, tak jauh dari Terminal Giwangan dan dari rumah Ketty. Tarif sewa per kamar Rp.110.000. Lumayan nyaman. Pak Hendro langsung meluruskan badan di salah satu kamar. Sementara cowok-cowok membersihkan diri, kami bertiga mencari makan malam untuk Pak Hendro. Sekitar pukul 18.30 Indra membawa kami meluncur ke rumah Ketty. Cukup sering saya berkunjung ke sini. Terakhir adalah kunjungan saat saya backpacking dengan Ana dan Andri akhir tahun lalu.
Saya, Ketty dan Andin bergegas membersihkan diri dan kami bertujuh kembali meluncur untuk menikmati atmosfer Jogja di waktu malam. Tujuan pertama adalah mencari lesehan oseng-oseng mercon di daerah sekitar RS. PKU Muhammadiyah. Beberapa orang dari rombongan, termasuk saya, penasaran dengan makanan yang konon katanya sangat pedas ini. Di antara sekian banyak warung oseng-oseng mercon, warung Bu Narti menjadi pilihan sesuai rekomendasi dari Annas. Hanya Indra dan Murdi yang tidak memesan makanan ini. Mereka berdua lebih memilih ayam goreng dang burung dara goreng. Begitu pesanan tiba saya langsung mencicipi sedikit kuah oseng-oseng ini. Pedas dan manis. Perlahan saya menyantap makanan super pedas itu. Suapan pertama belum terlalu berasa. Suapan kedua mulai berasa pedas. Suapan ketiga dan seterusnya sedikit memaksakan diri. Bibir mulai bergetar saking pedasnya. Gila… mulut serasa meledak! Sesuai dengan namanya, oseng-oseng mercon.
Fyuh, kelar juga makan. Harus waspada nih, takut perut bereaksi menerima makanan aneh tadi. Selanjutnya kami menuju jalan paling ramai dan selalu menjadi tujuan orang yang baru pertama kali ke Jogja, Malioboro. Setelah kebingungan mencari tempat parkir dan sempat berputar sekali lagi, kami akhirnya memarkir mobil di ujung jalan ini di dekat Istana Negara. Rombongan terpecah, cewek-cewek ke arah Pasar Sore karena Andin harus segera menemukan kamar kecil sementara cowok-cowok menyusuri Malioboro yang sangat ramai. Dari Pasar Sore kami menuju pelataran Museum Serangan Umum 1 Maret di mana digelar pertunjukkan wayang kulit dan wayang golek dalam satu panggung. Tak begitu mengerti dengan lakon yang dimainkan ketiga dalang, ditambah angin sepoi-sepoi yang membelai, kantuk mulai menyerang. Ketty menghubungi rombongan cowok dan meminta mereka segera bergabung dengan kami untuk melanjutkan perjalanan.
Sudah hampir pukul 22.30 ketika kami meninggalkan pertunjukkan wayang. Sembari berjalan ke tempat mobil diparkir, kami menyempatkan diri berfoto di depan gerbang Istana Negara di antara tatapan puluhan pasang mata. Rencana berikutnya, kami akan menghabiskan malam ini dengan berkaraoke di Happy Puppy yang berada tak jauh dari ring-road utara. Memenuhi permintaan Helmi, kami melewati kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Sayangnya, kami tak bisa memasuki areal kampus. Oh ya, hampir lupa. Sepanjang perjalanan Ketty memberikan penjelasan layaknya guide tentang tempat-tempat yang kami lewati.
Tiba di Happy Puppy pukul 23.00. 45 menit lagi baru ada kamar kosong yang bisa kami gunakan. Semuanya setuju untuk menunggu. Cowok-cowok menunggu di luar, di dekat halte Trans Jogja, sementara kami terkantuk-kantuk di lobby. Akhirnya penantian kami berakhir. Hilang semua kantuk dan lelah. Semuanya larut dalam keriangan. Malam semakin panas saat lagu Menunggu yang dipopulerkan kembali oleh Ridho Rhoma disenandungkan. Juga lagu Hampa Hatiku milik Ungu. Ternyata oh ternyata, Ketty punya bakan nyinden! Keren euy.... Tanpa terasa dua jam berlalu. Kami harus menyudahi konser keroyokan ini. Saya sempat tertegun saat melihat total tagihan, wew… murah banget!
Tiba di rumah Ketty sekitar pukul 02.30. Beberapa cacing di perut menjalankan aksi demonstrasi. Saya dan Andin pun menyantap hidangan di meja sebelum beranjak ke tempat tidur.
Saturday, June 6, 2009
Dari Penjaga Museum Hingga Penjaga Dunia
Tiga film terakhir yang saya tonton di bioskop mengusung tema sejenis, penyelamatan, meski disampaikan dalam genre yang berbeda. Dimulai dengan Watchmen, dilanjutkan dengan Angels & Demons, dan terakhir Night at The Museum 2: Battle of The Smithsonian.
Watchmen
Director: Zack Snyder
Scriptwriter: David Hayter, Alex Tse
Casts: Jackie Earle Haley, Patrick Wilson, Matthew Goode, Jeffrey Dean Morgan
Warner Bros. Pictures
Bermula dengan terbunuhnya The Comedian, salah satu mantan personel Watchmen. Rorschach merasa bahwa ada yang menginginkan nyawa para anggota Watchmen yang kini telah pensiun sebagai superhero. Dia pun menemui teman-teman lamanya yang masih tersisa, Nite Owl, Ozymandias, Dr. Manhattan dan Silk Spectre, untuk mengungkap kasus tersebut. Dalam usaha meyakinkan teman-temannya inilah terungkap kisah masa lalu tentang hubungan antaranggota Watchmen. Di sisi lain, dunia sedang terancam dengan perang dingin antara Amerika Serikat dengan Rusia yang siap meledak layaknya bom waktu.
Film bertema superhero bukanlah kegemaran saya. Tapi saya merasa nyaman dengan film ini. Tak banyak aksi heroik yang disajikan, justru sisi manusiawi para manusia super itulah yang banyak dibidik. Meski tak memasang bintang-bintang besar, permainan para pemerannya layak diacungi jempol. Topengnya Rorschach keren euy. :D
Kedamaian dunia akhirnya tercipta meski memerlukan pengorbanan, bahkan harus mengorbankan teman sendiri. Ugh…
Angels & Demons
Director: Ron Howard
Scriptwriter: David Koepp, Akiva Goldsman
Casts: Tom Hanks, Ewan McGregor , Ayelet Zurer
Columbia Pictures
Tak lama setelah Paus meninggal dunia, keempat kardinal yang menjadi kandidat penggantinya diculik. Pelaku meninggalkan sebuah ambigram sebuah kelompok kuno, Illuminati. Prof. Robert Langdon diminta menelusuri jejak kelompok ini yang ternyata juga telah mencuri hasil penelitian CERN yang disebut antimateri. Berkejaran dengan waktu karena antimateri itu akan meledak tepat tengah malam saat baterai yang membuatnya stabil di dalam tabung habis. Mereka juga harus menghentikan usaha pelaku untuk membunuh para kardinal satu per satu setiap satu jam. Sementara dilaksanakan conclave untuk memilih Paus pengganti, Langdon dibantu dengan salah satu peneliti CERN, Vittoria Vetra, mencari jawaban atas petunjuk yang ditinggalkan pelaku. Mereka menemukannya di salah satu buku Galileo. Petunjuk yang akan membawa mereka ke gereja kaum Illuminati. Karya-karya Bernini lah yang menjadi petunjuk tersebut meski mereka selalu terlambat tiba di lokasi dan para kardinal satu persatu tewas mengenaskan sesuai dengan cap ambigram di dadanya. Earth. Air. Fire. Water.
Wajib nonton! Itu tekad saya saat film Angels & Demons dirilis karena film ini dibuat berdasarkan salah satu novel favorit saya berjudul sama karya Dan Brown. Tapi sejak awal saya tidak memasang harapan terlalu tinggi dengan film ini mengingat kekecewaan saya terhadap adaptasi The Da Vinci Code ke layar lebar, dengan sutradara yang sama. Hasilnya, saya cukup terkesan dengan film ini. Seperti halnya film adaptasi novel lainnya, beberapa hal tidak sesuai dengan novelnya. But it’s ok. Aroma thriller cukup terasa di sini. Sayangnya, di pertengahan film penonton (yang belum pernah membaca novelnya) sudah bisa menebak siapa yang menjadi bad guy-nya. Perhatikan adegan setelah kardinal kedua tewas di tengah keramaian pelataran Basilica St. Petrus. Pada adegan ini, teman di sebelah yang memang belum membaca novelnya bertanya, “Yang jahat orang itu yak?”
Night at The Museum 2: Battle of The Smithsonian
Director: Shawn Levy
Scriptwriter: Robert Ben Garant, Thomas Lennon
Casts: Ben Stiler, Amy Adams, Owen Wilson, Hank Azaria, Robin Williams
Twentieh Century-Fox Film Corp.
Saat mengetahui teman-temannya (para penghuni Museum of Natural History) yang dipindahkan ke Smithsonian Institute di Washington Museum, mengalami masalah, Larry Daley mencoba menyelamatkan mereka. Kali ini dia dibantu Amelia Earhart, seorang pilot wanita yang berhasil melintasi Samudera Atlantik. Mereka harus menghadapi Kahmunrah dan sekutunya yang menawan Jedediah dkk dan berusaha membangkitkan pasukannya. Di bawah ancaman Kahmunrah, Daley harus memecahkan kode untuk mengaktifkan tablet yang menjadi kunci ke neraka tempat pasukan Kahmunrah berada. Dengan bantuan dari Einstein, mereka berhasil mengetahui kode itu. Tapi terlambat, sekutu Kahmunrah juga berhasil memecahkan kode itu setelah menangkap Einstein.
Meski bergenre komedi, film ini hanya sedikit mengocok perut saya. Mungkin karena saya kurang familiar dengan tokoh-tokoh yang ada di museum tersebut. Saya paling suka dengan patung raksasa Lincoln dan trio cupid yang bernyanyi-nyanyi menggoda Larry dan Amelia. Jonas brother tampil naked di sini! Jiakakakakaka….
7.5/10 buat Angels & Demons, 7/10 buat Watchmen, 6/10 buat Night at The Museum 2.
Watchmen
Director: Zack Snyder
Scriptwriter: David Hayter, Alex Tse
Casts: Jackie Earle Haley, Patrick Wilson, Matthew Goode, Jeffrey Dean Morgan
Warner Bros. Pictures
Bermula dengan terbunuhnya The Comedian, salah satu mantan personel Watchmen. Rorschach merasa bahwa ada yang menginginkan nyawa para anggota Watchmen yang kini telah pensiun sebagai superhero. Dia pun menemui teman-teman lamanya yang masih tersisa, Nite Owl, Ozymandias, Dr. Manhattan dan Silk Spectre, untuk mengungkap kasus tersebut. Dalam usaha meyakinkan teman-temannya inilah terungkap kisah masa lalu tentang hubungan antaranggota Watchmen. Di sisi lain, dunia sedang terancam dengan perang dingin antara Amerika Serikat dengan Rusia yang siap meledak layaknya bom waktu.
Film bertema superhero bukanlah kegemaran saya. Tapi saya merasa nyaman dengan film ini. Tak banyak aksi heroik yang disajikan, justru sisi manusiawi para manusia super itulah yang banyak dibidik. Meski tak memasang bintang-bintang besar, permainan para pemerannya layak diacungi jempol. Topengnya Rorschach keren euy. :D
Kedamaian dunia akhirnya tercipta meski memerlukan pengorbanan, bahkan harus mengorbankan teman sendiri. Ugh…
Angels & Demons
Director: Ron Howard
Scriptwriter: David Koepp, Akiva Goldsman
Casts: Tom Hanks, Ewan McGregor , Ayelet Zurer
Columbia Pictures
Tak lama setelah Paus meninggal dunia, keempat kardinal yang menjadi kandidat penggantinya diculik. Pelaku meninggalkan sebuah ambigram sebuah kelompok kuno, Illuminati. Prof. Robert Langdon diminta menelusuri jejak kelompok ini yang ternyata juga telah mencuri hasil penelitian CERN yang disebut antimateri. Berkejaran dengan waktu karena antimateri itu akan meledak tepat tengah malam saat baterai yang membuatnya stabil di dalam tabung habis. Mereka juga harus menghentikan usaha pelaku untuk membunuh para kardinal satu per satu setiap satu jam. Sementara dilaksanakan conclave untuk memilih Paus pengganti, Langdon dibantu dengan salah satu peneliti CERN, Vittoria Vetra, mencari jawaban atas petunjuk yang ditinggalkan pelaku. Mereka menemukannya di salah satu buku Galileo. Petunjuk yang akan membawa mereka ke gereja kaum Illuminati. Karya-karya Bernini lah yang menjadi petunjuk tersebut meski mereka selalu terlambat tiba di lokasi dan para kardinal satu persatu tewas mengenaskan sesuai dengan cap ambigram di dadanya. Earth. Air. Fire. Water.
Wajib nonton! Itu tekad saya saat film Angels & Demons dirilis karena film ini dibuat berdasarkan salah satu novel favorit saya berjudul sama karya Dan Brown. Tapi sejak awal saya tidak memasang harapan terlalu tinggi dengan film ini mengingat kekecewaan saya terhadap adaptasi The Da Vinci Code ke layar lebar, dengan sutradara yang sama. Hasilnya, saya cukup terkesan dengan film ini. Seperti halnya film adaptasi novel lainnya, beberapa hal tidak sesuai dengan novelnya. But it’s ok. Aroma thriller cukup terasa di sini. Sayangnya, di pertengahan film penonton (yang belum pernah membaca novelnya) sudah bisa menebak siapa yang menjadi bad guy-nya. Perhatikan adegan setelah kardinal kedua tewas di tengah keramaian pelataran Basilica St. Petrus. Pada adegan ini, teman di sebelah yang memang belum membaca novelnya bertanya, “Yang jahat orang itu yak?”
Night at The Museum 2: Battle of The Smithsonian
Director: Shawn Levy
Scriptwriter: Robert Ben Garant, Thomas Lennon
Casts: Ben Stiler, Amy Adams, Owen Wilson, Hank Azaria, Robin Williams
Twentieh Century-Fox Film Corp.
Saat mengetahui teman-temannya (para penghuni Museum of Natural History) yang dipindahkan ke Smithsonian Institute di Washington Museum, mengalami masalah, Larry Daley mencoba menyelamatkan mereka. Kali ini dia dibantu Amelia Earhart, seorang pilot wanita yang berhasil melintasi Samudera Atlantik. Mereka harus menghadapi Kahmunrah dan sekutunya yang menawan Jedediah dkk dan berusaha membangkitkan pasukannya. Di bawah ancaman Kahmunrah, Daley harus memecahkan kode untuk mengaktifkan tablet yang menjadi kunci ke neraka tempat pasukan Kahmunrah berada. Dengan bantuan dari Einstein, mereka berhasil mengetahui kode itu. Tapi terlambat, sekutu Kahmunrah juga berhasil memecahkan kode itu setelah menangkap Einstein.
Meski bergenre komedi, film ini hanya sedikit mengocok perut saya. Mungkin karena saya kurang familiar dengan tokoh-tokoh yang ada di museum tersebut. Saya paling suka dengan patung raksasa Lincoln dan trio cupid yang bernyanyi-nyanyi menggoda Larry dan Amelia. Jonas brother tampil naked di sini! Jiakakakakaka….
7.5/10 buat Angels & Demons, 7/10 buat Watchmen, 6/10 buat Night at The Museum 2.
Liburan Bareng Ana (Bagian 3)
Hari ketiga, 8 Mei 2009. Rencana hari ini: main air di Atlantis. Kami berdua agak kecewa karena Wahyu yang semula akan bergabung dengan perjalanan kali ini terpaksa membatalkan rencananya karena tuntutan tugas. Berdua, kami meluncur ke kawasan Ancol (lagi). Belum lagi pukul 9 pagi saat kami tiba di depan loket Atlantis. Harga tiket masuk untuk hari biasa adalah Rp.50.000 per orang, lebih murah Rp.20.000 dibandingkan dengan tiket pada hari libur. Kami langsung ke kamar ganti. Setelah menyimpan barang-barang bawaan di loker dengan harga sewa Rp.5.000, kami langsung berkeliling Atlantis. Sepiiiiii…. Tak banyak pengunjung. Hanya beberapa rombongan kecil serta satu rombongan marinir.
Setelah mencicipi kolam yang entah apa namanya (kalau di Waterboom Lippo Cikarang namanya Lazy River) kami menyewa ban. Sayangnya, hanya ada ban single di sini. Tarif sewanya Rp.15.000 per dua jam, ditambah deposit sebesar Rp.15.000. Deposit ini akan dikembalikan apabila kita mengembalikan ban tersebut dalam waktu dua jam.
Gerimis kecil yang tadi menyambut kedatangan kami di Atlantis masih menemani. Bahkan kini ditambah beberapa kali sambaran petir. Ugh, jadi takut naik nih. Tapi salah satu penjaga meyakinkan bahwa menara mereka aman karena sudah dipasang penangkal petir. Fyuh… Masih sedikit deg-degan akhirnya saya memberanikan diri menaiki menara. Oh ya, tak ada pengunjung lain di wahana ini loh, serasa Atlantis milik sendiri. :D
Menginjakkan kaki di puncak menara, saya sejenak terpana karena tak ada satu pun petugas di atas. Wedew, jadi serem ih. Terpaksa, saya sedikit bersusah payah menempatkan tubuh dengan posisi yang benar. Saya memilih seluncuran paling kanan dari tiga seluncuran yang ada. Saatnya meluncur…! Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa… Teriakan saya menggema di seluncuran yang tertutup di beberapa bagian. Dan, byuuuuurrr. Asyik euy.
Giliran Ana meluncur. Tak lama setelah dia menaiki menara tiba-tiba dia muncul dengan kebingungan di salah satu jalur seluncuran, dengan ban yang masih ada di tangan. Jiakakakaka…. Rupanya dia salah naik. Akhirnya dia kembali menaiki menara. Kyaaaaaaaaaaa…. Byuuuuuuuurrrrrrrr….
Sebenarnya jalur seluncuran di Atlantis lebih asyik dibandingkan di Waterboom LC, sayangnya kurang terawat baik sehingga di beberapa bagian ban kami sempat mengalami kemacetan karena cat yang sudah terkelupas di sana-sini.
Kembali berkeliling, kami menemukan seluncuran tanpa ban. Ada dua seluncuran pendek, salah satunya sangat curam. Kami memilih naik ke menara untuk mencoba seluncuran yang lumayan panjang dan berkelok-kelok. Di sini kami bertemu rombongan kecil beberapa cowok yang sedang memaksa salah satu teman mereka untuk meluncur. “Ayo dong, masa kalah sama cewek!” Kata salah satunya sembari menunjuk kami. Hehehe….
Ana meluncur lebih dahulu. Tapi tiba-tiba gerakannya terhenti karena seluncuran tersebut kondisinya lebih parah dari seluncuran ban yang tadi kami naiki. Susah payah dia berusaha sampai tubuhnya berhasil meluncur lagi. Tak mau kalah, saya pun ikut meluncur. Ternyata tak jauh beda dengan Ana. Aksi meluncur tersendat gara-gara seluncuran yang mulai aus.
Kami tiba di kolam yang diperuntukkan bagi anak-anak. Banyak pancuran, lumayan buat pijat punggung. Ada ember besar yang siap menumpahkan air saat tak lagi menampung debit air. Ada seluncuran-seluncuran kecil. Semuanya dengan warna-warni ceria. Kedalaman kolamnya pun tak lebih dari 50 cm. Dan lagi-lagi, hanya kami berdua yang menggunakan kolam ini. Sekitar pukul 11.00 mulai banyak pengunjung yang datang. Setelah puas bermain-main air, kami mengembalikan ban (uang deposit dikembalikan karena kami meminjam tak lebih dari dua jam) dan bersiap untuk pulang. Kamar bilas dan ganti yang disediakan cukup banyak dan lebih private. Ada juga kamar bilas dan ganti untuk keluarga. Jauh berbeda dengan yang ada di Waterboom LC yang hanya menyediakan sedikit kamar bilas dan ganti.
Kami terpaksa menyudahi acara hari ini karena Ana harus siap di St. Gambir sebelum pukul 17.00. Meluncur dengan armada Blue Bird di tol jalan kota yang lancar. Mampir sebentar di Slipi Jaya untuk mengisi perut. Sampai di kos, Ana langsung mengemasi barang bawaannya. Baru sekitar pukul 15.00, masih sempat lah untuk memejamkan mata sejenak.
Pukul 16.15 kami sudah siap meluncur lagi meski tubuh menolak untuk bergerak. Berperan sebagai ojek cantik (narsis mode: ON) saya mengantar Ana ke St. Gambir. Berhenti sejenak di gerai Dunkin Donuts untuk kemudian berlari-lari kecil ke terminal keberangkatan. Rangkaian kereta api Bima yang akan membawa Ana ke Klaten telah siap di jalur 1. Alhamdulillah kami belum terlambat. Setelah mengantar Ana ke tempat duduknya, saya langsung meluncur kembali ke kos.
Tiga hari yang menyenangkan. Cukuplah untuk melepas segala penat. Tapi sayangnya acara ke Monas dan Istiqlal tidak terlaksana karena ketidaktersediaan waktu. Juga angan-angan ke Outbondholic. Maaf ya Na, beberapa rencana kita harus batal karena waktu kunjanganmu ke Jakarta dipangkas. Semoga kita diberi kesempatan untuk berlibur bareng lagi. :D
Catatan:
Dua hari berikutnya dilalui dengan tidur, tidur dan tidur untuk me-recovery kondisi badan yang diforsir selama tiga hari berturut-turut. Pegel semua euy…!
Setelah mencicipi kolam yang entah apa namanya (kalau di Waterboom Lippo Cikarang namanya Lazy River) kami menyewa ban. Sayangnya, hanya ada ban single di sini. Tarif sewanya Rp.15.000 per dua jam, ditambah deposit sebesar Rp.15.000. Deposit ini akan dikembalikan apabila kita mengembalikan ban tersebut dalam waktu dua jam.
Gerimis kecil yang tadi menyambut kedatangan kami di Atlantis masih menemani. Bahkan kini ditambah beberapa kali sambaran petir. Ugh, jadi takut naik nih. Tapi salah satu penjaga meyakinkan bahwa menara mereka aman karena sudah dipasang penangkal petir. Fyuh… Masih sedikit deg-degan akhirnya saya memberanikan diri menaiki menara. Oh ya, tak ada pengunjung lain di wahana ini loh, serasa Atlantis milik sendiri. :D
Menginjakkan kaki di puncak menara, saya sejenak terpana karena tak ada satu pun petugas di atas. Wedew, jadi serem ih. Terpaksa, saya sedikit bersusah payah menempatkan tubuh dengan posisi yang benar. Saya memilih seluncuran paling kanan dari tiga seluncuran yang ada. Saatnya meluncur…! Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa… Teriakan saya menggema di seluncuran yang tertutup di beberapa bagian. Dan, byuuuuurrr. Asyik euy.
Giliran Ana meluncur. Tak lama setelah dia menaiki menara tiba-tiba dia muncul dengan kebingungan di salah satu jalur seluncuran, dengan ban yang masih ada di tangan. Jiakakakaka…. Rupanya dia salah naik. Akhirnya dia kembali menaiki menara. Kyaaaaaaaaaaa…. Byuuuuuuuurrrrrrrr….
Sebenarnya jalur seluncuran di Atlantis lebih asyik dibandingkan di Waterboom LC, sayangnya kurang terawat baik sehingga di beberapa bagian ban kami sempat mengalami kemacetan karena cat yang sudah terkelupas di sana-sini.
Kembali berkeliling, kami menemukan seluncuran tanpa ban. Ada dua seluncuran pendek, salah satunya sangat curam. Kami memilih naik ke menara untuk mencoba seluncuran yang lumayan panjang dan berkelok-kelok. Di sini kami bertemu rombongan kecil beberapa cowok yang sedang memaksa salah satu teman mereka untuk meluncur. “Ayo dong, masa kalah sama cewek!” Kata salah satunya sembari menunjuk kami. Hehehe….
Ana meluncur lebih dahulu. Tapi tiba-tiba gerakannya terhenti karena seluncuran tersebut kondisinya lebih parah dari seluncuran ban yang tadi kami naiki. Susah payah dia berusaha sampai tubuhnya berhasil meluncur lagi. Tak mau kalah, saya pun ikut meluncur. Ternyata tak jauh beda dengan Ana. Aksi meluncur tersendat gara-gara seluncuran yang mulai aus.
Kami tiba di kolam yang diperuntukkan bagi anak-anak. Banyak pancuran, lumayan buat pijat punggung. Ada ember besar yang siap menumpahkan air saat tak lagi menampung debit air. Ada seluncuran-seluncuran kecil. Semuanya dengan warna-warni ceria. Kedalaman kolamnya pun tak lebih dari 50 cm. Dan lagi-lagi, hanya kami berdua yang menggunakan kolam ini. Sekitar pukul 11.00 mulai banyak pengunjung yang datang. Setelah puas bermain-main air, kami mengembalikan ban (uang deposit dikembalikan karena kami meminjam tak lebih dari dua jam) dan bersiap untuk pulang. Kamar bilas dan ganti yang disediakan cukup banyak dan lebih private. Ada juga kamar bilas dan ganti untuk keluarga. Jauh berbeda dengan yang ada di Waterboom LC yang hanya menyediakan sedikit kamar bilas dan ganti.
Kami terpaksa menyudahi acara hari ini karena Ana harus siap di St. Gambir sebelum pukul 17.00. Meluncur dengan armada Blue Bird di tol jalan kota yang lancar. Mampir sebentar di Slipi Jaya untuk mengisi perut. Sampai di kos, Ana langsung mengemasi barang bawaannya. Baru sekitar pukul 15.00, masih sempat lah untuk memejamkan mata sejenak.
Pukul 16.15 kami sudah siap meluncur lagi meski tubuh menolak untuk bergerak. Berperan sebagai ojek cantik (narsis mode: ON) saya mengantar Ana ke St. Gambir. Berhenti sejenak di gerai Dunkin Donuts untuk kemudian berlari-lari kecil ke terminal keberangkatan. Rangkaian kereta api Bima yang akan membawa Ana ke Klaten telah siap di jalur 1. Alhamdulillah kami belum terlambat. Setelah mengantar Ana ke tempat duduknya, saya langsung meluncur kembali ke kos.
Tiga hari yang menyenangkan. Cukuplah untuk melepas segala penat. Tapi sayangnya acara ke Monas dan Istiqlal tidak terlaksana karena ketidaktersediaan waktu. Juga angan-angan ke Outbondholic. Maaf ya Na, beberapa rencana kita harus batal karena waktu kunjanganmu ke Jakarta dipangkas. Semoga kita diberi kesempatan untuk berlibur bareng lagi. :D
Catatan:
Dua hari berikutnya dilalui dengan tidur, tidur dan tidur untuk me-recovery kondisi badan yang diforsir selama tiga hari berturut-turut. Pegel semua euy…!
Liburan Bareng Ana (Bagian 2)
7 Mei 2009, hari kedua. Rencana hari ini: teriak sepuasnya di Dunia Fantasi, Ancol. Setelah menunggu Adi yang datang dari Purwakarta, kami bertiga meluncur ke kawasan Ancol. Taksi menjadi pilihan saya untuk memperpendek waktu tempuh mengingat hari sudah menjelang siang. Kami beruntung mendapatkan salah satu armada Trans Cab dengan sopir yang ramah. Setelah melintas di tol dalam kota yang ramai dan lancar, kami tiba di gerbang utama Ancol. Memasuki kawasan taman impian ini dikenakan tarif Rp.12.000 per orang. Kami turun di loket Dufan setelah membayar ongkos taksi sekitar Rp.40.000. Tiket masuk Dufan di hari biasa adalah Rp.90.000 per orang, lebih murah dibandingkan tiket saat hari Sabtu-Minggu dan hari libur yang dipatok Rp.120.000 per orang. Seingat saya, terakhir kali ke sini tarifnya masih Rp.80.000 per orang di hari libur.
Pukul 11.30 saat kami siap bertualang di Dufan. Tak seramai saat hari libur. Wahana pertama yang kami tuju adalah Niagara-gara. Saat ramai, kita harus mengantri 1 jam lebih untuk bisa mencoba wahana ini. Dimulai dengan meluncur perlahan di sungai kecil ditambah beberapa pancuran yang lumayan membasahi pakaian kami. Ana mulai panik saat kami mulai menaiki puncaknya. Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa… teriakan pertama akhirnya lepas juga saat kami meluncur dari ketinggian. :D
Dengan baju yang basah di beberapa bagian, saya mengajak Ana mencoba Rumah Miring. Dia sempat berteriak-teriak panik karena tak bisa menyeimbangkan diri dan kaget melihat beberapa patung di kegelapan. Huh, begitu saja kok takut sih Na… :P
Berikutnya adalah berleha-leha di perahu yang membawa kami berkeliling dunia di Istana Boneka. Bergabung dengan rombongan anak-anak TK. Hehehehe… berasa menjadi anak kecil lagi. Sebelum mencoba salah wahana favorit di Dufan, Tornado, kami memberi Ana pemanasan dengan meluncur di wahana Alap-alap. Halilintar kecil, itu istilah saya untuk wahana ini. Meski tak seasyik Halilintar, Alap-alap cukup bisa membuat kami kembali berteriak-teriak melepaskan beban. Sampailah kami di antrian Tornado. Sempat berpikir untuk kabur tapi rasa penasaran menahan saya hingga akhirnya pengaman di pasang. Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa…. Teriakan kami seolah tak pernah habis. Gila, wahana ini benar-benar mengasyikkan. Hampir mirip dengan wahana Kicir-kicir atau Power Surge yang hari ini tidak dioperasikan. Tapi yang ini masih lebih bisa ditoleransi.:D
Sembari menikmati sisa-sisa sensasi Tornado, kami berjalan lambat-lambat ke arah wahana Arung Jeram. Seperti wahana-wahana sebelumnya yang nyaris tak ada antrian, di sini pun kami tak perlu menunggu lama. Dalam sekejap kami bertiga basah kuyup. Untunglah barang-barang berharga telah diamankan di tas ransel Adi. Berikutnya adalah Halilintar. 12 detik yang cukup menegangkan. Hanya satu putaran. Tapi lagi-lagi, kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…. Kepala kami agak pening gara-gara beberapa kali terantuk pengaman tubuh.
Setelah istirahat sebentar sambil mengeringkan pakaian yang kuyup, kami masuk ke antrian di wahana Extreme Log. Wahana ini diklaim pengelola Dufan sebagai wahana terbaru di sini. Padahal wahana simulasi 3 dimensi ini sudah ada sejak lama hanya film simulasinya yang berubah-ubah. Terakhir berkunjung ke sini kalau tidak salah wahana ini bernama Mars Attack. Antrian di sini lumayan panjang. Sekitar 20 menit menunggu sebelum tiba giliran kami. Dalam Extreme Log ini kita seolah-olah sebagai kayu gelondongan yang dipotong dari hutan kemudian menyusuri jalur hingga menuju sungai. Sementara yang lain berteriak-teriak saya malah tertawa terbahak-bahak karena wahana aneh ini. Saya lebih terbahak lagi saat melihat Ana kerepotan memperbaiki posisi duduknya karena sabuk pengamannya kendor dan dia nyaris terlempar dari kursi. Jiakakakakakakaaaaaaaaaa…. Maaf Na, bukannya gak mau nolong tapi kondisi tidak memungkinkan. :D
Kami menyempatkan sholat dhuhur sebelum melanjutkan ke wahana Perang Bintang. Wahana ini mengharuskan kita untuk aktif membidik musuh (di lampu-lampu hijaunya) untuk memperoleh poin. Pemenangnya adalah Adi. Dia mendapatkan 14000 poin sementara saya hanya memperoleh 12000 poin dan Ana memperoleh 8000 poin. Selesai berperang kami mampir ke gerai McD untuk mengisi energi.
Hampir semua wahana menantang sudah kami lewati tapi hari masih siang. Arena Dufan masih akan dibuka sampai pukul 18.00 di hari biasa seperti ini. Akhirnya kami terdampar di antrian Mobil Senggol. Ana dan Adi masuk ke arena sementara saya menyaksikan mereka berbenturan dengan pengunjung lain. Masih bingung menentukan wahana apalagi yang akan kita naiki. Akhirnya Adi mencoba permainan sepak bola. Dengan tarif yang lumayan mahal, Rp.10.000, dengan 2 menit waktu yang diberikan harus berhasil memasukkan bola ke gawang sebanyak 16 kali untuk mendapatkan sebuah boneka. Sayangnya Adi tidak berhasil. Saya melihat kecurangan yang dilakukan oleh mas penjaganya. Saat dilihatnya Adi sudah mulai menguasai permaianan dengan memasukkan 9 gol, dia masuk melewati garis putih dengan berpura-pura mengambil bola. Sebenarnya ini adalah caranya untuk membuang waktu karena saat dia berada di daerah pinalti alat tersebut tidak berfungsi meski Adi berhasil memasukkan bola, sementara waktunya terus berjalan. Huh, cara yang kotor! Tapi saya malas membuat masalah dan berlagak bodoh di depan penjaga itu.
Setelah sholat ashar dan istirahat sejenak di Panggung Maksima, kami memutuskan pulang meski hari masih terang. Ana menolak mencoba wahana Kora-kora karena Adi dan saya mengatakan bahwa wahana ini hanya membuat kita mual. :D
Saya mengajak Ana menaiki Bianglala, kincir raksasa. Tapi Ana menolak dengan alasan dia takut ketinggian. Halah, tadi kok berani waktu naik Tornado??? Aneh… :P
Sementara kami berdua menikmati Ancol dan sekitarnya dari ketinggian, Ana menunggu dengan sabar di bawah. Terakhir, sebelum meninggalkan Dufan, kami mencicipi komidi putar diiringi live music yang kemudian menemani langkah kami meninggalkan dunia yang penuh fantasi ini.
Semula kami memutuskan menggunakan bus kota untuk kembali ke kos, tapi lelah mengalahkan segalanya. Kami menyetop sebuah taksi yang mengantar kami ke depan Menara Peninsula. Alhamdulillah jalanan lancar padahal ini adalah salah satu waktu kritis, jam pulang kantor. Kami mampir dulu untuk menyantap Bakmi Ayam DKI di depan Pasar Slipi. Mi ayam di sini cukup terkenal. Buka sejak pukul 7.00 pagi dan selalu ramai hingga malam hari. Untuk Mi ayam komplit (plus bakso dan pangsit rebus) kita cukup membayar Rp.11.000. Rasanya… jangan ditanya lagi, mantap lah!
Pukul 11.30 saat kami siap bertualang di Dufan. Tak seramai saat hari libur. Wahana pertama yang kami tuju adalah Niagara-gara. Saat ramai, kita harus mengantri 1 jam lebih untuk bisa mencoba wahana ini. Dimulai dengan meluncur perlahan di sungai kecil ditambah beberapa pancuran yang lumayan membasahi pakaian kami. Ana mulai panik saat kami mulai menaiki puncaknya. Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa… teriakan pertama akhirnya lepas juga saat kami meluncur dari ketinggian. :D
Dengan baju yang basah di beberapa bagian, saya mengajak Ana mencoba Rumah Miring. Dia sempat berteriak-teriak panik karena tak bisa menyeimbangkan diri dan kaget melihat beberapa patung di kegelapan. Huh, begitu saja kok takut sih Na… :P
Berikutnya adalah berleha-leha di perahu yang membawa kami berkeliling dunia di Istana Boneka. Bergabung dengan rombongan anak-anak TK. Hehehehe… berasa menjadi anak kecil lagi. Sebelum mencoba salah wahana favorit di Dufan, Tornado, kami memberi Ana pemanasan dengan meluncur di wahana Alap-alap. Halilintar kecil, itu istilah saya untuk wahana ini. Meski tak seasyik Halilintar, Alap-alap cukup bisa membuat kami kembali berteriak-teriak melepaskan beban. Sampailah kami di antrian Tornado. Sempat berpikir untuk kabur tapi rasa penasaran menahan saya hingga akhirnya pengaman di pasang. Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa…. Teriakan kami seolah tak pernah habis. Gila, wahana ini benar-benar mengasyikkan. Hampir mirip dengan wahana Kicir-kicir atau Power Surge yang hari ini tidak dioperasikan. Tapi yang ini masih lebih bisa ditoleransi.:D
Sembari menikmati sisa-sisa sensasi Tornado, kami berjalan lambat-lambat ke arah wahana Arung Jeram. Seperti wahana-wahana sebelumnya yang nyaris tak ada antrian, di sini pun kami tak perlu menunggu lama. Dalam sekejap kami bertiga basah kuyup. Untunglah barang-barang berharga telah diamankan di tas ransel Adi. Berikutnya adalah Halilintar. 12 detik yang cukup menegangkan. Hanya satu putaran. Tapi lagi-lagi, kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…. Kepala kami agak pening gara-gara beberapa kali terantuk pengaman tubuh.
Setelah istirahat sebentar sambil mengeringkan pakaian yang kuyup, kami masuk ke antrian di wahana Extreme Log. Wahana ini diklaim pengelola Dufan sebagai wahana terbaru di sini. Padahal wahana simulasi 3 dimensi ini sudah ada sejak lama hanya film simulasinya yang berubah-ubah. Terakhir berkunjung ke sini kalau tidak salah wahana ini bernama Mars Attack. Antrian di sini lumayan panjang. Sekitar 20 menit menunggu sebelum tiba giliran kami. Dalam Extreme Log ini kita seolah-olah sebagai kayu gelondongan yang dipotong dari hutan kemudian menyusuri jalur hingga menuju sungai. Sementara yang lain berteriak-teriak saya malah tertawa terbahak-bahak karena wahana aneh ini. Saya lebih terbahak lagi saat melihat Ana kerepotan memperbaiki posisi duduknya karena sabuk pengamannya kendor dan dia nyaris terlempar dari kursi. Jiakakakakakakaaaaaaaaaa…. Maaf Na, bukannya gak mau nolong tapi kondisi tidak memungkinkan. :D
Kami menyempatkan sholat dhuhur sebelum melanjutkan ke wahana Perang Bintang. Wahana ini mengharuskan kita untuk aktif membidik musuh (di lampu-lampu hijaunya) untuk memperoleh poin. Pemenangnya adalah Adi. Dia mendapatkan 14000 poin sementara saya hanya memperoleh 12000 poin dan Ana memperoleh 8000 poin. Selesai berperang kami mampir ke gerai McD untuk mengisi energi.
Hampir semua wahana menantang sudah kami lewati tapi hari masih siang. Arena Dufan masih akan dibuka sampai pukul 18.00 di hari biasa seperti ini. Akhirnya kami terdampar di antrian Mobil Senggol. Ana dan Adi masuk ke arena sementara saya menyaksikan mereka berbenturan dengan pengunjung lain. Masih bingung menentukan wahana apalagi yang akan kita naiki. Akhirnya Adi mencoba permainan sepak bola. Dengan tarif yang lumayan mahal, Rp.10.000, dengan 2 menit waktu yang diberikan harus berhasil memasukkan bola ke gawang sebanyak 16 kali untuk mendapatkan sebuah boneka. Sayangnya Adi tidak berhasil. Saya melihat kecurangan yang dilakukan oleh mas penjaganya. Saat dilihatnya Adi sudah mulai menguasai permaianan dengan memasukkan 9 gol, dia masuk melewati garis putih dengan berpura-pura mengambil bola. Sebenarnya ini adalah caranya untuk membuang waktu karena saat dia berada di daerah pinalti alat tersebut tidak berfungsi meski Adi berhasil memasukkan bola, sementara waktunya terus berjalan. Huh, cara yang kotor! Tapi saya malas membuat masalah dan berlagak bodoh di depan penjaga itu.
Setelah sholat ashar dan istirahat sejenak di Panggung Maksima, kami memutuskan pulang meski hari masih terang. Ana menolak mencoba wahana Kora-kora karena Adi dan saya mengatakan bahwa wahana ini hanya membuat kita mual. :D
Saya mengajak Ana menaiki Bianglala, kincir raksasa. Tapi Ana menolak dengan alasan dia takut ketinggian. Halah, tadi kok berani waktu naik Tornado??? Aneh… :P
Sementara kami berdua menikmati Ancol dan sekitarnya dari ketinggian, Ana menunggu dengan sabar di bawah. Terakhir, sebelum meninggalkan Dufan, kami mencicipi komidi putar diiringi live music yang kemudian menemani langkah kami meninggalkan dunia yang penuh fantasi ini.
Semula kami memutuskan menggunakan bus kota untuk kembali ke kos, tapi lelah mengalahkan segalanya. Kami menyetop sebuah taksi yang mengantar kami ke depan Menara Peninsula. Alhamdulillah jalanan lancar padahal ini adalah salah satu waktu kritis, jam pulang kantor. Kami mampir dulu untuk menyantap Bakmi Ayam DKI di depan Pasar Slipi. Mi ayam di sini cukup terkenal. Buka sejak pukul 7.00 pagi dan selalu ramai hingga malam hari. Untuk Mi ayam komplit (plus bakso dan pangsit rebus) kita cukup membayar Rp.11.000. Rasanya… jangan ditanya lagi, mantap lah!
Subscribe to:
Posts (Atom)