Hari ini sebulan yang lalu, sejak sebelum mulai jam kerja pukul 07.30 WIB, kantor kami sudah kebanjiran para Wajib Pajak (WP) yang akan memanfaatkan fasilitas Sunset Policy (selanjutnya disebut SunPol). Wajar saja karena waktu itu adalah dua hari terakhir penyampaian SPT Tahunan PPh khusus SunPol. Gara-gara makhluk bernama SunPol inilah kami terpaksa menjalankan instruksi dari DJP-1 untuk memberikan pelayanan kepada WP di hari Sabtu (tanggal 6, 13, dan 20 Desember 2008) dari pukul 07.30 s.d. 17.00 WIB serta membuka loket pelayanan s.d. pukul 19.00 WIB pada tanggal 30-31 Desember 2008. Bahkan di beberapa kantor ada yang menerapkan kebijakan yang sangat tidak bijak dengan melarang pegawainya menjalankan cuti tahunan pada tanggal 30-31 Desember 2008 (untunglah tidak terjadi di kantor ini). ;)
It was the hardest day! WP datang silih berganti, belum lagi yang menelepon bertanya ini dan itu. Fyuh… nyaris gak ada jeda untuk melepas penat. Beberapa menit berlalu dari pukul 17.00 WIB saat saya bersiap pulang (Alhamdulillah gak dapat giliran piket sampai jam 19.00 WIB). Tiba-tiba seorang WP menghampiri meja saya dan minta dibantu mengisi SPT Tahunan. Tidaaaaaaaaaaaaaakkk!!! Terpaksa deh membantu ibu ini sampai sekitar jam 18.00 WIB.
Begitu sampai di rumah, sebuah berita yang menyenangkan sekaligus menyebalkan disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta. Sunset Policy diperpanjang sampai 28 Februari 2009! Oh, God… Saya senang mendengar berita ini karena artinya besok tidak akan lebih berat dari hari ini. Tapi saya juga kesal karena melihat pengalaman-pengalaman di masa lalu, WP pasti akan menyampaikan SPT Tahunannya mendekati injury time. Setiap tahun WP diberi kesempatan menyampaikan SPT sejak berakhirnya tahun Pajak (31 Desember XXXX) sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Yang terjadi? Sebagian besar WP justru menyampaikannya mendekati batas akhir penyampaian. Mereka lebih suka berdesak-desakan di hari-hari terakhir dan kemudian mengkritik pelayanan kami yang menjadi turun kualitasnya karena overload. Huh….
Sejak diumumkan bahwa SunPol diperpanjang tak banyak WP yang menyampaikan. Tanggal 31 Desember 2008 yang semula diperkirakan sebagai puncaknya pun berlalu dengan adem ayem tak seperti hari sebelumnya. Bahkan hingga hari ini saya hanya melayani tak sampai lima WP. Menurut perkiraan saya, mendekati tanggal 28 Februari 2009 nanti akan semakin banyak WP yang menyampaikan SPT Tahunan dalam rangka SunPol. Meski diperpanjang sampai lebih dari dua bulan pun saya yakin WP tetap akan melaporkannya mendekati bahkan saat tanggal batas akhir penyampaian. Budaya ini sepertinya sudah mendarah daging di sebagian besar WP. Masih perlu bukti? Fasilitas SunPol ini masuk di Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 yang berlaku sejak 1 Januari 2008. Tak banyak WP yang memanfaatkannya hingga akhir Semester I Tahun 2008. Salah DJP juga sih karena baru mulai mensosialisasikan secara besar-besaran di bulan Oktober 2008. Tetapi sampai pertengahan Desember 2008 tetap belum banyak WP yang memanfaatkan.
Jadi buat para WP, mohon dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya apabila kurang berkenan dengan pelayanan kami menjelang batas akhir penyampaian SPT Tahunan dalam rangka SunPol tanggal 28 Februari 2009. ;)
Friday, January 30, 2009
Tuesday, January 27, 2009
Rahasia di Balik Sebuah Pintu
Pintu Terlarang
Director: Joko Anwar
Scriptwriter: Joko Anwar (based on Sekar Ayu Asmara’s Novel)
Producer: Sheila Timothy – LifeLike Pictures
Cast: Fachry Albar, Marsha Timothy, Henidar Amroe, Tio Pakusadewo
Sebagai seorang pematung sukses, kehidupan Gambir nyaris sempurna. Dikelilingi oleh Talyda, istrinya yang cantik dan cerdas, sahabat-sabahat yang selalu mendukungnya serta ibu yang sangat perhatian. Tapi Gambir merasa dirinya kotor sejak Talyda memintanya meletakkan Arjasa – janin hasil hubungan mereka yang digugurkan saat mereka belum menikah – di dalam rahim salah satu patung wanita hamil karyanya. Gambir melakukan hal yang sama berulang kali untuk memberikan roh bagi patung-patungnya. Hingga dia menemukan sebuah pintu berwarna merah di salah satu dinding studionya. Talyda melarangnya membuka pintu itu.
Hidup Gambir mulai terusik setelah beberapa kali menemukan pesan “tolong saya.” Rasa penasaran membimbingnya ke sebuah gedung bernama Herosase, tempat eksklusif untuk menyaksikan tayangan orang-orang sakit. Salah satu tayangannya adalah seorang anak yang selalu disiksa oleh kedua orang tuanya. Anak itulah yang mengirimkan pesan “tolong saya” kepada Gambir. Saat Gambir berusaha menolong anak tersebut dia justru mendapati penghianatan dari orang-orang terdekatnya.
Nonton film ini hanya karena penasaran bagaimana Joko Anwar menerjemahkan novel Sekar Ayu Asmara yang saya baca beberapa tahun lalu. Sebenarnya sudah agak lupa jalan cerita novel ini karena sudah lama banget bacanya, hanya ingat cerita utama dan twist ending-nya. Syukurlah, meski tak sama persis dengan novelnya (seperti halnya film adaptasi novel lain) film ini tidak kalah dari novelnya yang lumayan laris (Tapi saya lebih suka novel Kembar Keempatnya Sekar Ayu).
Setting-nya keren, terutama tangga memutar di gedung Herosase yang di-shoot dari atas. Casting-nya juga oke, pas banget Marsha memerankan wanita smart yang bisa membuat orang melakukan apa yang dia minta. Scoringnya lumayan menambah ketegangan juga. Tapi buat yang tak suka adegan berdarah-darah disarankan tidak menonton film ini. Apalagi pas adegan Gambir meletakkan janin-janin tak berdosa di rahim patung-patungnya. Huek….
Banyak iklannya juga... aneh aja lihat simbol dari salah satu operator telepon seluler, rokok, dll wara-wiri di beberapa adegan padahal settingnya gak cocok banget.
Paling tidak film ini bisa menjadi oase bagi perfilman Indonesia yang masih dijamuri film-film gak jelas yang bertema horor dan komedi dewasa.
Yang jelas, ending film ini membuat saya ngakak abis (bahkan beberapa pengunjung menelengkan kepala melihat kami) dan nyaris guling-gulingan di lantai kalau gak ingat bahwa kami sedang berada di bioskop! :D
Director: Joko Anwar
Scriptwriter: Joko Anwar (based on Sekar Ayu Asmara’s Novel)
Producer: Sheila Timothy – LifeLike Pictures
Cast: Fachry Albar, Marsha Timothy, Henidar Amroe, Tio Pakusadewo
Sebagai seorang pematung sukses, kehidupan Gambir nyaris sempurna. Dikelilingi oleh Talyda, istrinya yang cantik dan cerdas, sahabat-sabahat yang selalu mendukungnya serta ibu yang sangat perhatian. Tapi Gambir merasa dirinya kotor sejak Talyda memintanya meletakkan Arjasa – janin hasil hubungan mereka yang digugurkan saat mereka belum menikah – di dalam rahim salah satu patung wanita hamil karyanya. Gambir melakukan hal yang sama berulang kali untuk memberikan roh bagi patung-patungnya. Hingga dia menemukan sebuah pintu berwarna merah di salah satu dinding studionya. Talyda melarangnya membuka pintu itu.
Hidup Gambir mulai terusik setelah beberapa kali menemukan pesan “tolong saya.” Rasa penasaran membimbingnya ke sebuah gedung bernama Herosase, tempat eksklusif untuk menyaksikan tayangan orang-orang sakit. Salah satu tayangannya adalah seorang anak yang selalu disiksa oleh kedua orang tuanya. Anak itulah yang mengirimkan pesan “tolong saya” kepada Gambir. Saat Gambir berusaha menolong anak tersebut dia justru mendapati penghianatan dari orang-orang terdekatnya.
Nonton film ini hanya karena penasaran bagaimana Joko Anwar menerjemahkan novel Sekar Ayu Asmara yang saya baca beberapa tahun lalu. Sebenarnya sudah agak lupa jalan cerita novel ini karena sudah lama banget bacanya, hanya ingat cerita utama dan twist ending-nya. Syukurlah, meski tak sama persis dengan novelnya (seperti halnya film adaptasi novel lain) film ini tidak kalah dari novelnya yang lumayan laris (Tapi saya lebih suka novel Kembar Keempatnya Sekar Ayu).
Setting-nya keren, terutama tangga memutar di gedung Herosase yang di-shoot dari atas. Casting-nya juga oke, pas banget Marsha memerankan wanita smart yang bisa membuat orang melakukan apa yang dia minta. Scoringnya lumayan menambah ketegangan juga. Tapi buat yang tak suka adegan berdarah-darah disarankan tidak menonton film ini. Apalagi pas adegan Gambir meletakkan janin-janin tak berdosa di rahim patung-patungnya. Huek….
Banyak iklannya juga... aneh aja lihat simbol dari salah satu operator telepon seluler, rokok, dll wara-wiri di beberapa adegan padahal settingnya gak cocok banget.
Paling tidak film ini bisa menjadi oase bagi perfilman Indonesia yang masih dijamuri film-film gak jelas yang bertema horor dan komedi dewasa.
Yang jelas, ending film ini membuat saya ngakak abis (bahkan beberapa pengunjung menelengkan kepala melihat kami) dan nyaris guling-gulingan di lantai kalau gak ingat bahwa kami sedang berada di bioskop! :D
Friday, January 23, 2009
Pencarian Harta Karun Astria
Paris Pandora
Fira Basuki
Penerbit Grasindo
322 halaman
Cetakan I, 2008
Astria mendapat kejutan besar saat sedang mempersiapkan pesta pernikahannya dengan Rizki. Karena alasan yang tak jelas Rizki meminta Astria untuk menunda pernikahan mereka meski undangan telah dibagikan. Toro, partner kerja Astria di Astro Design, mengijinkan gadis yang dirundung duka itu pergi ke Paris untuk memenuhi undangan pemotretan sekaligus menyembuhkan lukanya. Astria pun terbang ke Paris dan secara mengejutkan bertemu dengan Hugo, salah satu gargoyle di Gereja Notre Dame. Hugo percaya bahwa Astria adalah keturunan Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga. Dari gargoyle itu Astria mengetahui bahwa raja-raja masa lalu memiliki harta karun yang sangat besar, sebagian dipercayakan kepada Hugo untuk dijaga.
Sepulang dari Paris, Astria ditugaskan menemui seorang calon klien dari Jepang di Bali. Dia kembali dikejutkan oleh munculnya makhluk yang selama ini hanya menjadi legenda, seekor naga bernama Nogosari. Naga yang belum sayapnya itu mengatakan bahwa suatu saat Astria dapat meminjam bahkan menggunakan harta karun raja-raja Nusantara. Saat Astria sudah siap.
Hari-hari wajar Astria masih dipenuhi dengan ingatan tentang Rizki. Lelaki itu menghilang tanpa jejak. Hingga muncul seorang wanita yang mengaku dekat dengan Rizki. Rizki akhirnya menampakkan diri, bukan untuk kembali kepada Astria tetapi untuk memutuskan pertunangan mereka. Astria makin terpuruk. Tapi setelah bertemu dengan Ki Samudro dan juga mendapat suntikan semangat dari guru spiritualnya, Mas Bowo, Astria mulai bangkit. Dia pun berusaha mengikhlaskan Rizki. Sementara itu Permadi dan Bayu Langit, lelaki-lelaki di masa lalunya meminta Astria untuk kembali. Bahkan Ari, fotografer yang memotretnya di Paris, datang jauh-jauh khusus untuk Astria. Tapi Astria belum bisa melupakan Rizki.
Suatu saat Astria kembali bertemu Nogosari. Naga itu menunjukkan sebagian harta yang dijaganya. Astria yang semula sangat ingin melihat harta itu justru menolak mengambilnya.
Novel ini adalah kelanjutan dari Astral Astria. Astria, gadis yang diberi kemampuan lebih untuk melihat makhluk-makhluk tak kasat mata bahkan beberapa kali melakukan perjalanan ke dunia antara. Saya tidak (baca: belum) membaca logi pertamanya tetapi tak menemui kesulitan mengikuti logi kedua ini. Beberapa sejarah dan legenda di jaman kerajaan-kerajaan di Nusantara mengalami masa keemasan dan kehancurannya melengkapi cerita ini. Aroma mistik pun terpapar gamblang. Santet, ruwatan, dan sekaten hanya sebagian dari yang disebut dalam novel. Tetapi ada juga pelajaran tentang kesabaran, keikhlasan, kekuatan doa dan pikiran positif. Tak ketinggalan pula buah pikiran unik dan segar dari Wimar Witoelar.
Nyaris sempurna. Itulah Astria. Cantik, cerdas, peduli sesama dan selalu mengampanyekan pengurangan global warming. Tapi saya tak mau menjadi dia karena saya mensyukuri ketidakmampuan saya untuk melihat hal-hal yang tak kasat mata. Ih, gak kebayang punya kemampuan “lebih” seperti Astria. :D
Dibanding beberapa buku Fira Basuki yang pernah saya baca, saya merasa kurang nyaman dengan cara bertuturnya di novel ini. Bahkan humor-humor yang dilontarkan pun terasa kurang menggigit.
Fira Basuki
Penerbit Grasindo
322 halaman
Cetakan I, 2008
Astria mendapat kejutan besar saat sedang mempersiapkan pesta pernikahannya dengan Rizki. Karena alasan yang tak jelas Rizki meminta Astria untuk menunda pernikahan mereka meski undangan telah dibagikan. Toro, partner kerja Astria di Astro Design, mengijinkan gadis yang dirundung duka itu pergi ke Paris untuk memenuhi undangan pemotretan sekaligus menyembuhkan lukanya. Astria pun terbang ke Paris dan secara mengejutkan bertemu dengan Hugo, salah satu gargoyle di Gereja Notre Dame. Hugo percaya bahwa Astria adalah keturunan Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga. Dari gargoyle itu Astria mengetahui bahwa raja-raja masa lalu memiliki harta karun yang sangat besar, sebagian dipercayakan kepada Hugo untuk dijaga.
Sepulang dari Paris, Astria ditugaskan menemui seorang calon klien dari Jepang di Bali. Dia kembali dikejutkan oleh munculnya makhluk yang selama ini hanya menjadi legenda, seekor naga bernama Nogosari. Naga yang belum sayapnya itu mengatakan bahwa suatu saat Astria dapat meminjam bahkan menggunakan harta karun raja-raja Nusantara. Saat Astria sudah siap.
Hari-hari wajar Astria masih dipenuhi dengan ingatan tentang Rizki. Lelaki itu menghilang tanpa jejak. Hingga muncul seorang wanita yang mengaku dekat dengan Rizki. Rizki akhirnya menampakkan diri, bukan untuk kembali kepada Astria tetapi untuk memutuskan pertunangan mereka. Astria makin terpuruk. Tapi setelah bertemu dengan Ki Samudro dan juga mendapat suntikan semangat dari guru spiritualnya, Mas Bowo, Astria mulai bangkit. Dia pun berusaha mengikhlaskan Rizki. Sementara itu Permadi dan Bayu Langit, lelaki-lelaki di masa lalunya meminta Astria untuk kembali. Bahkan Ari, fotografer yang memotretnya di Paris, datang jauh-jauh khusus untuk Astria. Tapi Astria belum bisa melupakan Rizki.
Suatu saat Astria kembali bertemu Nogosari. Naga itu menunjukkan sebagian harta yang dijaganya. Astria yang semula sangat ingin melihat harta itu justru menolak mengambilnya.
Novel ini adalah kelanjutan dari Astral Astria. Astria, gadis yang diberi kemampuan lebih untuk melihat makhluk-makhluk tak kasat mata bahkan beberapa kali melakukan perjalanan ke dunia antara. Saya tidak (baca: belum) membaca logi pertamanya tetapi tak menemui kesulitan mengikuti logi kedua ini. Beberapa sejarah dan legenda di jaman kerajaan-kerajaan di Nusantara mengalami masa keemasan dan kehancurannya melengkapi cerita ini. Aroma mistik pun terpapar gamblang. Santet, ruwatan, dan sekaten hanya sebagian dari yang disebut dalam novel. Tetapi ada juga pelajaran tentang kesabaran, keikhlasan, kekuatan doa dan pikiran positif. Tak ketinggalan pula buah pikiran unik dan segar dari Wimar Witoelar.
Nyaris sempurna. Itulah Astria. Cantik, cerdas, peduli sesama dan selalu mengampanyekan pengurangan global warming. Tapi saya tak mau menjadi dia karena saya mensyukuri ketidakmampuan saya untuk melihat hal-hal yang tak kasat mata. Ih, gak kebayang punya kemampuan “lebih” seperti Astria. :D
Dibanding beberapa buku Fira Basuki yang pernah saya baca, saya merasa kurang nyaman dengan cara bertuturnya di novel ini. Bahkan humor-humor yang dilontarkan pun terasa kurang menggigit.
Monday, January 19, 2009
Backpacking ke Luar Negeri Jadi Lebih Murah
Beberapa tahun terakhir ini makin menjamur berbagai situs, blog, milis, komunitas dan sejenisnya yang mengusung isu utama, backpacking. Orang-orang yang tadinya awam dengan seluk beluk backpacking pun mulai mencoba-coba mencicipi serunya jalan-jalan murah meriah horrey.
Diprediksikan mulai tahun ini, keberangkatan para backpacker ke luar negeri akan meningkat. Kok bisa? Salah satu penyebabnya adalah karena para backpacker bisa menghemat Rp.2.500.000,00 untuk setiap keberangkatan mereka ke luar negeri! Syaratnya? Cukup menunjukkan kartu keren ini!
Gampang kan? Mulai tahun ini pemerintah membebaskan pembayaran fiskal luar negeri untuk para pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Belum punya NPWP? Tak perlu khawatir, cukup datang ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat dengan membawa fotokopi KTP dan mengisi formulir yang telah disediakan. Dalam waktu paling lama satu hari kerja kita sudah bisa memiliki kartu seperti di atas. Untuk memperoleh informasi lebih lengkap mengenai hak dan kewajiban seorang Wajib Pajak, silakan menghubungi Kantor Pelayanan Pajak terdekat di lingkungan Anda atau Kring Pajak 500200.
Jadi buat yang mau backpacking ke luar negeri tapi belum punya NPWP, buruan daftar dulu biar bisa menghemat Rp.2.500.000,00. Lumayan kan uang segitu bisa dipakai untuk keperluan lain selama jalan-jalan. :D
Diprediksikan mulai tahun ini, keberangkatan para backpacker ke luar negeri akan meningkat. Kok bisa? Salah satu penyebabnya adalah karena para backpacker bisa menghemat Rp.2.500.000,00 untuk setiap keberangkatan mereka ke luar negeri! Syaratnya? Cukup menunjukkan kartu keren ini!
Gampang kan? Mulai tahun ini pemerintah membebaskan pembayaran fiskal luar negeri untuk para pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Belum punya NPWP? Tak perlu khawatir, cukup datang ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat dengan membawa fotokopi KTP dan mengisi formulir yang telah disediakan. Dalam waktu paling lama satu hari kerja kita sudah bisa memiliki kartu seperti di atas. Untuk memperoleh informasi lebih lengkap mengenai hak dan kewajiban seorang Wajib Pajak, silakan menghubungi Kantor Pelayanan Pajak terdekat di lingkungan Anda atau Kring Pajak 500200.
Jadi buat yang mau backpacking ke luar negeri tapi belum punya NPWP, buruan daftar dulu biar bisa menghemat Rp.2.500.000,00. Lumayan kan uang segitu bisa dipakai untuk keperluan lain selama jalan-jalan. :D
Saturday, January 17, 2009
You, Me, and The Palestine
Jalur Gaza masih saja dibombardir oleh milisi Israel. Bahkan serangan makin diintensifkan. Laporan terputus oleh jeda iklan. Aku pindah ke jendela kertas kerja. Aku menatap kosong kertas kerja berisi laporan kinerja pegawai bulan ini. Otakku buntu. Ah, Palestina. Aku langsung ingat kau saat kata Palestina hadir di hadapanku. Bohong. Sesuatu tertangkap batinku. Ya, dua pekan ini pikiranku penuh dengan dirimu, setiap saat. Tak hanya saat kata Palestina terlintas.
Aku beranjak dan menyeduh secangkir kopi. Percuma saja aku berlama-lama duduk di depan komputer dan berusaha menyelesaikan beberapa tugas yang tertunda. Menyeruput kopi sembari menyelonjorkan diri di sofa yang nyaman. Tenang. Itulah alasanku sering menghabiskan waktu di kantor setiap hari Sabtu, saat hanya ada aku dan Pak Marjuki yang sedang berjaga di pos satpam. Suara reporter sebuah stasiun televisi masih melaporkan kondisi di Jalur Gaza. I wish you were here. Tubuhku seolah tertarik ke kejadian hari itu. Perbincangan terakhir kita.
“Duniamu terlalu besar untukku. Kita hidup tidak sendirian, ada tanggung jawab sosial. Keluargamu, teman-temanmu… Gak kebayang reaksi mereka mengetahui orang seperti aku memasuki dunia mereka.” Aku menghela napas. Akhirnya aku sanggup mengungkapkan hal ini.
“Tapi, Ri…”
“Sudahlah. Berhentilah membodohi diri kita sendiri,” potongku.
“Jadi kamu menyerah. Menyerah pada hal yang bahkan belum tentu terjadi?”
Sekilas aku melihat semburat merah di wajahmu. Bukan, bukan semburat merah karena tersipu. Kau menahan amarahmu.
“Akan terlalu berat buatku, Fe.” Aku bahkan yakin jawabanku nyaris tak tertangkap telingaku sendiri. Kau berulang kali menggelengkan kepala.
“Tidak. Tidak bisa.”
“Bisa, Fe. Bisa kalau kita mau.”
“Ini tidak adil, Ri.” Kau masih menggeleng-gelengkan kepala. Cairan bening mulai menggenangi sudut matamu. “Kamu tidak bisa seperti ini.”
“Aku pikir ini yang terbaik buat kita. Aku tidak cukup layak berjalan di sisimu. Keluarga dan teman-temanmu pasti memandang sinis saat melihat seorang kurcaci bersanding dengan seorang peri.”
“Cukup.” Kau mulai terisak. “Kau pikir keluargaku, teman-temanku, sepicik itu?”
“Bukan begitu maksudku, Fe,” kataku mencoba memberi penjelasan. Aku manangkap pergelangan tanganmu saat kau beranjak dari tempatmu. “Dengarkan aku dulu.”
“Biarkan aku pergi, Ri,” katamu sambil melepaskan genggaman tanganku.
“Tapi…”
“Sudah. Aku bilang cukup.” Kau setengah berlari meninggalkanku yang masih merutuk kebodohanku. Maafkan aku telah membuatmu menagis.
Getaran telepon seluler di saku membawaku kembali ke masa kini. Sebuah pesan singkat. Darimu. Laporan dari perbatasan Palestina dan Mesir masih terdengar. Aku menarik napas panjang. Kamu di kantor kan? Bisa jemput aku sekarang?
Aku terperangah membaca pesanmu. Nyaris tak percaya, aku baca sekali lagi. Tak ada perubahan. Aku langsung ke pos Pak Marjuki dan meminjam helm.
“Mau kemana, Mas?”
“Jemput teman, Pak.” Pertanyaan beliau kujawab sambil berlari ke tempat parkir. Sejenak aku terpaku. Motor aku matikan kembali. Berbagai rasa berkecamuk. Gembira. Kaget. Resah. Ragu. Entah apa lagi. Kalau mau jujur, aku belum siap menghadapimu saat ini.
Aku menekan beberapa tombol hingga tersambung ke nomormu. Telingaku disambut suara merdu Dewi Lestari.
Yang cuma ingin diam duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air…
“Halo, Ri,” sapamu ceria di ujung telepon.
“Eh, hai.” Jawabku canggung.
“Bisa jemput kan?”
“Eh, iya. Ini baru mau jalan. Tunggu sebentar ya.” Aku masih tergagap.
“Oke.”
Tak sampai lima sepuluh menit aku tiba di tempat kau menunggu. Tak banyak kata terucap saat kau kubawa kembali ke kantor. Kau langsung menghenyakkan tubuh di sofa tempatku tadi mengingatmu.
“Lagi ngerjain apa, Ri?”
“Biasalah, laporan kinerja,” sahutku sambil menunjuk ke arah komputer. Aku menemaninya duduk.
“Oh.” Kau manggut-manggut dan mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan.
“Fe, aku minta maaf.”
“Atas apa?”
“Kejadian tempo hari.”
“Oh itu. Bukan salah kamu kok.” Katamu sambil meninju lengan kiriku.
“Ouch.” Teriakku pura-pura kesakitan.
“Aku yang seharusnya minta maaf. Kemarin itu aku terlalu terbawa emosi. Sori ya, Ri.”
“It’s okey.” Kecanggunganku mulai mencair. “Jadi, kita berteman lagi?” tanyaku sembari menyodorkan jari kelingking. Kau menggeleng tegas.
“Tidak.”
“Kenapa? Apakah kita tidak bisa memulainya lagi?”
“Aku tidak mau hanya jadi temanmu, Ri.”
“Fe, jangan mulai lagi deh,” kataku pura-pura kesal.
“Aku serius, Ri.”
“Kamu pikir aku gak serius?”
“Dengar. Aku nggak ngerti apa yang ada dipikiranmu. Yang pasti, aku akan memperjuangkan ini. Dan aku gak akan sendirian. Aku butuh kamu, Ri.”
Hening. Suara reporter yang melaporkan keadaan terakhir dari agresi militer Israel masih terdengar. Juga beberapa ledakan dan deru pesawat serta jerit memilukan. Ah, Palestina.
“Bisa kan?”
“Eh, apa?” Aku tergeragap. Inilah yang aku takutkan.
“Menemaniku memperjuangkan ini. Memperjuangkan kita.”
“Fe, aku kan sudah bilang kalau…”
“Jangan katakan hal itu lagi,” potongmu. “Hanya karena karirku lebih tinggi dari kamu, dan juga penghasilanku, kamu merasa nggak layak?”
“Bukan itu saja, Fe.” Sanggahku. “Kamu terlahir dan dibesarkan di kota besar. Di tengah keluarga yang berpikiran modern. Sementara aku? Aku lahir dan dibesarkan di kota yang bahkan di peta pun orang sulit menemukannya. Karena keberuntungan saja aku bisa kuliah di ibu kota. Tempat terakhir yang ada di pikiranku untuk mencari penghidupan. Aku tak bisa mengikuti mobilitasnya yang tinggi. Juga gaya hidup konsumtifnya. Makanya aku kembali ke sini. Aku pernah bilang kan?” Kau mengangguk. Masih memberiku kesempatan menyelesaikan omongan. “Satu lagi. Kamu nggak sadar ya? Kita itu seperti Beauty and The Beast.”
“Beauty and The Beast, eh? Kenapa nggak WALL-E and EVE?
“Terserah kamu deh.”
“Berarti bakal berakhir and they live happily ever after dong,” katamu dengan senyum menggoda.
“Tapi kita bukan hidup di dunia Disney, Fe.” Aku tak tahu mesti berkata apa dan makin membenamkan tubuh di sofa empuk ini.
“Ri, ketakutan-ketakutan kamu terlalu mudah dibantah.”
“Eh?”
“Gak semua orang berpikiran sempit seperti itu. Keluargaku adalah orang-orang yang selalu mendukung tindakanku, semuanya. Yah, sepanjang tidak bertentangan dengan agama. Mereka percaya, apa pun yang akan lakukan sudah kupikirkan baik buruknya. Kalau suatu saat aku menemui kendala, itu sudah menjadi risiko yang harus aku tanggung. Mereka tak akan menyalahkan keputusanku di masa lalu.” Kau berhenti sesaat. “Memang sih, mungkin ada beberapa kerabat yang akan meremehkan, itu memang sudah tabiat mereka. Selama ini mereka selalu iri melihat keberhasilanku, keluarga kami.”
“Dan aku nggak keberatan tinggal di kota kecil ini. Aku bisa mengajukan pindah. Lagi pula tempatku bekerja mempunyai kantor-kantor perwakilan hingga di daerah yang tidak bisa kamu temukan di peta. Luwuk? Bau-bau? Toli-toli? Gak masalah. Asal sama kamu.” Kau memamerkan senyum termanismu. “Hei, kita bisa juga membuka lapangan kerja kan? Tak hanya terpaku menjadi orang kantoran.” Seolah menemukan ide brilian, kau langsung bersemangat mengungkapkan berbagai khayalmu tentang merintis usaha. Aku masih mendengarkan kata-kata yang berlompatan dari bibirmu.
“Tahu kenapa aku suka sekali dengan WALL-E? Bukan hanya karena visualisasi dan scoring yang mantap, juga isu-isu yang diangkat. Lingkungan hidup, kesehatan, hubungan antarmanusia.” Kau terdiam sejenak. “Aku melihat dirimu dalam sosok WALL-E. Dan aku berharap kau akan berjuang seperti dia. Lagi pula, kamu gak malu-maluin kok buat digandeng ke kondangan.” Tiba-tiba kamu terbahak-bahak setelah menyelesaikan kalimat terakhir.
“Kamu kenapa, Fe?” Aku menyentuh bahumu.
“Sebentar,” katamu masih terbahak dan mengusap cairan bening di sudut matamu.
“Macam orang kesambet aja.” Kataku merajuk. Kenapa sih gadis ini?
“Sadar nggak sih kalau kamu lucu, aneh bin ajaib, antik, dan meski kadang naif.”
“Lalu apa hubungannya dengan ketawa setanmu tadi?” Sumpah aku tak mengerti apa yang dipikirkannya.
“Ri, kamu itu benar-benar pemikir yah. Tiap hal kamu pikirkan dengan panjang. Kamu bahkan memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Kemarin adalah sejarah, dan kita tak mungkin kembali untuk mengubahnya. Esok adalah misteri, jadi biarkan saja tetap menjadi sebuah tanya sampai kita bertemu dengannya. Hari inilah yang harus kita hadapi, kita perjuangkan. Hiduplah untuk hari ini, Ri.” Kamu terbahak lagi. “Pantas saja kau tampak lebih berumur dari usiamu sebenarnya. Banyak pikiran gelap di situ.” Katamu mengarahkan telunjuk ke pelipisku. “Ijinkan aku memberikan sedikit pelita di sana.”
“Fe…”
“Aku percaya kita bisa, Ri.”
Senyap. Korban jiwa kembali berjatuhan saat pasukan Israel menggempur sebuah gedung milik PBB yang dijadikan tempat pengungsian warga Palestina.
Aku beranjak dan menyeduh secangkir kopi. Percuma saja aku berlama-lama duduk di depan komputer dan berusaha menyelesaikan beberapa tugas yang tertunda. Menyeruput kopi sembari menyelonjorkan diri di sofa yang nyaman. Tenang. Itulah alasanku sering menghabiskan waktu di kantor setiap hari Sabtu, saat hanya ada aku dan Pak Marjuki yang sedang berjaga di pos satpam. Suara reporter sebuah stasiun televisi masih melaporkan kondisi di Jalur Gaza. I wish you were here. Tubuhku seolah tertarik ke kejadian hari itu. Perbincangan terakhir kita.
“Duniamu terlalu besar untukku. Kita hidup tidak sendirian, ada tanggung jawab sosial. Keluargamu, teman-temanmu… Gak kebayang reaksi mereka mengetahui orang seperti aku memasuki dunia mereka.” Aku menghela napas. Akhirnya aku sanggup mengungkapkan hal ini.
“Tapi, Ri…”
“Sudahlah. Berhentilah membodohi diri kita sendiri,” potongku.
“Jadi kamu menyerah. Menyerah pada hal yang bahkan belum tentu terjadi?”
Sekilas aku melihat semburat merah di wajahmu. Bukan, bukan semburat merah karena tersipu. Kau menahan amarahmu.
“Akan terlalu berat buatku, Fe.” Aku bahkan yakin jawabanku nyaris tak tertangkap telingaku sendiri. Kau berulang kali menggelengkan kepala.
“Tidak. Tidak bisa.”
“Bisa, Fe. Bisa kalau kita mau.”
“Ini tidak adil, Ri.” Kau masih menggeleng-gelengkan kepala. Cairan bening mulai menggenangi sudut matamu. “Kamu tidak bisa seperti ini.”
“Aku pikir ini yang terbaik buat kita. Aku tidak cukup layak berjalan di sisimu. Keluarga dan teman-temanmu pasti memandang sinis saat melihat seorang kurcaci bersanding dengan seorang peri.”
“Cukup.” Kau mulai terisak. “Kau pikir keluargaku, teman-temanku, sepicik itu?”
“Bukan begitu maksudku, Fe,” kataku mencoba memberi penjelasan. Aku manangkap pergelangan tanganmu saat kau beranjak dari tempatmu. “Dengarkan aku dulu.”
“Biarkan aku pergi, Ri,” katamu sambil melepaskan genggaman tanganku.
“Tapi…”
“Sudah. Aku bilang cukup.” Kau setengah berlari meninggalkanku yang masih merutuk kebodohanku. Maafkan aku telah membuatmu menagis.
Getaran telepon seluler di saku membawaku kembali ke masa kini. Sebuah pesan singkat. Darimu. Laporan dari perbatasan Palestina dan Mesir masih terdengar. Aku menarik napas panjang. Kamu di kantor kan? Bisa jemput aku sekarang?
Aku terperangah membaca pesanmu. Nyaris tak percaya, aku baca sekali lagi. Tak ada perubahan. Aku langsung ke pos Pak Marjuki dan meminjam helm.
“Mau kemana, Mas?”
“Jemput teman, Pak.” Pertanyaan beliau kujawab sambil berlari ke tempat parkir. Sejenak aku terpaku. Motor aku matikan kembali. Berbagai rasa berkecamuk. Gembira. Kaget. Resah. Ragu. Entah apa lagi. Kalau mau jujur, aku belum siap menghadapimu saat ini.
Aku menekan beberapa tombol hingga tersambung ke nomormu. Telingaku disambut suara merdu Dewi Lestari.
Yang cuma ingin diam duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air…
“Halo, Ri,” sapamu ceria di ujung telepon.
“Eh, hai.” Jawabku canggung.
“Bisa jemput kan?”
“Eh, iya. Ini baru mau jalan. Tunggu sebentar ya.” Aku masih tergagap.
“Oke.”
Tak sampai lima sepuluh menit aku tiba di tempat kau menunggu. Tak banyak kata terucap saat kau kubawa kembali ke kantor. Kau langsung menghenyakkan tubuh di sofa tempatku tadi mengingatmu.
“Lagi ngerjain apa, Ri?”
“Biasalah, laporan kinerja,” sahutku sambil menunjuk ke arah komputer. Aku menemaninya duduk.
“Oh.” Kau manggut-manggut dan mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan.
“Fe, aku minta maaf.”
“Atas apa?”
“Kejadian tempo hari.”
“Oh itu. Bukan salah kamu kok.” Katamu sambil meninju lengan kiriku.
“Ouch.” Teriakku pura-pura kesakitan.
“Aku yang seharusnya minta maaf. Kemarin itu aku terlalu terbawa emosi. Sori ya, Ri.”
“It’s okey.” Kecanggunganku mulai mencair. “Jadi, kita berteman lagi?” tanyaku sembari menyodorkan jari kelingking. Kau menggeleng tegas.
“Tidak.”
“Kenapa? Apakah kita tidak bisa memulainya lagi?”
“Aku tidak mau hanya jadi temanmu, Ri.”
“Fe, jangan mulai lagi deh,” kataku pura-pura kesal.
“Aku serius, Ri.”
“Kamu pikir aku gak serius?”
“Dengar. Aku nggak ngerti apa yang ada dipikiranmu. Yang pasti, aku akan memperjuangkan ini. Dan aku gak akan sendirian. Aku butuh kamu, Ri.”
Hening. Suara reporter yang melaporkan keadaan terakhir dari agresi militer Israel masih terdengar. Juga beberapa ledakan dan deru pesawat serta jerit memilukan. Ah, Palestina.
“Bisa kan?”
“Eh, apa?” Aku tergeragap. Inilah yang aku takutkan.
“Menemaniku memperjuangkan ini. Memperjuangkan kita.”
“Fe, aku kan sudah bilang kalau…”
“Jangan katakan hal itu lagi,” potongmu. “Hanya karena karirku lebih tinggi dari kamu, dan juga penghasilanku, kamu merasa nggak layak?”
“Bukan itu saja, Fe.” Sanggahku. “Kamu terlahir dan dibesarkan di kota besar. Di tengah keluarga yang berpikiran modern. Sementara aku? Aku lahir dan dibesarkan di kota yang bahkan di peta pun orang sulit menemukannya. Karena keberuntungan saja aku bisa kuliah di ibu kota. Tempat terakhir yang ada di pikiranku untuk mencari penghidupan. Aku tak bisa mengikuti mobilitasnya yang tinggi. Juga gaya hidup konsumtifnya. Makanya aku kembali ke sini. Aku pernah bilang kan?” Kau mengangguk. Masih memberiku kesempatan menyelesaikan omongan. “Satu lagi. Kamu nggak sadar ya? Kita itu seperti Beauty and The Beast.”
“Beauty and The Beast, eh? Kenapa nggak WALL-E and EVE?
“Terserah kamu deh.”
“Berarti bakal berakhir and they live happily ever after dong,” katamu dengan senyum menggoda.
“Tapi kita bukan hidup di dunia Disney, Fe.” Aku tak tahu mesti berkata apa dan makin membenamkan tubuh di sofa empuk ini.
“Ri, ketakutan-ketakutan kamu terlalu mudah dibantah.”
“Eh?”
“Gak semua orang berpikiran sempit seperti itu. Keluargaku adalah orang-orang yang selalu mendukung tindakanku, semuanya. Yah, sepanjang tidak bertentangan dengan agama. Mereka percaya, apa pun yang akan lakukan sudah kupikirkan baik buruknya. Kalau suatu saat aku menemui kendala, itu sudah menjadi risiko yang harus aku tanggung. Mereka tak akan menyalahkan keputusanku di masa lalu.” Kau berhenti sesaat. “Memang sih, mungkin ada beberapa kerabat yang akan meremehkan, itu memang sudah tabiat mereka. Selama ini mereka selalu iri melihat keberhasilanku, keluarga kami.”
“Dan aku nggak keberatan tinggal di kota kecil ini. Aku bisa mengajukan pindah. Lagi pula tempatku bekerja mempunyai kantor-kantor perwakilan hingga di daerah yang tidak bisa kamu temukan di peta. Luwuk? Bau-bau? Toli-toli? Gak masalah. Asal sama kamu.” Kau memamerkan senyum termanismu. “Hei, kita bisa juga membuka lapangan kerja kan? Tak hanya terpaku menjadi orang kantoran.” Seolah menemukan ide brilian, kau langsung bersemangat mengungkapkan berbagai khayalmu tentang merintis usaha. Aku masih mendengarkan kata-kata yang berlompatan dari bibirmu.
“Tahu kenapa aku suka sekali dengan WALL-E? Bukan hanya karena visualisasi dan scoring yang mantap, juga isu-isu yang diangkat. Lingkungan hidup, kesehatan, hubungan antarmanusia.” Kau terdiam sejenak. “Aku melihat dirimu dalam sosok WALL-E. Dan aku berharap kau akan berjuang seperti dia. Lagi pula, kamu gak malu-maluin kok buat digandeng ke kondangan.” Tiba-tiba kamu terbahak-bahak setelah menyelesaikan kalimat terakhir.
“Kamu kenapa, Fe?” Aku menyentuh bahumu.
“Sebentar,” katamu masih terbahak dan mengusap cairan bening di sudut matamu.
“Macam orang kesambet aja.” Kataku merajuk. Kenapa sih gadis ini?
“Sadar nggak sih kalau kamu lucu, aneh bin ajaib, antik, dan meski kadang naif.”
“Lalu apa hubungannya dengan ketawa setanmu tadi?” Sumpah aku tak mengerti apa yang dipikirkannya.
“Ri, kamu itu benar-benar pemikir yah. Tiap hal kamu pikirkan dengan panjang. Kamu bahkan memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Kemarin adalah sejarah, dan kita tak mungkin kembali untuk mengubahnya. Esok adalah misteri, jadi biarkan saja tetap menjadi sebuah tanya sampai kita bertemu dengannya. Hari inilah yang harus kita hadapi, kita perjuangkan. Hiduplah untuk hari ini, Ri.” Kamu terbahak lagi. “Pantas saja kau tampak lebih berumur dari usiamu sebenarnya. Banyak pikiran gelap di situ.” Katamu mengarahkan telunjuk ke pelipisku. “Ijinkan aku memberikan sedikit pelita di sana.”
“Fe…”
“Aku percaya kita bisa, Ri.”
Senyap. Korban jiwa kembali berjatuhan saat pasukan Israel menggempur sebuah gedung milik PBB yang dijadikan tempat pengungsian warga Palestina.
Thursday, January 15, 2009
Perjalanan Belum Usai...
Ketemu Jagoan Baru
Selisih beberapa hari semenjak kepulangan saya dari acara jalan-jalan ke Semarang-Magelang-Yogyakarta, saya harus memenuhi janji mengunjungi Mbak Mila dan jagoan barunya di Purwakarta. Mbak Mila melahirkan persis sehari sebelum keberangkatan backpacking saya dan kondisi si orok sempat membuat saya panik. Infeksi karena kehabisan air ketuban dan terpaksa dirawat dalam inkubator.
Alhamdulillah, jagoan yang diberi nama Ghazy Musyadad ini berhasil bertahan setelah dirawat intensif selama tiga hari dan diperbolehkan pulang dua hari berikutnya. Ini dia jagoan baru yang tampangnya persis banget sama Mas-nya yang suka ngamuk-ngamuk gak jelas.
Gamu… itu panggilan dari Hazza buat adiknya. Kirain singkatan dari nama panjang Ghazy, ternyata Gamu adalah nama tokoh utama di serial Ultraman Tiga favoritnya. Haduh… :(
Waterboom with Two Brondongs ;)
Hari berikutnya, Sabtu, 03 Januari 2009, sekitar jam 12.00 WIB, saya dan Adi sudah berada di Cikarang. Mampir dulu di Mall LC untuk makan siang dan sholat sembari menunggu Heri yang baru pulang dari tempat kerjanya. Heri ini teman kuliah Adi di Polines, tapi dia lebih beruntung karena langsung bekerja di tempat pertama dia mendapat panggilan wawancara kerja. Kami ketemu Heri di depan Waterboom LC. Yup, acara hari ini adalah berbasah-basar ria di Waterboom. Mumpung ada promo dari Telkom Flexi berupa potongan harga tiket masuk sebesar 40%.
Sebelumnya, saya menduga kalau di Waterboom pasti bakal kayak cendol di musim liburan seperti ini. Ternyata dugaan saya tak meleset. Banyak kendaraan pengunjung yang diparkir di luar areal karena semua sudut tempat parkir sudah terisi penuh. Tapi karena sudah siap kami sih santai saja masuk ke lokasi. Tadinya kami menyewa dua loker untuk menyimpan barang, eh gak muat. Kami pun nambah satu loker. Siap? Hahaha... tunggu dulu. Saya dan Adi malah lupa menyimpan sandal kami di loker! Alhasil kami menyewa satu loker lagi. :D
Kami langsung sewa ban dobel, Rp.25.000,00. Kalau ban dikembalikan dalam dua jam, uang deposit sebesar Rp.10.000,00 akan dikembalikan. Wuih... antrian panjang menanti di jalur peluncuran Pita Debar-debar (seluncuran dengan ban).
Tapi di jalur peluncuran Pita Gurita yang tidak menggunakan ban malah sebaliknya. Makin sore pengunjung makin berkurang. Lumayanlah mengurangi kepadatan cendol. Setelah puas teriak-teriak di Pita Debar-debar dan Pita Gurita (yang ini lebih seru!) ditambah dua kali keliling Lazy River, kami pun mengakhirinya sebelum pukul 17.00 WIB. Kami pun mampir lagi ke Mall LC untuk makan karena cacing-cacing di perut sudah berdemonstrasi.
Safari Trek & Outbound
Seolah tak mempunyai urat capek, sepekan berikutnya (Sabtu, 10 Januari 2009) saya terpaksa mengikuti acara kantor dalam rangka syukuran pencapaian target penerimaan tahun 2008. Saya bilang terpaksa karena saya memang merasa belum cukup beristirahat sejak kepulangan saya dari Semarang. Tapi gak enak juga kalau gak ikut. Yah, itung-itung sebagai ajang reparasi pikiran yang semingu terakhir sedang penat.
Rombongan dari Kemanggisan berangkat pukul 06.00 WIB. Semula direncanakan ada lima orang dalam rombongan ini, akhirnya menyusut menjadi tiga orang. APV biru bergincu merah ini pun meluncur ke Taman Safari, Cisarua, Bogor. Hujan yang turun semenjak subuh masih menyisakan beberapa titik-titik airnya. Sebelum pukul 07.30 WIB kami sudah sampai di areal parkir Safari Load. Gerimis.
Sebelum dua rombongan besar diberangkatkan menyusuri jalur safari trek, kami masing-masing mendapat sebuah ponco untuk melindungi diri dari hujan. Etape pertama berjarak 3 km dengan satu kali mampir di tempat istirahat. Lumayan juga medannya. Sekilas tertangkap sudut mata saya, keterangan berapa ketinggian kami saat itu, sekitar 1140 dpl. Alhamdulillah, setelah tempat tadi cuaca menjadi lebih bersahabat. Etape pertama berakir di halaman Café Macan, dan langsung dilanjutkan dengan beberapa permainan menantang. Jembatan Macan istilah yang digunakan untuk jembatan tali dengan ketinggian 6m. Flying Fox, duh… curam banget jalurnya. Mana pendek banget, belum puas teriak eh udah kelar.
Acara paling dinanti, makan siang! Sayangnya, saya kurang bersemangat menyantapnya karena nasinya keras. Lalu ada acara bagi-bagi doorprize, lumayan lah dapat bathroom scale alias timbangan. Sayang di kos sudah ada. Setelah makan siang, nyanyi-nyanyi dan bagi-bagi hadiah, kami harus kembali jalan kaki sejauh 800 meter ke tempat penjemputan bis. Ini etape kedua dari safari trek. Sempat ngobrol dengan pendamping dari Taman Safari tentang Hotel Kemah di dekat Café Macan. Satu tenda dikenai biaya Rp.550.000,00/malam dengan fasilitas outbound tak terbatas. Sepertinya seru juga kalau kapan-kapan mencoba bermalam di alam terbuka. Tendanya pakai panggung kok, jadi tidak langsung menyentuh tanah. Bebas becek deh. :D
Keluar dari Taman Safari sekitar pukul 15.15 WIB dan kami nyaris lumutan di mobil karena jalan hanya dibuka satu arah selama satu jam! Fyuh… akhirnya sampai juga di kos sebelum azan Maghrib berkumandang.
Selisih beberapa hari semenjak kepulangan saya dari acara jalan-jalan ke Semarang-Magelang-Yogyakarta, saya harus memenuhi janji mengunjungi Mbak Mila dan jagoan barunya di Purwakarta. Mbak Mila melahirkan persis sehari sebelum keberangkatan backpacking saya dan kondisi si orok sempat membuat saya panik. Infeksi karena kehabisan air ketuban dan terpaksa dirawat dalam inkubator.
Alhamdulillah, jagoan yang diberi nama Ghazy Musyadad ini berhasil bertahan setelah dirawat intensif selama tiga hari dan diperbolehkan pulang dua hari berikutnya. Ini dia jagoan baru yang tampangnya persis banget sama Mas-nya yang suka ngamuk-ngamuk gak jelas.
Gamu… itu panggilan dari Hazza buat adiknya. Kirain singkatan dari nama panjang Ghazy, ternyata Gamu adalah nama tokoh utama di serial Ultraman Tiga favoritnya. Haduh… :(
Waterboom with Two Brondongs ;)
Hari berikutnya, Sabtu, 03 Januari 2009, sekitar jam 12.00 WIB, saya dan Adi sudah berada di Cikarang. Mampir dulu di Mall LC untuk makan siang dan sholat sembari menunggu Heri yang baru pulang dari tempat kerjanya. Heri ini teman kuliah Adi di Polines, tapi dia lebih beruntung karena langsung bekerja di tempat pertama dia mendapat panggilan wawancara kerja. Kami ketemu Heri di depan Waterboom LC. Yup, acara hari ini adalah berbasah-basar ria di Waterboom. Mumpung ada promo dari Telkom Flexi berupa potongan harga tiket masuk sebesar 40%.
Sebelumnya, saya menduga kalau di Waterboom pasti bakal kayak cendol di musim liburan seperti ini. Ternyata dugaan saya tak meleset. Banyak kendaraan pengunjung yang diparkir di luar areal karena semua sudut tempat parkir sudah terisi penuh. Tapi karena sudah siap kami sih santai saja masuk ke lokasi. Tadinya kami menyewa dua loker untuk menyimpan barang, eh gak muat. Kami pun nambah satu loker. Siap? Hahaha... tunggu dulu. Saya dan Adi malah lupa menyimpan sandal kami di loker! Alhasil kami menyewa satu loker lagi. :D
Kami langsung sewa ban dobel, Rp.25.000,00. Kalau ban dikembalikan dalam dua jam, uang deposit sebesar Rp.10.000,00 akan dikembalikan. Wuih... antrian panjang menanti di jalur peluncuran Pita Debar-debar (seluncuran dengan ban).
Tapi di jalur peluncuran Pita Gurita yang tidak menggunakan ban malah sebaliknya. Makin sore pengunjung makin berkurang. Lumayanlah mengurangi kepadatan cendol. Setelah puas teriak-teriak di Pita Debar-debar dan Pita Gurita (yang ini lebih seru!) ditambah dua kali keliling Lazy River, kami pun mengakhirinya sebelum pukul 17.00 WIB. Kami pun mampir lagi ke Mall LC untuk makan karena cacing-cacing di perut sudah berdemonstrasi.
Safari Trek & Outbound
Seolah tak mempunyai urat capek, sepekan berikutnya (Sabtu, 10 Januari 2009) saya terpaksa mengikuti acara kantor dalam rangka syukuran pencapaian target penerimaan tahun 2008. Saya bilang terpaksa karena saya memang merasa belum cukup beristirahat sejak kepulangan saya dari Semarang. Tapi gak enak juga kalau gak ikut. Yah, itung-itung sebagai ajang reparasi pikiran yang semingu terakhir sedang penat.
Rombongan dari Kemanggisan berangkat pukul 06.00 WIB. Semula direncanakan ada lima orang dalam rombongan ini, akhirnya menyusut menjadi tiga orang. APV biru bergincu merah ini pun meluncur ke Taman Safari, Cisarua, Bogor. Hujan yang turun semenjak subuh masih menyisakan beberapa titik-titik airnya. Sebelum pukul 07.30 WIB kami sudah sampai di areal parkir Safari Load. Gerimis.
Sebelum dua rombongan besar diberangkatkan menyusuri jalur safari trek, kami masing-masing mendapat sebuah ponco untuk melindungi diri dari hujan. Etape pertama berjarak 3 km dengan satu kali mampir di tempat istirahat. Lumayan juga medannya. Sekilas tertangkap sudut mata saya, keterangan berapa ketinggian kami saat itu, sekitar 1140 dpl. Alhamdulillah, setelah tempat tadi cuaca menjadi lebih bersahabat. Etape pertama berakir di halaman Café Macan, dan langsung dilanjutkan dengan beberapa permainan menantang. Jembatan Macan istilah yang digunakan untuk jembatan tali dengan ketinggian 6m. Flying Fox, duh… curam banget jalurnya. Mana pendek banget, belum puas teriak eh udah kelar.
Acara paling dinanti, makan siang! Sayangnya, saya kurang bersemangat menyantapnya karena nasinya keras. Lalu ada acara bagi-bagi doorprize, lumayan lah dapat bathroom scale alias timbangan. Sayang di kos sudah ada. Setelah makan siang, nyanyi-nyanyi dan bagi-bagi hadiah, kami harus kembali jalan kaki sejauh 800 meter ke tempat penjemputan bis. Ini etape kedua dari safari trek. Sempat ngobrol dengan pendamping dari Taman Safari tentang Hotel Kemah di dekat Café Macan. Satu tenda dikenai biaya Rp.550.000,00/malam dengan fasilitas outbound tak terbatas. Sepertinya seru juga kalau kapan-kapan mencoba bermalam di alam terbuka. Tendanya pakai panggung kok, jadi tidak langsung menyentuh tanah. Bebas becek deh. :D
Keluar dari Taman Safari sekitar pukul 15.15 WIB dan kami nyaris lumutan di mobil karena jalan hanya dibuka satu arah selama satu jam! Fyuh… akhirnya sampai juga di kos sebelum azan Maghrib berkumandang.
Tuesday, January 13, 2009
Berbuat untuk Palestina
Sudah lebih dari dua pekan Israel memborbardir beberapa kota di Jalur Gaza, Palestina. Sudah hampir seribu orang tewas dan ribuan lainnya terluka bahkan harus mengalami cacat permanen akibat serangan ini. Dalihnya apa lagi kalau bukan memburu pasukan Hamas. Nyatanya, sebagian besar korban yang tewas adalah wanita dan anak-anak. Resolusi PBB tentang gencatan senjata di Timur Tengah telah pula dikeluarkan beberapa hari yang lalu, tapi agresi tetap saja berlangsung. Israel seolah mendapat angin surga karena saudara tuanya adalah satu-satunya negara yang memilih abstain dalam pengambilan keputusan gencatan senjata.
Hampir semua orang di berbagai negara menyuarakan kecaman mereka terhadap Israel. Tapi tidak semua Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan yang melakukan hal nyata bagi terciptanya perdamaian di Timur Tengah. Bahkan para pemimpin Liga Arab. Mereka sepertinya terlalu takut berurusan dengan anak emas Amerika ini.
Lalu, apa bukti nyata yang bisa kita lakukan untuk membantu penduduk Palestina, terutama yang berada di Jalur Gaza? Demonstrasi? Pengerahan masa besar-besaran? Itu sah-sah saja. Paling tidak menunjukkan kepada dunia bahwa kita di Indonesia juga mendukung perjuangan rakyat Palestina. Bagi yang mempunyai rejeki lebih, beberapa lembaga membuka rekening khusus yang diperuntukkan bagi bantuan ke Palestina. Kalau punya pulsa lebih, silakan berinfak melalui pesan singkat premium. Bahkan Pemerintah membuka kesempatan bagi tenaga medis dan kemanusiaan untuk diberangkatkan ke Jalur Gaza. Beberapa organisasi kemasyarakatan pun membuka pendaftaran relawan ke Palestina.
Meski yang terjadi Palestina adalah sebuah konflik kedaulatan dan kemanusiaan, tak bisa dipungkiri bahwa banyak orang menganggap bahwa ini juga sebuah perang agama. Yahudi dan Islam. Dan para petinggi Israel tak akan gentar memerangi Palestina selama Muslim di dunia masih belum bersatu. Musuh-musuh Islam hanya akan takut apabila jumlah jamaah sholat Subuh sama banyak dengan jamaah sholat Jumat. Mereka tahu bahwa Islam akan kuat bila hal itu terjadi. Jadi selama umat Islam masih bermalas-malasan menunaikan sholat Subuh berjamaah di masjid, mereka akan tetap menindas saudara-saudara kita.
Meski kos hanya berjarak satu rumah dengan sebuah surau, tak sekali pun saya mengikuti sholat Subuh berjamaah. Karena saya seorang perempuan dan Rasulullah menganjurkan bagi perempuan untuk sholat di rumah. Hihihi... bukan bermaksud membela diri, tapi memang begitulah adanya. Nah, buat saudara-saudaraku sekalian yang mengaku laki-laki... ayo gentarkan para musuh Islam dengan menyatukan barisan dan menyemarakkan jamaah sholat Subuh di lingkungan masing-masing.
Mau jadi relawan? Silakan. Mau demo? Silakan. Menulis di blog? Silakan. Mau menyumbang sebagian rejeki? Silakan. Mau menyumbang dengan pulsa? Silakan.
Jadi relawan tak mampu? Tak apa. Ikut demo juga tak sanggup? Tak apa. Tidak bisa membuat tulisan di blog atau media massa? Tak apa. Tak ada rejeki lebih untuk disumbangkan? Tak apa. Pulsa juga gak punya (duh, keterlaluan banget sih)? Tak apa. Paling tidak kita masih bisa berdoa agar Allah memberikan kekuatan dan kemudahan untuk saudara-saudara kita di Palestina. Dan jangan lupa, sholat Subuh berjamaah di masjid atau surau di lingkungan kita!
Catatan:
Tulisan ini dibuat karena merasa disindir oleh Om Jon waktu kultum ba’da Dhuhur sepekan yang lalu. :D
Hampir semua orang di berbagai negara menyuarakan kecaman mereka terhadap Israel. Tapi tidak semua Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan yang melakukan hal nyata bagi terciptanya perdamaian di Timur Tengah. Bahkan para pemimpin Liga Arab. Mereka sepertinya terlalu takut berurusan dengan anak emas Amerika ini.
Lalu, apa bukti nyata yang bisa kita lakukan untuk membantu penduduk Palestina, terutama yang berada di Jalur Gaza? Demonstrasi? Pengerahan masa besar-besaran? Itu sah-sah saja. Paling tidak menunjukkan kepada dunia bahwa kita di Indonesia juga mendukung perjuangan rakyat Palestina. Bagi yang mempunyai rejeki lebih, beberapa lembaga membuka rekening khusus yang diperuntukkan bagi bantuan ke Palestina. Kalau punya pulsa lebih, silakan berinfak melalui pesan singkat premium. Bahkan Pemerintah membuka kesempatan bagi tenaga medis dan kemanusiaan untuk diberangkatkan ke Jalur Gaza. Beberapa organisasi kemasyarakatan pun membuka pendaftaran relawan ke Palestina.
Meski yang terjadi Palestina adalah sebuah konflik kedaulatan dan kemanusiaan, tak bisa dipungkiri bahwa banyak orang menganggap bahwa ini juga sebuah perang agama. Yahudi dan Islam. Dan para petinggi Israel tak akan gentar memerangi Palestina selama Muslim di dunia masih belum bersatu. Musuh-musuh Islam hanya akan takut apabila jumlah jamaah sholat Subuh sama banyak dengan jamaah sholat Jumat. Mereka tahu bahwa Islam akan kuat bila hal itu terjadi. Jadi selama umat Islam masih bermalas-malasan menunaikan sholat Subuh berjamaah di masjid, mereka akan tetap menindas saudara-saudara kita.
Meski kos hanya berjarak satu rumah dengan sebuah surau, tak sekali pun saya mengikuti sholat Subuh berjamaah. Karena saya seorang perempuan dan Rasulullah menganjurkan bagi perempuan untuk sholat di rumah. Hihihi... bukan bermaksud membela diri, tapi memang begitulah adanya. Nah, buat saudara-saudaraku sekalian yang mengaku laki-laki... ayo gentarkan para musuh Islam dengan menyatukan barisan dan menyemarakkan jamaah sholat Subuh di lingkungan masing-masing.
Mau jadi relawan? Silakan. Mau demo? Silakan. Menulis di blog? Silakan. Mau menyumbang sebagian rejeki? Silakan. Mau menyumbang dengan pulsa? Silakan.
Jadi relawan tak mampu? Tak apa. Ikut demo juga tak sanggup? Tak apa. Tidak bisa membuat tulisan di blog atau media massa? Tak apa. Tak ada rejeki lebih untuk disumbangkan? Tak apa. Pulsa juga gak punya (duh, keterlaluan banget sih)? Tak apa. Paling tidak kita masih bisa berdoa agar Allah memberikan kekuatan dan kemudahan untuk saudara-saudara kita di Palestina. Dan jangan lupa, sholat Subuh berjamaah di masjid atau surau di lingkungan kita!
Catatan:
Tulisan ini dibuat karena merasa disindir oleh Om Jon waktu kultum ba’da Dhuhur sepekan yang lalu. :D
Monday, January 12, 2009
Backpacking-nya Melski Cs. (Bagian Kelima - Tamat)
Senin, 29 Desember 2008
Tak beda dari hari-hari sebelumnya, sholat Subuh kesiangan lagi. Saya dan Andri mulai membenahi barang bawaan karena liburan kami berakhir hari ini. Saya menyiapkan orak-arik dan tempe goreng untuk sarapan saat Ana ke pasar untuk mencari makanan tambahan.
Sekitar pukul 09.30 WIB kami meninggalkan kos menuju Jl. Pandanaran untuk berburu oleh-oleh sekaligus mengantar Andri ke agen Nusantara di Jl. Siliwangi. Ternyata kawasan Pandanaran sudah dipadati mobil. Kami pun masuk ke salah satu toko. Waduh, rame banget! Dengan berdesak-desakan akhirnya kami berhasil memperoleh sedikit buah tangan, bandeng duri lunak, wingko rasa durian, kue moci dan otak-otak tengiri. Lebih dari satu jam kami berjuang di toko ini. Dari sana kami langsung ke Jl. Siliwangi. Setelah bus yang dinaiki Andri berangkat, saya dan Ana kembali ke kos. Masih sempat istirahat sebentar sebelum berangkat ke St. Tawang.
Pukul 15.00 WIB kami meluncur ke Semarang Bawah mengendarai motor. Ini adalah jalur yang tiap hari dilalui Ana menuju ke kantor karena St. Tawang tidak jauh dari GKN tempat Ana bertugas. Sebuah kenyataan pahit rupanya menanti kami di stasiun.
Gerbang utama St. Tawang ditutup karena air menggenangi halaman depannya! Rupanya, hujan deras dini hari tadi membuat debit air meningkat dan karena permukaan Semarang lebih rendah dari permukaan laut, air menjadi sulit surut. Setelah memarkir motor di tempat yang aman, kami masuk ke stasiun melalui sebuah jembatan yang rupanya memang dibangun untuk mengantisipasi datangnya banjir. Ternyata banjir tak hanya menggenangi halaman tetapi juga masuk ke peron stasiun. Beberapa batang kayu disiapkan bagi para calon penumpang dan pengantar yang akan masuk ke peron. Alhamdulillah banjir tidak menunda keberangkatan Argo Muria yang dijadwalkan pukul 16.00 WIB. Saya berpisah dengan Ana sebelum naik ke gerbong paling ujung.
Hupf… berat rasanya kembali ke ibu kota, kembali ke rutinitas. Masih ditemani Nina Wilde dan Edward Chase, saya membunuh waktu sepanjang perjalanan, diselingi beberapa pesan singkat dari seorang teman. Hingga akhirnya kantuk memaksa saya memejamkan mata dan terbangun saat kereta berhenti di St. Jatinegara untuk menurunkan penumpang. Pukul 22.00 WIB telah lewat beberapa menit lalu ketika kereta tiba di St. Gambir. Saya langsung ke luar areal stasiun dan masuk ke salah satu armada Express yang ngetem di depan stasiun. Alhamdulillah, selamat kembali ke kos. Sebuah perjalanan singkat yang menyenangkan. Kalau masih diberi kesehatan, kesempatan, dan rejeki lebih, saya pasti akan melakukannya lagi tetapi dengan waktu yang lebih lama dan tidak di masa liburan panjang.
Tak beda dari hari-hari sebelumnya, sholat Subuh kesiangan lagi. Saya dan Andri mulai membenahi barang bawaan karena liburan kami berakhir hari ini. Saya menyiapkan orak-arik dan tempe goreng untuk sarapan saat Ana ke pasar untuk mencari makanan tambahan.
Sekitar pukul 09.30 WIB kami meninggalkan kos menuju Jl. Pandanaran untuk berburu oleh-oleh sekaligus mengantar Andri ke agen Nusantara di Jl. Siliwangi. Ternyata kawasan Pandanaran sudah dipadati mobil. Kami pun masuk ke salah satu toko. Waduh, rame banget! Dengan berdesak-desakan akhirnya kami berhasil memperoleh sedikit buah tangan, bandeng duri lunak, wingko rasa durian, kue moci dan otak-otak tengiri. Lebih dari satu jam kami berjuang di toko ini. Dari sana kami langsung ke Jl. Siliwangi. Setelah bus yang dinaiki Andri berangkat, saya dan Ana kembali ke kos. Masih sempat istirahat sebentar sebelum berangkat ke St. Tawang.
Pukul 15.00 WIB kami meluncur ke Semarang Bawah mengendarai motor. Ini adalah jalur yang tiap hari dilalui Ana menuju ke kantor karena St. Tawang tidak jauh dari GKN tempat Ana bertugas. Sebuah kenyataan pahit rupanya menanti kami di stasiun.
Gerbang utama St. Tawang ditutup karena air menggenangi halaman depannya! Rupanya, hujan deras dini hari tadi membuat debit air meningkat dan karena permukaan Semarang lebih rendah dari permukaan laut, air menjadi sulit surut. Setelah memarkir motor di tempat yang aman, kami masuk ke stasiun melalui sebuah jembatan yang rupanya memang dibangun untuk mengantisipasi datangnya banjir. Ternyata banjir tak hanya menggenangi halaman tetapi juga masuk ke peron stasiun. Beberapa batang kayu disiapkan bagi para calon penumpang dan pengantar yang akan masuk ke peron. Alhamdulillah banjir tidak menunda keberangkatan Argo Muria yang dijadwalkan pukul 16.00 WIB. Saya berpisah dengan Ana sebelum naik ke gerbong paling ujung.
Hupf… berat rasanya kembali ke ibu kota, kembali ke rutinitas. Masih ditemani Nina Wilde dan Edward Chase, saya membunuh waktu sepanjang perjalanan, diselingi beberapa pesan singkat dari seorang teman. Hingga akhirnya kantuk memaksa saya memejamkan mata dan terbangun saat kereta berhenti di St. Jatinegara untuk menurunkan penumpang. Pukul 22.00 WIB telah lewat beberapa menit lalu ketika kereta tiba di St. Gambir. Saya langsung ke luar areal stasiun dan masuk ke salah satu armada Express yang ngetem di depan stasiun. Alhamdulillah, selamat kembali ke kos. Sebuah perjalanan singkat yang menyenangkan. Kalau masih diberi kesehatan, kesempatan, dan rejeki lebih, saya pasti akan melakukannya lagi tetapi dengan waktu yang lebih lama dan tidak di masa liburan panjang.
Backpacking-nya Melski Cs. (Bagian Keempat)
Minggu, 28 Desember 2008
Oh no, sholat Subuh kesiangan lagi! Rintik-rintik hujan malah membuat kami bergelung kembali di tempat tidur. Rencana ke Kotagede pagi ini batal karena hujan. Saya dan Ketty ke pasar Kotagede untuk mencari sesuap nasi. Setelah membersihkan diri dan sarapan, kami memulai perjalanan hari itu.
Kami menunggu bus di depan SPBU Singosaren yang di depannya terpampang rambu dilarang berhenti. Sebenarnya jarak dari SPBU itu ke terminal sangat dekat, tapi lumayan juga kalau ditempuh dengan jalan kaki. Ternyata kami diajak naik Trans Jogja menuju Malioboro. Tujuan kali ini adalah ke Pasa Beringharjo dan ke Taman Sari. Kami naik Trans Jogja Jalur 3A dan transit di halte Bandara Adisucipto untuk berganti Jalur 1A. Hari sudah beranjak siang saat kami tiba di Malioboro karena jalanan Jogja, terutama mendekati Malioboro, sangat padat. Kami mampir di Al-Fath memilah-milih jilbab. Setelah sedikit berbelanja di situ kami melanjutkan menyusuri Malioboro menuju pasar. Alamak… dari jauh saja pintu masuk Pasar Beringharjo sudah dijubeli pengunjung yang sebagian besar adalah wisatawan domestik. Kami pun membatalkan acara belanja di pasar dan langsung ke Taman Sari naik dua becak, Ketty berdua dengan Windy, dan kami bertiga dalam satu becak.
Begitu tiba di Taman Sari, hujan kembali mengguyur. Ketty meminta becak-becak tadi menunggu kami. Meski hujan, acara foto-foto narsis must go on! Coba kalau gak hujan, kami kan bisa berpose layaknya para selir raja di kolam pemandian ini. :D
Dari Taman Sari kami ke Handayani untuk makan siang. Masih menaiki becak dan disertai rintik-rintik gerimis, kami melewati alun-alun kidul yang terkenal dengan dua pohon beringinnya. Ternyata tempat makan yang kami tuju sedang tidak beroperasi. Akhirnya kami memutuskan pulang karena kami juga harus mengejar bus yang akan membawa kami kembali ke Semarang sore ini. Saat Ana dan Andri beres-beres, saya dan Ketty keluar membeli makan siang, nasi padang yang murah meriah horey. Selesai makan kami langsung berpamitan, Ketty mengantar kami ke Terminal Giwangan. Ternyata tidak ada bus ke Semarang dari terminal ini, kami pun langsung naik bus kecil ke Terminal Jombor. Kami berpisah dengan Ketty di Giwangan. Rasanya, bus ini melaju sangat lambat. Atau hanya perasaan kami yang ketakutan ketinggalan bus yang kata Ana pemberangkatan terakhir adalah jam 16.30 WIB. Hampir satu jam perjalanan dari Giwangan ke Jombor. Begitu tiba di Jombor, Ana langsung lari ke agen Nusantara dan membeli tiket untuk pemberangkatan paling cepat. Alhamdulillah, ternyata pemberangkatan terakhir adalah jam 17.45 WIB dan kami malah mendapatkan jadwal keberangkatan pukul 16.20 WIB.
Perjalanan kali ini lebih banyak diisi dengan tidur hingga tak terasa kami memasuki Semarang sekitar pukul 19.00 WIB. Semula kami memutuskan melakukan sesuatu yang kemarin tertunda, karaoke-an di Happy Puppy. Tapi melihat kondisi kami yang sudah lemah, letih, lunglai dan lapar, kami pun memutuskan langsung makan malam. Kami ke Restoran Alam Indah untuk menikmati makan malam dengan pemandangan indah kota Semarang di waktu malam. Dengan penampilan yang kucel dan dekil, ditambah tas ransel sarat muatan, kami dengan cuek memasuki restoran. Malang bagi kami, seluruh tempat di pinggir sudah dipesan untuk sebuah acara. Kami terpaksa mengambil tempat di salah satu meja di dalam. Kami hanya memesan kepiting jumbo saos tiram, udang goreng tepung, cah kangkung, dan tumis taoge ikan asin.
Kami langsung menyerbu hidangan, tapi satu dari pesanan kami belum disajikan. Ana sudah menghabiskan nasi di piringnya, saya dan Andri baru menyantap separuh nasi kami karena masih menunggu kepiting saos tiram. Berpuluh menit berlalu, hidangan lain nyaris habis, tapi pesanan kami belum juga diantar. Kami pun memanggil salah satu pelayan untuk memeriksa pesanan. Saat dia kembali, dia menyampaikan sesuatu yang membuat napsu makan kami langsung lenyap. Kepitingnya habis! Langsung deh, kata-kata pedas meluncur dari mulut saya. Kami langsung meminta tagihan dan berlalu dari tempat itu. Jangan mentang-mentang penampilan kami tidak meyakinkan lalu kalian dengan seenaknya memperlakukan kami dengan buruk. Kami bisa kok “meracuni” orang-orang agar tidak berkunjung ke restoran Alam Indah. Apa sih yang kalian banggakan? Rasa masakannya bahkan di bawah standar, justru lebih lezat sajian di Gama Seafood. Pelayanannya? Nol besar!
Haduh, saya jadi marah-marah gak jelas begini. :(
Sudah larut malam saat Andri mengeluh kelaparan. Akhirnya Ana memasak nasi dan menggoreng chicken karage dan tempe. Kami terlelap tak lama setelah itu.
Oh no, sholat Subuh kesiangan lagi! Rintik-rintik hujan malah membuat kami bergelung kembali di tempat tidur. Rencana ke Kotagede pagi ini batal karena hujan. Saya dan Ketty ke pasar Kotagede untuk mencari sesuap nasi. Setelah membersihkan diri dan sarapan, kami memulai perjalanan hari itu.
Kami menunggu bus di depan SPBU Singosaren yang di depannya terpampang rambu dilarang berhenti. Sebenarnya jarak dari SPBU itu ke terminal sangat dekat, tapi lumayan juga kalau ditempuh dengan jalan kaki. Ternyata kami diajak naik Trans Jogja menuju Malioboro. Tujuan kali ini adalah ke Pasa Beringharjo dan ke Taman Sari. Kami naik Trans Jogja Jalur 3A dan transit di halte Bandara Adisucipto untuk berganti Jalur 1A. Hari sudah beranjak siang saat kami tiba di Malioboro karena jalanan Jogja, terutama mendekati Malioboro, sangat padat. Kami mampir di Al-Fath memilah-milih jilbab. Setelah sedikit berbelanja di situ kami melanjutkan menyusuri Malioboro menuju pasar. Alamak… dari jauh saja pintu masuk Pasar Beringharjo sudah dijubeli pengunjung yang sebagian besar adalah wisatawan domestik. Kami pun membatalkan acara belanja di pasar dan langsung ke Taman Sari naik dua becak, Ketty berdua dengan Windy, dan kami bertiga dalam satu becak.
Begitu tiba di Taman Sari, hujan kembali mengguyur. Ketty meminta becak-becak tadi menunggu kami. Meski hujan, acara foto-foto narsis must go on! Coba kalau gak hujan, kami kan bisa berpose layaknya para selir raja di kolam pemandian ini. :D
Dari Taman Sari kami ke Handayani untuk makan siang. Masih menaiki becak dan disertai rintik-rintik gerimis, kami melewati alun-alun kidul yang terkenal dengan dua pohon beringinnya. Ternyata tempat makan yang kami tuju sedang tidak beroperasi. Akhirnya kami memutuskan pulang karena kami juga harus mengejar bus yang akan membawa kami kembali ke Semarang sore ini. Saat Ana dan Andri beres-beres, saya dan Ketty keluar membeli makan siang, nasi padang yang murah meriah horey. Selesai makan kami langsung berpamitan, Ketty mengantar kami ke Terminal Giwangan. Ternyata tidak ada bus ke Semarang dari terminal ini, kami pun langsung naik bus kecil ke Terminal Jombor. Kami berpisah dengan Ketty di Giwangan. Rasanya, bus ini melaju sangat lambat. Atau hanya perasaan kami yang ketakutan ketinggalan bus yang kata Ana pemberangkatan terakhir adalah jam 16.30 WIB. Hampir satu jam perjalanan dari Giwangan ke Jombor. Begitu tiba di Jombor, Ana langsung lari ke agen Nusantara dan membeli tiket untuk pemberangkatan paling cepat. Alhamdulillah, ternyata pemberangkatan terakhir adalah jam 17.45 WIB dan kami malah mendapatkan jadwal keberangkatan pukul 16.20 WIB.
Perjalanan kali ini lebih banyak diisi dengan tidur hingga tak terasa kami memasuki Semarang sekitar pukul 19.00 WIB. Semula kami memutuskan melakukan sesuatu yang kemarin tertunda, karaoke-an di Happy Puppy. Tapi melihat kondisi kami yang sudah lemah, letih, lunglai dan lapar, kami pun memutuskan langsung makan malam. Kami ke Restoran Alam Indah untuk menikmati makan malam dengan pemandangan indah kota Semarang di waktu malam. Dengan penampilan yang kucel dan dekil, ditambah tas ransel sarat muatan, kami dengan cuek memasuki restoran. Malang bagi kami, seluruh tempat di pinggir sudah dipesan untuk sebuah acara. Kami terpaksa mengambil tempat di salah satu meja di dalam. Kami hanya memesan kepiting jumbo saos tiram, udang goreng tepung, cah kangkung, dan tumis taoge ikan asin.
Kami langsung menyerbu hidangan, tapi satu dari pesanan kami belum disajikan. Ana sudah menghabiskan nasi di piringnya, saya dan Andri baru menyantap separuh nasi kami karena masih menunggu kepiting saos tiram. Berpuluh menit berlalu, hidangan lain nyaris habis, tapi pesanan kami belum juga diantar. Kami pun memanggil salah satu pelayan untuk memeriksa pesanan. Saat dia kembali, dia menyampaikan sesuatu yang membuat napsu makan kami langsung lenyap. Kepitingnya habis! Langsung deh, kata-kata pedas meluncur dari mulut saya. Kami langsung meminta tagihan dan berlalu dari tempat itu. Jangan mentang-mentang penampilan kami tidak meyakinkan lalu kalian dengan seenaknya memperlakukan kami dengan buruk. Kami bisa kok “meracuni” orang-orang agar tidak berkunjung ke restoran Alam Indah. Apa sih yang kalian banggakan? Rasa masakannya bahkan di bawah standar, justru lebih lezat sajian di Gama Seafood. Pelayanannya? Nol besar!
Haduh, saya jadi marah-marah gak jelas begini. :(
Sudah larut malam saat Andri mengeluh kelaparan. Akhirnya Ana memasak nasi dan menggoreng chicken karage dan tempe. Kami terlelap tak lama setelah itu.
Backpacking-nya Melski Cs. (Bagian Ketiga)
Sabtu, 27 Desember 2008
Lagi-lagi, sholat Subuh kesiangan. Kami baru bangun lewat dari pukul 05.00 WIB. Selama liburan ini orang yang biasanya membantu pekerjaan di rumah Lita sedang libur. Jadilah dia pontang-panting mengurus Mas Yoga dan Aisya, ditambah tiga orang teman yang merepotkan. Pagi-pagi dia sudah keluar mencari sarapan untuk kami. Nasi gudeg komplit, donat, susu kedelai dan gorengan. Dia pikir kami kelaparan kali ya sampai-sampai disediakan makanan sebanyak itu. :D
Sebelumnya ada tawaran dari Lita untuk mengantar kami jalan-jalan ke Jogja seharian ini dan bermalam lagi di sini. Lalu esoknya baru jalan-jalan di Magelang. Meski sangat tergoda tawaran menarik ini, kami tidak ingin merepotkan Lita dan Mas Yoga. Jadi kami tetap pada rencana semula, menghabiskan hari ini di Magelang dan ke Jogja sore harinya. Saya pun menghubungi Ketty untuk mem-booking salah satu kamar di rumahnya mengingat susah sekali menemukan kamar hotel kosong di masa liburan panjang.
Masih ragu menentukan tujuan kami pun meluncur di jalanan Magelang. Tak ada yang berani memutuskan, Taman Kyai Langgeng atau Borobudur. Ke Borobudur. Akhirnya saya memutuskan. Mobil pun mengarah ke Kabupaten Magelang. Ternyata Aisya belum pernah diajak ke Borobudur dan Mas Yoga pun sudah berpuluh tahun tidak menginjakkan kaki di sana. Jalanan begitu lengang saat kami melewati kompleks perkantoran Pemerintah Daerah. Saya berkomentar, mungkin cuma kami yang masih mau berkunjung ke Candi Borobudur. Tapi tunggu dulu, ternyata dugaan itu meleset jauh. Mobil Mas Yoga bahkan dilarang memasuki areal parkir dan terpaksa parkir di luar pagar kawasan. Lagi-lagi kami di kejutkan dan kini oleh lautan manusia di depan loket tiket masuk. Mas Yoga mengorbankan diri membeli tiket. Rp. 12.500/ orang dan Rp. 6.000 untuk anak-anak, plus Rp. 1.000 untuk satu kamera. Setelah berdesakan di pintu masuk karena antrian yang tak beraturan, kami berhasil masuk. Beberapa orang menawarkan sewa payung. Dari kejauhan nampak lautan manusia dan dengan beraneka warna payung yang mencoba naik ke teras demi teras Candi Budha terbesar di dunia ini. Kami pun ikut membuka payung dan mengikuti arus menuju candi. Cuaca cerah sekali siang ini, matahari benar-benar mencurahkan sinarnya yang membakar kulit meski hari masih pagi. Energi kami seolah tersedot oleh teriknya. Baru sampai di pelataran candi kami sudah kepayahan, tapi acara foto-foto narsis tetep jalan dong. Herannya, Aisya masih saja semangat.
Dia memaksa kami naik ke teras pertama. Mas Yoga mau menggendong dia tapi Aisya gak mau. Dia maunya sama Tante. Hehehe… Ayah dan Bundanya gak laku. Sampai di teras pertama rupanya belum cukup buat Aisya. Alhasil kami terpaksa naik satu undakan lagi dan menyusuri teras tersebut. Di tangga berikutnya kami memaksa Aisya turun. Setelah istirahat sebentar di bawah naungan pohon, kami turun dari kompleks candi menuju pintu keluar. Ana dan Andri sesekali mampir ke toko oleh-oleh tapi tak juga menemukan barang dengan harga yang sesuai. Fyuh, akhirnya selesai juga berpanas-panas ria.
Berikutnya Mas Yoga membawa kami ke sebuah tempat makan baru, Mulih Ndeso, yang tak jauh dari Candi Borobudur. Suasananya sangat nyaman dengan beberapa saung dan taman yang menyejukkan. Juga dilengkapi kolam renang untuk anak-anak. Sembari menunggu pesanan datang, kami sholat di mushola yang terletak di salah satu saung. Hampir satu jam menunggu akhirnya pesanan kami datang, lagi-lagi aneka olahan seafood. Sayang, makanan dan minumannya tak sebanding dengan tempatnya. Tapi karena lapar kuadrat (sudah lewat jam makan dan energi yang sudah tersedot habis di Borobudur) kami pun menghabiskan semua yang dipesan. Masih kurang? Kami mampir membeli durian di depan Akmil saat meluncur kembali ke rumah.
Kami langsung bersiap melanjutkan perjalanan ke Jogja begitu tiba di rumah. Aisya memperhatikan kami dan memeluk kami satu per satu saat mengetahui kami akan pergi. Sekitar pukul 16.30 WIB kami tiba di Terminal Magelang. Bus Ramayana atau Eka baru akan berangkat satu jam lagi. Akhirnya kami nekat naik bus ekonomi. Aisya nangis bombay saat kami masuk ke dalam bus. Hiks, jadi ikut sedih….
Baru sekitar pukul 17.15 WIB bus meninggalkan terminal. Huh, tahu begini kan mendingan naik Ramayana atau Eka. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Laju bus agak tersendat karena jalanan yang padat. Apalagi saat memasuki DIY, beberapa kali kami terjebak macet di daerah Sleman. Ini baru yang namanya backpacking, naik bus ekonomi yang sarat penumpang hingga kami harus berebut menghirup oksigen. Sumpek bin gerah plus aroma campur aduk dari para penumpang membuat kami nyaris mabuk perjalanan. Fyuh...
Hari sudah gelap ketika kami tiba di Terminal Giwangan, Bantul. Rumah Ketty tak jauh dari terminal, kami pun naik becak ke sana.Entah sudah berapa kali saya berkunjung ke rumah ini. Di ruang depan sedang ada tamunya Pak Har, saya pun langsung ke pintu belakang dan disambut dengan heboh oleh Ketty, Windy dan Bu Har. Ana dan Andri langsung terkapar di kamar. Andri minta dikerikin tengkuknya karena pusing dan Ana minta dipijat punggungnya. Duh, mendingan saya buka jasa pemijatan deh… lumayan kan bisa dapat fee. :D
Makan malam dengan lauk dari kantin baru hasil kolaborasi Ketty dan keluarganya. Sayur daun pepaya (yang sama sekali tidak terasa pahit!), tumis kulit melinjo, dan mi lethek. Ditambah martabak telur. Hmm… gak nyangka menemukan salah satu makanan favorit saya di sini, tumis kulit melinjo. Kata Ketty, saya memang cocok jadi orang Serang karena itu adalah makanan khas dari sana. Hahaha…
Ana dan Andri lebih dahulu terlelap, saya masih ngobrol dengan Ketty. Biasalah, curhat-curhat gak penting. Sebelum tidur tadi, kami bertiga sepakat untuk jalan-jalan ke rumah-rumah lama di Kotagede pagi-pagi sekali sambil mencari sarapan esok hari.
Lagi-lagi, sholat Subuh kesiangan. Kami baru bangun lewat dari pukul 05.00 WIB. Selama liburan ini orang yang biasanya membantu pekerjaan di rumah Lita sedang libur. Jadilah dia pontang-panting mengurus Mas Yoga dan Aisya, ditambah tiga orang teman yang merepotkan. Pagi-pagi dia sudah keluar mencari sarapan untuk kami. Nasi gudeg komplit, donat, susu kedelai dan gorengan. Dia pikir kami kelaparan kali ya sampai-sampai disediakan makanan sebanyak itu. :D
Sebelumnya ada tawaran dari Lita untuk mengantar kami jalan-jalan ke Jogja seharian ini dan bermalam lagi di sini. Lalu esoknya baru jalan-jalan di Magelang. Meski sangat tergoda tawaran menarik ini, kami tidak ingin merepotkan Lita dan Mas Yoga. Jadi kami tetap pada rencana semula, menghabiskan hari ini di Magelang dan ke Jogja sore harinya. Saya pun menghubungi Ketty untuk mem-booking salah satu kamar di rumahnya mengingat susah sekali menemukan kamar hotel kosong di masa liburan panjang.
Masih ragu menentukan tujuan kami pun meluncur di jalanan Magelang. Tak ada yang berani memutuskan, Taman Kyai Langgeng atau Borobudur. Ke Borobudur. Akhirnya saya memutuskan. Mobil pun mengarah ke Kabupaten Magelang. Ternyata Aisya belum pernah diajak ke Borobudur dan Mas Yoga pun sudah berpuluh tahun tidak menginjakkan kaki di sana. Jalanan begitu lengang saat kami melewati kompleks perkantoran Pemerintah Daerah. Saya berkomentar, mungkin cuma kami yang masih mau berkunjung ke Candi Borobudur. Tapi tunggu dulu, ternyata dugaan itu meleset jauh. Mobil Mas Yoga bahkan dilarang memasuki areal parkir dan terpaksa parkir di luar pagar kawasan. Lagi-lagi kami di kejutkan dan kini oleh lautan manusia di depan loket tiket masuk. Mas Yoga mengorbankan diri membeli tiket. Rp. 12.500/ orang dan Rp. 6.000 untuk anak-anak, plus Rp. 1.000 untuk satu kamera. Setelah berdesakan di pintu masuk karena antrian yang tak beraturan, kami berhasil masuk. Beberapa orang menawarkan sewa payung. Dari kejauhan nampak lautan manusia dan dengan beraneka warna payung yang mencoba naik ke teras demi teras Candi Budha terbesar di dunia ini. Kami pun ikut membuka payung dan mengikuti arus menuju candi. Cuaca cerah sekali siang ini, matahari benar-benar mencurahkan sinarnya yang membakar kulit meski hari masih pagi. Energi kami seolah tersedot oleh teriknya. Baru sampai di pelataran candi kami sudah kepayahan, tapi acara foto-foto narsis tetep jalan dong. Herannya, Aisya masih saja semangat.
Dia memaksa kami naik ke teras pertama. Mas Yoga mau menggendong dia tapi Aisya gak mau. Dia maunya sama Tante. Hehehe… Ayah dan Bundanya gak laku. Sampai di teras pertama rupanya belum cukup buat Aisya. Alhasil kami terpaksa naik satu undakan lagi dan menyusuri teras tersebut. Di tangga berikutnya kami memaksa Aisya turun. Setelah istirahat sebentar di bawah naungan pohon, kami turun dari kompleks candi menuju pintu keluar. Ana dan Andri sesekali mampir ke toko oleh-oleh tapi tak juga menemukan barang dengan harga yang sesuai. Fyuh, akhirnya selesai juga berpanas-panas ria.
Berikutnya Mas Yoga membawa kami ke sebuah tempat makan baru, Mulih Ndeso, yang tak jauh dari Candi Borobudur. Suasananya sangat nyaman dengan beberapa saung dan taman yang menyejukkan. Juga dilengkapi kolam renang untuk anak-anak. Sembari menunggu pesanan datang, kami sholat di mushola yang terletak di salah satu saung. Hampir satu jam menunggu akhirnya pesanan kami datang, lagi-lagi aneka olahan seafood. Sayang, makanan dan minumannya tak sebanding dengan tempatnya. Tapi karena lapar kuadrat (sudah lewat jam makan dan energi yang sudah tersedot habis di Borobudur) kami pun menghabiskan semua yang dipesan. Masih kurang? Kami mampir membeli durian di depan Akmil saat meluncur kembali ke rumah.
Kami langsung bersiap melanjutkan perjalanan ke Jogja begitu tiba di rumah. Aisya memperhatikan kami dan memeluk kami satu per satu saat mengetahui kami akan pergi. Sekitar pukul 16.30 WIB kami tiba di Terminal Magelang. Bus Ramayana atau Eka baru akan berangkat satu jam lagi. Akhirnya kami nekat naik bus ekonomi. Aisya nangis bombay saat kami masuk ke dalam bus. Hiks, jadi ikut sedih….
Baru sekitar pukul 17.15 WIB bus meninggalkan terminal. Huh, tahu begini kan mendingan naik Ramayana atau Eka. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Laju bus agak tersendat karena jalanan yang padat. Apalagi saat memasuki DIY, beberapa kali kami terjebak macet di daerah Sleman. Ini baru yang namanya backpacking, naik bus ekonomi yang sarat penumpang hingga kami harus berebut menghirup oksigen. Sumpek bin gerah plus aroma campur aduk dari para penumpang membuat kami nyaris mabuk perjalanan. Fyuh...
Hari sudah gelap ketika kami tiba di Terminal Giwangan, Bantul. Rumah Ketty tak jauh dari terminal, kami pun naik becak ke sana.Entah sudah berapa kali saya berkunjung ke rumah ini. Di ruang depan sedang ada tamunya Pak Har, saya pun langsung ke pintu belakang dan disambut dengan heboh oleh Ketty, Windy dan Bu Har. Ana dan Andri langsung terkapar di kamar. Andri minta dikerikin tengkuknya karena pusing dan Ana minta dipijat punggungnya. Duh, mendingan saya buka jasa pemijatan deh… lumayan kan bisa dapat fee. :D
Makan malam dengan lauk dari kantin baru hasil kolaborasi Ketty dan keluarganya. Sayur daun pepaya (yang sama sekali tidak terasa pahit!), tumis kulit melinjo, dan mi lethek. Ditambah martabak telur. Hmm… gak nyangka menemukan salah satu makanan favorit saya di sini, tumis kulit melinjo. Kata Ketty, saya memang cocok jadi orang Serang karena itu adalah makanan khas dari sana. Hahaha…
Ana dan Andri lebih dahulu terlelap, saya masih ngobrol dengan Ketty. Biasalah, curhat-curhat gak penting. Sebelum tidur tadi, kami bertiga sepakat untuk jalan-jalan ke rumah-rumah lama di Kotagede pagi-pagi sekali sambil mencari sarapan esok hari.
Backpacking-nya Melski Cs. (Bagian Kedua)
Jumat, 26 Desember 2008
Sholat Subuh kesiangan! Sekitar pukul 05.00 WIB, meski masih mengantuk saya memaksakan diri bangun. Ternyata udara sejuk Semarang Atas benar-benar melelapkan tidur kami. Setelah bersih-bersih, termasuk mencuci baju kotor yang dipakai hari sebelumnya, kami sarapan hasil karya Ana dan baru meluncur ke MAJT setelah setengah jam berlalu dari pukul 07.00 WIB. Alhamdulillah hari ini cuaca cerah.
Ternyata keberuntungan berpihak pada kami. Keenam payung yang menjadi ikon MAJT terbuka lebar. Mungkin karena ini hari Jumat dan payung itu akan menaungi para jamaah yang menunaikan Shalat Jumat. Kami pun berjalan-jalan mengagumi kemegahannya. Di areal ini juga dibangun sebuah hall pertemuan, pertokoan dan sebuah menara yang dari puncaknya kita bisa melihat kota Semarang.
Setelah puas berfoto-foto di pelataran masjid, kami pun menuju ke menara. Gambar 13,15 Dengan membayar tiket Rp. 5.000/ orang kami naik ke lantai 19. Mirip di puncak Monas tapi lebih kecil. Ada juga beberapa teropong. Dengan memasukkan uang koin Rp 500 yang berwarna kuning kita bisa melihat Semarang lebih jelas dalam waktu 30 detik. Saat memutuskan turun, petugas lift menanyakan apakah kami akan mampir di restoran lantai 18 atau ke Museum Perkembangan Islam di lantai 3. Baru pukul 10.00 WIB. Kami pun langsung ke museum di lantai 3 (yang juga berlanjut ke lantai 2). Selain peninggalan-peninggalan perkembangan Islam di Jawa Tengah, pengunjung juga bisa melihat perkembangan pembangunan MAJT melalui 8 komputer touch screen yang tersedia.
Dari MAJT perjalanan berlanjut ke pencarian tempat makan. Ana mengusulkan ke sebuah warung sederhana di Jl. Majapahit yang selalu ramai pengunjung. Sayangnya, warung tersebut tutup sampai dengan tanggal 2 Januari 2009.
Akhirnya Ana menginstruksikan supir taksi untuk memutar haluan ke Gama Seafood. Lumayan banyak juga pesanan kami. Gurame baker, sup seafood, pecel udang dan cah kangkung. Untuk minuman saya memesan jeruk nipis panas, Ana dan Andri masing-masing Jus Jambu tanpa es dan Es Sarang Burung. Saat pesanan datang kami lumayan kaget karena porsinya lumayan besar. Gak disangka, ternyata semuanya ludes…!
Selesai makan kami kembali ke kos untuk mempersiapkan perjalanan kami berikutnya, ke Magelang dan Yogyakarta. Sekitar pukul 14.00 WIB, dengan membawa tas yang sedikit berkurang bebannya, kami berjalan kaki ke halte bus di seberang PLN. Ini adalah tempat Ana biasa menunggu bus jurusan Solo untuk pulang ke kampung halamannya di Klaten. Menit demi menit berlalu, tidak ada satu pun bus ber-AC dari PO. Ramayana atau PO. Nusantara yang mau mengangkut kami. Setelah hampir satu jam kami pun memutuskan ke agen bus di Kaliwiru yang hanya berjarak tidak sampai 2 km dari halte tadi. Alhamdulillah kami dapat bus Ramayana yang berangkat pukul 14.55 WIB. Belum juga masuk Ungaran, Ana sudah terlelap. Andri masih asyik menikmati pemandangan di balik jendela. Saya? Sudah pasti, melanjutkan membaca perburuan Atlantis. Saat melewati sebuah kompleks bangunan berpagar tinggi, saya dan Andri langsung berpandangan dan seperti bisa membaca pikiran lawannya kami tersenyum dan mengangguk-angguk. Yup, kami baru saja melewati Pondok Pesantren Miftakhul Jannah yang pimpinannya, Pujianto, beberapa waktu lalu mendadak jadi pesohor karena menikahi seorang gadis berumur 12 tahun.
Tak lama setelah seorang gadis naik dari agen di Terminal Ungaran, kami disuguhi sebuah konser tunggal gratis. Gadis itu duduk persis di belakang Andri dan tanpa mempedulikan sekitarnya dia mendendangkan lagu-lagu yang dia dengar dari pemutar musiknya. Untunglah suaranya enak didengar dan nadanya pun tak pernah meleset.
Sekitar pukul 17.00 WIB kami turun di Armada Estate, Magelang, sesuai yang diinstruksikan Lita. Sambil menunggu jemputan kami tergoda membeli jagung bakar aneka rasa untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan. Pesanan jagung belum selesai saat Mas Yoga muncul dan mengatakan kalau Lita tidak bisa menjemput. Tadinya saya pikir rumah Lita ada di Armada Estate, ternyata salah. Sebuah rumah asri bernuansa hijau menyambut kami. Dua orang petugas dari sebuah televisi berlangganan sedang memasang peralatan. Peluk cium mewarnai pertemuan kami. Sembari duduk lesehan dan makan jagung bakar di kamar Aisya, kami berbincang ngalor ngidul. Ini namanya mengumpulkan yang terserak. Saya di Jakarta, Andri di Pekalongan, Ana di Semarang, dan Lita di Magelang. Saat kuliah dulu kami tinggal di sebuah rumah kos sederhana di daerah Sarmili. Wisma Karimah namanya. Saya dan Ana masuk lebih dulu, bareng dengan Wahyu yang terpaksa batal mengikuti backpacking ini karena harus menghadiri undangan di Malang. Lita masuk tahun berikutnya, bersama dengan Ari, Santi, Eka dan Asih. Tahun berikutnya Andri menyusul, satu angkatan dengan Lia dan Nuning. Lia, dengan alasan yang kurang jelas juga memutuskan batal mengikuti perjalanan ini.
Beberapa kali Aisya mondar-mandir memperhatikan kami tetapi baru mau bergabung saat seorang fotografer mengabadikan wawancara dadakan dengan Ibu “Kofifah Indar Parawangsa”. Wah, Aisya ternyata suka difoto. Begitu kamera mengarah ke dirinya, Aisya langsung bergaya centil. Ini sih diturunkan dari Bundanya, hehehe….
Setelah sholat Isya, Lita mengajak kami makan malam di luar. Mas Yoga membawa kami ke sebuah warung yang menyajikan iga bakar. Hmm… sepertinya lezat nih. Sayangnya kami harus menelan air liur karena iga bakarnya sudah habis. Kata Mas Yoga yang asli orang Magelang, di sini tidak ada makan malam, yang ada adalah makan sore. Jadi wajar saja kalau jam 20.00 WIB beberapa warung sudah kehabisan persediaan. Akhirnya kami ke sebuah warung di dekat alun-alun. Sementar yang lain menyantap sop daging, Mas Yoga memilih gado-gado dan saya tertarik dengan mi godog. Aisya tidak mau jauh-jauh dari saya, bahkan akhirnya saya (terpaksa) berbagi makanan dengan dia. Sebelum kembali ke rumah, kami mampir di rumah Mbak Endang, teman kuliah Ana di MM-UGM. Berbagai makanan kecil, termasuk roti bakar dan martabak, menemani secangkir kopi panas yang disajikan. Meski sangat tergoda mencicipi kudapan itu, saya menahan diri karena kapasitas perut sudah overloaded. Karena malam sudah larut dan Aisya mulai mengantuk, kami pun pamit. Aisya langsung pulas begitu dipangku Bundanya.
Sholat Subuh kesiangan! Sekitar pukul 05.00 WIB, meski masih mengantuk saya memaksakan diri bangun. Ternyata udara sejuk Semarang Atas benar-benar melelapkan tidur kami. Setelah bersih-bersih, termasuk mencuci baju kotor yang dipakai hari sebelumnya, kami sarapan hasil karya Ana dan baru meluncur ke MAJT setelah setengah jam berlalu dari pukul 07.00 WIB. Alhamdulillah hari ini cuaca cerah.
Ternyata keberuntungan berpihak pada kami. Keenam payung yang menjadi ikon MAJT terbuka lebar. Mungkin karena ini hari Jumat dan payung itu akan menaungi para jamaah yang menunaikan Shalat Jumat. Kami pun berjalan-jalan mengagumi kemegahannya. Di areal ini juga dibangun sebuah hall pertemuan, pertokoan dan sebuah menara yang dari puncaknya kita bisa melihat kota Semarang.
Setelah puas berfoto-foto di pelataran masjid, kami pun menuju ke menara. Gambar 13,15 Dengan membayar tiket Rp. 5.000/ orang kami naik ke lantai 19. Mirip di puncak Monas tapi lebih kecil. Ada juga beberapa teropong. Dengan memasukkan uang koin Rp 500 yang berwarna kuning kita bisa melihat Semarang lebih jelas dalam waktu 30 detik. Saat memutuskan turun, petugas lift menanyakan apakah kami akan mampir di restoran lantai 18 atau ke Museum Perkembangan Islam di lantai 3. Baru pukul 10.00 WIB. Kami pun langsung ke museum di lantai 3 (yang juga berlanjut ke lantai 2). Selain peninggalan-peninggalan perkembangan Islam di Jawa Tengah, pengunjung juga bisa melihat perkembangan pembangunan MAJT melalui 8 komputer touch screen yang tersedia.
Dari MAJT perjalanan berlanjut ke pencarian tempat makan. Ana mengusulkan ke sebuah warung sederhana di Jl. Majapahit yang selalu ramai pengunjung. Sayangnya, warung tersebut tutup sampai dengan tanggal 2 Januari 2009.
Akhirnya Ana menginstruksikan supir taksi untuk memutar haluan ke Gama Seafood. Lumayan banyak juga pesanan kami. Gurame baker, sup seafood, pecel udang dan cah kangkung. Untuk minuman saya memesan jeruk nipis panas, Ana dan Andri masing-masing Jus Jambu tanpa es dan Es Sarang Burung. Saat pesanan datang kami lumayan kaget karena porsinya lumayan besar. Gak disangka, ternyata semuanya ludes…!
Selesai makan kami kembali ke kos untuk mempersiapkan perjalanan kami berikutnya, ke Magelang dan Yogyakarta. Sekitar pukul 14.00 WIB, dengan membawa tas yang sedikit berkurang bebannya, kami berjalan kaki ke halte bus di seberang PLN. Ini adalah tempat Ana biasa menunggu bus jurusan Solo untuk pulang ke kampung halamannya di Klaten. Menit demi menit berlalu, tidak ada satu pun bus ber-AC dari PO. Ramayana atau PO. Nusantara yang mau mengangkut kami. Setelah hampir satu jam kami pun memutuskan ke agen bus di Kaliwiru yang hanya berjarak tidak sampai 2 km dari halte tadi. Alhamdulillah kami dapat bus Ramayana yang berangkat pukul 14.55 WIB. Belum juga masuk Ungaran, Ana sudah terlelap. Andri masih asyik menikmati pemandangan di balik jendela. Saya? Sudah pasti, melanjutkan membaca perburuan Atlantis. Saat melewati sebuah kompleks bangunan berpagar tinggi, saya dan Andri langsung berpandangan dan seperti bisa membaca pikiran lawannya kami tersenyum dan mengangguk-angguk. Yup, kami baru saja melewati Pondok Pesantren Miftakhul Jannah yang pimpinannya, Pujianto, beberapa waktu lalu mendadak jadi pesohor karena menikahi seorang gadis berumur 12 tahun.
Tak lama setelah seorang gadis naik dari agen di Terminal Ungaran, kami disuguhi sebuah konser tunggal gratis. Gadis itu duduk persis di belakang Andri dan tanpa mempedulikan sekitarnya dia mendendangkan lagu-lagu yang dia dengar dari pemutar musiknya. Untunglah suaranya enak didengar dan nadanya pun tak pernah meleset.
Sekitar pukul 17.00 WIB kami turun di Armada Estate, Magelang, sesuai yang diinstruksikan Lita. Sambil menunggu jemputan kami tergoda membeli jagung bakar aneka rasa untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan. Pesanan jagung belum selesai saat Mas Yoga muncul dan mengatakan kalau Lita tidak bisa menjemput. Tadinya saya pikir rumah Lita ada di Armada Estate, ternyata salah. Sebuah rumah asri bernuansa hijau menyambut kami. Dua orang petugas dari sebuah televisi berlangganan sedang memasang peralatan. Peluk cium mewarnai pertemuan kami. Sembari duduk lesehan dan makan jagung bakar di kamar Aisya, kami berbincang ngalor ngidul. Ini namanya mengumpulkan yang terserak. Saya di Jakarta, Andri di Pekalongan, Ana di Semarang, dan Lita di Magelang. Saat kuliah dulu kami tinggal di sebuah rumah kos sederhana di daerah Sarmili. Wisma Karimah namanya. Saya dan Ana masuk lebih dulu, bareng dengan Wahyu yang terpaksa batal mengikuti backpacking ini karena harus menghadiri undangan di Malang. Lita masuk tahun berikutnya, bersama dengan Ari, Santi, Eka dan Asih. Tahun berikutnya Andri menyusul, satu angkatan dengan Lia dan Nuning. Lia, dengan alasan yang kurang jelas juga memutuskan batal mengikuti perjalanan ini.
Beberapa kali Aisya mondar-mandir memperhatikan kami tetapi baru mau bergabung saat seorang fotografer mengabadikan wawancara dadakan dengan Ibu “Kofifah Indar Parawangsa”. Wah, Aisya ternyata suka difoto. Begitu kamera mengarah ke dirinya, Aisya langsung bergaya centil. Ini sih diturunkan dari Bundanya, hehehe….
Setelah sholat Isya, Lita mengajak kami makan malam di luar. Mas Yoga membawa kami ke sebuah warung yang menyajikan iga bakar. Hmm… sepertinya lezat nih. Sayangnya kami harus menelan air liur karena iga bakarnya sudah habis. Kata Mas Yoga yang asli orang Magelang, di sini tidak ada makan malam, yang ada adalah makan sore. Jadi wajar saja kalau jam 20.00 WIB beberapa warung sudah kehabisan persediaan. Akhirnya kami ke sebuah warung di dekat alun-alun. Sementar yang lain menyantap sop daging, Mas Yoga memilih gado-gado dan saya tertarik dengan mi godog. Aisya tidak mau jauh-jauh dari saya, bahkan akhirnya saya (terpaksa) berbagi makanan dengan dia. Sebelum kembali ke rumah, kami mampir di rumah Mbak Endang, teman kuliah Ana di MM-UGM. Berbagai makanan kecil, termasuk roti bakar dan martabak, menemani secangkir kopi panas yang disajikan. Meski sangat tergoda mencicipi kudapan itu, saya menahan diri karena kapasitas perut sudah overloaded. Karena malam sudah larut dan Aisya mulai mengantuk, kami pun pamit. Aisya langsung pulas begitu dipangku Bundanya.
Backpacking-nya Melski Cs. (Bagian Pertama)
Rabu, 24 Desember 2008
Berbekal sebuah tas punggung sarat beban sekitar 20kg (hiperbola mode: ON) dan selembar tiket kereta Senja Utama Semarang, saya langsung meluncur ke St. Senen begitu bubaran kantor sekitar pukul 17.15 WIB. Di atas motor ojeker saya sempat berpikir, “Duh, bapak ini tahu gak sih jalan ke St. Senen?” Pasalnya, beliau mengambil jalur yang berbeda dengan jalur yang biasa saya lewati menuju stasiun. Kami melewati Gereja Theresia di daerah Menteng yang sebagian jalan di sekitarnya digunakan untuk parkir mobil para jamaah yang akan melakukan Misa Natal. Alhasil, motor saja sulit menembus kemacetan di sekitar gereja. Lepas dari Gereja Theresia ternyata kami belum bisa bernapas lega, kemacetan lagi-lagi menghadang di depan. Baru setelah melewati Tugu Tani kemacetan terurai. Alhamdulillah bisa sampai di St. sebelum jadwal keberangkatan.
Beberapa menit berlalu dari pukul 19.10 WIB tapi kereta belum juga tiba dan tidak ada pemberitahuan apapun dari petugas St.. Saya melanjutkan membaca The Hunt For Atlantis-nya Andy McDermott. Akhirnya rangkaian kereta yang akan membawa saya ke Tegal tiba dan meninggalkan St. Senen pukul 19.30 WIB. Baru beberapa saat berjalan, kereta berhenti di St. Jatinegara untuk menaikkan penumpang. 5 menit, 10 menit, 15 menit berlalu tapi kereta belum beranjak dari St. Jatinegara. Oh no… ternyata lokomotif kereta harus diganti karena ada kerusakan. Awal perjalanan yang kurang menyenangkan. Kereta diberangkatkan dari St. Jatinegara pukul 20.30 WIB. Petualangan Nina Wilde dan Edward Chase menemani perjalanan.
Kamis, 25 Desember 2008
Pukul 01.05 WIB, terlambat lebih dari satu jam dari jadwal yang tertera di tiket, kereta tiba di St. Tegal. Saya saat itu terbangun gara-gara gerbong mulai ramai karena teriakan para pedagang asongan. Waktu melihat ke sebelah kiri, tulisan St. Tegal terpampang jelas. Panik, saya langsung menarik tas punggung yang berat itu dan berlari turun dari kereta. Hufp… alhamdulillah sampai juga di Tegal. Om Yon diminta oleh Ibu untuk menjemput saya karena Bapak sedang berada di Purwakarta menjenguk Mbak Mila yang melahirkan sehari sebelumnya. Setelah membersihkan diri plus sedikit obrolan dengan Ibu, saya pun terlelap.
Pukul 07.00 WIB saya siap melanjutkan perjalanan dan meluncur ke agen bus Nusantara yang akan membawa saya ke Semarang. Belum sampai 5 menit tiba di agen, Andri datang lengkap dengan tas punggung yang lebih besar dari yang saya bawa. Ya, kami akan backpacking bareng dan Andri sudah membeli tiket bus untuk kami berdua. Seorang ibu mengajak berbincang dan mengira kami masih berstatus mahasiswa. Duh senengnya… :D
Bus berangkat pukul 07.45 WIB, terlambat lima belas menit dari jadwal. Sudah bertahun-tahun saya tidak menyusuri Jalur Pantura melalui jalan yang dahulu dibangun di masa Daendels. Kalau tidak salah, terakhir waktu datang ke pernikahannya Hanik di Kediri pertengahan 2003. Eh bukan ding... waktu ke Jogja beberapa hari setelah gempa yang meluluhlantakkan kota itu bulan Mei 2006. Tidak demikian dengan Andri. Tiap minggu dia melewati Jalur Pantura dari Tegal hingga Pekalongan dan sebaliknya. Wuih… kantor tempat Andri melewati sebagian besar waktunya ternyata gede banget. Saking gedenya, kata Andri, ada beberapa bagian yang tidak digunakan. Hmm… menghambur-hamburkan anggaran nih.
Memasuki Semarang, saya terjaga dari tidur. Ternyata ada pesan singkat dari Ana sekitar sejam yang lalu yang menanyakan posisi kami. Sampai di Mangkang, tulis saya di pesan jawaban. Tapi tak lama kemudian kami tiba di agen dan kami memutuskan untuk menggunakan jasa taksi. Dengan panduan dari Ana dan supir taksi Express (wow, ternyata armada Express ada juga di Semarang!) yang mengantar kami, tibalah kami di kos Ana yang terletak tidak jauh dari Pasar Jatingaleh. Lagi-lagi kami dikira mahasiswa oleh supir taksi tadi, hehehe….
Setelah istirahat sebentar dan sholat dzuhur, kami makan di warung Padang terdekat karena cacing-cacing di perut sudah mulai berdemonstrasi. Sembari makan kami membahas rencana perjalanan berikutnya. Tujuan saya di Semarang cuma dua: ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) dan menikmati malam di Taman Tabanas. Andri sih manut mau ke mana saja dan dia ingin kami menyisihkan waktu ke Gramedia karena susah mencari buku bagus di Tegal dan Pekalongan. Kami sepakat membuat kas kecil yang akan membiayai seluruh pengeluaran kami selama beberapa hari ini. Andri secara aklamasi ditunjuk sebagai pemegang kas.
Selesai makan kami putuskan naik taksi ke MAJT karena menurut Ana, kalau menggunakan angkutan umum kami harus berganti angkutan tiga kali. Baru saja taksi meluncur menuju Semarang Bawah, hujan deras mengguyur kota ini. Lagi-lagi berdasarkan pertimbangan Ana yang sudah berkali-kali jadi guide ke MAJT, kami ganti haluan ke Gramedia Pandanaran. Ternyata di sana sedang ada Anniversary Sale, diskon 30% untuk semua barang kecuali elektronik. Andri pun langsung berburu meski terpaksa gigit jari karena buku yang diincarnya (novel-novelnya Stephanie Meyer) tidak ada. Saya menahan diri untuk tidak berbelanja buku karena setumpuk buku yang tersegel rapi masih menanti untuk dieksekusi. Tapi saat melihat majalah bergambar WALL-E saya tidak bisa bertahan. Ada novel grafisnya juga loh…. Tak seperti acara diskon Gramedia di Jakarta yang selalu dipadati pengunjung, di sini lumayan sepi dan bisa leluasa mencari buku. Sayang, koleksinya kurang lengkap.
Tadinya kami berencana ke MAJT setelah mengubek-ngubek Gramedia. Kami terpaksa mengurungkan niat karena di luar rintik-rintik hujan masih membasahi. Mampir sholat di Masjid Baiturrahman (Simpang Lima) yang ternyata bersebelahan dengan Gramedia Pandanaran! Mampir di masjid ini mengingatkan saya akan kejadian beberapa tahun lalu saat saya (maaf) muntah-muntah di halaman masjid karena masuk angin.
Setengah jam berikutnya kami sudah duduk di warung lesehan untuk menyantap tahu gimbal. Sebenarnya, beberapa daerah mempunyai makanan khas yang mirip komposisinya tetapi berbeda namanya. Kalau di Semarang ada tahu gimbal, di Jakarta ada gado-gado, di Tegal ada lengko, dan di Magelang ada kupat tahu. Yang membedakan keempatnya, kalau tahu gimbal ada semacam bakwan udang yang dipotong-potong, gado-gado lebih banyak sayurannya, lengko juga banyak sayuran tapi disajikan dengan nasi, dan kupat tahu ditambah dengan cuka. Kesamaan komposisinya ada di tahu dan bumbu kacang (analisa asal-asalan, boleh percaya boleh nggak).
Karena batal ke MAJT kami pun memutuskan untuk nonton di Mal Ciputra (entah kenapa, mal ini juga lebih terkenal dengan nama Citraland, sama dengan saudaranya di Jakarta). Padahal dari awal saya sudah bertekad tidak akan menginjakkan kaki di mall selama perjalanan ini, tapi apa daya. Seperti yang sudah saya duga, tidak ada yang menarik dari empat film yang diputar. Batal deh rencana nonton. Kami sepakat berkaraoke ria di Happy Puppy yang ada di Jl. Ahmad Yani. Kami pun naik angkot ke sana. Baru saja melangkahkan kaki melewati pintu masuk, Ana dan Andri sudah berkomentar, “Mosok harus nunggu satu jam?” Ternyata eh ternyata, belum open hours (Tadinya saya pikir kami mesti nunggu karena semua ruangan penuh). Yah, mungkin ini pertanda kalau kami, terutama saya, harus istirahat karena belum beristirahat cukup sejak semalam. Kami pun kembali ke kos (lagi-lagi) naik taksi.
Sambil beristirahat dan menyegarkan diri dengan sejuknya air Semarang Atas, Ana dan Andri mencari informasi mengenai Taman Tabanas. Oh God, bertahun-tahun di sini Ana belum juga mengenal seluk beluk Semarang! Ternyata tak satu pun teman yang tahu lokasi Taman Tabanas. Seingat saya, saya mendapat referensi tempat ini dari Adi yang “cuma” tiga tahun tinggal di sekitar Undip. Kami pun memutuskan ke Restoran Alam Indah di daerah Gombel yang katanya juga mempunyai view kerlap-kerlip Semarang di waktu malam. Sekitar jam 20.00 WIB kami ke Alam Indah. Kata Ana paling-paling jaraknya tidak sampai 1 km tetapi jalannya menanjak. Tadinya kami berjalan kaki ke sana tapi karena jalannya terlalu ramai oleh kendaraan yang lalu lalang sementara tidak ada trotoar di pinggirannya, kami pun naik bus kota. Belum sampai dua menit duduk kami sudah tiba di sebuah tempat (sepertinya sih restoran dengan beberapa pondok) dengan nama Panorama. Saat turun Ana baru menyadari bahwa Alam Sari masih beberapa puluh meter di atas. Tapi saya langsung terbahak-bahak (bahkan nyaris guling-guling) saat melihat tulisan di salah satu sisi jalan. Taman Tabanas. Akhirnya, tempat yang kami cari ada di sini! Beberapa meja bulat lengkap dengan bangku-bangkunya terisi penuh, sebagian besar oleh pasangan muda-mudi. Kami pun mengambil tempat di salah satu meja lesehan yang kosong di tempat yang lebih tinggi dengan nite view yang lebih luas.
Kami memesan tiga gelas wedang jahe, kentang goreng barbeque, roti bakar, dan mi goreng spesial. Tempatnya asyik tapi makanan dan minumannya mengecewakan. Gambar 5 Angin dingin makin menusuk tulang, kami pun kembali ke kos sekitar pukul 21.30 WIB dan berencana ke MAJT esok hari pagi-pagi. “Jam tujuh?” Tanya Andri. “Itu sih kesiangan!” jawab Ana dan saya kompak.
Berbekal sebuah tas punggung sarat beban sekitar 20kg (hiperbola mode: ON) dan selembar tiket kereta Senja Utama Semarang, saya langsung meluncur ke St. Senen begitu bubaran kantor sekitar pukul 17.15 WIB. Di atas motor ojeker saya sempat berpikir, “Duh, bapak ini tahu gak sih jalan ke St. Senen?” Pasalnya, beliau mengambil jalur yang berbeda dengan jalur yang biasa saya lewati menuju stasiun. Kami melewati Gereja Theresia di daerah Menteng yang sebagian jalan di sekitarnya digunakan untuk parkir mobil para jamaah yang akan melakukan Misa Natal. Alhasil, motor saja sulit menembus kemacetan di sekitar gereja. Lepas dari Gereja Theresia ternyata kami belum bisa bernapas lega, kemacetan lagi-lagi menghadang di depan. Baru setelah melewati Tugu Tani kemacetan terurai. Alhamdulillah bisa sampai di St. sebelum jadwal keberangkatan.
Beberapa menit berlalu dari pukul 19.10 WIB tapi kereta belum juga tiba dan tidak ada pemberitahuan apapun dari petugas St.. Saya melanjutkan membaca The Hunt For Atlantis-nya Andy McDermott. Akhirnya rangkaian kereta yang akan membawa saya ke Tegal tiba dan meninggalkan St. Senen pukul 19.30 WIB. Baru beberapa saat berjalan, kereta berhenti di St. Jatinegara untuk menaikkan penumpang. 5 menit, 10 menit, 15 menit berlalu tapi kereta belum beranjak dari St. Jatinegara. Oh no… ternyata lokomotif kereta harus diganti karena ada kerusakan. Awal perjalanan yang kurang menyenangkan. Kereta diberangkatkan dari St. Jatinegara pukul 20.30 WIB. Petualangan Nina Wilde dan Edward Chase menemani perjalanan.
Kamis, 25 Desember 2008
Pukul 01.05 WIB, terlambat lebih dari satu jam dari jadwal yang tertera di tiket, kereta tiba di St. Tegal. Saya saat itu terbangun gara-gara gerbong mulai ramai karena teriakan para pedagang asongan. Waktu melihat ke sebelah kiri, tulisan St. Tegal terpampang jelas. Panik, saya langsung menarik tas punggung yang berat itu dan berlari turun dari kereta. Hufp… alhamdulillah sampai juga di Tegal. Om Yon diminta oleh Ibu untuk menjemput saya karena Bapak sedang berada di Purwakarta menjenguk Mbak Mila yang melahirkan sehari sebelumnya. Setelah membersihkan diri plus sedikit obrolan dengan Ibu, saya pun terlelap.
Pukul 07.00 WIB saya siap melanjutkan perjalanan dan meluncur ke agen bus Nusantara yang akan membawa saya ke Semarang. Belum sampai 5 menit tiba di agen, Andri datang lengkap dengan tas punggung yang lebih besar dari yang saya bawa. Ya, kami akan backpacking bareng dan Andri sudah membeli tiket bus untuk kami berdua. Seorang ibu mengajak berbincang dan mengira kami masih berstatus mahasiswa. Duh senengnya… :D
Bus berangkat pukul 07.45 WIB, terlambat lima belas menit dari jadwal. Sudah bertahun-tahun saya tidak menyusuri Jalur Pantura melalui jalan yang dahulu dibangun di masa Daendels. Kalau tidak salah, terakhir waktu datang ke pernikahannya Hanik di Kediri pertengahan 2003. Eh bukan ding... waktu ke Jogja beberapa hari setelah gempa yang meluluhlantakkan kota itu bulan Mei 2006. Tidak demikian dengan Andri. Tiap minggu dia melewati Jalur Pantura dari Tegal hingga Pekalongan dan sebaliknya. Wuih… kantor tempat Andri melewati sebagian besar waktunya ternyata gede banget. Saking gedenya, kata Andri, ada beberapa bagian yang tidak digunakan. Hmm… menghambur-hamburkan anggaran nih.
Memasuki Semarang, saya terjaga dari tidur. Ternyata ada pesan singkat dari Ana sekitar sejam yang lalu yang menanyakan posisi kami. Sampai di Mangkang, tulis saya di pesan jawaban. Tapi tak lama kemudian kami tiba di agen dan kami memutuskan untuk menggunakan jasa taksi. Dengan panduan dari Ana dan supir taksi Express (wow, ternyata armada Express ada juga di Semarang!) yang mengantar kami, tibalah kami di kos Ana yang terletak tidak jauh dari Pasar Jatingaleh. Lagi-lagi kami dikira mahasiswa oleh supir taksi tadi, hehehe….
Setelah istirahat sebentar dan sholat dzuhur, kami makan di warung Padang terdekat karena cacing-cacing di perut sudah mulai berdemonstrasi. Sembari makan kami membahas rencana perjalanan berikutnya. Tujuan saya di Semarang cuma dua: ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) dan menikmati malam di Taman Tabanas. Andri sih manut mau ke mana saja dan dia ingin kami menyisihkan waktu ke Gramedia karena susah mencari buku bagus di Tegal dan Pekalongan. Kami sepakat membuat kas kecil yang akan membiayai seluruh pengeluaran kami selama beberapa hari ini. Andri secara aklamasi ditunjuk sebagai pemegang kas.
Selesai makan kami putuskan naik taksi ke MAJT karena menurut Ana, kalau menggunakan angkutan umum kami harus berganti angkutan tiga kali. Baru saja taksi meluncur menuju Semarang Bawah, hujan deras mengguyur kota ini. Lagi-lagi berdasarkan pertimbangan Ana yang sudah berkali-kali jadi guide ke MAJT, kami ganti haluan ke Gramedia Pandanaran. Ternyata di sana sedang ada Anniversary Sale, diskon 30% untuk semua barang kecuali elektronik. Andri pun langsung berburu meski terpaksa gigit jari karena buku yang diincarnya (novel-novelnya Stephanie Meyer) tidak ada. Saya menahan diri untuk tidak berbelanja buku karena setumpuk buku yang tersegel rapi masih menanti untuk dieksekusi. Tapi saat melihat majalah bergambar WALL-E saya tidak bisa bertahan. Ada novel grafisnya juga loh…. Tak seperti acara diskon Gramedia di Jakarta yang selalu dipadati pengunjung, di sini lumayan sepi dan bisa leluasa mencari buku. Sayang, koleksinya kurang lengkap.
Tadinya kami berencana ke MAJT setelah mengubek-ngubek Gramedia. Kami terpaksa mengurungkan niat karena di luar rintik-rintik hujan masih membasahi. Mampir sholat di Masjid Baiturrahman (Simpang Lima) yang ternyata bersebelahan dengan Gramedia Pandanaran! Mampir di masjid ini mengingatkan saya akan kejadian beberapa tahun lalu saat saya (maaf) muntah-muntah di halaman masjid karena masuk angin.
Setengah jam berikutnya kami sudah duduk di warung lesehan untuk menyantap tahu gimbal. Sebenarnya, beberapa daerah mempunyai makanan khas yang mirip komposisinya tetapi berbeda namanya. Kalau di Semarang ada tahu gimbal, di Jakarta ada gado-gado, di Tegal ada lengko, dan di Magelang ada kupat tahu. Yang membedakan keempatnya, kalau tahu gimbal ada semacam bakwan udang yang dipotong-potong, gado-gado lebih banyak sayurannya, lengko juga banyak sayuran tapi disajikan dengan nasi, dan kupat tahu ditambah dengan cuka. Kesamaan komposisinya ada di tahu dan bumbu kacang (analisa asal-asalan, boleh percaya boleh nggak).
Karena batal ke MAJT kami pun memutuskan untuk nonton di Mal Ciputra (entah kenapa, mal ini juga lebih terkenal dengan nama Citraland, sama dengan saudaranya di Jakarta). Padahal dari awal saya sudah bertekad tidak akan menginjakkan kaki di mall selama perjalanan ini, tapi apa daya. Seperti yang sudah saya duga, tidak ada yang menarik dari empat film yang diputar. Batal deh rencana nonton. Kami sepakat berkaraoke ria di Happy Puppy yang ada di Jl. Ahmad Yani. Kami pun naik angkot ke sana. Baru saja melangkahkan kaki melewati pintu masuk, Ana dan Andri sudah berkomentar, “Mosok harus nunggu satu jam?” Ternyata eh ternyata, belum open hours (Tadinya saya pikir kami mesti nunggu karena semua ruangan penuh). Yah, mungkin ini pertanda kalau kami, terutama saya, harus istirahat karena belum beristirahat cukup sejak semalam. Kami pun kembali ke kos (lagi-lagi) naik taksi.
Sambil beristirahat dan menyegarkan diri dengan sejuknya air Semarang Atas, Ana dan Andri mencari informasi mengenai Taman Tabanas. Oh God, bertahun-tahun di sini Ana belum juga mengenal seluk beluk Semarang! Ternyata tak satu pun teman yang tahu lokasi Taman Tabanas. Seingat saya, saya mendapat referensi tempat ini dari Adi yang “cuma” tiga tahun tinggal di sekitar Undip. Kami pun memutuskan ke Restoran Alam Indah di daerah Gombel yang katanya juga mempunyai view kerlap-kerlip Semarang di waktu malam. Sekitar jam 20.00 WIB kami ke Alam Indah. Kata Ana paling-paling jaraknya tidak sampai 1 km tetapi jalannya menanjak. Tadinya kami berjalan kaki ke sana tapi karena jalannya terlalu ramai oleh kendaraan yang lalu lalang sementara tidak ada trotoar di pinggirannya, kami pun naik bus kota. Belum sampai dua menit duduk kami sudah tiba di sebuah tempat (sepertinya sih restoran dengan beberapa pondok) dengan nama Panorama. Saat turun Ana baru menyadari bahwa Alam Sari masih beberapa puluh meter di atas. Tapi saya langsung terbahak-bahak (bahkan nyaris guling-guling) saat melihat tulisan di salah satu sisi jalan. Taman Tabanas. Akhirnya, tempat yang kami cari ada di sini! Beberapa meja bulat lengkap dengan bangku-bangkunya terisi penuh, sebagian besar oleh pasangan muda-mudi. Kami pun mengambil tempat di salah satu meja lesehan yang kosong di tempat yang lebih tinggi dengan nite view yang lebih luas.
Kami memesan tiga gelas wedang jahe, kentang goreng barbeque, roti bakar, dan mi goreng spesial. Tempatnya asyik tapi makanan dan minumannya mengecewakan. Gambar 5 Angin dingin makin menusuk tulang, kami pun kembali ke kos sekitar pukul 21.30 WIB dan berencana ke MAJT esok hari pagi-pagi. “Jam tujuh?” Tanya Andri. “Itu sih kesiangan!” jawab Ana dan saya kompak.
Friday, January 9, 2009
(Lagi-lagi) Di mana sih Atlantis itu?
The Hunt For Atlantis (Terj.)
Andy McDermott
Gagas Media
648 halaman
Desember 2008
Dr. Nina Wilde adalah seorang arkeolog muda yang proposalnya mengenai penelusuran jejak Atlantis ditolak oleh pihak kampus. Tak disangka-sangka, dia malah mendapat tawaran dari seorang milyuner Norwegia, Kristian Frost, untuk menemukan legenda tersebut. Kari Frost, ditugaskan menjadi wakil ayahnya untuk mendampingi Nina dalam perburuannya, dan untuk menjaga mereka Frost menyewa mantan agen SAS, Edward Chase.
Tugas pertama Nina adalah memastikan bahwa orichalcum yang ditawarkan Failak Hajjar, pedagang barang antik ilegal di Iran, adalah asli. Tapi ternyata Hajjar ingkar dan telah menyiapkan tentara untuk menghabisi Nina dkk. Kari diculik Hajjar sementara Nina dan yang lainnya dibawa oleh pasukan yang menyergap mereka. Chase yang lolos dari penyergapan harus menentukan pilihan siapa yang akan dia kejar. Akhirnya dia berhasil membebaskan Nina dkk. dan berhasil menyusup ke ”istana” Hajjar untuk membebaskan Kari. Hajjar tewas mengenaskan dan orichalcum pun berpindah tangan. Orichalcum inilah yang akan menjadi titik awal pencarian Atlantis. Sebuah lempeng dari campuran emas dan tembaga. Mirip dengan liontin yang dipakai Nina yang ditemukannya di Maroko saat menemani orang tuanya berburu Atlantis.
Simbol-simbol di permukaan orichalcum menuntun mereka ke pedalaman Brazil. Sekelompok suku terasing menjaga sebuah kuil yang dimensinya mirip dengan kuil Poseidon yang disebut Plato dalam Timaeus dan Critias. Kari yang dianggap tetua suku sebagai penerus raja mereka di masa lalu harus melewati tiga ujian di dalam kuil, Uji Kekuatan, Uji Ketangkasan, dan Uji Akal. Bertiga dengan Nina dan Chase harus menyelesaikan ujian tersebut kalau ingin mereka dan teman-teman kru penjelajah bisa hidup lebih lama. Dengan susah payah mereka lolos Uji Kekuatan dan Uji Ketangkasan. Saat tiba di ruangan Uji Akal, sebuah peta tergambar di dinding berbahan orichalcum, peta perjalanan orang-orang Atlantis, Atlantean. Dari gambar tersebut Nina yakin bahwa Atlantis berada di Teluk Cadiz sesuai penelitiannya. Tapi saat mereka menyelesaikan ujian terakhir itu, pasukan Giovanni Qobras yang dipimpin Jason Starkman memborbardir kuil dan perkampungan. Qobras adalah pemimpin Persaudaraan Selaphorom yang berusaha mencari Atlantis untuk dihancurkan. Untunglah Chase dkk. berhasil membuat lawan mereka kocar-kacir.
Rombongan Nina pun bergerak ke Teluk Cadiz dan di kedalaman 244 meter mereka menemukan reruntuhan Atlantis. Termasuk sebuah kuil dengan ukuran sama persis dengan kuil yang mereka temukan di Brazil. Ternyata pasukan Qobras juga mengendus jejak mereka hingga ke perairan itu. Pertempuran pun kembali terjadi.
Tadinya saya pikir buku ini akan banyak berbicara tentang legenda Atlantis beserta bukti-bukti yang menggiring orang mempercayai kebenaran legenda ini. Tetapi ternyata lebih banyak berkisah aksi heroik Chase dkk. lengkap dengan spesifikasi senjata, helikopter, pesawat dll. yang digunakan. Sepertinya McDermott memang kurang menggali informasi dari legenda ini. Tapi lumayan juga kok untuk hiburan, komplit dengan bumbu sedikit romantis dan kelakar Chase yang sarkas. Saya lebih menikmati kisah Negara Kelima-nya E.S. Ito yang juga mengusung legenda Atlantis.
Tak disangka-sangka, di negara asalnya sana (Inggris), McDermott sudah menerbitkan dua sekuelnya, The Tomb of Hercules dan The Secret of Escalibur. Dan tahun ini juga sekuel keempatnya, The Covenant of Genesis, akan diterbitkan. Semuanya mengisahkan petualangan Nina Wilde dan Edward Chase. Hmm... saya sih kurang berminat mengikuti petualangan mereka selanjutnya.
:D
Andy McDermott
Gagas Media
648 halaman
Desember 2008
Dr. Nina Wilde adalah seorang arkeolog muda yang proposalnya mengenai penelusuran jejak Atlantis ditolak oleh pihak kampus. Tak disangka-sangka, dia malah mendapat tawaran dari seorang milyuner Norwegia, Kristian Frost, untuk menemukan legenda tersebut. Kari Frost, ditugaskan menjadi wakil ayahnya untuk mendampingi Nina dalam perburuannya, dan untuk menjaga mereka Frost menyewa mantan agen SAS, Edward Chase.
Tugas pertama Nina adalah memastikan bahwa orichalcum yang ditawarkan Failak Hajjar, pedagang barang antik ilegal di Iran, adalah asli. Tapi ternyata Hajjar ingkar dan telah menyiapkan tentara untuk menghabisi Nina dkk. Kari diculik Hajjar sementara Nina dan yang lainnya dibawa oleh pasukan yang menyergap mereka. Chase yang lolos dari penyergapan harus menentukan pilihan siapa yang akan dia kejar. Akhirnya dia berhasil membebaskan Nina dkk. dan berhasil menyusup ke ”istana” Hajjar untuk membebaskan Kari. Hajjar tewas mengenaskan dan orichalcum pun berpindah tangan. Orichalcum inilah yang akan menjadi titik awal pencarian Atlantis. Sebuah lempeng dari campuran emas dan tembaga. Mirip dengan liontin yang dipakai Nina yang ditemukannya di Maroko saat menemani orang tuanya berburu Atlantis.
Simbol-simbol di permukaan orichalcum menuntun mereka ke pedalaman Brazil. Sekelompok suku terasing menjaga sebuah kuil yang dimensinya mirip dengan kuil Poseidon yang disebut Plato dalam Timaeus dan Critias. Kari yang dianggap tetua suku sebagai penerus raja mereka di masa lalu harus melewati tiga ujian di dalam kuil, Uji Kekuatan, Uji Ketangkasan, dan Uji Akal. Bertiga dengan Nina dan Chase harus menyelesaikan ujian tersebut kalau ingin mereka dan teman-teman kru penjelajah bisa hidup lebih lama. Dengan susah payah mereka lolos Uji Kekuatan dan Uji Ketangkasan. Saat tiba di ruangan Uji Akal, sebuah peta tergambar di dinding berbahan orichalcum, peta perjalanan orang-orang Atlantis, Atlantean. Dari gambar tersebut Nina yakin bahwa Atlantis berada di Teluk Cadiz sesuai penelitiannya. Tapi saat mereka menyelesaikan ujian terakhir itu, pasukan Giovanni Qobras yang dipimpin Jason Starkman memborbardir kuil dan perkampungan. Qobras adalah pemimpin Persaudaraan Selaphorom yang berusaha mencari Atlantis untuk dihancurkan. Untunglah Chase dkk. berhasil membuat lawan mereka kocar-kacir.
Rombongan Nina pun bergerak ke Teluk Cadiz dan di kedalaman 244 meter mereka menemukan reruntuhan Atlantis. Termasuk sebuah kuil dengan ukuran sama persis dengan kuil yang mereka temukan di Brazil. Ternyata pasukan Qobras juga mengendus jejak mereka hingga ke perairan itu. Pertempuran pun kembali terjadi.
Tadinya saya pikir buku ini akan banyak berbicara tentang legenda Atlantis beserta bukti-bukti yang menggiring orang mempercayai kebenaran legenda ini. Tetapi ternyata lebih banyak berkisah aksi heroik Chase dkk. lengkap dengan spesifikasi senjata, helikopter, pesawat dll. yang digunakan. Sepertinya McDermott memang kurang menggali informasi dari legenda ini. Tapi lumayan juga kok untuk hiburan, komplit dengan bumbu sedikit romantis dan kelakar Chase yang sarkas. Saya lebih menikmati kisah Negara Kelima-nya E.S. Ito yang juga mengusung legenda Atlantis.
Tak disangka-sangka, di negara asalnya sana (Inggris), McDermott sudah menerbitkan dua sekuelnya, The Tomb of Hercules dan The Secret of Escalibur. Dan tahun ini juga sekuel keempatnya, The Covenant of Genesis, akan diterbitkan. Semuanya mengisahkan petualangan Nina Wilde dan Edward Chase. Hmm... saya sih kurang berminat mengikuti petualangan mereka selanjutnya.
:D
Thursday, January 8, 2009
Atlantis Ada di Dasar Perairan Nusantara?
Negara Kelima
E.S. Ito
Penerbit Serambi
446 halaman
Cetakan I, Edisi Baru, Mei 2008
Seorang gadis ditemukan tidak bernyawa di sebuah kamar hotel dengan sebuah petunjuk berupa gambar piramida dengan garis yang membelah alasnya. Simbol dari Kelompok Patriotik Radikal alias KePaRad. Kasus yang semula dipercayakan kepada Insp. Rudi dari Polda Metro Jaya diambil alih oleh Detasemen Khusus Antiteror karena dianggap memiliki keterkaitan dengan pengejaran orang-orang KePaRad. Dalam waktu 48 jam, dua gadis lain juga ditemukan tewas. Insp. Rudi pun turut menjadi korban. Timur Mangkuto yang bertugas di bagian data Densus 88 dituduh membunuh sahabatnya tersebut. Dengan bantuan Genta, “bawahannya” di Densus 88 dia berhasil meloloskan diri untuk mengungkap kematian Rudi. Pelarian ini malah mengokohkan anggapan bahwa Timur adalah salah satu anggota KePaRad.
Timur dan Genta menemui Eva Duani, seorang sejarawan, berdasarkan rekomendasi Rudi beberapa saat sebelum kematiannya. Dibekali transkripsi hasil interogasi terhadap dua anggota KePaRad yang tertangkap dalam suatu penggerebekan, mereka mencoba mencari jawab teka teki lima negara. Eva terpaksa melibatkan ayahnya, Prof. Duani Abdullah, yang juga seorang sejarawan. Tulisan Plato, Critias dan Timaeus, menjadi kunci terjawabnya teka-teki Negara Pertama, Atlantis. Satu per satu teka-teki berikutnya pun terungkap. Majapahit, Sriwijaya, Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi. Tapi teka-teki Negara Kelima belum terkuak.
Sementara itu, Densus 88 juga berusaha memecahkan teka-teki tersebut dan tetap mengejar Timur dan Genta. Anggota KePaRad berhasil menemukan Serat Ilmu, benda yang diyakini berasal dari masa Atlantis yang akan membawa kejayaan di negeri yang sakit ini.
Thriller-nya benar-benar memukau. Meski alurnya nyaris sama dengan buku kedua Ito, Rahasia Meede, yang lebih dulu saya baca, novel ini menyajikan cerita yang membuat pembacanya ikut ngos-ngosan mengikuti pelarian Timur dan penasaran dengan ending-nya. Akankah Negara Kelima berdiri? Benarkah Atlantis terkubur di bawah peraian Nusantara?
Tidak seperti di Rahasia Meede yang mengupas beberapa sudut keindahan negeri ini lengkap dengan budaya-budaya yang nyaris terkikis, Ito lebih banyak berputar di Jakarta dan sekitarnya, kecuali sedikit cerita di sekitar Bukittinggi. Sejarah Nusantara banyak dibahas di sini, mulai dari kejayaan Majapahit, Ken Arok, kemunculan Sriwijaya, hingga PDRI yang dipimpin Syafrudin Prawiranegara saat ibu kota yang waktu itu berada di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Dengan sedikit menyentil beberapa ”budaya” orang-orang negeri ini dan berdasarkan riset sejarah yang pastinya memerlukan banyak waktu, tenaga dan pikiran, serta dibumbui kisah pembunuhan ala detektif, Ito berhasil membawa pembacanya ikut merasakan kegelisahan kaum muda akan kejayaan negeri ini.
Pokoknya seru!
E.S. Ito
Penerbit Serambi
446 halaman
Cetakan I, Edisi Baru, Mei 2008
Seorang gadis ditemukan tidak bernyawa di sebuah kamar hotel dengan sebuah petunjuk berupa gambar piramida dengan garis yang membelah alasnya. Simbol dari Kelompok Patriotik Radikal alias KePaRad. Kasus yang semula dipercayakan kepada Insp. Rudi dari Polda Metro Jaya diambil alih oleh Detasemen Khusus Antiteror karena dianggap memiliki keterkaitan dengan pengejaran orang-orang KePaRad. Dalam waktu 48 jam, dua gadis lain juga ditemukan tewas. Insp. Rudi pun turut menjadi korban. Timur Mangkuto yang bertugas di bagian data Densus 88 dituduh membunuh sahabatnya tersebut. Dengan bantuan Genta, “bawahannya” di Densus 88 dia berhasil meloloskan diri untuk mengungkap kematian Rudi. Pelarian ini malah mengokohkan anggapan bahwa Timur adalah salah satu anggota KePaRad.
Timur dan Genta menemui Eva Duani, seorang sejarawan, berdasarkan rekomendasi Rudi beberapa saat sebelum kematiannya. Dibekali transkripsi hasil interogasi terhadap dua anggota KePaRad yang tertangkap dalam suatu penggerebekan, mereka mencoba mencari jawab teka teki lima negara. Eva terpaksa melibatkan ayahnya, Prof. Duani Abdullah, yang juga seorang sejarawan. Tulisan Plato, Critias dan Timaeus, menjadi kunci terjawabnya teka-teki Negara Pertama, Atlantis. Satu per satu teka-teki berikutnya pun terungkap. Majapahit, Sriwijaya, Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi. Tapi teka-teki Negara Kelima belum terkuak.
Sementara itu, Densus 88 juga berusaha memecahkan teka-teki tersebut dan tetap mengejar Timur dan Genta. Anggota KePaRad berhasil menemukan Serat Ilmu, benda yang diyakini berasal dari masa Atlantis yang akan membawa kejayaan di negeri yang sakit ini.
Thriller-nya benar-benar memukau. Meski alurnya nyaris sama dengan buku kedua Ito, Rahasia Meede, yang lebih dulu saya baca, novel ini menyajikan cerita yang membuat pembacanya ikut ngos-ngosan mengikuti pelarian Timur dan penasaran dengan ending-nya. Akankah Negara Kelima berdiri? Benarkah Atlantis terkubur di bawah peraian Nusantara?
Tidak seperti di Rahasia Meede yang mengupas beberapa sudut keindahan negeri ini lengkap dengan budaya-budaya yang nyaris terkikis, Ito lebih banyak berputar di Jakarta dan sekitarnya, kecuali sedikit cerita di sekitar Bukittinggi. Sejarah Nusantara banyak dibahas di sini, mulai dari kejayaan Majapahit, Ken Arok, kemunculan Sriwijaya, hingga PDRI yang dipimpin Syafrudin Prawiranegara saat ibu kota yang waktu itu berada di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Dengan sedikit menyentil beberapa ”budaya” orang-orang negeri ini dan berdasarkan riset sejarah yang pastinya memerlukan banyak waktu, tenaga dan pikiran, serta dibumbui kisah pembunuhan ala detektif, Ito berhasil membawa pembacanya ikut merasakan kegelisahan kaum muda akan kejayaan negeri ini.
Pokoknya seru!
Subscribe to:
Posts (Atom)