Monday, January 12, 2009

Backpacking-nya Melski Cs. (Bagian Pertama)

Rabu, 24 Desember 2008

Berbekal sebuah tas punggung sarat beban sekitar 20kg (hiperbola mode: ON) dan selembar tiket kereta Senja Utama Semarang, saya langsung meluncur ke St. Senen begitu bubaran kantor sekitar pukul 17.15 WIB. Di atas motor ojeker saya sempat berpikir, “Duh, bapak ini tahu gak sih jalan ke St. Senen?” Pasalnya, beliau mengambil jalur yang berbeda dengan jalur yang biasa saya lewati menuju stasiun. Kami melewati Gereja Theresia di daerah Menteng yang sebagian jalan di sekitarnya digunakan untuk parkir mobil para jamaah yang akan melakukan Misa Natal. Alhasil, motor saja sulit menembus kemacetan di sekitar gereja. Lepas dari Gereja Theresia ternyata kami belum bisa bernapas lega, kemacetan lagi-lagi menghadang di depan. Baru setelah melewati Tugu Tani kemacetan terurai. Alhamdulillah bisa sampai di St. sebelum jadwal keberangkatan.
Beberapa menit berlalu dari pukul 19.10 WIB tapi kereta belum juga tiba dan tidak ada pemberitahuan apapun dari petugas St.. Saya melanjutkan membaca The Hunt For Atlantis-nya Andy McDermott. Akhirnya rangkaian kereta yang akan membawa saya ke Tegal tiba dan meninggalkan St. Senen pukul 19.30 WIB. Baru beberapa saat berjalan, kereta berhenti di St. Jatinegara untuk menaikkan penumpang. 5 menit, 10 menit, 15 menit berlalu tapi kereta belum beranjak dari St. Jatinegara. Oh no… ternyata lokomotif kereta harus diganti karena ada kerusakan. Awal perjalanan yang kurang menyenangkan. Kereta diberangkatkan dari St. Jatinegara pukul 20.30 WIB. Petualangan Nina Wilde dan Edward Chase menemani perjalanan.


Kamis, 25 Desember 2008

Pukul 01.05 WIB, terlambat lebih dari satu jam dari jadwal yang tertera di tiket, kereta tiba di St. Tegal. Saya saat itu terbangun gara-gara gerbong mulai ramai karena teriakan para pedagang asongan. Waktu melihat ke sebelah kiri, tulisan St. Tegal terpampang jelas. Panik, saya langsung menarik tas punggung yang berat itu dan berlari turun dari kereta. Hufp… alhamdulillah sampai juga di Tegal. Om Yon diminta oleh Ibu untuk menjemput saya karena Bapak sedang berada di Purwakarta menjenguk Mbak Mila yang melahirkan sehari sebelumnya. Setelah membersihkan diri plus sedikit obrolan dengan Ibu, saya pun terlelap.
Pukul 07.00 WIB saya siap melanjutkan perjalanan dan meluncur ke agen bus Nusantara yang akan membawa saya ke Semarang. Belum sampai 5 menit tiba di agen, Andri datang lengkap dengan tas punggung yang lebih besar dari yang saya bawa. Ya, kami akan backpacking bareng dan Andri sudah membeli tiket bus untuk kami berdua. Seorang ibu mengajak berbincang dan mengira kami masih berstatus mahasiswa. Duh senengnya… :D
Bus berangkat pukul 07.45 WIB, terlambat lima belas menit dari jadwal. Sudah bertahun-tahun saya tidak menyusuri Jalur Pantura melalui jalan yang dahulu dibangun di masa Daendels. Kalau tidak salah, terakhir waktu datang ke pernikahannya Hanik di Kediri pertengahan 2003. Eh bukan ding... waktu ke Jogja beberapa hari setelah gempa yang meluluhlantakkan kota itu bulan Mei 2006. Tidak demikian dengan Andri. Tiap minggu dia melewati Jalur Pantura dari Tegal hingga Pekalongan dan sebaliknya. Wuih… kantor tempat Andri melewati sebagian besar waktunya ternyata gede banget. Saking gedenya, kata Andri, ada beberapa bagian yang tidak digunakan. Hmm… menghambur-hamburkan anggaran nih.
Memasuki Semarang, saya terjaga dari tidur. Ternyata ada pesan singkat dari Ana sekitar sejam yang lalu yang menanyakan posisi kami. Sampai di Mangkang, tulis saya di pesan jawaban. Tapi tak lama kemudian kami tiba di agen dan kami memutuskan untuk menggunakan jasa taksi. Dengan panduan dari Ana dan supir taksi Express (wow, ternyata armada Express ada juga di Semarang!) yang mengantar kami, tibalah kami di kos Ana yang terletak tidak jauh dari Pasar Jatingaleh. Lagi-lagi kami dikira mahasiswa oleh supir taksi tadi, hehehe….
Setelah istirahat sebentar dan sholat dzuhur, kami makan di warung Padang terdekat karena cacing-cacing di perut sudah mulai berdemonstrasi. Sembari makan kami membahas rencana perjalanan berikutnya. Tujuan saya di Semarang cuma dua: ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) dan menikmati malam di Taman Tabanas. Andri sih manut mau ke mana saja dan dia ingin kami menyisihkan waktu ke Gramedia karena susah mencari buku bagus di Tegal dan Pekalongan. Kami sepakat membuat kas kecil yang akan membiayai seluruh pengeluaran kami selama beberapa hari ini. Andri secara aklamasi ditunjuk sebagai pemegang kas.
Selesai makan kami putuskan naik taksi ke MAJT karena menurut Ana, kalau menggunakan angkutan umum kami harus berganti angkutan tiga kali. Baru saja taksi meluncur menuju Semarang Bawah, hujan deras mengguyur kota ini. Lagi-lagi berdasarkan pertimbangan Ana yang sudah berkali-kali jadi guide ke MAJT, kami ganti haluan ke Gramedia Pandanaran. Ternyata di sana sedang ada Anniversary Sale, diskon 30% untuk semua barang kecuali elektronik. Andri pun langsung berburu meski terpaksa gigit jari karena buku yang diincarnya (novel-novelnya Stephanie Meyer) tidak ada. Saya menahan diri untuk tidak berbelanja buku karena setumpuk buku yang tersegel rapi masih menanti untuk dieksekusi. Tapi saat melihat majalah bergambar WALL-E saya tidak bisa bertahan. Ada novel grafisnya juga loh…. Tak seperti acara diskon Gramedia di Jakarta yang selalu dipadati pengunjung, di sini lumayan sepi dan bisa leluasa mencari buku. Sayang, koleksinya kurang lengkap.
Tadinya kami berencana ke MAJT setelah mengubek-ngubek Gramedia. Kami terpaksa mengurungkan niat karena di luar rintik-rintik hujan masih membasahi. Mampir sholat di Masjid Baiturrahman (Simpang Lima) yang ternyata bersebelahan dengan Gramedia Pandanaran! Mampir di masjid ini mengingatkan saya akan kejadian beberapa tahun lalu saat saya (maaf) muntah-muntah di halaman masjid karena masuk angin.
Setengah jam berikutnya kami sudah duduk di warung lesehan untuk menyantap tahu gimbal. Sebenarnya, beberapa daerah mempunyai makanan khas yang mirip komposisinya tetapi berbeda namanya. Kalau di Semarang ada tahu gimbal, di Jakarta ada gado-gado, di Tegal ada lengko, dan di Magelang ada kupat tahu. Yang membedakan keempatnya, kalau tahu gimbal ada semacam bakwan udang yang dipotong-potong, gado-gado lebih banyak sayurannya, lengko juga banyak sayuran tapi disajikan dengan nasi, dan kupat tahu ditambah dengan cuka. Kesamaan komposisinya ada di tahu dan bumbu kacang (analisa asal-asalan, boleh percaya boleh nggak).
Karena batal ke MAJT kami pun memutuskan untuk nonton di Mal Ciputra (entah kenapa, mal ini juga lebih terkenal dengan nama Citraland, sama dengan saudaranya di Jakarta). Padahal dari awal saya sudah bertekad tidak akan menginjakkan kaki di mall selama perjalanan ini, tapi apa daya. Seperti yang sudah saya duga, tidak ada yang menarik dari empat film yang diputar. Batal deh rencana nonton. Kami sepakat berkaraoke ria di Happy Puppy yang ada di Jl. Ahmad Yani. Kami pun naik angkot ke sana. Baru saja melangkahkan kaki melewati pintu masuk, Ana dan Andri sudah berkomentar, “Mosok harus nunggu satu jam?” Ternyata eh ternyata, belum open hours (Tadinya saya pikir kami mesti nunggu karena semua ruangan penuh). Yah, mungkin ini pertanda kalau kami, terutama saya, harus istirahat karena belum beristirahat cukup sejak semalam. Kami pun kembali ke kos (lagi-lagi) naik taksi.
Sambil beristirahat dan menyegarkan diri dengan sejuknya air Semarang Atas, Ana dan Andri mencari informasi mengenai Taman Tabanas. Oh God, bertahun-tahun di sini Ana belum juga mengenal seluk beluk Semarang! Ternyata tak satu pun teman yang tahu lokasi Taman Tabanas. Seingat saya, saya mendapat referensi tempat ini dari Adi yang “cuma” tiga tahun tinggal di sekitar Undip. Kami pun memutuskan ke Restoran Alam Indah di daerah Gombel yang katanya juga mempunyai view kerlap-kerlip Semarang di waktu malam. Sekitar jam 20.00 WIB kami ke Alam Indah. Kata Ana paling-paling jaraknya tidak sampai 1 km tetapi jalannya menanjak. Tadinya kami berjalan kaki ke sana tapi karena jalannya terlalu ramai oleh kendaraan yang lalu lalang sementara tidak ada trotoar di pinggirannya, kami pun naik bus kota. Belum sampai dua menit duduk kami sudah tiba di sebuah tempat (sepertinya sih restoran dengan beberapa pondok) dengan nama Panorama. Saat turun Ana baru menyadari bahwa Alam Sari masih beberapa puluh meter di atas. Tapi saya langsung terbahak-bahak (bahkan nyaris guling-guling) saat melihat tulisan di salah satu sisi jalan. Taman Tabanas. Akhirnya, tempat yang kami cari ada di sini! Beberapa meja bulat lengkap dengan bangku-bangkunya terisi penuh, sebagian besar oleh pasangan muda-mudi. Kami pun mengambil tempat di salah satu meja lesehan yang kosong di tempat yang lebih tinggi dengan nite view yang lebih luas.
Kami memesan tiga gelas wedang jahe, kentang goreng barbeque, roti bakar, dan mi goreng spesial. Tempatnya asyik tapi makanan dan minumannya mengecewakan. Gambar 5 Angin dingin makin menusuk tulang, kami pun kembali ke kos sekitar pukul 21.30 WIB dan berencana ke MAJT esok hari pagi-pagi. “Jam tujuh?” Tanya Andri. “Itu sih kesiangan!” jawab Ana dan saya kompak.




No comments: