Jalur Gaza masih saja dibombardir oleh milisi Israel. Bahkan serangan makin diintensifkan. Laporan terputus oleh jeda iklan. Aku pindah ke jendela kertas kerja. Aku menatap kosong kertas kerja berisi laporan kinerja pegawai bulan ini. Otakku buntu. Ah, Palestina. Aku langsung ingat kau saat kata Palestina hadir di hadapanku. Bohong. Sesuatu tertangkap batinku. Ya, dua pekan ini pikiranku penuh dengan dirimu, setiap saat. Tak hanya saat kata Palestina terlintas.
Aku beranjak dan menyeduh secangkir kopi. Percuma saja aku berlama-lama duduk di depan komputer dan berusaha menyelesaikan beberapa tugas yang tertunda. Menyeruput kopi sembari menyelonjorkan diri di sofa yang nyaman. Tenang. Itulah alasanku sering menghabiskan waktu di kantor setiap hari Sabtu, saat hanya ada aku dan Pak Marjuki yang sedang berjaga di pos satpam. Suara reporter sebuah stasiun televisi masih melaporkan kondisi di Jalur Gaza. I wish you were here. Tubuhku seolah tertarik ke kejadian hari itu. Perbincangan terakhir kita.
“Duniamu terlalu besar untukku. Kita hidup tidak sendirian, ada tanggung jawab sosial. Keluargamu, teman-temanmu… Gak kebayang reaksi mereka mengetahui orang seperti aku memasuki dunia mereka.” Aku menghela napas. Akhirnya aku sanggup mengungkapkan hal ini.
“Tapi, Ri…”
“Sudahlah. Berhentilah membodohi diri kita sendiri,” potongku.
“Jadi kamu menyerah. Menyerah pada hal yang bahkan belum tentu terjadi?”
Sekilas aku melihat semburat merah di wajahmu. Bukan, bukan semburat merah karena tersipu. Kau menahan amarahmu.
“Akan terlalu berat buatku, Fe.” Aku bahkan yakin jawabanku nyaris tak tertangkap telingaku sendiri. Kau berulang kali menggelengkan kepala.
“Tidak. Tidak bisa.”
“Bisa, Fe. Bisa kalau kita mau.”
“Ini tidak adil, Ri.” Kau masih menggeleng-gelengkan kepala. Cairan bening mulai menggenangi sudut matamu. “Kamu tidak bisa seperti ini.”
“Aku pikir ini yang terbaik buat kita. Aku tidak cukup layak berjalan di sisimu. Keluarga dan teman-temanmu pasti memandang sinis saat melihat seorang kurcaci bersanding dengan seorang peri.”
“Cukup.” Kau mulai terisak. “Kau pikir keluargaku, teman-temanku, sepicik itu?”
“Bukan begitu maksudku, Fe,” kataku mencoba memberi penjelasan. Aku manangkap pergelangan tanganmu saat kau beranjak dari tempatmu. “Dengarkan aku dulu.”
“Biarkan aku pergi, Ri,” katamu sambil melepaskan genggaman tanganku.
“Tapi…”
“Sudah. Aku bilang cukup.” Kau setengah berlari meninggalkanku yang masih merutuk kebodohanku. Maafkan aku telah membuatmu menagis.
Getaran telepon seluler di saku membawaku kembali ke masa kini. Sebuah pesan singkat. Darimu. Laporan dari perbatasan Palestina dan Mesir masih terdengar. Aku menarik napas panjang. Kamu di kantor kan? Bisa jemput aku sekarang?
Aku terperangah membaca pesanmu. Nyaris tak percaya, aku baca sekali lagi. Tak ada perubahan. Aku langsung ke pos Pak Marjuki dan meminjam helm.
“Mau kemana, Mas?”
“Jemput teman, Pak.” Pertanyaan beliau kujawab sambil berlari ke tempat parkir. Sejenak aku terpaku. Motor aku matikan kembali. Berbagai rasa berkecamuk. Gembira. Kaget. Resah. Ragu. Entah apa lagi. Kalau mau jujur, aku belum siap menghadapimu saat ini.
Aku menekan beberapa tombol hingga tersambung ke nomormu. Telingaku disambut suara merdu Dewi Lestari.
Yang cuma ingin diam duduk di tempatku
Menanti seorang yang biasa saja
Segelas air…
“Halo, Ri,” sapamu ceria di ujung telepon.
“Eh, hai.” Jawabku canggung.
“Bisa jemput kan?”
“Eh, iya. Ini baru mau jalan. Tunggu sebentar ya.” Aku masih tergagap.
“Oke.”
Tak sampai lima sepuluh menit aku tiba di tempat kau menunggu. Tak banyak kata terucap saat kau kubawa kembali ke kantor. Kau langsung menghenyakkan tubuh di sofa tempatku tadi mengingatmu.
“Lagi ngerjain apa, Ri?”
“Biasalah, laporan kinerja,” sahutku sambil menunjuk ke arah komputer. Aku menemaninya duduk.
“Oh.” Kau manggut-manggut dan mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan.
“Fe, aku minta maaf.”
“Atas apa?”
“Kejadian tempo hari.”
“Oh itu. Bukan salah kamu kok.” Katamu sambil meninju lengan kiriku.
“Ouch.” Teriakku pura-pura kesakitan.
“Aku yang seharusnya minta maaf. Kemarin itu aku terlalu terbawa emosi. Sori ya, Ri.”
“It’s okey.” Kecanggunganku mulai mencair. “Jadi, kita berteman lagi?” tanyaku sembari menyodorkan jari kelingking. Kau menggeleng tegas.
“Tidak.”
“Kenapa? Apakah kita tidak bisa memulainya lagi?”
“Aku tidak mau hanya jadi temanmu, Ri.”
“Fe, jangan mulai lagi deh,” kataku pura-pura kesal.
“Aku serius, Ri.”
“Kamu pikir aku gak serius?”
“Dengar. Aku nggak ngerti apa yang ada dipikiranmu. Yang pasti, aku akan memperjuangkan ini. Dan aku gak akan sendirian. Aku butuh kamu, Ri.”
Hening. Suara reporter yang melaporkan keadaan terakhir dari agresi militer Israel masih terdengar. Juga beberapa ledakan dan deru pesawat serta jerit memilukan. Ah, Palestina.
“Bisa kan?”
“Eh, apa?” Aku tergeragap. Inilah yang aku takutkan.
“Menemaniku memperjuangkan ini. Memperjuangkan kita.”
“Fe, aku kan sudah bilang kalau…”
“Jangan katakan hal itu lagi,” potongmu. “Hanya karena karirku lebih tinggi dari kamu, dan juga penghasilanku, kamu merasa nggak layak?”
“Bukan itu saja, Fe.” Sanggahku. “Kamu terlahir dan dibesarkan di kota besar. Di tengah keluarga yang berpikiran modern. Sementara aku? Aku lahir dan dibesarkan di kota yang bahkan di peta pun orang sulit menemukannya. Karena keberuntungan saja aku bisa kuliah di ibu kota. Tempat terakhir yang ada di pikiranku untuk mencari penghidupan. Aku tak bisa mengikuti mobilitasnya yang tinggi. Juga gaya hidup konsumtifnya. Makanya aku kembali ke sini. Aku pernah bilang kan?” Kau mengangguk. Masih memberiku kesempatan menyelesaikan omongan. “Satu lagi. Kamu nggak sadar ya? Kita itu seperti Beauty and The Beast.”
“Beauty and The Beast, eh? Kenapa nggak WALL-E and EVE?
“Terserah kamu deh.”
“Berarti bakal berakhir and they live happily ever after dong,” katamu dengan senyum menggoda.
“Tapi kita bukan hidup di dunia Disney, Fe.” Aku tak tahu mesti berkata apa dan makin membenamkan tubuh di sofa empuk ini.
“Ri, ketakutan-ketakutan kamu terlalu mudah dibantah.”
“Eh?”
“Gak semua orang berpikiran sempit seperti itu. Keluargaku adalah orang-orang yang selalu mendukung tindakanku, semuanya. Yah, sepanjang tidak bertentangan dengan agama. Mereka percaya, apa pun yang akan lakukan sudah kupikirkan baik buruknya. Kalau suatu saat aku menemui kendala, itu sudah menjadi risiko yang harus aku tanggung. Mereka tak akan menyalahkan keputusanku di masa lalu.” Kau berhenti sesaat. “Memang sih, mungkin ada beberapa kerabat yang akan meremehkan, itu memang sudah tabiat mereka. Selama ini mereka selalu iri melihat keberhasilanku, keluarga kami.”
“Dan aku nggak keberatan tinggal di kota kecil ini. Aku bisa mengajukan pindah. Lagi pula tempatku bekerja mempunyai kantor-kantor perwakilan hingga di daerah yang tidak bisa kamu temukan di peta. Luwuk? Bau-bau? Toli-toli? Gak masalah. Asal sama kamu.” Kau memamerkan senyum termanismu. “Hei, kita bisa juga membuka lapangan kerja kan? Tak hanya terpaku menjadi orang kantoran.” Seolah menemukan ide brilian, kau langsung bersemangat mengungkapkan berbagai khayalmu tentang merintis usaha. Aku masih mendengarkan kata-kata yang berlompatan dari bibirmu.
“Tahu kenapa aku suka sekali dengan WALL-E? Bukan hanya karena visualisasi dan scoring yang mantap, juga isu-isu yang diangkat. Lingkungan hidup, kesehatan, hubungan antarmanusia.” Kau terdiam sejenak. “Aku melihat dirimu dalam sosok WALL-E. Dan aku berharap kau akan berjuang seperti dia. Lagi pula, kamu gak malu-maluin kok buat digandeng ke kondangan.” Tiba-tiba kamu terbahak-bahak setelah menyelesaikan kalimat terakhir.
“Kamu kenapa, Fe?” Aku menyentuh bahumu.
“Sebentar,” katamu masih terbahak dan mengusap cairan bening di sudut matamu.
“Macam orang kesambet aja.” Kataku merajuk. Kenapa sih gadis ini?
“Sadar nggak sih kalau kamu lucu, aneh bin ajaib, antik, dan meski kadang naif.”
“Lalu apa hubungannya dengan ketawa setanmu tadi?” Sumpah aku tak mengerti apa yang dipikirkannya.
“Ri, kamu itu benar-benar pemikir yah. Tiap hal kamu pikirkan dengan panjang. Kamu bahkan memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Kemarin adalah sejarah, dan kita tak mungkin kembali untuk mengubahnya. Esok adalah misteri, jadi biarkan saja tetap menjadi sebuah tanya sampai kita bertemu dengannya. Hari inilah yang harus kita hadapi, kita perjuangkan. Hiduplah untuk hari ini, Ri.” Kamu terbahak lagi. “Pantas saja kau tampak lebih berumur dari usiamu sebenarnya. Banyak pikiran gelap di situ.” Katamu mengarahkan telunjuk ke pelipisku. “Ijinkan aku memberikan sedikit pelita di sana.”
“Fe…”
“Aku percaya kita bisa, Ri.”
Senyap. Korban jiwa kembali berjatuhan saat pasukan Israel menggempur sebuah gedung milik PBB yang dijadikan tempat pengungsian warga Palestina.
No comments:
Post a Comment