Sunday, February 15, 2009

Gerimis Sore

Lelaki itu terlihat resah di atas kursi rodanya. Sebuah majalah investigasi mingguan terbuka di pangkuannya. Titik-titik air dari langit mulai membasahi rumput di halaman yang tak terlalu luas. Mata sayunya berulang kali memandang ke jalan kecil di depan rumah. Beberapa anak laki-laki dan perempuan berseragam putih abu-abu berlarian dan menutup kepalanya dengan tas agar terlindung dari gerimis.

Kursi rodanya mengarah ke pintu masuk. Terdiam sesaat, lelaki itu memutar kursinya kembali ke tempatnya semula di salah satu sudut teras. Mencoba melanjutkan membaca majalah yang masih ada di pangkuannya. Sudut matanya tetap mengintip jalan di depan yang kini telah basah. Tiba-tiba dia menutup majalah itu dan setengah melemparnya ke meja kecil di sampingnya. Dengan tergesa dia memutar kursi rodanya melewati pintu masuk. Melewati sofa di ruang tamu. Melewati televisi yang dibiarkan menyala. Seorang reporter sedang menyiarkan langsung berita kebanjiran dari salah satu bantaran Kali Ciliwung. Dia tak melihat istrinya di depan televisi.

Sampai di sebuah kamar yang cukup luas, dia harus bersusah payah mengambil kemeja yang tergantung di lemari.
“Bapak mau pergi kemana hujan-hujan begini?” Sebuah suara mengejutkannya. Suara yang sudah menemani hari-harinya selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir. Suara istrinya. Tangan perempuan setengah baya itu terulur mengambil kemeja putih bergaris abu-abu.
“Ibu mau ikut?” Lelaki itu bertanya sembari mengenakan kemejanya. Sebenarnya dia enggan mengatakan tujuan kepergiannya sore ini. Dia sudah bisa menebak reaksi yang akan diberikan istrinya.
“Memangnya Bapak mau kemana sih?” Jemarinya dengan cekatan membantu lelaki itu mengancingkan kemeja.
“Bapak mau ke rumah Pak Hadi. Bapak kangen sama Rasya, Bu.” Lelaki itu tak berani menatap istrinya yang kini menjauh selangkah darinya. Perlahan dia putar kursi rodanya ke luar kamar.
“Bapak sudah gila ya? Untuk apa Bapak ke sana?” tangan sang istri dengan sigap menghentikan laju kursi rodanya. Perempuan itu kini berdiri di depannya. “Ibu tidak akan membiarkan Bapak pergi ke rumah terkutuk itu!” Katanya setengah berteriak.
“Istighfar, Bu. Istighfar.” Digenggamnya kedua tangan istrinya untuk menenangkan. “Ibu tidak seharusnya mengatakan hal itu.”

Bahu perempuan itu naik turun tak beraturan. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya. Dia mulai terisak. “Tapi mereka sudah menghancurkan kehidupan anak kita. Menghancurkan kehidupan kita.” Ucapnya terbata di sela isak tangis. “Mereka yang membuat Bapak jadi begini.”
“Bukan, Bu. Ini takdir. Sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.” Lelaki itu mencoba tersenyum.
“Tapi, Pak, mereka…” belum sempat kalimat itu selesai diucapkan istrinya, lelaki itu memotong dengan halus.
“Bu, Rasya bagian dari keluarga kita. Mereka semua keluarga kita juga.” Lelaki itu berkata dengan hati-hati. “Lebaran kemarin Bapak terpaksa menuruti larangan Ibu, juga anak sulung kesayanganmu itu, agar tak berkunjung ke rumah Pak Hadi. Ibu masih ingat kan?” Istrinya mengangguk dengan enggan. Dia tak lagi terisak tetapi sisa air matanya masih membekas. Hening sesaat. Lelaki itu menghela napas panjang. “Dengan atau tanpa persetujuan Ibu, Bapak akan ke sana sekarang.”

Kursi roda itu mulai bergerak. Istrinya masih berdiri mematung tetapi tak lagi menghalangi jalan lelaki itu.

***

Sedan hitam itu meluncur perlahan di jalanan yang basah. Gerimis masih mengantar hari menuju senja. Seorang lelaki kecil berperawakan kurus duduk di belakang kemudi. Sesekali sudut matanya mencuri pandang ke lelaki yang duduk di sampingnya. Tak seperti hari-hari biasa, tuannya itu nampak murung sore ini. Dia menjadi mengerti saat sang tuan mengatakan tujuan perjalanan mereka. Dia pun tak berani bicara ceplas-ceplos seperti yang biasa dia lakukan saat mengantar tuannya, membicarakan berita-berita hangat di media massa, menceritakan tentang tingkah lucu dan menggemaskan si kecil Nina, anak perempuannya yang baru berumur dua tahun, atau hal-hal kecil lainnya.

“No, nanti kamu temani saya masuk ya?” Lelaki di sampingnya bersuara. Marno, lelaki di belakang kemudi itu mengangguk. “Saya takut mereka tak mau menerima kehadiran saya.” Lelaki itu berujar lemah.
“Pak Hadi tidak mungkin menolak kedatangan Bapak. Meski persoalan di masa lalu tak mungkin beliau lupakan, beliau pasti masih menghormati tamu, Pak.” Marno mencoba memberi dukungan untuk tuannya.
“Terima kasih, No.” Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Marno. Seulas senyum tergantung di wajahnya.

Meski hari belum juga senja, beberapa lampu jalan sudah dinyalakan. Awan gelap yang menyelimuti membuat malam seolah hadir lebih awal. Lelaki di samping Marno memejamkan matanya. Beberapa kejadian di masa lalu berkelebat silih berganti dalam ingatannya. Sebuah kunjungan mengejutkan pada suatu malam yang membuat kehidupannya menjadi berbeda. Pak Hadi dan beberapa kerabatnya datang malam itu dengan membawa kabar yang membuatnya nyaris seperti disambar petir. Fauzan, anak bungsunya, telah menghamili Dila, anak perempuan Pak Hadi. Dia pun langsung memanggil anak bungsunya itu yang masih melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung.
Akad nikah digelar sederhana di kediaman Pak Hadi. Hanya dihadiri keluarga terdekat Pak Hadi dan beberapa tetangga. Sehari setelah acara itu Fauzan kembali ke Bandung untuk meneruskan kuliahnya. Seorang bayi lelaki lahir dari rahim Dila. Mereka memberinya nama Rasya. Hampir tiap dua hari sekali lelaki itu menjenguk cucunya. Istrinya jarang bersamanya saat berkunjung ke rumah Pak Hadi.
Sebuah kabar mengejutkan datang dari teman Fauzan. Sudah beberapa hari pemuda itu menghilang dari rumah kosnya dan tak nampak di kampus. Hingga akhirnya Fauzan memberitahukan bahwa dirinya berada di Yogyakarta dan berusaha mencari pekerjaan. Dia tak mau lagi melanjutkan studi. Tapi beberapa minggu kemudian, seorang gadis mendatangi rumah mereka dan mengatakan bahwa dirinya telah berbadan dua akibat perbuatannya dengan Fauzan. Dia meminta izin untuk menikah dengan pemuda itu.
Serangan stroke membuat lelaki itu harus menghabiskan waktu beberapa bulan di rumah sakit dan menjalani sisa hidupnya di atas kursi roda. Dia pun kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Rasya. Dia malu dan takut bertemu dengan keluarga Pak Hadi. Istri dan anak perempuannya selalu menceritakan hal-hal buruk tentang Dila, tetapi dia tak bisa mempercayai cerita itu begitu saja. Mereka juga melarangnya berkunjung ke rumah Pak Hadi.

Sebuah sentuhan di lengan kanannya membawa dirinya kembali ke masa kini. “Pak, kita sudah sampai.” Kata Marno. Setelah merapikan diri, Marno membantu lelaki itu duduk di kursi rodanya. Gerimis masih jatuh dari langit. Marno melindungi tubuh mereka dengan sebuah payung. Dia mendorong tuannya ke rumah tanpa pagar itu. Seorang perempuan muda nampak sedang bermain dengan seorang anak lelaki berumur sekitar satu tahun. Anak itu nampak sehat dan menggemaskan. Jeritan-jeritan kecil meluncur dari bibir mungilnya sementara perempuan muda di dekatnya tertawa melihat kelakuan anak itu.
Merasa ada kehadiran seseorang, perempuan muda itu memandang ke arah mereka. Dia terdiam. Dia bahkan tak mempedulikan tangan anak lelaki di dekatnya yang mulai memukul-mukul lengannya. Pandangannya terhenti tepat di mata lelaki di atas kursi roda. Lelaki itu melemparkan senyum.


No comments: