Bumi Manusia
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit Lentera Dipantara
535 halaman
Cetakan 13, Mei 2008
Seorang pribumi yang beruntung dapat bersekolah di HBS Surabaya di masa di mana bangku sekolah hanya boleh diduduki orang-orang Eropa Totok atau Indo. Dialah Minke, anak seorang bupati yang bahkan tidak mau mengakui darah priyayinya. Di luar jam sekolah, Minke mencari order usaha furnitur yang dirintisnya bersama Jean Marais, bekas tentara kolonial berdarah Perancis. Minke juga menulis untuk koran berbahasa Belanda dan tulisannya mendapat komentar positif di masyarakat.
Minke sangat mengidolakan salah satu gurunya, Magda Peters, dan menganggap wanita itu pintar dan memiliki wawasan yang luas. Namun saat bertemu dan berbincang dengan Nyai Ontosoroh Minke segera mengetahui bahwa dirinya sangat terkesan dengan wanita tersebut. Terkesan dengan wawasan sang Nyai dan bagaimana perjuangannya menjalankan perusahaan Mellema. Adalah Annelies, anak kedua Nyai dari perkawinan tidak sahnya dengan Herman Mellema, yang kemudian membuat Minke rela menghadapi berbagai masalah. Dia jatuh cinta dengan gadis Indo itu, demikian juga sebaliknya. Nyai meminta Minke untuk tinggal di rumah mereka. Permintaan ini didukung Dokter Martinet yang menyatakan bahwa pasiennya, Annelies, hanya akan sembuh apabila dirawat oleh Minke.
Ayah Minke murka mendengar kabar bahwa putranya tinggal di rumah seorang Nyai. Sang bupati tak lagi menganggap Minke sebagai putranya meski kemudian Residence B terkesan dengan putranya itu.
Kembali ke Wonokromo, kediaman Nyai Ontosoroh, Minke mendapati bahwa jiwanya terancam. Robert Mellema, anak pertama Nyai, merasa kedudukannya di rumah itu tergeser oleh kehadiran Minke. Tak hanya jiwanya yang terancam, kelangsungan studinya pun di ujung tanduk. Ditambah lagi persidangan atas kematian Tuan Mellema dan Kondisi Annelies makin lemah. Masalah seolah tak pernah lepas dari kehidupan Minke.
Ini adalah buku pertama dari Mbah Pram yang saya baca, buku pertama dari roman tetralogi Bumi Manusia. Saya tak menemukan alasan mengapa buku yang dianggap kekirian ini sempat dilarang terbit di tahun 1980-an. Padahal di negara lain buku ini telah diterbitkan dalam puluhan bahasa dan mendapat berbagai penghargaan.
Membaca buku ini saya seolah-olah di bawa ke jaman kolonial, jaman penjajahan Belanda. Jiwa muda Minke berontak ingin melepas kejawaannya. Minke mendapatkan pendidikan dan peradaban dari guru-gurunya, orang-orang Eropa, sehingga berpikir dan bertindak seperti orang-orang itu.Dia begitu mengagungkan hal itu bahkan ibunya sendiri menyatakan bahwa dia bukan lagi seorang Jawa. Kemudian dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa tak semua yang dibawa orang-orang Eropa itu baik.
Yang menjadi tokoh sentral dalam buku ini adalah Nyai Ontosoroh. Seorang istri tidak sah seorang mantan pejabat kolonial Belanda yang berjuang menjaga kelangsungan hidup perusahaan suaminya yang hampir tak pernah pulang ke kediamannya. Juga perjuangannya saat mempertahankan haknya atas harta peninggalan suaminya serta atas perwalian anak mereka.
Ada kalimat yang cukup menarik di halaman 498 yang diucapkan Dokter Martinet saat berbincang dengan Minke perihal masalah perwalian Annelies.
Ternyata dari dulu pajak menjadi momok bagi semua orang, hehehe… “D
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit Lentera Dipantara
535 halaman
Cetakan 13, Mei 2008
Seorang pribumi yang beruntung dapat bersekolah di HBS Surabaya di masa di mana bangku sekolah hanya boleh diduduki orang-orang Eropa Totok atau Indo. Dialah Minke, anak seorang bupati yang bahkan tidak mau mengakui darah priyayinya. Di luar jam sekolah, Minke mencari order usaha furnitur yang dirintisnya bersama Jean Marais, bekas tentara kolonial berdarah Perancis. Minke juga menulis untuk koran berbahasa Belanda dan tulisannya mendapat komentar positif di masyarakat.
Minke sangat mengidolakan salah satu gurunya, Magda Peters, dan menganggap wanita itu pintar dan memiliki wawasan yang luas. Namun saat bertemu dan berbincang dengan Nyai Ontosoroh Minke segera mengetahui bahwa dirinya sangat terkesan dengan wanita tersebut. Terkesan dengan wawasan sang Nyai dan bagaimana perjuangannya menjalankan perusahaan Mellema. Adalah Annelies, anak kedua Nyai dari perkawinan tidak sahnya dengan Herman Mellema, yang kemudian membuat Minke rela menghadapi berbagai masalah. Dia jatuh cinta dengan gadis Indo itu, demikian juga sebaliknya. Nyai meminta Minke untuk tinggal di rumah mereka. Permintaan ini didukung Dokter Martinet yang menyatakan bahwa pasiennya, Annelies, hanya akan sembuh apabila dirawat oleh Minke.
Ayah Minke murka mendengar kabar bahwa putranya tinggal di rumah seorang Nyai. Sang bupati tak lagi menganggap Minke sebagai putranya meski kemudian Residence B terkesan dengan putranya itu.
Kembali ke Wonokromo, kediaman Nyai Ontosoroh, Minke mendapati bahwa jiwanya terancam. Robert Mellema, anak pertama Nyai, merasa kedudukannya di rumah itu tergeser oleh kehadiran Minke. Tak hanya jiwanya yang terancam, kelangsungan studinya pun di ujung tanduk. Ditambah lagi persidangan atas kematian Tuan Mellema dan Kondisi Annelies makin lemah. Masalah seolah tak pernah lepas dari kehidupan Minke.
Ini adalah buku pertama dari Mbah Pram yang saya baca, buku pertama dari roman tetralogi Bumi Manusia. Saya tak menemukan alasan mengapa buku yang dianggap kekirian ini sempat dilarang terbit di tahun 1980-an. Padahal di negara lain buku ini telah diterbitkan dalam puluhan bahasa dan mendapat berbagai penghargaan.
Membaca buku ini saya seolah-olah di bawa ke jaman kolonial, jaman penjajahan Belanda. Jiwa muda Minke berontak ingin melepas kejawaannya. Minke mendapatkan pendidikan dan peradaban dari guru-gurunya, orang-orang Eropa, sehingga berpikir dan bertindak seperti orang-orang itu.Dia begitu mengagungkan hal itu bahkan ibunya sendiri menyatakan bahwa dia bukan lagi seorang Jawa. Kemudian dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa tak semua yang dibawa orang-orang Eropa itu baik.
Yang menjadi tokoh sentral dalam buku ini adalah Nyai Ontosoroh. Seorang istri tidak sah seorang mantan pejabat kolonial Belanda yang berjuang menjaga kelangsungan hidup perusahaan suaminya yang hampir tak pernah pulang ke kediamannya. Juga perjuangannya saat mempertahankan haknya atas harta peninggalan suaminya serta atas perwalian anak mereka.
Ada kalimat yang cukup menarik di halaman 498 yang diucapkan Dokter Martinet saat berbincang dengan Minke perihal masalah perwalian Annelies.
“Tadinya aku sangka: satu-satunya kesulitan dalam hidup hanya urusan pajak. Tak pernah aku tahu ada kesulitan semacam ini di kolong langit.”
Ternyata dari dulu pajak menjadi momok bagi semua orang, hehehe… “D
No comments:
Post a Comment