Kabar itu saya dengar awal Desember tahun lalu dari seorang kawan. Ojlenk, demikian kami memanggilnya selama ini. Bukan nama sebenarnya memang, tapi di kalangan teman-teman sekolah dan teman-teman mainnya nama itulah yang dipakai. Nama beken, istilahnya. Dia salah satu teman saat saya duduk di bangku pendidikan menengah atas.
Terbahak-bahak, itulah reaksi pertama saya saat mendengar kabar bahwa Ojlenk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Bukan karena saya menyangsikan kemampuannya, lebih karena saya sangat tidak menyangka bahwa salah satu teman saya terjun ke dunia politik. Meski sempat beberapa kali berbincang melalui pesan singkat mengenai pencalonannya, saya masih tidak percaya bahwa kawan yang satu ini serius dengan pilihannya.
Saat saya pulang ke kampung halaman tiga pekan yang lalu, Ojlenk memenuhi janjinya untuk berkumpul dengan beberapa teman yang lain di sela-sela waktunya yang padat dengan berbagai kegiatan. Inilah sepenggal obrolan kami yang berlangsung singkat karena Ojlenk harus menemui orang-orang yang bakal mendukungnya (baca: sponsor).
Kamu caleg partai apa sih?
Partai Buruh. (Saya bahkan tidak tahu nomor urut Partai Buruh!)
Kok bisa? Gimana ceritanya?
Beberapa tahun lalu aku sempat terancam PHK. Kesalahan yang dilakukan rekan kerjaku ditimpakan kepadaku. Karena merasa tak bersalah, aku mencari perlindungan di serikat pekerja. Alhasil aku selamat dari PHK itu dan malah direkrut menjadi salah satu pengurus di serikat pekerja. Sejak itulah aku aktif di SPSI. Nah, beberapa waktu lalu kami mendapat tawaran mengajukan beberapa nama untuk menjadi caleg, aku salah satunya.
Dapat nomor urut berapa?
Lima.
Gak sayang tuh buang-buang duit buat kampanye? Kalau kamu gak berhasil gimana?
Sudah ada perjanjian sebelumnya, calon yang jumlah suaranya tidak memenuhi akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut di atasnya. Yang berhasil memperoleh kursi akan memberikan sebagian penghasilannya sebagai anggota dewan kepada calon-calon yang gagal. 60-40. 60 persen untuk calon yang jadi, 40 persen dibagi-bagi untuk calon yang tidak jadi. Yah, kalaupun gak jadi aku masih menerima sekitar dua juta per bulan selama lima tahun ke depan. Toh aku juga masih kerja. Gak rugi-rugi banget lah.
Heh? Jadi gitu yak?
Iya. Tapi gak semua partai menerapkan aturan main seperti ini. Tergantung kebijakan di partainya.
Hmmm, pantas saja orang berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, meski hanya di DPRD Tingkat II seperti halnya Ojlenk. Semoga Ojlenk dapat menyalurkan aspirasi para konstiuennya dan dapat menjaga amanah apabila terpilih menjadi anggota legislatif. Sayangnya, saya tidak bisa mencontreng namanya di kertas suara tanggal 9 April 2009 nanti karena Ojlenk terdaftar sebagai caleg DPRD Kabupaten Tegal sedangkan saya mungkin tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap Kota Tegal. Padahal kalaupun kami di daerah pemilihan yang sama, belum tentu juga saya memilih Ojlenk sebagai orang yang mewakili saya di parlemen, hehehe… :D
No comments:
Post a Comment