Thursday, June 11, 2009

Jelajah Kota Tua

Hampir pukul 09.00 WIB ketika kami - saya, Adi dan Ketty - memulai perjalanan di minggu pagi yang cerah ini. Ibukota belum sepenuhnya terjaga dari tidur lelapnya. Jalanan masih lengang saat kami bergegas naik ke Kopaja 86 dari halte Plaza Slipi Jaya. Hanya dengan membayar ongkos sebesar Rp.2.000/orang, angkutan dengan trayek Lebak Bulus – Kota ini akan mengantar kami ke tujuan, kawasan Kota Tua. Tak sampai setengah jam ketika kondektur meneriakkan, “Kota, Kota, Kota.” Sebagian penumpang turun di halte busway tak jauh dari Sta. Kota. Saya memilih untuk turun di Terminal Kota Lama karena dari semula saya memang belum menentukan titik awal penjelajahan. Ini adalah perjalanan pertama kami ke kawasan Kota Tua.

Dari terminal kecil itu kami berjalan perlahan sembari memperhatikan bangunan-bangunan di kanan kiri jalan. Hampir semua bangunan merupakan bangunan model lama dan tak sedikit yang tak terawat. Saya hanya menebak-nebak arah langkah kami menuju satu-satunya tempat yang terlintas dalam pikiran saya, Museum Sejarah Jakarta yang lebih terkenal dengan nama Museum Fatahillah. Sayup-sayup terdengar keramaian saat kami makin mendekati Museum Fatahillah. Terlebih saat kami tiba di jantungnya.

Wah, ini di luar dugaan saya. Ternyata kawasan ini ramai dikunjungi saat akhir pekan! Dari rombongan-rombongan kecil seperti kami, rombongan keluarga, anak-anak Sekolah Dasar, serta beberapa kelompok remaja dengan dress code tertentu yang, sepertinya, berfoto untuk buku tahunan sekolah mereka. Juga para pecinta fotografi yang mencari angle terbaik untuk bidikan mereka dengan kamera laras panjang (istilah saya). Tak ketinggalan beberapa pasang calon mempelai yang menjadikan kawasan ini sebagai latar foto-foto prewedding-nya. Kawasan ini semakin hidup dengan hadirnya para pedagang makanan dan sekelompok seniman jalanan. Benar-benar semarak.

Es potong yang dijual seharga Rp.2.000/potong menarik perhatian kami di hari yang mulai terik ini. Berbagai macam rasa tersedia, mulai dari rasa kelapa muda, kacang hijau, alpukat, bahkan rasa durian. Saya mencoba menghubungi Wahyu yang akan bergabung dengan kami. Dia masih dalam perjalanan dan menyuruh kami untuk berkeliling dulu. Berjalan lambat-lambat di tengah keramaian, saya mengedarkan pandang ke sekeliling Museum Fatahillah. Pelataran depan museum ini dikelilingi puluhan bola-bola batu sebagai pembatas. Dua buah meriam besar diletakkan di bagian depan museum. Di sebelah kanan museum terdapat Museum Seni Rupa. Persis di depannya adalah Kantor Pos Kota lengkap dengan bis surat kuno berwarna jingga. Di sebelah kiri terdapat bangunan-bangunan lama yang salah satunya difungsikan sebagai Museum Wayang.

Perhatian kami ditarik oleh beberapa deretan sepeda onthel yang disewakan untuk berkeliling kawasan. Kami pun berbincang dengan salah satu pemilik sepeda. Tarif sewa untuk satu jam penggunaan adalah Rp.20.000, tetapi hanya diperkenankan untuk mengelilingi seputaran Museum Fatahillah. Pengunjung dapat menyewa sepeda (plus pemandunya) untuk berkeliling kawasan Kota Tua dengan membayar sedikit lebih mahal, Rp.35.000/sepeda tanpa dibatasi waktu (kata beliau ini tarif resmi dari pengelola museum). Kami akan diantar ke Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari dan Menara Syah Bandar, Jembatan Kota Intan serta singgah di Rumah Merah. Kami bertiga sepakat untuk menyewa sepeda setelah Wahyu bergabung dengan kami.

Hari semakin terik saat kami menunggu. Sembari berlindung dari pancaran sinar ultraviolet, kami menyeret kaki menuju Museum Seni Rupa. Sama seperti di Museum Tekstil yang tempo hari saya kunjungi, kami dikenai tiket masuk sebesar Rp.2.000/orang. Kami disambut rombongan siswa Sekolah Dasar, lengkap dengan alat tulis di tangan, yang sedang asyik menyimak penjelasan dari pemandu mengenai benda-benda koleksi museum. Keramik-keramik kuno dari Cina, lukisan-lukisan karya anak bangsa, serta patung-patung kayu yang sebagian tak terawat, adalah sebagian benda-benda unik di museum ini. Bangunan tua yang kokoh ini agak terkesan angker karena pencahayaan yang kurang. Juga karena sirkulasi udara yang kurang sehingga tempat berbagai benda seni ini menjadi pengap. Tapi ada yang menarik di bagian belakang museum. Kamar kecil yang bersih melengkapi sebuah musholla mungil. Agak kontradiktif dengan kondisi museum.

Tepat saat kami melangkah di antara pilar-pilar raksasa di bagian depan Museum Seni Rupa selepas dari pintu keluar, Wahyu mengabarkan bahwa dia telah tiba di halte busway Kota. Saya memintanya untuk langsung menemui kami di depan Museum Fatahillah. Ritual pertemuan dan perkenalan singkat dengan Chusnul, adik Wahyu, mengawali penjelajahan kota tua. Masih dengan tarif yang sama, Rp.2.000/orang, kami diizinkan masuk museum yang telah padat pengunjung. Sejenak bingung memulai perjalanan dari bagian mana, karena tak ada pemandu atau petunjuk khusus, kami berbelok ke sayap kanan museum. Di sini ada sedikit sejarah Batavia dan beberapa peninggalannya. Dari situ kami melanjutkan ke bagian terbuka di belakang museum yang sejuk dan cukup rindang. Sedikit terlindung pagar dinding, beberapa ruangan berpintu lengkung menarik perhatian kami.

Kami memasuki salah satunya. Gelap. Bahkan sinar matahari pun nyaris tak bisa menembus jeruji jendela serta pintu lengkung itu. Setelah sejenak memejamkan mata untuk beradaptasi, samar-samar kemudian makin jelas, nampak beberapa bola-bola batu dan rantai yang berserak di lantai. Juga beberapa coretan di dinding hitamnya. Rupanya, dulu di sini adalah penjara bawah tanah (meski tidak benar-benar di bawah tanah). Fyuh, jadi langsung teringat novelnya E.S. Ito, Rahasia Meede, yang menyebutkan bahwa di bawah penjara ini terdapat terowongan yang menghubungkan museum dengan Monumen Nasional serta di ujung lainnya bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Salah satu buku menarik yang merangkum sejarah dibalut dengan thriller yang penuh teka-teki. :D

Sebuah meriam yang cukup besar terletak di bagian belakang museum. Sebuah patung, dari informasi yang tertulis di bawahnya di ketahui bahwa ini adalah Hermes, melengkapi halaman belakang museum yang cukup asri. Kami kembali ke dalam museum dan menelusuri sayap kirinya. Beberapa peninggalan kuno seperti prasasti dan tembikar, miniatur kapal layar serta patung dan gambar menceritakan bagaimana bangsa-bangsa Eropa tiba di Batavia. Kami pun menyudahi kunjungan di tempat yang semakin sesak pengunjung ini.

Matahari sudah tinggi saat kami sepakat menyewa tiga sepeda untuk berkeliling kota tua. Seorang pemandu, Mas Hardi namanya, ditugaskan menemani perjalanan kami. Tadinya saya berpikir akan melewatii jalan yang menggunakan paving block sebagaimana di sekitar Museum Fatahillah. Ternyata oh ternyata kami menyusuri jalanan beraspal dan bersaing dengan pengguna lainnya sebagaimana jalanan ibukota yang penuh asap.
Tujuan pertama adalah Pelabuhan Sunda Kelapa yang berjarak tak lebih dari 3km. Pelabuhan kuno ini masih dioperasikan untuk tempat bersandar kapal-kapal tradisional dari penjuru Nusantara. Di sini kami tidak dipungut biaya sepeser pun, kecuali bila menaiki kapal-kapal selain kapal yang ditunjuk. Berlagak jadi bajak laut yuk...!

Penjelajahan berlanjut ke Museum Bahari yang hanya sejengkal dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Kami mampir dulu di Menara Syah Bandar yang merupakan bagian dari Museum Bahari. HTM-nya masih sama, Rp.2.000/orang, berlaku untuk kedua tempat tadi. Menara ini didirikan untuk mengawasi lalu lintas kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, meski kini tak lagi difungsikan. Gambar bawah (kiri) adalah pemandangan dari puncak menara. Sepeda kami tinggalkan di tempat parkir menara dan berjalan kaki menuju Museum Bahari yang berada di tengah kepadatan dan kekumuhan Jalan Pasar Ikan. Berbagai miniatur kapal dan perahu tradisional serta gambar-gambar masa lalu yang juga menceritakan kedatangan bangsa Eropa di perairan Nusantara mengisi sebagian besar museum ini. Maket Batavia sebagai salah satu jalur perdagangan utama dimasa VOC juga menggambarkan betapa majunya Batavia di saat itu. Ada juga maket Pulau Onrust, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, yang menjadi pulau pertama yang berhasil diduduki Belanda.

Ada kejadian menarik di sini. Saat kami sedang terbuai dengan khayalan tentang masa lalu ketika memperhatikan benda-benda yang ada di sana, seorang anak mendekati saya. Rupanya dia mewakili teman-temannya yang lumayan banyak. Dengan lugu dan tersenyum malu-malu anak ini bertanya, ”Mbak, boleh minta foto gak?” Semua temannya bersorak saat saya memenuhi permintaan mereka. Lihat keceriaan mereka di gambar atas (kanan)Duh, lucu sekali anak-anak ini dengan kepolosan mereka. :D

Teriknya mentari nyaris menguras energi kami. Entah berapa botol air mineral yang telah membasahi tenggorokan. Penjelajahan masih berlanjut. Persinggahan berikutnya adalah Jembatan Kota Intan, sekitar 1.5km dari Museum Bahari. Jembatan yang bentuk mininya dapat kita temukan di Dunia Fantasi, Ancol, ini berada tak jauh dari Hotel Batavia. Dulunya jembatan ini dibangun untuk menghubungkan Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Namun kini tak lagi difungsikan dan menjadi salah satu peninggalan jaman kolonial. Mas Hardi memberitahukan bahwa kebiasaan di situ adalah memberi tips seikhlasnya kepada seorang bapak setengah baya yang menjaga jembatan.

Tak jauh dari Jembatan Kota Intan, kami mampir sejenak di Toko Merah. Di masa lalu, bangunan yang dibangun oleh Gustaf Willem Baron van Imhoff ini adalah tempat tinggalnya sebagai Gubernur Jenderal VOC tahun 1743-1750. Juga digunakan sebagai tempat tinggal para Gubernur Jenderal VOC berikutnya. Kini, bangunan dengan dinding dan pintu berwarna merah ini menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi dengan Undang-undang.

Sepeda kami kembali melaju di antara padatnya lalu lintas. Kami kembali ke titik awal penjelajahan Kota Tua di depan Museum Fatahillah. Sebuah musholla kecil di salah satu sudut di samping Cafe Batavia telah dipadati pengunjung. Kami memutuskan untuk masuk kembali ke Museum Seni Rupa, mencicipi musholla di bagian belakangnya dan melepas lelah di teras tengah yang cukup sejuk. Semilir angin seolah melenakan kami hingga enggan beranjak dari tempat itu. Sudah lewat dari jam 14.00 WIB saat teriknya mentari menyambut kami selepas dari Museum Seni Rupa. Salah satu sudut di sebelah kiri Museum Fatahillah menjadi tujuan berikutnya. Jalan kecil ini dipenuhi beberapa pedagang makanan khas Indonesia, mulai dari gado-gado, ketoprak, sate padang, makanan padang, siomay, soto, bahkan tahu gejrot dan es buah masa lalu. Kami langsung berpencar mencari kesukaan masing-masing. Dengan harga yang relatif murah (gado-gado cuma Rp.6.000/porsi!) kami mengisi perut yang keroncongan sedari tadi.

Sore yang menjelang tak membuat kawasan ini berkurang keramaiannya. Kami pun menyudahi penjelajahan di kota tua ini. Meski niat hati masih ingin berkeliling dan mencari objek-objek foto yang menarik (halah, dah kayak fotografer pro aja!), energi kami nyaris habis terutama karena teriknya mentari yang membakar kulit.

Semoga masih mempunyai kesempatan menjelajahi kawasan Kota Tua di lain waktu dan semoga Pemprov DKI Jakarta dapat mempercantik bangunan-bangunan di kawasan ini tanpa mengubah bentuk aslinya untuk menambah minat pengunjung.


2 comments:

Unknown said...

Maaf ya Mel, miss telat neh. Janjiannya jam 9, tapi jam 9 baru dari kos. Akhirnya jam 10 an baru bisa gabung. Kayaknya ninggalin kos berat banget. Tapi setelah liat kota toea malah kebetahen, gak pingin mulih.
Nice trip, I still remember.
Maturnuwun utk Adi yang jadi fotografernya qt-qt.
Maturnuwun buat Miss Ketty & Miss Melin atas ojek sepedanya, atas terselenggaranya trip ini & atas semuanya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian...
I Love u All..... mcuuuuaaaah ...:)
NB : kemarin waktu di fatahilah aku n Ketty udah gladi resik siraman utk Melin, Jadi untuk acara benerannya tunggu bentar lagi ya....

melsharfey said...

hayuk jalan2 lagi... :D