Sepertinya baru sebentar memejamkan mata saat saya terbangun. Waduh, sudah pukul 05.30! Saya langsung melompat dan mengambil wudhu. Tadinya sih berniat tidur lagi setelah sholat subuh, tapi ternyata kantuk saya lenyap setelah terbasuh air. Andin masih terlelap. Bu Har sedang sibuk di dapur menyiapkan makanan. Setelah mandi dan merapikan barang bawaan, saya berkeliling di green house milik keluarga ini. Sarapan sudah terhidang di meja makan, saya ditemani Ketty menyantap bacem ayam dan tempe serta terong balado. Tumben-tumbenan saya doyan terong balado, hehehe….
Selesai makan, dengan sedikit gak tega, Ketty membangunkan Andin. Kami bertiga telah siap saat rombongan cowok, plus Pak Hendro yang sudah segar bugar, tiba. Karena di hotel hanya memperoleh sarapan berupa roti bakar, mereka pun tanpa malu-malu menyantap hidangan di meja yang kini bertambah dengan balado telur. Huhuhuhuuuu….
Setelah berpamitan dengan Pak Har, Bu Har, dan Windy, serta tak ketinggalan Tyas yang baru saja terjaga dari mimpi, kami meninggalkan kawasan Singosaren sekitar pukul 09.00. Pak Hendro membawa kami ke Malioboro dan memarkir mobil di pelataran Benteng Vredenburg. Sebagai guide, Ketty memberi kesempatan 1 jam untuk mengubek-ubek salah satu toko di ujung Malioboro, Mirota Batik. Hampir dua jam berlalu saat sebuah panggilan dari Informasi mengagetkan saya yang sedang bertransaksi di kasir. “Rombongan Kanwil DJP Banten diharap berkumpul di depan Informasi.” Jiakakakaka…. Dodol, rupanya Ketty sengaja memanggil kami untuk menyudahi acara belanja. Tawa kami pecah saat mengetahui bahwa Heri sempat diingatkan seseorang karena dia mengenakan kaos bertuliskan Futsal Kanwil DJP Banten. “Mas, mas… dari Kanwil Banten ya? Itu sudah dipanggil-panggil.” Wakakakakakaka….
Dari Mirota Batik kami meluncur ke sebuah jalan di samping RS. PKU Muhammadiyah. Tujuannya: Bakpia Patok 75. Semuanya, termasuk Pak Hendro, langsung berburu oleh-oleh. Panther yang sudah sarat muatan itu pun makin terbebani dengan bakpia patok, getuk trio dan berbagai panganan khas Jogja dan sekitarnya. Adzan dhuhur berkumandang saat kami meninggalkan tempat ini.
Tadinya kami akan langsung makan siang sebelum meninggalkan Jogja tapi dengan wajah memelas Helmi berusaha membujuk kami untuk mampir di Keraton Ngayogyakarta. Dengan tiket masuk Rp.5.000 per orang ditambah Rp.1.000 untuk tiap kamera kami memasuki cagar budaya yang dikelola sendiri oleh pihak keraton. Ditemani oleh Ibu Sri yang dengan sabar menjelaskan satu per satu berbagai benda koleksi keraton. Sayangnya kami sedikit terlambat. Menurut Ibu Sri, pagelaran tari yang biasa dipertunjukkan setiap minggu baru saja selesai. Waaaaaaaaaa….
Sebagian besar isi museum menceritakan kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara yang lain, masih asyik menyimak penjelasan Ibu Sri, saya mulai jenuh dan kegerahan (Jogja ternyata tak beda jauh dengan Jakarta, sama-sama panas!). Saya pun agak memisahkan diri dari rombongan untuk mencari beberapa objek foto yang menarik. Rupanya Heri juga agak menjauh dari rombongan, entah apa yang ada dibenaknya, dia sepertinya tak nyaman dengan acara kami di sini.
Saya mengintip ke beberapa ruang terpisah yang berisi benda-benda yang dikeramatkan. Kami dilarang mengambil gambar di ruangan yang khusus memajang koleksi batik klasik dari berbagai daerah di Jawa. Selesai berkeliling kami mampir di Masjid … yang terletak persis di depan keraton. Masjid ini kecil tapi begitu menginjakkan kaki di dalamnya saya langsung mengagumi kenyamanan dan kebersihannya. Wangiiiii…. Mukena yang disediakan pun bersih. Sangat berbeda dengan musholla-musholla di pusat-pusat perbelanjaan di ibukota yang hanya disediakan seadanya. Hanya beberapa mall yang peduli dengan kenyamanan pengunjungnya yang ingin beribadah.
Sudah 30 menit berlalu dari pukul 13.00 saat kami menginggalkan areal parkir keraton menuju Warung Es Handayani yang terletak di dekat Alun-alun Kidul. Menu andalan di warung ini adalah es campur dan nasi brongkos. Saya memesan nasi brongkos plus ayam serta segelas teh hangat. Ternyata nasi brongkos adalah nasi yang disiram kuah santan dengan campuran kacang tolo dan tahu. Hmmmm… yummy. Saya tak berhasil menghabiskan seporsi nasi brongkos karena ukurannya memang lumayan besar. Cukuplah untuk bekal perjalanan kembali ke Jakarta.
Sekitar pukul 14.30 kami meluncur menuju ring-road selatan. Tadi telah diputuskan bahwa kami akan mengambil jalur selatan melalui Nagrek. Belum ada yang mulai tertidur. Kami masih asyik membicarakan kenorakan dan kegilaan selama di Jogja. Saat saya tengah serius menyelesaikan permainan kubik yang dibeli Indra, entah siapa yang memulai dan entah apa yang menjadi pemicunya, semua orang sepakat untuk mewujudkan koalisi antara Tegal dan Kertosono. Jiakakakaka…. Helmi terpojok. Saya sampai gak tega melihat wajahnya yang berubah seperti kepiting rebus. Apapun yang dikatakan dan dilakukan Helmi selalu dikaitkan dengan saya. Saya sih santai saja. Percuma melawan orang-orang gila ini yang entah kesurupan dhemit dari mana, mending didiamkan saja. Lama-lama juga capek sendiri. :D
Menjelang adzan maghrib kami menepi ke SPBU yang lumayan besar di daerah Banyumas. Kami melanjutkan perjalanan sembari mencari warung untuk mengisi perut. Membelah jalan di antara jajaran pohon yang angkuh dan jalur yang berkelok-kelok membuat perasaan saya kurang nyaman. Saat menemukan kehidupan kembali barulah saya tenang. Kami tak jua menemukan tempat yang layak untuk makan malam. Perut mulai keroncongan. Saat menemukan warung yang lumayan ramai, Pak Hendro langsung menepikan mobil. Sudah hampir pukul 21.00. Rupanya tak banyak yang tersisa di warung ini. Hanya ada pepes ayam, ayam goreng dan tahu goreng serta lalapan. Yah, lumayan lah daripada tidak makan sama sekali.
Begitu melanjutkan perjalanan saya langsung berusaha untuk tidur. Saya harus menghemat energi karena esok harus kembali beraktivitas di kantor. Saat yang lain berbelanja di pasar oleh-oleh khas Tasikmalaya, saya lebih memilih tidur di mobil. Kami sempat beristirahat di salah satu tempat peristirahatan di jalan tol Cipularang. Kesadaran saya baru pulih saat mobil keluar dari gerbang tol Pondok Gede Timur. Sudah 2 jam lewat dari tengah malam. Melewati tol dalam kota yang lengang di dini hari itu, kami keluar di Senayan dan menuju jalan KS. Tubun (Slipi) untuk mengantarkan Andin. Rombongan lalu mengantarkan saya ke Kemanggisan yang tak jauh dari rumah Andin. Alhamdulillah bisa kembali dengan selamat. Di sini saya berpisah dengan Ketty dkk yang masih melanjutkan perjalanan ke Serang.
Setelah masuk rumah saya langsung membasuh wajah dan tidur. Lumayan bisa memejamkan mata sejenak sebelum adzan subuh menggema dari musholla sebelah. Semoga masih bisa melanjutkan tidur di kantor seharian ini.
Perjalanan yang melelahkan tetapi juga menyenangkan. Terima kasih Allah. Terima kasih teman. Terima kasih untuk semua yang telah mempermudah perjalanan ini.
Catatan:
Rencana untuk tidur seharian di kantor terpaksa batal karena harus menyiapkan analisa penerimaan. Mata yang dengan susah payah terbuka harus terus-menerus menatap layar komputer. Fyuh… mata sepet, kepala pening, badan lemas, analisa penerimaan. Lengkap sudah.
Balas dendam baru bisa terlaksana sepulang kantor. Tanpa mempedulikan tas punggung yang belum juga dibongkar, saya sukses tidur nyenyak hingga esoknya. :D
4 comments:
hmmmm, nice story melski
apalagi merujuk pada hari terakhir dalam perjalanan pulang... (' ',)
pesan dr bu har:
disuruh main ke rumah lagiy...
mo dibikinin telur balado!!! (^_*)
qiqiqiqi... jadi pengen malu ma bu har
maen berikutnya ke jogja: edisi kondangan di singosaren :D
weleh...weleh....
ga' mbak ketty ga' mbak melin, dua2nya berbakat jadi pujanggawati....
hahaha... bisa aja Ndra ^_^
sayang ga da produser yg mo nerbitin tulisanku, wkwkwkwk
Post a Comment