Jumat pagi, 2 Juli 2010, kami sudah bersiap di depan hotel. Seperti hari-hari sebelumnya, selalu saja ada yang melanggar kesepakatan sehingga rencana berangkat pukul 7.30 WITA pun harus molor setengah jam. Perjalanan ke Pelabuhan Lembar memakan waktu sekitar satu jam. Pengorbanan menunggu ferry yang lumayan lama terbayar impas karena ferry kali ini lumayan besar dan ada ruangan ber-AC. Tempat duduknya pun sangat nyaman. Saat ferry mulai membelah Selat Lombok, saya mulai merasakan pusing. Mungkin ini yang disebut mabuk laut. Perjalanan yang lumayan lama memberi kesempatan untuk tidur lelap. Terbangun karena cacing-cacing di perut mulai berteriak kelaparan.
Selesai makan siang dengan nasi kotak yang dibawa dari Mataram, saya berjalan-jalan ke bagian belakang ferry. Rupanya toiletnya pun cukup bagus, dan yang lebih penting lagi, bersih. Berjalan di ferry seperti jalannya orang mabuk, gentuyuran. Bahkan sholat pun harus kuat kuda-kudanya karena kalau tidak kuat kita bisa terjatuh. ;p
Kami tiba di Pelabuhan Padang Bay sekitar pukul 14.00 WITA. Tidak ada lagi pemeriksaan KTP seperti halnya saat kami memasuki Pelabuhan Gilimanuk tempo hari. Bus langsung mengarah ke Kuta. Setelah Jaja yang lebih dulu berpisah dengan rombongan, giliran Mario yang turun di daerah Sanur. Di Kuta, bus diparkir di Central Park. Di sini kembali kami kehilangan anggota rombongan. Sonya dan Early akan melanjutkan liburannya di Pulau Dewata ini. Demikian juga Friska dan Irfan. Wah, jadi makin sepi nih busnya.
It’s free time. Dari Central Park kami naik komuter (dengan sedikit kejadian tidak menyenangkan dengan si sopir) ke outlet Joger. Tarif komuter ini IDR60.000 atau IDR3.000 per orang jika diisi penuh sebanyak 20 orang. Walah, ternyata outlet Joger is so crowded. Banyak rombongan pelancong di musim liburan ini. Antriannya pun mengular. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di depan kasir.
Semula kami akan melanjutkan ke Pantai Kuta. Tapi matahari sudah hampir tenggelam, langit pun diliputi awan sehingga kemungkinan kami tidak bisa menikmati sunset di Kuta. Yah, meski ada sedikit perasaan tidak enak dengan Nunik dan Ety yang sepertinya sangat ingin ke pantai, kami semua kembali ke Central Park karena harus berkumpul kembali pukul 19.00 WITA.
Tapi ternyata teman-teman yang lain belum kembali. Kami pun terpaksa menunggu sembari makan malam di foodcourt Central Park. Rombongan baru melanjutkan perjalanan sekitar pukul 20.00 WITA. Entah pukul berapa kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Terkantuk-kantuk di dak penumpang sampai ada informasi bahwa ferry akan bersandar di Pelabuhan Ketapang.
Sabtu, 3 Juli 2010, saat adzan subuh berkumandang kami menepi di sebuah masjid di Ponorogo. Wah, masih jauh rupanya perjalanan kami sampai ke Bandung. Tapi saya sudah memutuskan untuk singgah dulu di Tegal, melepas lelah, numpang pijet, dan meninggalkan pakaian kotor selama perjalanan ke Lombok. ;p
Setelah berhenti di Pasuruan untuk sarapan yang kesiangan, bus sampai di Porong, di mana teman sebelah saya selama perjalanan ini, Janice, turun untuk berkumpul dengan ayah dan kakaknya di Surabaya. Lumayan lah jadi bisa selonjor lebih lapang. Sudah hampir tengah hari saat itu. Tadinya Gilang menawarkan untuk berhenti sebentar di lokasi kubangan (atau lebih layak disebut danau?) luapan lumpur dari pengeboran PT. Lapindo Brantas. Tapi karena cuaca yang sangat terik rencana itu dibatalkan. Syukurlah, karena saya memang sama sekali tak berminat ke tempat itu. Saya lebih senang kalau kami tidak terlalu banyak berhenti sehingga lebih cepat sampai.
Dalam perjalanan kami mulai menyadari ada yang berubah dari fisik kami. Selain kulit yang terbakar, rupanya kaki kamu mulai membengkak. Mungkin ini efek dari kaki yang capai tapi tidak bisa diluruskan karena duduk di bus. Untunglah hanya jempol kaki saya yang bengkak, sementara teman-teman mengalami bengkak seperti layaknya orang hamil. ;p
Menyenangkan rasanya saat akhirnya bisa melewati perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Setidaknya kami lebih dekat dengan akhir perjalanan. Kami singgah di Rembang untuk ishoma dan kembali melanjutkan perjalanan. Di Pati bus kembali berhenti menjelang maghrib dan melanjutkan perjalanan ke Semarang. Tercetus ide untuk mampir ke Semarang dan berbelanja oleh-oleh di Jl.Pandanaran. Tidaaaaaaaakkkkkk... Saya mau pulang sekarang. Jangan ada mampir-mampir lagi!
Untunglah, Pak Syaifudin dan Pak Deden serta Kang Robby, kru bus Puja Wisata ini, sepakat untuk tidak mampir ke kota Semarang. Thanks God. :D
Sebelum masuk Semarang, Ety turun di daerah Juwana. Kami berhenti di sebuah rumah makan besar di daerah Kendal, tempat banyak bus berhenti untuk istirahat, sekitar pukul 20.00 WIB. Orang ramai menyaksikan pertandingan antara Jerman melawan Argentina. Di sini Nita memutuskan untuk naik salah satu bus Nusantara jurusan Jakarta yang ada di tempat itu. Tak lama setelah melaju, di pertigaan Weleri-Sukoharjo, kembali satu teman berkurang. Handono akan pulang ke rumahnya di Temanggung.
Saya terjaga saat bus melintas di Kab. Pekalongan. Rupanya Nunik sudah turun di Batang. Saya pun memaksakan diri untuk tidak terlelap lagi. Fyuh... kondisi jalan di jalur Pantura sangat parah. Berlubang dan bergelombang di sana sini. Bus harus bermanuver untuk menghindari ranjau-ranjau tersebut.
Minggu dini hari, 4 Juli 2010, pukul 01.00 WIB. Alhamdulillah, akhirnya, sampai juga di Tegal. Saya pun berpamitan dengan Andri dan Gilang. Teman-teman lain sedang terhanyut di alam mimpi.
Sore harinya saya sudah berada di salah satu gerbong di rangkaian KA Cirebon Ekspres yang akan mengantar saya kembali ke Jakarta. Dari St. Tegal hingga St. Brebes kereta masih lengang. Dengan tiket tanpa tempat duduk, saya meringkuk di bordes gerbong 1 yang sepertinya baru diremajakan. Sendiri. Kereta baru dijejali penumpang setelah tiba di St. Cirebon. Ada tiga orang yang bergabung dengan saya di bordes gerbong 1. Tanpa mempedulikan yang lain, saya melanjutkan tidur sampai tiba di St. Bekasi dan terus terjaga hingga tiba di St. Gambir.
Perjalanan menakjubkan ini akan selalu tersimpan dalam memori. Kalau masih dikasih kemampuan, kesehatan, dan kesempatan, saya pasti akan kembali mengeksplorasi Lombok yang eksotis. Kembali ke Jakarta, kembali ke realitas.
Oh Jakarta, do you miss me? :D
Catatan (1):
Lombok tidak cocok untuk para solo backpacker
karena tidak tersedianya angkutan umum untuk mencapai tempat-tempat yang menarik. Pelancong harus menyewa motor atau mobil sehingga malah akan membebani anggaran. ;-)
Catatan (2):
Pegal-pegal di betis yang bikin sakit pas naik-turun tangga baru hilang setelah hari Selasa (060710). Sepertinya ini gara-gara pas mau snorkling tidak diawali dengan pemanasan dan peregangan. ;P
Friday, July 9, 2010
Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Bagian III)
Kamis, 1 Juli 2010, kami berkumpul setengah jam lebih awal dari hari sebelumnya. Kami akan menuju Gili Nanggu di Lombok Barat. Melalui jalur atas daerah Sekotong dengan kontur geografis yang mirip dengan jalan yang kami tempuh malam sebelumnya, jalan berkelok naik turun dengan pemandangan pantai yang indah dan perbukitan yang hijau. Gili adalah pulau-pulau kecil yang tersebar di sekeliling Pulau Lombok. Yang terbesar dan terkenal adalah Gili Terawangan, Gili Menu dan Gili Air yang dapat dicapai dari Senggigi. Gili Nanggu merupakan salah satu gili di bagian barat daya Pulau Lombok dengan luas tak lebih dari 12,5 Ha. Gili Nanggu dipilih karena masih alami dan belum terjamah tangan-tangan jahil. Kami menyeberang ke Gili Nanggu dari Pelabuhan Tawun, Sekotong, dengan perahu tradisional, setelah sebelumnya menyewa sepaket masker, snorkle dan fin (IDR50,000) serta life jacket (IDR25,000). Mahal ya???
Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke Gili Nanggu. Wow… it’s so beautiful! Hamparan pasir putih dengan air laut yang sangat jernih. Pengunjung pun tak banyak, bebas berekspresi sesuka hati. Seperti berada di pulau pribadi deh. :D
Pak Agus memberikan tutorial singkat bagi para pemula seperti saya, tentang bagaimana mempergunakan alat snorkle dan bagaimana cara snorkling yang benar. Intinya, tidak boleh panik. Santai saja. Biarkan tubuh kita mengambang dan terbawa arus. Yang perlu diingat, dilarang berdiri di atas terumbu karang. Akhirnya setelah beberapa kali percobaan saya memberanikan diri mengikuti teman-teman yang telah lebih dulu ke tengah. Tak habis saya memanjatkan segala puji bagi Yang Kuasa. Ikan berbagai jenis dengan warna-warni yang semarak hilir mudik seolah tak menghiraukan kehadiran saya. Terumbu karang dalam banyak bentuk dan warna menambah keindahan dunia di bawah air. Serasa masuk ke sebuah akuarium besar. ;-)
Setelah bersusah payah mengubah arah dan panik karena snorkle-nya kemasukan air, saya pun berhasil kembali ke tepi. Hahaha… saya yang tidak bisa berenang ini pun bisa snorkeling dengan aman. ;P
Masih cukup waktu untuk bersantai sejenak di Gili Nanggu. Menapaki pasir pantai yang putih, bermain dengan ombak-ombak kecil, berjemur, berenang, atau apapun yang ingin dilakukan. Di depan sana ada Gili Sudak yang hanya berjarak sepelemparan tombak. Bahkan seorang teman berhasil berenang sampai ke Gili Sudak.
Oh ya, jangan berharap bisa menemukan permainan seperti jet ski, banana boat, parasailing, atau permainan apa pun yang biasa ditawarkan pengelola wisata pantai. Seperti halnya di Pantai Mawun dan Pantai Tanjung Aan, Gili Nanggu pun benar-benar mengandalkan keindahan alam yang dikaruniakan oleh Yang Maha Pencipta. Semuanya serba alami.
Meski masih betah di Gili Nanggu, kami harus segera kembali ke Pelabuhan Tawun karena masih harus berkeliling mencari buah tangan. Hanya ada satu tempat bilas di Pelabuhan Tawun. Sebagian orang membersihkan diri di kamar mandi penduduk setempat yang sangat welcome. Benar-benar sebuah tempat menarik yang belum dikelola dengan lebih professional. Tapi mungkin kalau sudah banyak yang berkunjung, keeksotisan Gili Nanggu akan berkurang karena orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, biarkan saja seperti sekarang ini. :-)
Kembali menyusuri jalur atas Sekotong (jalur bawah katanya lebih memutar) kami mengarah ke Desa Banyumulek. Desa ini merupakan pusat kerajinan gerabah. Sebagian besar merupakan konsumsi pasar ekspor Amerika dan Jepang. Salah satu gerabah yang unik adalah Kendi Maling. Tempat minum dari tanah liat ini diisi air dari bagian bawahnya. Itulah sebabnya dinamakan Kendi Maling.
Dari Desa Banyumulek kami kembali ke pusat kota Mataram menuju Gudang Kaos Lombok Arif yang berlokasi tak jauh dari Pasar Cakranegara. Terlalu banyak pilihan malah membuat bingung. Akhirnya setumpuk kaos bakal ikut jalan-jalan ke Jawa sebagai oleh-oleh. :D
Tempat berburu selanjutnya adalah pusat penjualan oleh-oleh khas Lombok di daerah Sayang-sayang. Sebagian besar peserta yang berjenis kelamin perempuan langsung menyerbu gerai mutiara. Ada mutiara air laut dan mutiara air tawar. Pak Agus memberikan tips memilih mutiara yang berkualitas tinggi. Ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, mutiara tersebut harus bulat sempurna. Kedua, permukaan mutiara harus mulus. Ketiga, kilaunya memancar dengan indah. Keempat, dilihat dari ukurannya. Untuk memastikan keaslian mutiara, uji mutiara dengan cara menggesekkannya ke gigi. Apabila seperti ada bulir-bulir pasir yang sangat halus maka mutiara tersebut adalah asli. Mutiara air laut lebih bagus daripada mutiara air tawar dan memiliki nilai jual yang tinggi. Salah satunya mencuri perhatian saya, sayangnya… harganya mencapai dua digit dalam jutaan rupiah. Mata memang tidak bisa ditipu. @_@
Di sebelah gerai mutiara terdapat gerai yang menjual oleh-oleh makanan khas Lombok seperti dodol rumput laut, manisan rumput laut, dodol buah, bahkan madu Sumbawa yang terkenal karena khasiatnya. Kecewa karena tidak mampu membeli mutiara yang harganya lebih dari penghasilan sebulan, mendingan beli dodol rumput laut aja deh. :D
Selepas maghrib kami menuju ke pusat kota Mataram untuk menikmati sajian khas paling terkenal dari Lombok, yaitu Ayam Taliwang dan Pelecing Kangkung. Taliwang adalah sebuah daerah di Sumbawa di mana orang-orang dari daerah itu bermigrasi ke Lombok hingga membuat sebuah kampong dengan nama Karang Taliwang. Orang-orang inilah yang pertama kali menyajikan masakan ayam berbumbu sehingga makanannya dinamakan Ayam Taliwang. Ditambah sambal yang bercita rasa manis pedas membuat ayam dengan bumbu kaya rempah ini semakin nikmat. Apalagi ditemani sepiring Pelecing Kangkung dengan sambal yang juga tak kalah pedas. Kangkungnya beda loh dengan kangkung yang biasa saya makan, rasanya sedikit lebih manis dan empuk. Malam terakhir di Lombok ditutup dengan perut kekenyangan. :D
Tiba di hotel bukan berarti kami bisa langsung beristirahat. Kami harus berkemas malam ini karena esok pagi kami harus meninggalkan Lombok. Tidaaaaaaakkkkkk… I don’t wanna go home this soon. I wanna stay a little bit more. Huhuhuhuuuuuuu….
Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke Gili Nanggu. Wow… it’s so beautiful! Hamparan pasir putih dengan air laut yang sangat jernih. Pengunjung pun tak banyak, bebas berekspresi sesuka hati. Seperti berada di pulau pribadi deh. :D
Pak Agus memberikan tutorial singkat bagi para pemula seperti saya, tentang bagaimana mempergunakan alat snorkle dan bagaimana cara snorkling yang benar. Intinya, tidak boleh panik. Santai saja. Biarkan tubuh kita mengambang dan terbawa arus. Yang perlu diingat, dilarang berdiri di atas terumbu karang. Akhirnya setelah beberapa kali percobaan saya memberanikan diri mengikuti teman-teman yang telah lebih dulu ke tengah. Tak habis saya memanjatkan segala puji bagi Yang Kuasa. Ikan berbagai jenis dengan warna-warni yang semarak hilir mudik seolah tak menghiraukan kehadiran saya. Terumbu karang dalam banyak bentuk dan warna menambah keindahan dunia di bawah air. Serasa masuk ke sebuah akuarium besar. ;-)
Setelah bersusah payah mengubah arah dan panik karena snorkle-nya kemasukan air, saya pun berhasil kembali ke tepi. Hahaha… saya yang tidak bisa berenang ini pun bisa snorkeling dengan aman. ;P
Masih cukup waktu untuk bersantai sejenak di Gili Nanggu. Menapaki pasir pantai yang putih, bermain dengan ombak-ombak kecil, berjemur, berenang, atau apapun yang ingin dilakukan. Di depan sana ada Gili Sudak yang hanya berjarak sepelemparan tombak. Bahkan seorang teman berhasil berenang sampai ke Gili Sudak.
Oh ya, jangan berharap bisa menemukan permainan seperti jet ski, banana boat, parasailing, atau permainan apa pun yang biasa ditawarkan pengelola wisata pantai. Seperti halnya di Pantai Mawun dan Pantai Tanjung Aan, Gili Nanggu pun benar-benar mengandalkan keindahan alam yang dikaruniakan oleh Yang Maha Pencipta. Semuanya serba alami.
Meski masih betah di Gili Nanggu, kami harus segera kembali ke Pelabuhan Tawun karena masih harus berkeliling mencari buah tangan. Hanya ada satu tempat bilas di Pelabuhan Tawun. Sebagian orang membersihkan diri di kamar mandi penduduk setempat yang sangat welcome. Benar-benar sebuah tempat menarik yang belum dikelola dengan lebih professional. Tapi mungkin kalau sudah banyak yang berkunjung, keeksotisan Gili Nanggu akan berkurang karena orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, biarkan saja seperti sekarang ini. :-)
Kembali menyusuri jalur atas Sekotong (jalur bawah katanya lebih memutar) kami mengarah ke Desa Banyumulek. Desa ini merupakan pusat kerajinan gerabah. Sebagian besar merupakan konsumsi pasar ekspor Amerika dan Jepang. Salah satu gerabah yang unik adalah Kendi Maling. Tempat minum dari tanah liat ini diisi air dari bagian bawahnya. Itulah sebabnya dinamakan Kendi Maling.
Dari Desa Banyumulek kami kembali ke pusat kota Mataram menuju Gudang Kaos Lombok Arif yang berlokasi tak jauh dari Pasar Cakranegara. Terlalu banyak pilihan malah membuat bingung. Akhirnya setumpuk kaos bakal ikut jalan-jalan ke Jawa sebagai oleh-oleh. :D
Tempat berburu selanjutnya adalah pusat penjualan oleh-oleh khas Lombok di daerah Sayang-sayang. Sebagian besar peserta yang berjenis kelamin perempuan langsung menyerbu gerai mutiara. Ada mutiara air laut dan mutiara air tawar. Pak Agus memberikan tips memilih mutiara yang berkualitas tinggi. Ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, mutiara tersebut harus bulat sempurna. Kedua, permukaan mutiara harus mulus. Ketiga, kilaunya memancar dengan indah. Keempat, dilihat dari ukurannya. Untuk memastikan keaslian mutiara, uji mutiara dengan cara menggesekkannya ke gigi. Apabila seperti ada bulir-bulir pasir yang sangat halus maka mutiara tersebut adalah asli. Mutiara air laut lebih bagus daripada mutiara air tawar dan memiliki nilai jual yang tinggi. Salah satunya mencuri perhatian saya, sayangnya… harganya mencapai dua digit dalam jutaan rupiah. Mata memang tidak bisa ditipu. @_@
Di sebelah gerai mutiara terdapat gerai yang menjual oleh-oleh makanan khas Lombok seperti dodol rumput laut, manisan rumput laut, dodol buah, bahkan madu Sumbawa yang terkenal karena khasiatnya. Kecewa karena tidak mampu membeli mutiara yang harganya lebih dari penghasilan sebulan, mendingan beli dodol rumput laut aja deh. :D
Selepas maghrib kami menuju ke pusat kota Mataram untuk menikmati sajian khas paling terkenal dari Lombok, yaitu Ayam Taliwang dan Pelecing Kangkung. Taliwang adalah sebuah daerah di Sumbawa di mana orang-orang dari daerah itu bermigrasi ke Lombok hingga membuat sebuah kampong dengan nama Karang Taliwang. Orang-orang inilah yang pertama kali menyajikan masakan ayam berbumbu sehingga makanannya dinamakan Ayam Taliwang. Ditambah sambal yang bercita rasa manis pedas membuat ayam dengan bumbu kaya rempah ini semakin nikmat. Apalagi ditemani sepiring Pelecing Kangkung dengan sambal yang juga tak kalah pedas. Kangkungnya beda loh dengan kangkung yang biasa saya makan, rasanya sedikit lebih manis dan empuk. Malam terakhir di Lombok ditutup dengan perut kekenyangan. :D
Tiba di hotel bukan berarti kami bisa langsung beristirahat. Kami harus berkemas malam ini karena esok pagi kami harus meninggalkan Lombok. Tidaaaaaaakkkkkk… I don’t wanna go home this soon. I wanna stay a little bit more. Huhuhuhuuuuuuu….
Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Bagian II)
Rabu, 30 Juni 2010, kami harus sudah siap pukul 08.00 WITA. Setelah sarapan kami langsung bergegas. Pak Agus tak nampak pagi ini, digantikan oleh guide lain, Mas Yudi (the third Yudi in this trip). Sayangnya, Mas Yudi ini gak seasyik Pak Agus saat memandu. Gilang, jangan pake dia lagi yak... ;p
You can see Bali in Lombok, but you can’t see Lombok in Bali. Tiga puluh persen penduduk Mataram adalah penganut Hindu. Banyak pura di sepanjang jalan utama, juga tempat peribadatan di depan rumah. Angkutan tradisional yang berlalu-lalang adalah cidomo (gabungan dari cikar, dokar, roda mobil). Tak banyak angkutan umum, bahkan tak nampak bus kota atau antar kota.
Setelah city tour keliling Mataram, kami menuju ke Senaru di kaki Gunung Rinjani, Lombok Utara. Mencicipi segarnya Tuak Manis yang baru saja diambil dari pohonnya. Cukup dengan Rp.5.000 untuk sebotol air mineral ukuran 1500ml. Katanya sih halal karena belum melewati proses fermentasi dan sama sekali tidak memabukkan. Melewati Pusuk Pass di mana kita bisa bercengkrama dengan monyet-monyet liar yang bersahabat. Siapkan saja segenggam kacang, mereka akan mengambilnya dengan sopan tanpa berebutan. Ada juga sih yang nakal, merebut sekantung besar kacang yang masih setengah isi!
Perjalanan ke Senaru cukup memakan waktu. Baru sekitar pukul 13.00 WITA kami tiba di parkiran Air Terjun Sendang Gila. Setelah makan siang nasi kotak dengan menu yang lagi-lagi mirip dengan hari sebelumnya, kami langsung menuruni ratusan anak tangga ke lokasi air terjun. Lumayan bikin ngos-ngosan. Cukup ramai orang di sini, beberapa mandi di bawah guyuran air yang deras, termasuk dua orang turis mancanegara. Air terjunnya tak terlalu tinggi dan ada dua tingkat.
Lima belas menit kemudian Gilang mengajak kami ke air terjun berikutnya, Tiu Kelep, yang tak jauh dari Sendang Gila. Jalurnya lebih menantang dibandingkan jalur ke Sendang Gila yang sudah berupa undakan tangga. Menuju Tiu Kelep harus menyusuri jalan setapak tanah, tangga yang terjal, jembatan bolong-bolong yang lumayan serem untuk penderita acrophobia karena di bawah jembatan adalah jurang menganga, serta melintasi sungai berbatu. Medannya lebih mudah dibandingkan saat berpetualang ke Curug Cijalu Subang tempo hari. Tapi reward-nya lebih bagus. Tiu Kelep keren pisan! Ditambah penampakan pelangi di atas permukaan air. It’s so amazing! Hilang semua letih yang kami rasa terbayar oleh kemagisan Tiu Kelep. Semua orang langsung nyemplung tanpa mempedulikan dinginnya air.
Makin lama angin yang berhembus dari air terjun semakin kencang. Dengan pakaian yang masih kuyup kami kembali menyusuri sungai dan setapak serta menaiki anak tangga. Kami harus bergegas untuk mengejar panorama matahari terbenam dari Bukit Malimbu. Megahnya Gunung Rinjani mengantar kami hingga pesisir Lombok Utara. Sayangnya, kami sudah sangat terlambat untuk mengejar matahari terbenam di Bukit Malimbu. Tapi kami masih bisa mengagumi lembayung senja di sepanjang jalan menuju Senggigi. Nampak di cakrawala adalah Gunung Agung di Pulau Dewata.
Menyusuri pesisir barat Pulau Lombok di petang hingga malam hari memberikan sensasi sendiri. Jalanan yang berkelok dan naik turun membuat bus melaju dalam kecepatan tak sampai 20 km/jam. Sisi kiri adalah tanah perbukitan sementara di sisi kanan tebing yang langsung berbatasan dengan laut. Fyuh… saya sering menahan nafas sepanjang perjalanan. Tak ada penerangan lain selain lampu kendaraan. Tak ada kendaraan lain selain bus kami. Apalagi di beberapa bagian sedang dilakukan perbaikan jalan hingga menyerupai jalan buntu.
Sampailah kami di daerah Senggigi yang saat ini menjadi pusat pariwisata Lombok. Banyak hotel berbintang dan kelab hiburan malam. Kalau di Bali ada Kuta, di Lombok ada Senggigi. Kami yang sudah sangat kelaparan langsung berhamburan saat bus diparkir di depan Café Montong. Sajian modern sudah tersedia. Rasanya sih biasa saja, tapi berhubung dalam kondisi sangat lapar kami pun dengan lahap menyantap semuanya dengan lahap. Pak Agus telah kembali bergabung dengan kami, horeeeeee...!
Kantuk mulai menyerang saat bus kembali melaju menuju kota Mataram. Hari kedua di Lombok pun berlalu dengan indah. ;-)
You can see Bali in Lombok, but you can’t see Lombok in Bali. Tiga puluh persen penduduk Mataram adalah penganut Hindu. Banyak pura di sepanjang jalan utama, juga tempat peribadatan di depan rumah. Angkutan tradisional yang berlalu-lalang adalah cidomo (gabungan dari cikar, dokar, roda mobil). Tak banyak angkutan umum, bahkan tak nampak bus kota atau antar kota.
Setelah city tour keliling Mataram, kami menuju ke Senaru di kaki Gunung Rinjani, Lombok Utara. Mencicipi segarnya Tuak Manis yang baru saja diambil dari pohonnya. Cukup dengan Rp.5.000 untuk sebotol air mineral ukuran 1500ml. Katanya sih halal karena belum melewati proses fermentasi dan sama sekali tidak memabukkan. Melewati Pusuk Pass di mana kita bisa bercengkrama dengan monyet-monyet liar yang bersahabat. Siapkan saja segenggam kacang, mereka akan mengambilnya dengan sopan tanpa berebutan. Ada juga sih yang nakal, merebut sekantung besar kacang yang masih setengah isi!
Perjalanan ke Senaru cukup memakan waktu. Baru sekitar pukul 13.00 WITA kami tiba di parkiran Air Terjun Sendang Gila. Setelah makan siang nasi kotak dengan menu yang lagi-lagi mirip dengan hari sebelumnya, kami langsung menuruni ratusan anak tangga ke lokasi air terjun. Lumayan bikin ngos-ngosan. Cukup ramai orang di sini, beberapa mandi di bawah guyuran air yang deras, termasuk dua orang turis mancanegara. Air terjunnya tak terlalu tinggi dan ada dua tingkat.
Lima belas menit kemudian Gilang mengajak kami ke air terjun berikutnya, Tiu Kelep, yang tak jauh dari Sendang Gila. Jalurnya lebih menantang dibandingkan jalur ke Sendang Gila yang sudah berupa undakan tangga. Menuju Tiu Kelep harus menyusuri jalan setapak tanah, tangga yang terjal, jembatan bolong-bolong yang lumayan serem untuk penderita acrophobia karena di bawah jembatan adalah jurang menganga, serta melintasi sungai berbatu. Medannya lebih mudah dibandingkan saat berpetualang ke Curug Cijalu Subang tempo hari. Tapi reward-nya lebih bagus. Tiu Kelep keren pisan! Ditambah penampakan pelangi di atas permukaan air. It’s so amazing! Hilang semua letih yang kami rasa terbayar oleh kemagisan Tiu Kelep. Semua orang langsung nyemplung tanpa mempedulikan dinginnya air.
Makin lama angin yang berhembus dari air terjun semakin kencang. Dengan pakaian yang masih kuyup kami kembali menyusuri sungai dan setapak serta menaiki anak tangga. Kami harus bergegas untuk mengejar panorama matahari terbenam dari Bukit Malimbu. Megahnya Gunung Rinjani mengantar kami hingga pesisir Lombok Utara. Sayangnya, kami sudah sangat terlambat untuk mengejar matahari terbenam di Bukit Malimbu. Tapi kami masih bisa mengagumi lembayung senja di sepanjang jalan menuju Senggigi. Nampak di cakrawala adalah Gunung Agung di Pulau Dewata.
Menyusuri pesisir barat Pulau Lombok di petang hingga malam hari memberikan sensasi sendiri. Jalanan yang berkelok dan naik turun membuat bus melaju dalam kecepatan tak sampai 20 km/jam. Sisi kiri adalah tanah perbukitan sementara di sisi kanan tebing yang langsung berbatasan dengan laut. Fyuh… saya sering menahan nafas sepanjang perjalanan. Tak ada penerangan lain selain lampu kendaraan. Tak ada kendaraan lain selain bus kami. Apalagi di beberapa bagian sedang dilakukan perbaikan jalan hingga menyerupai jalan buntu.
Sampailah kami di daerah Senggigi yang saat ini menjadi pusat pariwisata Lombok. Banyak hotel berbintang dan kelab hiburan malam. Kalau di Bali ada Kuta, di Lombok ada Senggigi. Kami yang sudah sangat kelaparan langsung berhamburan saat bus diparkir di depan Café Montong. Sajian modern sudah tersedia. Rasanya sih biasa saja, tapi berhubung dalam kondisi sangat lapar kami pun dengan lahap menyantap semuanya dengan lahap. Pak Agus telah kembali bergabung dengan kami, horeeeeee...!
Kantuk mulai menyerang saat bus kembali melaju menuju kota Mataram. Hari kedua di Lombok pun berlalu dengan indah. ;-)
Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Bagian I)
Rupanya, sebagian besar peserta adalah mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Bandung. Gilang dan Yudhi adalah putra daerah Lombok yang sedang menuntut ilmu di kota kembang. Total peserta 25 orang. Enam orang (termasuk saya) dengan latar belakang sebagai abdi negara di institusi yang sedang banyak disorot karena kasus mafia pajak. Satu orang dokter. Satu orang pendidik. Satu orang penyiar radio. Sejoli yang baru saja menikah tanggal 20 Juni 2010. Sisanya adalah mahasiswa. Teman seperjalanan di sebelah saya, Janice, mahasiswi psikologi Univ. Maranatha.Berasa muda kembali berada di antara peserta lain yang masih kinyis-kinyis. :D
Senin pagi, 28 Juli 2010, kami berhenti di Pasuruan untuk sarapan. Perjalanan ke Banyuwangi masih cukup jauh. Di Situbondo mata kami disegarkan oleh pemandangan birunya laut. Semua peserta terpaksa menahan lapar karena kami harus mengejar ferry agar segera sampai di Bali. Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, tak seramai yang saya bayangkan di musim liburan ini. Tanpa menunggu lama bus kami sudah berada di lambung ferry dan semua penumpang naik ke dak. Dan layaknya pelancong, semuanya sibuk bergaya di depan kamera. :P
Di bawah sana nampak para pengumpul koin yang dilemparkan para penumpang ke air.
Tak sampai satu jam perjalanan dengan ferry. Di Pelabuhan Gilimanuk ada pemeriksaan KTP bagi semua orang yang masuk (masih seperti 5 tahun lalu saat saya berkunjung ke sini). Tapi kok kesannya pemeriksaannya setengah hati yak? Gak dilihat gitu KTP-nya. :P
Bus kembali meluncur di jalan menuju Kuta. Menjelang matahari kembali ke peraduannya, kami mampir sebentar di RM Madina karena semua sudah berteriak kelaparan. Sebagian malah menyempatkan mandi karena sudah dua hari tidak mandi. Perjalanan ke Kuta rupanya cukup memakan waktu. Pukul 22.00 WITA kami baru tiba di Denpasar. Akhirnya diputuskan untuk menunda kunjungan ke Kuta hingga kepulangan kami dari Lombok. Bus langsung pindah haluan kea rah Pelabuhan Padang Bai. Sudah tengah malam saat kami tiba di pelabuhan. Begitu naik ke dak kami langsung ditawari sewa kasur Rp.15.000/kasur. Mumpung penumpang sepi, saya memilih tidur di bangku-bangku yang sudah disediakan. Sedikit tidak nyaman memang, tapi tetap bisa membuat saya terlelap meski di depan sana orang ramai menyaksikan pertandingan sepak bola antara Brazil dengan Chile (eh, bener gak ya?).
Selasa pagi, 29 Juni 2010, terjaga dengan sedikit linglung karena kaget dibangunkan. Sambil menunggu ferry bersandar di Pelabuhan Lembar, Lombok, kami menikmati fajar yang mulai merekah. Perjalanan menuju hotel di kota Mataram membutuhkan waktu sekitar satu jam. Setelah pembagian kamar yang diwarnai keribetan tak perlu, akhirnya saya bisa meluruskan badan setelah sekitar 36 jam perjalanan.
Kami berkumpul lagi pukul 11.00 WITA untuk memulai petualangan di Lombok. Gilang memperkenalkan Pak Agus, guide professional yang akan memandu kami selama berada di Lombok. Orangnya asyik, cara menyampaikan narasi pun enak jadi mudah nyantel di memori. ;-)
Tujuan pertama kami adalah Desa Sade Rembitan di Lombok Tengah. Menuju desa tersebut kami melalui daerah dengan kondisi geografis yang kering, yang membuat karakter penduduknya sedikit lebih agresif hingga sering terjadi perkelahian antarkampung. Nampak di kejauhan Bandara Internasional Lombok (BIL) yang sedang dalam proses penyelesaian akhir. Rencananya bandara ini akan mulai beroperasi akhir tahun 2010. Setelah sekitar satu jam perjalanan dari Mataram, sampailah kami di Desa Sade Rembitan. Di desa ini tinggal Suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok, yang masih memegang teguh adat-istiadat mereka. Ada beberapa hal unik dari kehidupan Suku Sasak. Rumah mereka didirikan di atas pondasi yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau. Ajaibnya, pondasi yang juga merupakan lantai tersebut sangat kuat dan tidak menguarkan aroma tak sedap. Yang paling unik adalah adat pernikahannya. Seorang laki-laki yang akan menikahi seorang gadis harus menculik gadis tersebut dari rumahnya tanpa sepengetahuan orang tua si gadis. Jangan menganggap ini terlalu mudah karena rumah Suku Sasak didisain dalam dua tingkat dengan satu pintu dan tanpa jendela. Sang gadis akan tidur di undakan atas sementara orang tuanya tidur di undakan bawah di dekat pintu. Tapi saat ini sudah banyak lebih modern. “Penculikan” tetap dilakukan hanya untuk mengikuti adat.
Sebelum tiba di Desa Sade, kami diinformasikan bahwa jangan pernah member uang kepada anak-anak di desa. Akan lebih baik jika membeli apa yang mereka tawarkan seperti gelang, kodok dari kayu, selendang/ kain tenun, dan sejenisnya. Atau bisa juga memberikan donasi di kotak yang telah disediakan untuk membantu pengembangan desa ini.
Setelah makan siang di bruga (sejenis saung) dengan nasi kotak yang menunya nyaris sama dengan sarapan tadi pagi, kami diajak berkeliling desa oleh pemandu setempat. Menyusuri rumah-rumah yang sebagian masih mengikuti pakem, melihat para wanita menenun adan para lelaki yang menunggu lumbung, melewati kandang-kandang ayam, serta menunaikan shalat di masjid yang lantainya tidak terbuat dari kotoran kerbau. :D
Pukul 14.30 WITA kami menuju destinasi selanjutnya, pantai-pantai di Lombok bagian Selatan. Melalui jalan berkelok serta terjal selama sekitar satu jam. Dari kejauhan telah nampak birunya Samudera Hindia di antara perbukitan hijau. Subhanallah…elok benar! Pantas saja kalau kawasan ini akan dijadikan pusat resort kelas atas layaknya Nusa Dua, Bali. Seluruhnya telah dimiliki oleh investor yang sebagian adalah orang asing. ;-)
Tibalah kami di Pantai Mawun. Pantai ini dikenal memiliki ombak besar yang membuat banyak turis mancanegara menyukainya untuk berselancar. Pantainya masih sepi, masih alami, dan bersih. Hanya ada dua-tiga pengunjung selain kami yang ada di situ. Kami hanya diberi waktu 20 menit di sini. Tidaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkk…. Tak cukup waktu sesempit itu menikmati keeksotisan Pantai Mawun. We want more!!! Gilang, teganya dirimu, teganya, teganya, teganyaaaaaa….
Tapi kami tak bisa berlama-lama kecewa karena berikutnya kami dimanjakan oleh pemandangan Pantai Kuta Lombok dari kejauhan. Konon kawasan ini akan dikembangkan oleh investor dari Dubai. Di Pantai Seger yang merupakan bagian dari Pantai Kuta Lombok, setiap tahun dilakukan tradisi Bau Nyale, mengumpulkan cacing-cacing yang berwarna-warni, yang muncul sebagai jelmaan Putri Mandalika setiap tanggal 19 bulan 10 kalender Sasak (biasanya terjadi di akhir Februari sampai awal Maret saat bulan penuh). Legenda Putri Mandalika merupakan cerita rakyat turun-temurun di mana sang putri memilih untuk menceburkan diri ke laut agar tidak terjadi perang karena beberapa pangeran yang memperebutkan dirinya. Saat rakyatnya akan menolong sang putri, dari pasir pantai justru muncul cacing beraneka warna. Mereka pun menganggap itu sebagai jelmaan Putri Mandalika yang akan memberikan kesejahteraan. Mereka mengumpulkan cacing-cacing tersebut, menaburkannya di sawah/ ladang, bahkan menyantapnya sebagai obat ataupun karena kepercayaan akan membuat penyantapnya awet muda (yaiks...). :D
Sampailah kami di Pantai Tanjung Aan yang sedikit lebih banyak pengunjung dibandingkan Pantai Mawun. Pantai ini berbentuk huruf W dimana di bagian kiri terhampar pasir putih yang menyerupai merica sementara di bagian kanan, berupa pasir putih laksana tepung yang sangat halus. So weird, eh?
Kami diberi waktu cukup lama di sini, sekitar dua jam, sehingga semua bisa puas menikmati keindahannya. Berenang, berendam, tiduran di pasir, naik ke tebing pemisah untuk menikmati pantai dari atas, jalan-jalan menyusuri pantai, atau sekedar duduk-duduk menatap birunya air yang menyatu dengan langit di cakrawala.
Rupanya angin yang cukup kencang dari samudera berhasil membuat saya tumbang. Sedikit demi sedikit kepala mulai berat. Akhirnya saya menyerah. I need an aspirin. I need some caffeine. Saya pun menyingkir dari bibir pantai, bersama Andri yang juga mulai drop, dan memesan segelas kopi panas di salah satu warung. Masih lebih dari setengah jam lagi menyudahi kunjungan di Pantai Tanjung Aan. Saya dan Andri memutuskan untuk kembali ke bus karena kondisi badan makin menurun.
Menjelang senja kami pun kembali ke Mataram setelah sebelumnya mampir ke Desa Puyung untuk mencicipi dahsyatnya Nasi Balap atau lebih terkenal dengan nama Nasi Puyung. Warungnya terletak di sebuah gang dan harus berjalan sekitar 200 meter dari jalan raya. Baru sekitar 50 meter berjalan kaki ketika Andri bilang, “Mbak, aku drop nih. Keknya tekanan darahku turun,” kemudian langsung ambruk. Untunglah saya sempat menahan badannya dan berteriak minta tolong. Akhirnya Andri kami bawa ke sebuah saung di warung pinggir jalan. Sepertinya dia tidak kuat dengan kafein yang tadi dikonsumsinya bersama saya di Pantai Tanjung Aan. Sementara teman-teman yang lain menyantap Nasi Puyung, saya dan Nita menemani Andri di warung pinggir jalan dan berbincang dengan ibu pemilik warung yang memberikan tempat bagi kami tanpa pamrih. Huhuhuhuuuuu... jadi terharu.
Untunglah Gilang memesan Nasi Puyung untuk kami makan di hotel. Penasaran kami pun terlunasi. Dinamakan Nasi Balap dikarenakan semula makanan ini dijual di terminal/ pelabuhan untuk orang-orang yang akan melakukan perjalanan. Karena makannya harus cepat agar tidak ketinggalan bis atau kapal, jadilah disebut Nasi Balap. Puyung merupakan desa asal makanan ini. Terdiri dari nasi dengan taburan ayam goreng suwir dan kacang kedelei goreng ditambah sambal goreng ayam yang benar-benar pedas. Pecinta makanan pedas harus mencicipi ini. Rasanya nendang abis!
Perjalanan kami hari pertama di Lombok usai sudah. Melelahkan, tapi sangat menyenangkan. Saatnya istirahat untuk petualangan berikutnya yang lebih berat.
Senin pagi, 28 Juli 2010, kami berhenti di Pasuruan untuk sarapan. Perjalanan ke Banyuwangi masih cukup jauh. Di Situbondo mata kami disegarkan oleh pemandangan birunya laut. Semua peserta terpaksa menahan lapar karena kami harus mengejar ferry agar segera sampai di Bali. Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, tak seramai yang saya bayangkan di musim liburan ini. Tanpa menunggu lama bus kami sudah berada di lambung ferry dan semua penumpang naik ke dak. Dan layaknya pelancong, semuanya sibuk bergaya di depan kamera. :P
Di bawah sana nampak para pengumpul koin yang dilemparkan para penumpang ke air.
Tak sampai satu jam perjalanan dengan ferry. Di Pelabuhan Gilimanuk ada pemeriksaan KTP bagi semua orang yang masuk (masih seperti 5 tahun lalu saat saya berkunjung ke sini). Tapi kok kesannya pemeriksaannya setengah hati yak? Gak dilihat gitu KTP-nya. :P
Bus kembali meluncur di jalan menuju Kuta. Menjelang matahari kembali ke peraduannya, kami mampir sebentar di RM Madina karena semua sudah berteriak kelaparan. Sebagian malah menyempatkan mandi karena sudah dua hari tidak mandi. Perjalanan ke Kuta rupanya cukup memakan waktu. Pukul 22.00 WITA kami baru tiba di Denpasar. Akhirnya diputuskan untuk menunda kunjungan ke Kuta hingga kepulangan kami dari Lombok. Bus langsung pindah haluan kea rah Pelabuhan Padang Bai. Sudah tengah malam saat kami tiba di pelabuhan. Begitu naik ke dak kami langsung ditawari sewa kasur Rp.15.000/kasur. Mumpung penumpang sepi, saya memilih tidur di bangku-bangku yang sudah disediakan. Sedikit tidak nyaman memang, tapi tetap bisa membuat saya terlelap meski di depan sana orang ramai menyaksikan pertandingan sepak bola antara Brazil dengan Chile (eh, bener gak ya?).
Selasa pagi, 29 Juni 2010, terjaga dengan sedikit linglung karena kaget dibangunkan. Sambil menunggu ferry bersandar di Pelabuhan Lembar, Lombok, kami menikmati fajar yang mulai merekah. Perjalanan menuju hotel di kota Mataram membutuhkan waktu sekitar satu jam. Setelah pembagian kamar yang diwarnai keribetan tak perlu, akhirnya saya bisa meluruskan badan setelah sekitar 36 jam perjalanan.
Kami berkumpul lagi pukul 11.00 WITA untuk memulai petualangan di Lombok. Gilang memperkenalkan Pak Agus, guide professional yang akan memandu kami selama berada di Lombok. Orangnya asyik, cara menyampaikan narasi pun enak jadi mudah nyantel di memori. ;-)
Tujuan pertama kami adalah Desa Sade Rembitan di Lombok Tengah. Menuju desa tersebut kami melalui daerah dengan kondisi geografis yang kering, yang membuat karakter penduduknya sedikit lebih agresif hingga sering terjadi perkelahian antarkampung. Nampak di kejauhan Bandara Internasional Lombok (BIL) yang sedang dalam proses penyelesaian akhir. Rencananya bandara ini akan mulai beroperasi akhir tahun 2010. Setelah sekitar satu jam perjalanan dari Mataram, sampailah kami di Desa Sade Rembitan. Di desa ini tinggal Suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok, yang masih memegang teguh adat-istiadat mereka. Ada beberapa hal unik dari kehidupan Suku Sasak. Rumah mereka didirikan di atas pondasi yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau. Ajaibnya, pondasi yang juga merupakan lantai tersebut sangat kuat dan tidak menguarkan aroma tak sedap. Yang paling unik adalah adat pernikahannya. Seorang laki-laki yang akan menikahi seorang gadis harus menculik gadis tersebut dari rumahnya tanpa sepengetahuan orang tua si gadis. Jangan menganggap ini terlalu mudah karena rumah Suku Sasak didisain dalam dua tingkat dengan satu pintu dan tanpa jendela. Sang gadis akan tidur di undakan atas sementara orang tuanya tidur di undakan bawah di dekat pintu. Tapi saat ini sudah banyak lebih modern. “Penculikan” tetap dilakukan hanya untuk mengikuti adat.
Sebelum tiba di Desa Sade, kami diinformasikan bahwa jangan pernah member uang kepada anak-anak di desa. Akan lebih baik jika membeli apa yang mereka tawarkan seperti gelang, kodok dari kayu, selendang/ kain tenun, dan sejenisnya. Atau bisa juga memberikan donasi di kotak yang telah disediakan untuk membantu pengembangan desa ini.
Setelah makan siang di bruga (sejenis saung) dengan nasi kotak yang menunya nyaris sama dengan sarapan tadi pagi, kami diajak berkeliling desa oleh pemandu setempat. Menyusuri rumah-rumah yang sebagian masih mengikuti pakem, melihat para wanita menenun adan para lelaki yang menunggu lumbung, melewati kandang-kandang ayam, serta menunaikan shalat di masjid yang lantainya tidak terbuat dari kotoran kerbau. :D
Pukul 14.30 WITA kami menuju destinasi selanjutnya, pantai-pantai di Lombok bagian Selatan. Melalui jalan berkelok serta terjal selama sekitar satu jam. Dari kejauhan telah nampak birunya Samudera Hindia di antara perbukitan hijau. Subhanallah…elok benar! Pantas saja kalau kawasan ini akan dijadikan pusat resort kelas atas layaknya Nusa Dua, Bali. Seluruhnya telah dimiliki oleh investor yang sebagian adalah orang asing. ;-)
Tibalah kami di Pantai Mawun. Pantai ini dikenal memiliki ombak besar yang membuat banyak turis mancanegara menyukainya untuk berselancar. Pantainya masih sepi, masih alami, dan bersih. Hanya ada dua-tiga pengunjung selain kami yang ada di situ. Kami hanya diberi waktu 20 menit di sini. Tidaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkk…. Tak cukup waktu sesempit itu menikmati keeksotisan Pantai Mawun. We want more!!! Gilang, teganya dirimu, teganya, teganya, teganyaaaaaa….
Tapi kami tak bisa berlama-lama kecewa karena berikutnya kami dimanjakan oleh pemandangan Pantai Kuta Lombok dari kejauhan. Konon kawasan ini akan dikembangkan oleh investor dari Dubai. Di Pantai Seger yang merupakan bagian dari Pantai Kuta Lombok, setiap tahun dilakukan tradisi Bau Nyale, mengumpulkan cacing-cacing yang berwarna-warni, yang muncul sebagai jelmaan Putri Mandalika setiap tanggal 19 bulan 10 kalender Sasak (biasanya terjadi di akhir Februari sampai awal Maret saat bulan penuh). Legenda Putri Mandalika merupakan cerita rakyat turun-temurun di mana sang putri memilih untuk menceburkan diri ke laut agar tidak terjadi perang karena beberapa pangeran yang memperebutkan dirinya. Saat rakyatnya akan menolong sang putri, dari pasir pantai justru muncul cacing beraneka warna. Mereka pun menganggap itu sebagai jelmaan Putri Mandalika yang akan memberikan kesejahteraan. Mereka mengumpulkan cacing-cacing tersebut, menaburkannya di sawah/ ladang, bahkan menyantapnya sebagai obat ataupun karena kepercayaan akan membuat penyantapnya awet muda (yaiks...). :D
Sampailah kami di Pantai Tanjung Aan yang sedikit lebih banyak pengunjung dibandingkan Pantai Mawun. Pantai ini berbentuk huruf W dimana di bagian kiri terhampar pasir putih yang menyerupai merica sementara di bagian kanan, berupa pasir putih laksana tepung yang sangat halus. So weird, eh?
Kami diberi waktu cukup lama di sini, sekitar dua jam, sehingga semua bisa puas menikmati keindahannya. Berenang, berendam, tiduran di pasir, naik ke tebing pemisah untuk menikmati pantai dari atas, jalan-jalan menyusuri pantai, atau sekedar duduk-duduk menatap birunya air yang menyatu dengan langit di cakrawala.
Rupanya angin yang cukup kencang dari samudera berhasil membuat saya tumbang. Sedikit demi sedikit kepala mulai berat. Akhirnya saya menyerah. I need an aspirin. I need some caffeine. Saya pun menyingkir dari bibir pantai, bersama Andri yang juga mulai drop, dan memesan segelas kopi panas di salah satu warung. Masih lebih dari setengah jam lagi menyudahi kunjungan di Pantai Tanjung Aan. Saya dan Andri memutuskan untuk kembali ke bus karena kondisi badan makin menurun.
Menjelang senja kami pun kembali ke Mataram setelah sebelumnya mampir ke Desa Puyung untuk mencicipi dahsyatnya Nasi Balap atau lebih terkenal dengan nama Nasi Puyung. Warungnya terletak di sebuah gang dan harus berjalan sekitar 200 meter dari jalan raya. Baru sekitar 50 meter berjalan kaki ketika Andri bilang, “Mbak, aku drop nih. Keknya tekanan darahku turun,” kemudian langsung ambruk. Untunglah saya sempat menahan badannya dan berteriak minta tolong. Akhirnya Andri kami bawa ke sebuah saung di warung pinggir jalan. Sepertinya dia tidak kuat dengan kafein yang tadi dikonsumsinya bersama saya di Pantai Tanjung Aan. Sementara teman-teman yang lain menyantap Nasi Puyung, saya dan Nita menemani Andri di warung pinggir jalan dan berbincang dengan ibu pemilik warung yang memberikan tempat bagi kami tanpa pamrih. Huhuhuhuuuuu... jadi terharu.
Untunglah Gilang memesan Nasi Puyung untuk kami makan di hotel. Penasaran kami pun terlunasi. Dinamakan Nasi Balap dikarenakan semula makanan ini dijual di terminal/ pelabuhan untuk orang-orang yang akan melakukan perjalanan. Karena makannya harus cepat agar tidak ketinggalan bis atau kapal, jadilah disebut Nasi Balap. Puyung merupakan desa asal makanan ini. Terdiri dari nasi dengan taburan ayam goreng suwir dan kacang kedelei goreng ditambah sambal goreng ayam yang benar-benar pedas. Pecinta makanan pedas harus mencicipi ini. Rasanya nendang abis!
Perjalanan kami hari pertama di Lombok usai sudah. Melelahkan, tapi sangat menyenangkan. Saatnya istirahat untuk petualangan berikutnya yang lebih berat.
Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Prolog)
Jumat petang, 25 Juni 2010, kereta api Senja Utama dengan tujuan akhir St. Tugu Yogyakarta melaju perlahan dari St. Senen Jakarta. Ditemani rombongan Laskar Senja yang setiap Jumat mengukur panjang rel Jakarta-Jogja untuk bertemu dengan keluarga tercinta di kampong halaman. Dalam kondisi stamina yang tidak 100% masih harus menerima tamparan angin yang menerobos masuk melalui jendela yang terbuka.
Sabtu pagi, 26 Juni 2010, rangkaian KA Senja Utama memasuki St. Tugu Yogyakarta. Terlambat sekitar dua jam dari jadwal seharusnya. Kami langsung meluncur ke arah selatan ke daerah Bantul. Saya turun di depan SPBU Singosaren tak jauh dari Terminal Giwangan. Rumah Singosaren. Rumah Pak Har dan Bu Har. Rumah Ketty dan Windi. It’s like my second home, di mana saya bisa menganggap rumah ini sebagai rumah sendiri, meski saya gak bisa mengagunkan sertifikatnya sebagai jaminan hutang. :D.
Ini salah satu alasan saya lebih memilih Jogja daripada Bandung sebagai titik awal perjalanan berikutnya ke salah satu surga dunia, Pulau Lombok. Lombok Vacation (LV), paket jalan-jalan ala backpacker berangkat dari Bandung Minggu pagi, 27 Juni 2010. Rombongan akan singgah di Jogja pada Minggu malam. Nah, biar lebih puas jalan-jalan di Jogja saya pun memilih untuk bergabung dengan rombongan LV di Kota Pelajar itu.
Tapi ternyata kondisi badan tidak memungkinkan untuk menjelajah Jogja. Sepanjang pagi hingga sore saya malah tidur-tiduran “nge-charge” baterai tubuh biar besok lebih fit. Selepas maghrib barulah keluar kandang dikawal Windi, Ai dan Lia. Tujuan utama: Festival Kesenian Yogya (FKY) di kompleks Benteng Vredeburg. Sayang kami kurang beruntung. Setelah melewati jalanan yang super padat menuju Malioboro, kami harus menelan kekecewaan. FKY ditutup lebih awal karena terjadi pemadaman listrik sebagai imbas dari musibah kebakaran di Jl. Katamso (mencuri dengar dari seorang bapak bergaya veteran di depan Museum Serangan Umum 11 Maret).
Daripada berlama-lama kecewa akhirnya kami meluncur ke sebuah warung remang-remang di belakang St. Tugu. Jangan berpikiran kotor dulu! Saya sebut warung remang-remang karena di sini memang irit cahaya. Sajian andalannya: Kopi Joss. Kopi tubruk yang dicelup arang yang masih membara hingga menimbulkan bunyi “jossss”. Rasanya: mantap! Pecinta kopi harus mencicipi kopi joss ini. (Maaf, ini bukan promo karena saya gak dibayar sepeser pun oleh yang punya warung).
Kembali ke Rumah Singosaren, kembali terkapar tak berdaya. Tubuh makin drop. Batuk makin menjadi. Pake acara mimisan segala! Hehe… gak ding, cuma pileknya makin parah sampai bercampur warna merah (darah kali yak). Dalam seminggu ini sudah mengkonsumsi sebotol obat batuk, beberapa butir obat flu dan multivitamin, ditambah enam butir jeruk nipis! Tapi ternyata tak membuat perubahan apapun. Saya pun berpikir untuk membatalkan perjalanan ke Lombok jika kondisinya masih seperti ini.
Alhamdulillah, Minggu pagi, 27 Juni 2010, saya terbangun dalam kondisi yang cukup prima. Berdua dengan Windi, kami ke sentra kerajinan kulit di Desa Manding, Bantul. Hmmm… agak mirip Tajurnya Bogor. Setelah keluar masuk toko, akhirnya cuma membeli sebuah gantungan kunci mungil berbentuk sepatu boot dari kulit. Dari situ kami ke Malioboro setelah singgah makan siang di Baceman, Jl. Taman Siswa. Mampir ke Mirota Batik, ngubek-ubek baju dan kain batik. Dari Mirota Batik dilanjutkan ke FKY. Wih… banyak barang yang lucu-lucu di sini. Musti tutup mata biar kantong gak bolong. Dan… ada penampilan band anak muda di panggung utama dengan musik jedar-jeder gak jelas yang sangat tidak bersahabat dengan kuping.
Sudah menjelang sore ketika kami kembali ke Rumah Singosaren. Saya musti bersiap untuk perjalanan yang lebih panjang. Ketemu Andri dan kenalan dengan Nita di Hotel Wisma Ary’s di Jl. Suryodiningratan. Makan malam super murah di warung pecel ayam Pak Sabar di dekat hotel. Bertiga buma dua puluh tiga ribu perak. Kami bertiga meluncur ke Central Parking Malioboro, meeting point dengan rombongan LV. Kenalan dengan sang penyelenggara, Gilang dan Yudhi, serta peserta lain. Sekitar pukul 22.00 WIB bus Puja Wisata dengan kapasitas 31 tempat duduk pun meluncur membelah Jogja. Lombok, I’m coming…!
Sabtu pagi, 26 Juni 2010, rangkaian KA Senja Utama memasuki St. Tugu Yogyakarta. Terlambat sekitar dua jam dari jadwal seharusnya. Kami langsung meluncur ke arah selatan ke daerah Bantul. Saya turun di depan SPBU Singosaren tak jauh dari Terminal Giwangan. Rumah Singosaren. Rumah Pak Har dan Bu Har. Rumah Ketty dan Windi. It’s like my second home, di mana saya bisa menganggap rumah ini sebagai rumah sendiri, meski saya gak bisa mengagunkan sertifikatnya sebagai jaminan hutang. :D.
Ini salah satu alasan saya lebih memilih Jogja daripada Bandung sebagai titik awal perjalanan berikutnya ke salah satu surga dunia, Pulau Lombok. Lombok Vacation (LV), paket jalan-jalan ala backpacker berangkat dari Bandung Minggu pagi, 27 Juni 2010. Rombongan akan singgah di Jogja pada Minggu malam. Nah, biar lebih puas jalan-jalan di Jogja saya pun memilih untuk bergabung dengan rombongan LV di Kota Pelajar itu.
Tapi ternyata kondisi badan tidak memungkinkan untuk menjelajah Jogja. Sepanjang pagi hingga sore saya malah tidur-tiduran “nge-charge” baterai tubuh biar besok lebih fit. Selepas maghrib barulah keluar kandang dikawal Windi, Ai dan Lia. Tujuan utama: Festival Kesenian Yogya (FKY) di kompleks Benteng Vredeburg. Sayang kami kurang beruntung. Setelah melewati jalanan yang super padat menuju Malioboro, kami harus menelan kekecewaan. FKY ditutup lebih awal karena terjadi pemadaman listrik sebagai imbas dari musibah kebakaran di Jl. Katamso (mencuri dengar dari seorang bapak bergaya veteran di depan Museum Serangan Umum 11 Maret).
Daripada berlama-lama kecewa akhirnya kami meluncur ke sebuah warung remang-remang di belakang St. Tugu. Jangan berpikiran kotor dulu! Saya sebut warung remang-remang karena di sini memang irit cahaya. Sajian andalannya: Kopi Joss. Kopi tubruk yang dicelup arang yang masih membara hingga menimbulkan bunyi “jossss”. Rasanya: mantap! Pecinta kopi harus mencicipi kopi joss ini. (Maaf, ini bukan promo karena saya gak dibayar sepeser pun oleh yang punya warung).
Kembali ke Rumah Singosaren, kembali terkapar tak berdaya. Tubuh makin drop. Batuk makin menjadi. Pake acara mimisan segala! Hehe… gak ding, cuma pileknya makin parah sampai bercampur warna merah (darah kali yak). Dalam seminggu ini sudah mengkonsumsi sebotol obat batuk, beberapa butir obat flu dan multivitamin, ditambah enam butir jeruk nipis! Tapi ternyata tak membuat perubahan apapun. Saya pun berpikir untuk membatalkan perjalanan ke Lombok jika kondisinya masih seperti ini.
Alhamdulillah, Minggu pagi, 27 Juni 2010, saya terbangun dalam kondisi yang cukup prima. Berdua dengan Windi, kami ke sentra kerajinan kulit di Desa Manding, Bantul. Hmmm… agak mirip Tajurnya Bogor. Setelah keluar masuk toko, akhirnya cuma membeli sebuah gantungan kunci mungil berbentuk sepatu boot dari kulit. Dari situ kami ke Malioboro setelah singgah makan siang di Baceman, Jl. Taman Siswa. Mampir ke Mirota Batik, ngubek-ubek baju dan kain batik. Dari Mirota Batik dilanjutkan ke FKY. Wih… banyak barang yang lucu-lucu di sini. Musti tutup mata biar kantong gak bolong. Dan… ada penampilan band anak muda di panggung utama dengan musik jedar-jeder gak jelas yang sangat tidak bersahabat dengan kuping.
Sudah menjelang sore ketika kami kembali ke Rumah Singosaren. Saya musti bersiap untuk perjalanan yang lebih panjang. Ketemu Andri dan kenalan dengan Nita di Hotel Wisma Ary’s di Jl. Suryodiningratan. Makan malam super murah di warung pecel ayam Pak Sabar di dekat hotel. Bertiga buma dua puluh tiga ribu perak. Kami bertiga meluncur ke Central Parking Malioboro, meeting point dengan rombongan LV. Kenalan dengan sang penyelenggara, Gilang dan Yudhi, serta peserta lain. Sekitar pukul 22.00 WIB bus Puja Wisata dengan kapasitas 31 tempat duduk pun meluncur membelah Jogja. Lombok, I’m coming…!
Subscribe to:
Posts (Atom)