Rupanya, sebagian besar peserta adalah mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Bandung. Gilang dan Yudhi adalah putra daerah Lombok yang sedang menuntut ilmu di kota kembang. Total peserta 25 orang. Enam orang (termasuk saya) dengan latar belakang sebagai abdi negara di institusi yang sedang banyak disorot karena kasus mafia pajak. Satu orang dokter. Satu orang pendidik. Satu orang penyiar radio. Sejoli yang baru saja menikah tanggal 20 Juni 2010. Sisanya adalah mahasiswa. Teman seperjalanan di sebelah saya, Janice, mahasiswi psikologi Univ. Maranatha.Berasa muda kembali berada di antara peserta lain yang masih kinyis-kinyis. :D
Senin pagi, 28 Juli 2010, kami berhenti di Pasuruan untuk sarapan. Perjalanan ke Banyuwangi masih cukup jauh. Di Situbondo mata kami disegarkan oleh pemandangan birunya laut. Semua peserta terpaksa menahan lapar karena kami harus mengejar ferry agar segera sampai di Bali. Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, tak seramai yang saya bayangkan di musim liburan ini. Tanpa menunggu lama bus kami sudah berada di lambung ferry dan semua penumpang naik ke dak. Dan layaknya pelancong, semuanya sibuk bergaya di depan kamera. :P
Di bawah sana nampak para pengumpul koin yang dilemparkan para penumpang ke air.
Tak sampai satu jam perjalanan dengan ferry. Di Pelabuhan Gilimanuk ada pemeriksaan KTP bagi semua orang yang masuk (masih seperti 5 tahun lalu saat saya berkunjung ke sini). Tapi kok kesannya pemeriksaannya setengah hati yak? Gak dilihat gitu KTP-nya. :P
Bus kembali meluncur di jalan menuju Kuta. Menjelang matahari kembali ke peraduannya, kami mampir sebentar di RM Madina karena semua sudah berteriak kelaparan. Sebagian malah menyempatkan mandi karena sudah dua hari tidak mandi. Perjalanan ke Kuta rupanya cukup memakan waktu. Pukul 22.00 WITA kami baru tiba di Denpasar. Akhirnya diputuskan untuk menunda kunjungan ke Kuta hingga kepulangan kami dari Lombok. Bus langsung pindah haluan kea rah Pelabuhan Padang Bai. Sudah tengah malam saat kami tiba di pelabuhan. Begitu naik ke dak kami langsung ditawari sewa kasur Rp.15.000/kasur. Mumpung penumpang sepi, saya memilih tidur di bangku-bangku yang sudah disediakan. Sedikit tidak nyaman memang, tapi tetap bisa membuat saya terlelap meski di depan sana orang ramai menyaksikan pertandingan sepak bola antara Brazil dengan Chile (eh, bener gak ya?).
Selasa pagi, 29 Juni 2010, terjaga dengan sedikit linglung karena kaget dibangunkan. Sambil menunggu ferry bersandar di Pelabuhan Lembar, Lombok, kami menikmati fajar yang mulai merekah. Perjalanan menuju hotel di kota Mataram membutuhkan waktu sekitar satu jam. Setelah pembagian kamar yang diwarnai keribetan tak perlu, akhirnya saya bisa meluruskan badan setelah sekitar 36 jam perjalanan.
Kami berkumpul lagi pukul 11.00 WITA untuk memulai petualangan di Lombok. Gilang memperkenalkan Pak Agus, guide professional yang akan memandu kami selama berada di Lombok. Orangnya asyik, cara menyampaikan narasi pun enak jadi mudah nyantel di memori. ;-)
Tujuan pertama kami adalah Desa Sade Rembitan di Lombok Tengah. Menuju desa tersebut kami melalui daerah dengan kondisi geografis yang kering, yang membuat karakter penduduknya sedikit lebih agresif hingga sering terjadi perkelahian antarkampung. Nampak di kejauhan Bandara Internasional Lombok (BIL) yang sedang dalam proses penyelesaian akhir. Rencananya bandara ini akan mulai beroperasi akhir tahun 2010. Setelah sekitar satu jam perjalanan dari Mataram, sampailah kami di Desa Sade Rembitan. Di desa ini tinggal Suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok, yang masih memegang teguh adat-istiadat mereka. Ada beberapa hal unik dari kehidupan Suku Sasak. Rumah mereka didirikan di atas pondasi yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau. Ajaibnya, pondasi yang juga merupakan lantai tersebut sangat kuat dan tidak menguarkan aroma tak sedap. Yang paling unik adalah adat pernikahannya. Seorang laki-laki yang akan menikahi seorang gadis harus menculik gadis tersebut dari rumahnya tanpa sepengetahuan orang tua si gadis. Jangan menganggap ini terlalu mudah karena rumah Suku Sasak didisain dalam dua tingkat dengan satu pintu dan tanpa jendela. Sang gadis akan tidur di undakan atas sementara orang tuanya tidur di undakan bawah di dekat pintu. Tapi saat ini sudah banyak lebih modern. “Penculikan” tetap dilakukan hanya untuk mengikuti adat.
Sebelum tiba di Desa Sade, kami diinformasikan bahwa jangan pernah member uang kepada anak-anak di desa. Akan lebih baik jika membeli apa yang mereka tawarkan seperti gelang, kodok dari kayu, selendang/ kain tenun, dan sejenisnya. Atau bisa juga memberikan donasi di kotak yang telah disediakan untuk membantu pengembangan desa ini.
Setelah makan siang di bruga (sejenis saung) dengan nasi kotak yang menunya nyaris sama dengan sarapan tadi pagi, kami diajak berkeliling desa oleh pemandu setempat. Menyusuri rumah-rumah yang sebagian masih mengikuti pakem, melihat para wanita menenun adan para lelaki yang menunggu lumbung, melewati kandang-kandang ayam, serta menunaikan shalat di masjid yang lantainya tidak terbuat dari kotoran kerbau. :D
Pukul 14.30 WITA kami menuju destinasi selanjutnya, pantai-pantai di Lombok bagian Selatan. Melalui jalan berkelok serta terjal selama sekitar satu jam. Dari kejauhan telah nampak birunya Samudera Hindia di antara perbukitan hijau. Subhanallah…elok benar! Pantas saja kalau kawasan ini akan dijadikan pusat resort kelas atas layaknya Nusa Dua, Bali. Seluruhnya telah dimiliki oleh investor yang sebagian adalah orang asing. ;-)
Tibalah kami di Pantai Mawun. Pantai ini dikenal memiliki ombak besar yang membuat banyak turis mancanegara menyukainya untuk berselancar. Pantainya masih sepi, masih alami, dan bersih. Hanya ada dua-tiga pengunjung selain kami yang ada di situ. Kami hanya diberi waktu 20 menit di sini. Tidaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkk…. Tak cukup waktu sesempit itu menikmati keeksotisan Pantai Mawun. We want more!!! Gilang, teganya dirimu, teganya, teganya, teganyaaaaaa….
Tapi kami tak bisa berlama-lama kecewa karena berikutnya kami dimanjakan oleh pemandangan Pantai Kuta Lombok dari kejauhan. Konon kawasan ini akan dikembangkan oleh investor dari Dubai. Di Pantai Seger yang merupakan bagian dari Pantai Kuta Lombok, setiap tahun dilakukan tradisi Bau Nyale, mengumpulkan cacing-cacing yang berwarna-warni, yang muncul sebagai jelmaan Putri Mandalika setiap tanggal 19 bulan 10 kalender Sasak (biasanya terjadi di akhir Februari sampai awal Maret saat bulan penuh). Legenda Putri Mandalika merupakan cerita rakyat turun-temurun di mana sang putri memilih untuk menceburkan diri ke laut agar tidak terjadi perang karena beberapa pangeran yang memperebutkan dirinya. Saat rakyatnya akan menolong sang putri, dari pasir pantai justru muncul cacing beraneka warna. Mereka pun menganggap itu sebagai jelmaan Putri Mandalika yang akan memberikan kesejahteraan. Mereka mengumpulkan cacing-cacing tersebut, menaburkannya di sawah/ ladang, bahkan menyantapnya sebagai obat ataupun karena kepercayaan akan membuat penyantapnya awet muda (yaiks...). :D
Sampailah kami di Pantai Tanjung Aan yang sedikit lebih banyak pengunjung dibandingkan Pantai Mawun. Pantai ini berbentuk huruf W dimana di bagian kiri terhampar pasir putih yang menyerupai merica sementara di bagian kanan, berupa pasir putih laksana tepung yang sangat halus. So weird, eh?
Kami diberi waktu cukup lama di sini, sekitar dua jam, sehingga semua bisa puas menikmati keindahannya. Berenang, berendam, tiduran di pasir, naik ke tebing pemisah untuk menikmati pantai dari atas, jalan-jalan menyusuri pantai, atau sekedar duduk-duduk menatap birunya air yang menyatu dengan langit di cakrawala.
Rupanya angin yang cukup kencang dari samudera berhasil membuat saya tumbang. Sedikit demi sedikit kepala mulai berat. Akhirnya saya menyerah. I need an aspirin. I need some caffeine. Saya pun menyingkir dari bibir pantai, bersama Andri yang juga mulai drop, dan memesan segelas kopi panas di salah satu warung. Masih lebih dari setengah jam lagi menyudahi kunjungan di Pantai Tanjung Aan. Saya dan Andri memutuskan untuk kembali ke bus karena kondisi badan makin menurun.
Menjelang senja kami pun kembali ke Mataram setelah sebelumnya mampir ke Desa Puyung untuk mencicipi dahsyatnya Nasi Balap atau lebih terkenal dengan nama Nasi Puyung. Warungnya terletak di sebuah gang dan harus berjalan sekitar 200 meter dari jalan raya. Baru sekitar 50 meter berjalan kaki ketika Andri bilang, “Mbak, aku drop nih. Keknya tekanan darahku turun,” kemudian langsung ambruk. Untunglah saya sempat menahan badannya dan berteriak minta tolong. Akhirnya Andri kami bawa ke sebuah saung di warung pinggir jalan. Sepertinya dia tidak kuat dengan kafein yang tadi dikonsumsinya bersama saya di Pantai Tanjung Aan. Sementara teman-teman yang lain menyantap Nasi Puyung, saya dan Nita menemani Andri di warung pinggir jalan dan berbincang dengan ibu pemilik warung yang memberikan tempat bagi kami tanpa pamrih. Huhuhuhuuuuu... jadi terharu.
Untunglah Gilang memesan Nasi Puyung untuk kami makan di hotel. Penasaran kami pun terlunasi. Dinamakan Nasi Balap dikarenakan semula makanan ini dijual di terminal/ pelabuhan untuk orang-orang yang akan melakukan perjalanan. Karena makannya harus cepat agar tidak ketinggalan bis atau kapal, jadilah disebut Nasi Balap. Puyung merupakan desa asal makanan ini. Terdiri dari nasi dengan taburan ayam goreng suwir dan kacang kedelei goreng ditambah sambal goreng ayam yang benar-benar pedas. Pecinta makanan pedas harus mencicipi ini. Rasanya nendang abis!
Perjalanan kami hari pertama di Lombok usai sudah. Melelahkan, tapi sangat menyenangkan. Saatnya istirahat untuk petualangan berikutnya yang lebih berat.
3 comments:
Kayaknya di bis mbak mel nggak bikin catatan apapun deh tentang yg diceritain pak agus. Tapi kok inget semua ya... ck..ck..ck.. :jempol:
Btw, soal yg pingsan itu, maluuuuu... :"(
itulah lebihnya gw, punya recorder yg bisa diumpetin di kepala...huehehehe
Jangan sunkan untuk datang kembali ke pulau Lombok.
Post a Comment