Jumat petang selepas maghrib saya langsung meluncur ke halte RS. Harapan Kita. Bus jurusan Merak baru nongol setelah nyaris satu jam menunggu. Tak ada tempat duduk tersisa di dalam bus, terpaksa berdiri. Paling gak sampai pintu tol Kebon Jeruk lah, pikir saya.Tapi ternyata gak ada seorang pun yang turun di pintu tol Kebon Jeruk, justru ada tambahan beberapa penumpang. Ihik... bakal berdiri sampai Serang nih. Tepat di samping saya berdiri ada seorang bapak dengan ukuran super big yang membuat ruang bergerak jadi berkurang.
Alhamdulillah gak harus berdiri sampai Serang, banyak yang turun di Tambak (sekitar KM 60 Tol Jakarta-Merak). Busnya pun gak ngetem lama di Serang. Langsung dijemput Ketty di terminal bayangan Cilegon alias PCI. Di rumah Ketty sudah tersedia bebek goreng yang maknyus lengkap dengan sambal mangganya. :D
Hari H
Kata Ketty, rombongan mobil berangkat pukul 06.30 WIB, rombongan motor berangkat 30 menit kemudian. Kami pun bergegas ke basecamp (baca: rumah dinas) Kanwil Banten. Yup, touring ini terselenggara atas kerja sama teman-teman di Kanwil Banten. Saya hanyalah peserta susupan. :D
Rupanya, Ajib “the organizer” sudah menyiapkan spanduk berukuran besar. Hahaha... niat banget nih anak. Jadwal keberangkatan molor, rombongan baru meluncur pukul 08.30 WIB. Satu mobil dan tujuh belas motor. Total peserta 30 orang (Bener gak sih? Gak sempet ngitung soalnya)
Saya ikut di rombongan mobil. Pingiiiiinnn banget ikut rombongan motor, tapi ternyata gak ada helm yang cukup memadai alias helm SNI. Dito bertindak sebagai supir mobil pelat merah ini. Jok bagian belakang berisi tas dan berbagai perlengkapan peserta. Selain Dito, hanya ada saya, Ketty, dan Susy.
Kami meluncur menuju Pandeglang. Tidak ada koordinasi di mana kami akan berhenti untuk sarapan. Rombongan motor tak bisa dihubungi melalui telepon seluler. Akhirnya Dito meminggirkan mobil di alun-alun Pandeglang. Ada penjual kupat tahu dan bubur ayam. :D
Tak lama kemudian melintaslah rombongan motor dan tiba-tiba... Gubrak. Seorang pengendara lokal menabrak Surya yang secara tiba-tiba mengarahkan motornya ke kanan untuk bergabung dengan kami. Alhamdulillah tak ada yang cedera, hanya mengorbankan spion kanan dan footstep kanan. Untunglah si pengendara lokal tidak menyalahkan Surya. Murdi yang semula keukeuh naik motor meski helmnya gak memadai akhirnya mau meninggalkan motornya di KPP Pandeglang dan bergabung dengan romobongan mobil sebagai navigator Dito. Angga juga ikut gabung, mojok di belakang bareng tumpukan tas. ;P
Perjalanan pun dilanjutkan. Dari Pandeglang kami mengarah ke Malimping, melalui daerah bernama Saketi. Kondisi jalannya rusak parah. Hanya beberapa bagian yang masih layak dilewati. Sebagian kecil (baru selesai) dibeton. Tapi jangan coba-coba membawa mobil bagus ke sini, kasihan mobilnya. Pas kami singgah sebentar untuk menyeruput kopi, rombongan motor melewati kami.
Rupanya Malimping masih sangat jauh. Masih sekitar 80km lagi dari jalan yang melepaskan kami dari Saketi. Tapi kondisi jalan sudah lebih bersahabat, jalan berlubangnya agak berkurang, sedikit. :P
Jalan memutari perbukitan dengan bonus pemandangan menakjubkan di kanan-kirinya. Kebun sawit dan kebun karet. GPS Dito kurang bisa dipercaya. Atau Dito-nya yang gak bisa baca peta? ;P
Akhirnya kami lebih mengandalkan mulut alias malu bertanya sesatnya kejauhan.
Sampai juga di Malimping. Kami tidak menemukan rombongan motor sepanjang perjalanan. Kemana ya mereka? Kok pada ngebut? Apa gak pada belajar dari kejadian Surya tadi? Atau sopir mobilnya yang kurang jago menguasai medan? Hahaha... maapkeun daku, Dito.
Pemandangan dari Malimping menuju Bayah baguuuuuusss banget. Pantai Selatan Pulau Jawa memang menyajikan pencuci mata yang menakjubkan. Ombak Samudera Hindia nampak bergulung-gulung di kejauhan. Tiba-tiba ada kabar dari rombongan motor bahwa salah satu peserta, Rahman, terjatuh dari motor dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Ah, kejadian lagi deh. Semoga ini yang terakhir. Rupanya mereka sudah berada di Desa Sawarna.
Sampailah di gerbang Desa Sawarna yang ternyata masih cukup jauh dari desanya. Jalan dari gerbang desa yang naik turun dan berkelok-kelok sudah diaspal halus, nyaris tanpa cacat. Pemandangan laut selatan segera berubah menjadi hutan belantara. Berbagai jenis tanaman mulai dari semak hingga pohon jati mengepung kami. So amazing!
Rombongan motor telah menunggu di sebuah warung. Luka di tangan dan kaki Rahman telah dibebat entah dengan apa. Singlet kah itu? :D
Rupanya warung ini menyajikan pemandangan yang tak kalah indah, Pantai Ciantir nampak dari kejauhan. Huhuhuuuu... gak sabar pingin cepat sampai.
Rahman bergabung dengan rombongan mobil. Sebelum melanjutkan, diberitahukan bahwa turunan setelah warung ini adalah turunan terjal yang cukup berbahaya. Selintas juga ada yang mengatakan bahwa kami sudah tak jauh dari lokasi homestay. Mobil pun meluncur duluan.
Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Kemana teman-teman rombongan motor? Apakah mereka tak bisa mengejar mobil ini yang juga tak melaju kencang? Masih ada beberapa tanjakan dan turunan terjal. Di depan kami ada sebuah tanjakan tajam (mungkin lebih dari 45 derajat kemiringannya) dengan kondisi jalan yang rusak parah. Penumpang terpaksa turun untuk memberikan Dito kesempatan melewati rintangan ini setelah percobaan pertama gagal. Dan Dito pun berhasil menaklukan tantangan, horeeeee....! Dito layak dapat SIM B nih.
Sejak masuk ke Desa Sawarna sinyal telepon seluler mulai menghilang. Hanya operator tertentu yang masih bertahan. Tapi di sini, di tempat kami sekarang, sinyal itu hadir lagi, penuh malah. Hujan mulai turun dengan derasnya. Kami pun mencoba menghubungi teman-teman rombongan motor, khawatir dengan kondisi mereka. Rupanya kami terlewat terlalu jauh dan mereka sudah berleha-leha di homestay! Huh... kenapa mereka tak berusaha menghubungi kami setelah lebih dari setengah jam ini? Keterlaluan... *emosi*
Mobil diputar balik. Hampir setengah jam sampai akhirnya kami menemukan tempat parkir menuju desa. Akses ke Desa Sawarna harus melalui sebuah jembatan gantung. Mobil tak bisa lewat. Agak seram melewati jembatan ini, mana pengaman disampingnya masih memungkinkan orang dewasa melayang ke bawah. Hiyyyy...
Kami langsung disambut rumah-rumah penduduk yang sederhana. Ajib sudah memesan dua rumah sebagai homestay sampai besok siang.
Saya dan Ketty sepakat memilih Saung Clara yang berwujud rumah panggung. Pas buka pintu belakang, subhanallah... elok nian pemandangannya. Hijau di mana-mana.
Setelah rehat sebentar dan makan siang yang kesorean, kami menyusul teman-teman yang sudah duluan ke Pantai Ciantir. Gemuruh ombak terdengar sangat dekat. Di balik semak yang tumbuh di atas tanah pasir, sejumput surga terserak di sana. Haha... kayak pernah lihat surga aja. ;P
Pantai berlatar Samudera Hindia dengan ombak tinggi bergulung-gulung. Pantas saja banyak penggila surfing, terutama dari mancanegara, yang justru lebih banyak mengunjungi pantai ini. Baru sekitar dua tahun terakhir saja para petualang domestik mulai berbondong-bondong mencicipi keindahan ini. Pantainya masih sepi. Bersih. Alami. Beberapa teman sudah nyemplung ke air. Sebagian masih duduk di pasir. Sebagian berjalan menyusuri pantai. Semuanya punya cara sendiri menikmati indahnya karunia Allah ini. Alhamdulillah diberi kesempatan berada di sini.
Meski kami tak bisa menikmati warna indah birunya laut bertemu dengan langit di cakrawala karena lautnya agak keruh (mungkin habis diguyur hujan) dan mendung menambah kelabu warnanya. Ah, semoga besok langitnya cerah...
Kami kembali ke homestay yang berjarak hanya sepelemparan tombak dari bibir pantai, setelah gagal menikmati indahnya matahari terbenam. Kami berkumpul lagi saat makan malam. Hujan lebat turun tanpa henti. Wah, bisa batal nih acara bakar-bakar kambing guling. Baru pukul 21.00 tapi berasa lebih larut di sini. Sepiiiiiiiiiiii... hanya ditingkahi suara-suara hewan dan serangga serta tetes hujan yang menyentuh bumi. Sebagian orang sudah terkapar. Sisanya masih bertahan dengan bermain kartu atau ngobrol ngalor-ngidul.
Saya pun kalah oleh kantuk. Berlari-lari kecil ke Saung Clara dengan jalanan yang tergenang air. Saung ini terdiri dari dua kamar dengan kamar mandi mungil di tiap kamar, ditambah sebuah ruang tengah dan teras. Selain spring bed, juga disediakan kasur lipat khas Palembang. Satu kamar bisa diisi 4 orang, bahkan lebih karena cukup luas. Apalagi ruang tengahnya. Begitu menyentuh kasur saya langsung tak sadarkan diri. :D
Tengah malam seseorang mengetuk pintu, memberitahu bahwa kambing gulingnya siap dieksekusi. Ah... pingin bangeeettt, tapi mata ini gak mau kompromi, tetep aja merem. Lewat deh kambing gulingnya, hiks.
Terjaga oleh udara dingin. Wajar saja karena saung ini berdinding gedek (anyaman bambu). Suara-suara serangga membuat saya tak lagi bisa memejamkan mata. Ya sudah... sekalian nunggu adzan Shubuh.
Selepas Shubuh, sedikit kesiangan karena Ketty masih enggan meninggalkan alam mimpinya, kami ke pantai. Kami tiba saat matahari mulai mengintip di balik deretan pohon kelapa. Sebagian teman malah sudah beranjak dari pantai. Suasana masih kelabu. Mendung masih menggantung di langit. Kami pun berjalan menyusuri bibir pantai, menikmati jilatan-jilatan ombak di kaki.
Saat kami kembali ke homestay untuk sarapan, teman-teman sudah bersiap ke Tanjung Layar, sebagian bahkan sudah berangkat dengan motor masing-masing. Celingak-celinguk mencari teman yang bersedia mengangkut saya. Untunglah masih ada Zaenal, “pasangan” Rahman yang tak bisa menikmati sejumput nirwana ini karena lukanya cukup parah. Motor kami beriringan melewati jalan setapak berpasir yang bahkan berhasil menjatuhkan Andy sang Voorijder. ;P
Tempat ini disebut Tanjung layar karena ada dua karang besar yang berbentuk menyerupai layar. Di sekelilingnya terdapat karang yang seolah telah dipahat sehingga kami bisa berjalan di atasnya tanpa rasa khawatir. Di atasnya karang “pahatan” ini, yang tergenang hingga betis kami, tumbuh sejenis rumput (atau lumut?) yang menjadi tempat tinggal banyak ikan kecil, bintang ular, bahkan kepiting. Subhanallah, it’s so amazing!
Semakin jauh ke balik layar, terdapat dinding karang yang menjadi penghalang bagi ombak untuk menerjang karang layar. Sayangnya tak ada pemandu yang bisa menjelaskan bagaimana semua ini terjadi atau legenda yang menyelimutinya.
Tak habis rasa syukur yang saya panjatkan, terutama saat berdiri di dinding karang penghalau ombak. Rasanya keciiiiiiillllll banget, berada di depan samudera dengan ombak tinggi yang bergulung-gulung. Terbayar sudah perjuangan dari Jakarta hingga ke sini.
Ombak ini pun memakan korban. Ketty, Johan, Echa dan Andy yang saat itu sedang berada di atas dinding karang, dihantam ombak yang cukup tinggi. Untunglah mereka masih tegar berdiri. Tapi telepon selular Ketty langsung tak bernyawa. Turut berduka cita ya Ket... ;P
Meski belum puas, kami harus kembali ke homestay untuk tujuan berikutnya, Gua Lalay. Sayangnya, banyak yang tidak berminat mengunjungi gua ini hingga Ajib memutuskan untuk membatalkan acara kami ke Gua Lalay. Huhuhuhuuuuuu... saya kan penasaran pengin ke situ.
Setelah bebersih badan, kami pun siap meninggalkan tempat ini. Gak rela, gak rela, gak rela... I wanna stay a little bit more.
Karena judulnya touring, saya bertekad untuk ikut rombongan motor dalam perjalanan pulang ini. Andy bersedia membagi tempat di motornya. Rahman pun meminjamkan helmnya karena dia ikut rombongan mobil. Cihuy... akhirnya bisa juga ikut touring.
Keberangkatan sedikit tertunda karena menunggu ban motor Aris selesai ditambal. Sekitar pukul 12.00 WIB rombongan kami meluncur. Rombongan mobil sudah meluncur duluan. Rencananya kami tidak melewati Pandeglang, dari Malimping mengarah ke Rangkas, karena berdasarkan informasi yang diberikan pemilik homestay, jalannya lebih bersahabat.
Lepas dari gerbang desa, kami mengisi penuh tangki-tangki motor di SPBU terdekat. Di sini diputuskan bahwa kami akan melewati jalur yang sama dengan jalur berangkat. Rombongan kembali melaju. Paling depan (Andhika dan Oci?) membuka jalan. Dua tongkat lampu menjadi penunjuk arah. Andy melaju paling belakang sebagai sweeper.
Selama perjalanan, teman-teman di depan beberapa kali menurunkan (meluruskan?) kakinya. Saya pikir itu karena kaki mereka butuh relaksasi. Ah, rupanya saya salah. Setelah diperhatikan, mereka menurunkan kaki saat ada lubang menganga di sepanjang jalan. Wkwkwkwkwk... ini toh rupanya. Kaki kiri untuk lubang di sebelah kiri, kaki kanan untuk lubang di sebelah kanan. Saat ada yang tercecer, Andy akan memberi tahu teman yang berada paling depan untuk mengurangi laju motornya. Tancap gas. I really love this one. :D
Gerimis mulai turun. Di sebelah kiri terhampar Samudera Hindia. Kereeeeennnn. Berasa lebih dekat karena naik motor kali yak. Kami singgah di sebuah masjid di daerah Malimping. Gerimis makin deras. Setelah rehat sebentar kami kembali melaju di jalan beraspal. Cuaca sudah lebih bersahabat, matahari mulai nampak. Alhamdulillah. Pakaian pun kering di badan. ;P
Sudah sekitar pukul 15.00 WIB saat kami berhenti untuk makan siang di sebuah warung kecil.
Baru sebentar kami kembali ke jalan, mendung mulai menggantung, bahkan lebih pekat dibanding sebelumnya. Teman-teman bersiap dengan jas hujan masing-masing. Sebagian tidak membawa jas hujan, termasuk Andy. Wedew... musti siap-siap basah kuyup nih.
Benar saja, hujan turun dengan lebatnya. Tapi kami tetap melaju. Air hujan pun menembus jaket yang saya kenakan. Kami basah kuyup. Entah berapa lama hujan menghajar dengan deras. Kadang mereda tapi kemudian kembali ke kekuatan sebelumnya. Harus ekstra hati-hati karena disamping menghadapi hujan, kami juga harus menghadapi medan jalanan yang cukup berbahaya karena berlubang di sana-sini.
Alhamdulillah, sebelum meninggalkan Saketi hujan sudah benar-benar reda. Bahkan menuju kota Pandeglang tak ada tanda-tanda telah diguyur hujan. Jadi seperti tikus kecemplung got nih. ;P
Sebagian rombongan berhenti di sebuah SPBU, yang lain melanjutkan perjalanan. Andy dan Ajib mengganti pakaian mereka yang kuyup. Saya? Yah... terpaksa tetap berbasah-basahan karena tak ada pakaian tersisa. Sedikit menggigil saat kami kembali meluncuri. Sudah lewat maghrib.
Rupanya rombongan mobil menunggu kami di KPP Pandeglang. Kami yang terakhir tiba di sana. Semangkuk bakso pikul cukup menghangatkan badan. Beberapa teman berpisah di sini. Saya kembali ikut rombongan mobil. Ajib jadi supir kali ini.
Akhirnya kembali juga kami ke titik awal perjalanan ini. Berpisah dengan teman-teman baru yang bahkan tak semuanya saya kenal. Sudah terlalu larut jika saya memaksakan diri pulang ke Jakarta. Balik ke rumah Ketty diantar Dito dan Murdi. Langsung mandi dan membalur badan dengan minyak kayu putih. Terus tidur deh. :D
Epilog
Senin pagi, kembali ke Jakarta. Terjebak kemacetan di sekitar pintu tol Karang Tengah. Sampai kantor sekitar pukul 10.30 WIB. Teman-teman curiga karena meski terlambat dan terpaksa dipotong tunjangan, saya datang dengan senyum terkembang. Hahahaha...
Catatan:
- Brotherhood berasa banget sepanjang perjalanan touring, thumbs up for all of you guys...!
- Bertekad untuk berkunjung lagi ke Desa Sawarna dan mengeksplorasi tempat-tempat yang kemarin belum sempat dijelajahi. Hayuk, ada yang mau ngajakin touring lagi? ;-)