Wednesday, May 19, 2010

Kesah

Sudah hari ketiga, aura gelap masih bergelayut di atmosfer ruangan ini. Entah sampai kapan suasana tak nyaman ini akan berlangsung. Ah, jadi gak betah di ruangan nih. Gimana mau kerja kalau suasana tak nyaman seperti ini? "Hanya" karena sebuah keputusan yang dirasa tak adil bagi kami.

Tak hanya itu, kami seolah tak berhak mengetahui bagaimana proses pengambilan keputusan. Yah, namanya prajurit... musti mengikuti apa yang diperintahkan komandan. Kami pun tak punya kuasa untuk mengubah keputusan itu. Kami merasa di-dholimi.

Pada awalnya semua sepakat untuk menuntut penjelasan secara transparan atas keputusan yang diambil tersebut kepada top manager. Tapi kemudian, hanya kami bertiga (di luar korban utama) yang tetep keukeuh menuntut klarifikasi. Yang lain seolah tak lagi peduli. Entahlah... mungkin mereka sudah bisa berkompromi dengan keputusan itu.

Kami yang bertahan merasa bahwa penjelasan dianggap perlu untuk mengurangi demotivasi yang terjadi setelah dikeluarkannya keputusan itu. Kami butuh kejelasan. Kami butuh keadilan. Kami butuh menyuarakan keluh kami.

Semoga tuntutan kami segera terpenuhi karena kalau tak ada lagi kenyamanan di ruangan ini, apa lagi yang bisa membuat kami bertahan selain alasan ekonomi?



Di saat kita bersama
Di waktu kita tertawa
Menangis merenung
Oleh cinta...

(Kita-So7)



Monday, May 3, 2010

Petualangan Seru ke Curug Cijalu

Kali ini starting point-nya bukan dari Jakarta, tapi dari Sadang, Kab. Purwakarta. Curug Cijalu terletak di Desa Cipancar, Kab. Subang tetapi lebih mudah dijangkau dari Purwakarta yaitu melalui Wanayasa. Jaraknya sekitar 25 km dari pusat kota Purwakarta. Saya dan Adi naik angkot 01 jurusan Pasar Rebo. Dari Pasar Rebo disambung dengan elf jurusan Wanayasa. Sebenarnya bisa saja langsung naik elf dari Sadang, tapi resikonya kita harus bersabar karena elf ini bakal ngetem lumayan lama di Pasar Rebo. Dari Pasar Rebo juga ada angkot kuning yang ke Wanayasa. Tapi tidak disarankan karena kabarnya di tengah perjalanan penumpang sering dipindahkan ke angkot lain.

Perjalanan ke Wanayasa memakan waktu sekitar setengah jam. Cuaca cukup bersahabat, cerah tetapi sedikit teduh. Dari Pasar Wanayasa kami langsung naik ojek ke lokasi curug, ongkosnya Rp.20.000/orang. Mahal ya??? Hmmm... tidak juga kok. Karena dari pasar ke curug masih sekitar 10 km dengan kondisi jalan yang naik-turun dan berkelok-kelok. Tak lama melaju di Jalan Cagak (yang menghubungkan Wanayasa dengan Subang) yang mulus, kami berbelok di pangkalan ojek Legok Barong ke sebuah jalan yang lebih kecil. Kondisi jalan cukup bagus, sudah diaspal meski di beberapa bagian sudah mulai terkelupas. Tak ada angkutan umum yang masuk ke jalan ini. Kalau tidak membawa kendaraan sendiri, alternatif satu-satunya adalah menggunakan jasa tukang ojek.

Setelah sekitar 15 menit terguncang di atas motor, kami sampai di gerbang masuk Taman Wisata Alam Curug Cijalu. Tiket masuknya enam ribu perak per orang. Ternyata lokasi curug masih jauh. Kami kembali menyusuri jalan yang semakin menanjak sekitar 5 menit lagi. Persis di pinggiran kebun teh pertama ojek berhenti. Kami melanjutkan perjalanan melewati hijaunya kebun teh sebelum tiba ke lokasi curug. Tidak ada orang lain yang berjalan kaki di sini selain kami. Beberapa orang mengendarai sepeda motor, sebagian lainnya dengan mobil yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.


Sebagian jalan belum diaspal, masih menggunakan bongkahan-bongkahan batu. Lima menit berlalu sejak kami menyusuri kebun teh ketika di depan kami terdapat sebuah sungai kecil yang membelah jalan. Tidak ada jembatan. Sepeda motor dan mobil pun harus menyeberang perlahan. Beberapa warung minuman dan makanan ringan mulai nampak saat makin mendekati lokasi curug.



Cukup dengan menunjukkan tiket masuk yang kami bayar di gerbang pertama, kami memasuki kawasan curug yang menyatu dengan bumi perkemahan.


Jalan setapak dari bebatuan semakin menanjak. Kami berpapasan dengan rombongan wisatawan asing (lebih dari separuhnya adalah anak kecil). Di lokasi tersebut terdapat dua curug. Curug pertama yang kami temui tingginya sekitar 15 meter.



Tak jauh dari curug pertama kita akan disambut percikan air dari curug kedua yang terbawa angin. Curug ini lebih besar, sekitar 50 meter ketinggiannya. Waaaaahhhh... segar sekali. Coba tadi bawa baju ganti, kami pasti langsung nyemplung di kolam tempat jatuhnya air.



Sembari istirahat, saya menunjukkan sebuah artikel yang saya cetak dari sebuah blog, judulnya Tipuan Curug Cijalu. Dari artikel ini kita disadarkan bahwa ternyata banyak orang yang mengaku melihat Curug Cijalu padahal tidak! Yang mereka lihat adalah Curug Cikondang dan Curug Cilemper. Curug Cijalu terletak tak jauh dari situ, tapi harus dengan usaha ekstra untuk bisa mencapainya. (lebih lengkap silakan baca di sini). Kami pun sepakat mengikuti petunjuk dari artikel tersebut .

Pertama-tama kami harus kembali ke kebun teh menuju sungai yang membelah jalan sebagai titik awal pencarian. Itulah Sungai Cijalu. Kami pun mulai menyusuri sungai ini ke arah hulu. Terpaksa berbasah-basahan karena kami harus menyusuri sungai, benar-benar di sunginya, dengan melompati bebatuan besar. Sesekali terpeleset dan terantuk batu. Setelah 10 menit berlompatan di atas bebatuan sungai, jalan kami terhalang tanaman rambat di atas sungai. Untunglah ternyata kami menemukan sebuah jalan kecil di antara semak belukar. Beberapa kali jalan kecil itu berakhir di tepi sungai dan kami mau tidak mau kembali nyemplung ke sungai. Kami semakin jauh meninggalkan kebun teh di bawah sana.


Sepiiiiiii banget! Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia lain. Hanya kami berdua ditemani gemercik air, kicau burung, hembusan angin yang membelai dedaunan, serta beberapa suara serangga yang tak tampak. Ada binatang buas gak yah? Ada ular gak yah? Ada makhluk tak kasat kah? Huwaaaaaa... berbagai kemungkinan buruk sempat terlintas di pikiran. Akhirnya saya memaksa, kami harus kembali bila dalam satu jam tidak menemukan curug yang dimaksud.



Tiga puluh menit berlalu. Badan sudah semakin letih dan semakin sering terpeleset. Lutut pun mulai gemeteran. Kami menemukan sebuah curug kecil yang tingginya tak sampai 5 meter. Ketika kami di atas curug kecil itulah nampak kelebatan manusia-manusia tak jauh di bawah kami. Banyak. Dan sebagian besar masih anak-anak. Kami menunggu rombongan ini dan bergabung dengan mereka. Dengan mudahnya mereka berlompatan di atas batuan sungai. Huhuhuhuuuuu.... (ngiri.com)

Teriakan kegirangan anak-anak itu memberi tanda bahwa kami sudah tiba. Subhanallah... It's so amazing! Air terjun setinggi sekitar 100 meter diapit dinding karang yang terjal membuat saya merasa sangat kecil. Cantik sekaligus membuat ngeri. Lingkungannya masih alami seolah tak pernah tersentuh tangan-tangan jahil. Hanya rombongan kami yang ada di situ. Tak terbayang seandainya tidak bertemu dengan anak-anak ini. Pasti horor banget saking sepinya.


Setelah mengagumi kecantikan Curug Cijalu, kami kembali menyusuri sungai ke arah hilir. Anak-anak ini masih tetap lincah dan nyaris meninggalkan kami di belakang.


Perjalanan kembali tak lebih mudah dari saat kami berangkat. Apalagi tubuh sudah semakin kehilangan energi. Akhirnya, sampai juga kami di titik awal penjelajahan nekat ini dengan selamat. Alhamdulillah.

Oh ya, total perjalanan menyusuri sungai menuju Curug Cijalu yang sesungguhnya memakan waktu 40 menit. Tapi perjalanan kembali lebih cepat karena kami menemukan jalan yang benar, wkwkwkwkwk...


Setelah membersihkan celana, tangan dan kaki yang terkena tanah basah, kami pun pulang dengan hati riang. Tak ada pengojek yang ngetem di dekat kebun teh. Mau tidak mau kami harus berjalan kaki ke gerbang utama. Alhamdulillah sebelum sampai gerbang utama kami bertemu dengan 2 tukang ojek. Setelah negosiasi alot, disepakati mereka akan mengantar kami sampai ke Wanayasa dengan ongkos Rp.15.000/orang.

Dari Wanayasa kami kembali naik elf jurusan Cikampek dan turun di Pasar Rebo lalu dilanjutkan dengan angkot 02 sampai ke Sadang. Fyuuuuhhh.... benar-benar perjalanan yang menguras energi. Tapi semua terbayar lunas karena berhasil menyaksikan kecantikan Curug Cijalu. Cihuuuuyyyyyy....! :D


Catatan:
- Jangan ke sana saat musim penghujan, sungainya akan sulit dilalui
- Jangan ke sana pakai celana jeans, bikin berat kalo terkena air
- Lebih baik gunakan sepatu atau sandal gunung
- Khusus buat yang menyukai tantangan :p
- Hasil jalan-jalan: lebam di beberapa bagian kaki (saya), kaki dan tangan tergores duri semak (Adi)

Hari berikutnya, pagi-pagi ada sms dari Adi yang bunyinya seperti ini: Mb Mel, kata temenku yg udah menjelajah semua curug di subang, curug cijalu itu yang paling angker. Masih ada hewan buas. Ada makam keramat juga.

Kyaaaaaaaaaa......


Oh ya, hanya sejengkal dari Pasar Wanayasa terdapat Situ Wanayasa yang terletak persis di samping jalan besar. Kalau yang ini cocok untuk wisata keluarga.





Gambar terakhir ini (Curug Cijalu nampak dari jauh) diambil dari blognya mang oka yang berhasil membuat kami penasaran hingga akhirnya menemukan Curug Cijalu yang asli. Terima kasih banyak untuk Mang Oka. :D


Sunday, May 2, 2010

Lampung-Palembang: Backpacking Beneran Nih...

Ini pertama kalinya backpacking agak jauh, musti mengarungi samudera... eh bukan ding, cuma menyeberangi Selat Sunda, ke tanah Sumatera. Berhubung first timer, saya dan Mbak Tuti sepakat untuk menggunakan jasa bus Damri yang akan mengantar kami langsung ke Bandar Lampung. Kalau punya nyali lebih sih mendingan ngeteng, dari Jakarta naik bus jurusan Merak, dari pelabuhan Merak naik kapal cepat atau ferry, dari Bakauheni disambung naik bus jurusan Terminal Rajabasa. Jatuhnya bisa lebih ngirit dibandingkan ongkos Damri kelas eksekutif yang tarifnya Rp.144.000.

Kamis (01042010) sekitar pukul 20.45 WIB, bermodal tas punggung sarat muatan (termasuk selembar peta Prop. Lampung) dan sekresek nekat, kami berangkat ke St. Gambir. Bus berangkat sesuai jadwal, pk. 22.00 WIB. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, tak lama setelah bus keluar dari St. Gambir, saya langsung tewas... Sempat sadar waktu bus diparkir di lambung kapal ferry, trus tewas lagi... hahahahaha.


Jumat (02042010) sekitar pukul 03.15 WIB, setengah tersadar saat roda bus kembali menggilas daratan di Dermaga 2 Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Jalannya rusak parah. Untunglah tak berlangsung lama, begitu keluar dari pelabuhan bus kembali ke jalan yang benar alias mulus.

Pukul 05.00 WIB mulai nampak kehidupan di kanan-kiri jalan menuju Bandar Lampung. Bus tiba di St. Tanjung Karang pukul 05.30 WIB. Kami turun di sini dan langsung ke masjid di depan stasiun untuk istirahat sejenak (sekaligus sholat subuh meski kesiangan, hehe...)

Karena agen bus Damri di St. Tanjung Karang baru buka pukul 08.00 WIB, kami jalan-jalan dulu di sekitar stasiun sekalian mencari sesuap nasi. Belum banyak pedagang kaki lima yang beroperasi, akhirnya kami menemukan penjual bubur ayam yang lumayan ramai pembeli di depan Kanwil Ditjen Perbendaharaan Lampung. Cukup lima ribu perak.
Balik lagi ke agen Damri, alhamdulillah kami dapat tiket untuk kembali ke Jakarta hari Minggu siang.

Dua orang yang kami temui (petugas kebersihan di masjid dan di stasiun) merekomendasikan untuk ke Pantai Mutun. Dari awal saya memang berniat ke P. Mutun. Berbekal beberapa informasi dari internet dan dua mas-mas tadi, untuk menuju Pantai Mutun kami harus naik bus Damri kecil jurusan Tj. Karang - Teluk Betung, disambung angkot dan ojek. Tapi... supir Damri yang kami naiki menyarankan kami untuk ke Terminal Rajabasa kemudian naik Damri jurusan Hanura. Kami pun mengikuti saran bapak supir tadi, naik Damri jurusan Tj. Karang - Rajabasa. Rupanya shelter Damri dalam kota ada di luar terminal, ah... thanks God! Gak perlu ketemu preman-preman Rajabasa yang kabarnya ganas. :D

Menit demi menit berlalu. Sudah lewat dari pukul 09.30 WIB. Lebih dari 30 menit kami menunggu. Ternyata oh ternyata, untuk trayek ini hanya tersedia 3 bus!
Akhirnya Damri jurusan Hanura tiba juga. Bus rupanya tidak melewati pusat kota Bandar Lampung melainkan menyusuri pinggiran kota. Udara cukup sejuk. Sedikit panik saat bus mulai melewati jalan kecil menanjak yang hanya bisa dilalui satu kendaraan. Dari obrolan supir bus dan seorang penumpang di sebelahnya, jalan tersebut dibuat pada saat menara TVRI didirikan di daerah itu. Rumah-rumah penduduk yang sederhana dan sawah serta kebun coklat mengiringi perjalanan kami. Bus berjalan perlahan karena melewati jalan kecil yang naik-turun dan berkelok-kelok. Hampir satu jam sampai akhirnya kami melihat birunya laut dari atas bukit.

Turun di sebuah pangkalan ojek dengan petunjuk arah Pantai Mutun yang seadanya. Nyaris terlewat! Kami minta diantar ke P. Mutun yang katanya berjarak sekitar 2 km dari jalan utama. Ongkos ojek Rp.5.000 termasuk murah karena ternyata medannya cukup berat. Tiket masuk P. Mutun Rp.5.000, tapi bisa kami hemat karena tukang ojeknya menurunkan kami di dalam kawasan setelah melewati petugas jaga, hehehe...

Sepanjang P. Mutun dipenuhi gubuk-gubuk yang disewakan dan perahu tradisional untuk mengantar pengunjung ke Pulau Tangkil. Lumayan ramai juga. Setelah bernegosiasi dengan salah satu pemilik perahu, disepakati ongkos antar jemput ke P. Tankil Rp.30.000. Kami minta dijemput pukul 15.00 WIB (waktu itu baru pukul 11.00 WIB) agar puas bermain di pantai. Jarak P. Tangkil dari pantai tak terlalu jauh, hanya butuh waktu tak sampai 10 menit. Tukang perahu setuju mengantar kami mengelilingi pulau dengan tambahan ongkos Rp.10.000. Ini dia penampakan P. Tangkil dari atas perahu.

Saat perahu menepi, kami disambut hamparan pasir putih yg lembut. Airnya beniiiiiinggg banget. Di sini tak seramai di P. Mutun. Jadi berasa di pulau milik pribadi, hahahaha... Kami pun puas bermain-main di pantai tanpa mempedulikan sengatan matahari. Saya mengambil sebuah ban yang tergeletak di dekat kami, bersantai dengan terapung di atasnya hingga tak terasa terbawa angin hingga ke tengah. Panik. Nyaris tenggelam karena gak bisa berenang. Alhamdulillah ditolong dua orang yang baik hati.
Sebenarnya perairan P. Tangkil sangat tenang, nyaris tak berombak, karena terletak di Teluk Lampung. Pantainya pun landai. Sayangnya, tak ada petunjuk yang menginformasikan daerah berbahaya karena cukup dalam.

Di P. Tangkil juga disediakan gubuk-gubuk yang disewakan. Pengunjung bisa bermain dengan menyewa ban, kano, banana boat, bahkan jet ski. Ban yang saya pinjam tadi entah milik siapa dan gak ada petugas yang menarik ongkos sewa ban tadi. Hemat lagi, hehehe...
Hemat lainnya, kami tidak ditarik bayaran untuk tiket masuk P. Tangkil ini. Ini baru kami sadari saat melihat beberapa rombongan pengunjung yang tiba setelah kami. Tiket masuknya Rp.5.000/orang. Petugasnya gak liat pas kami datang kali yak.

Setelah puas bermain air, kami mandi untuk pertama kalinya sejak kemarin sore. Airnya bersih dan menyegarkan. Tiap orang dikenai biaya dua ribu perak. Kami menunggu jemputan perahu yang tadi mengantar kami. Ngobrol dengan mbak-mbak di dekat kami tentang jalur menuju St. Tanjung Karang. Eh, mbak tersebut malah menawarkan untuk ikut rombongannya yang menyewa angkot. Huwaaaaaaaa..... takjub!

Perjalanan kembali ke P. Mutun sedikit menegangkan. Angin sore membuat ombak yang cukup besar sehingga perahu yang hanya berisi tiga orang ini terombang-ambing. Alhamdulillah sampai dengan selamat dan langsung bergabung dengan rombongan tadi. Terima kasih buat Mbak Esther dkk., kami jadi menghemat lagi. :D
Dan ternyata, dalam rombongan ini ada satu orang yang tadi menolong saya saat nyaris tenggelam. Stephen the hero, teriak teman-temannya. Wkwkwkwkwk...

Kami turun di pertigaan Gudang Garam kemudian melanjutkan naik angkot warna abu-abu ke St. Tanjung Karang. Oiya, angkot di Lampung gak pakai nomor penanda jurusan, bahkan gak ada tulisan jurusan mana. Hanya ditandai dengan warna body-nya. Dan semuanya full music dengan speaker segede gaban!

Kami turun di pasar dekat stasiun (pasar apa ya namanya?) dan langsung mengisi perut yang keroncongan sedari tadi di sebuah rumah makan Padang. Senja mulai menjelang saat kami kembali ke stasiun. Kami berencana melanjutkan perjalanan ke Palembang. Sebuah rencana yang tiba-tiba terlintas saat kami menginjakkan kaki di Lampung. Kami sengaja tidak mencari penginapan karena istirahat akan dilakukan di perjalanan. Hemat lagi, hehehe... meski dengan pilihan ini kami terpaksa memanggul tas punggung kemana-mana. Fyuh...

Kereta Limex Sriwijaya jurusan St. Kertapati, Palembang, berangkat pukul 21.00 WIB. Setelah mengantri lumayan lama karena long weekend, kami memperoleh tiket kelas bisnis seharga Rp.60.000/orang. Kereta berhenti di St. Kotabumi, St. Balaraja, St. Prabumulih dan terakhir di St. Kertapati. Saya nyaris tidur sepanjang perjalanan meski sesekali terganggu oleh para pedagang asongan yang berlalu-lalang saat kereta berhenti.
Sebuah kejadian di gerbong depan membuat kami waspada. Seseorang memberi tahu bahwa seorang ibu kehilangan tasnya saat kereta berhenti di St. Balaraja!

Sabtu (03042010), seharusnya kereta akan tiba di St. Prabumulih sebelum subuh, tapi entah apa yang terjadi hingga membuat perjalanan ini terasa begitu panjang dan melelahkan. Sudah hampir pukul 07.00 WIB saat kereta masuk ke St. Pabumulih dari arah berlawanan. Rupanya kereta kami melewati jalur memutar karena ada kereta yang anjlok di jalur utama. Sejam kemudian kereta akhirnya tiba juga di St. Kertapati.
Saya sempat kaget ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahu saya sambil berkata, "Hei, kamu... tadi di gerbong berapa?" Mengingat reputasi stasiun ini yang rada-rada texas (istilah dari Dian, yang punya Palembang tapi ditanya apa-apa gak ngerti mulu!), dengan agak takut saya melihat orang yang bicara. Ha, rupanya bapak yang tadi sempat ngobrol bareng kami pas ngantri di St. Tanjung Karang, wakakakaka....

Karena tiket balik ke Lampung baru bisa dibeli sore hari, kami langsung naik bus kecil warna merah jurusan Pusri yang akan mengantar kami ke tujuan utama ke kota ini, Jembatan Ampera. Ternyata Jembatan Ampera tak jauh dari St. Kertapati, hanya sekitar 10 menit perjalanan dengan ongkos dua ribu lima ratus perak per orang. Kami turun di Masjid Agung Palembang untuk numpang mandi. :D

Dari masjid kami berjalan kaki ke arah dermaga. Mampir sejenak di Monumen Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan (Monpera) yang dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat ketika melawan kaum penjajah pada masa revolusi fisik melawan Belanda yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang yang pecah pada tanggal 1 Januari 1947.

Saat melihat sebuah warung, perut kami langsung meminta haknya. Wajarlah, sudah hampir pukul 10.00 WIB dan perut kami terisi nasi terakhir kalinya adalah kemarin sore. Setelah makan kami kembali berjalan kaki ke Sungai Musi. Kami langsung ditawari perahu untuk menyeberang ke Pulau Kemaro saat tiba di tepi sungai. Pulau Kemaro? Ada apa di sana? Ah... nanti dulu deh, kami mau mejeng dengan latar kemegahan Jembatan Ampera dulu, ahahahaha...



Kami menyusuri tepi sungai hingga sampai di samping Pasar 16 Ilir yang dijadikan kawasan wisata kuliner, berbagai jenis makanan ada di sini. Persis di bawah jembatan terdapat dermaga yang tempat bersandar perahu-perahu yang menjadi transportasi umum. Saya sebenarnya sangat penasaran untuk mengarungi Sungai Musi tapi harus berpikir berkali-kali mengingat kejadian hari sebelumnya di P. Tangkil di mana saya nyaris tenggelam.

Terdapat dermaga lain yang digunakan untuk para wisatawan. Ada beberapa paket yang ditawarkan, termasuk yang seharga Rp.70.000/orang untuk mengunjungi beberapa tempat di sepanjang sungai. Kami bertemu dengan rombongan cewek-cewek ABG yang bermaksud ke P. Kemaro. Saya pun memberanikan diri untuk ikut bersama mereka. Setelah negosiasi yang alot dengan pemiliknya, kami sepakat menyewa speedboat yang akan mengantar kami ke P. Kemaro dan kembali lagi ke sini dengan harga Rp.80.000 yang dibagi 6 orang.

Perjalanan dengan speedboat lumayan mendebarkan. Perahu melaju kencang hingga beberapa kali percikan-percikan air mengenai kami. Dalam waktu sekitar 10 menit kami telah tiba di P. Kemaro. Rupanya, pulau ini adalah pulau yang dikeramatkan karena sejarahnya. Ini kami ketahui dari tulisan di atas. ^^

Di pulau ini terdapat sebuah kuil dan sebuah pagoda besar yang masih digunakan sebagai tempat persembahyangan. Siang itu sangat terik. Kami terpaksa berpanas-panasan mengelilingi pulau yang tak besar ini. Ada patung Budha berwarna emas di samping pagoda. Di sudut lain terdapat patung Dewi Kwan Im didampingi Sun Go Kong, gurunya (biksu siapa gitu...) trus dua temannya yang siluman itu. Tak jauh dari situ terdapat pahatan-pahatan 12 binatang yang melambangkan shio.




Yang unik adalah sebuah pohon yang menjadi tujuan utama para muda-mudi. Pohon ini dinamakan Pohon Cinta. Konon menurut legenda, apabila kita mengukir mana kita dan pasangan di pohon ini maka cintanya akan berlanjut ke pelaminan. Percaya gak? Hehehehe... Yang jelas, teman-teman baru kami dengan bersemangat mengukir nama mereka di Pohon Cinta.

Tak lebih dari satu jam kami berada di P. Kemaro. Kami kembali mengarungi derasnya arus Sungai Musi yang lebih kuat dibanding saat berangkat tadi. Fyuh... seru dan menegangkan. Tapi kami puas dengan perjalanan ini. Setelah berpisah dengan teman-teman baru, kami kembali ke Masjid Agung dan mencari Pempek Saga yang katanya ada di dekat masjid.

Tanya sana tanya sini, akhirnya ketemu juga tempatnya. Pempek Saga "Sudi Mampir" di depan kantor Walikota. Maksud hati ingin menjelajah tempat lain yang tak jauh dari pusat kota, tapi badan kami sudah kehabisan tenaga. Ditambah dua dus pempek membuat beban kami makin berat. Kami terpaksa kembali ke St. Kertapati meski senja belum tiba. Stasiun masih sepi. Kami bisa leluasa mencari tempat duduk untuk sekedar melepas penat. Tiba-tiba hujan turun sangat deras seolah semua persediaan air ditumpahkan dari langit.

Kereta berangkat pukul 21.00 WIB, sama dengan jadwal dari St. Tanjung Karang. Kami bergantian tidur di bangku dan di lantai kereta. Dan seperti biasanya, saya selalu pulas dalam perjalanan. :D

Minggu (04042010), lagi-lagi kereta terlambat tiba, sekitar satu setengah jam lebih lama. Kami pun numpang mandi di stasiun sebelum menuju agen bus Damri. Setelah meletakkan semua bawaan kami di dalam bus, kami berkeliling mencari penjual keripik pisang khas Lampung serta mencari sesuap nasi untuk mengganjal perut.

Bus melaju meninggalkan stasiun pukul 10.00 WIB. Saya bertekad untuk tidak memejamkan mata kali ini. Giliran Mbak Tuti yang tewas karena dia kurang tidur 3 malam terakhir. Rupanya jalan menuju Pelabuhan Bakauheni cukup berliku dan naik-turun. Pemandangannya pun cukup menghibur. Bukit-bukit yang hijau. Terkadang pantai dengan pasir putihnya. Tepat sebelum masuk pelabuhan, ada sebuah bangunan yang disebut Menara Siger, landmark Propinsi Lampung.

Saya membangunkan Mbak Tuti setelah bus masuk ke lambung ferry. Kami naik ke geladak, menikmati birunya laut yang menyatu dengan langit di cakrawala. Di kejauhan nampak Gunung Anak Krakatau yang berdiri angkuh di kelilingi laut. Ahhh.... kapan saya bisa sampai ke sana???



Oiya, jangan pernah deh beli minuman di atas ferry... Mahalnya amit-amit! Air mineral ukuran 330ml dibanderol lima ribu perak. Ini masih masuk akal sih. Yang bikin kami ternganga adalah You C 1000 yang dibanderol dua puluh ribu perak. Hah??? Yang bener ajah!!! Untung belum dibuka. Langsung dibalikin lagi deh.

Perjalanan menggunakan ferry memakan waktu sekitar 3 jam termasuk waktu sampai kapar bersandar di Pelabuhan Merak. Bus sampai di St. Gambir pukul 17.30 WIB. Kami berpisah di sini karena Mbak Tuti langsung pulang ke rumahnya di Bekasi.

Sebuah perjalanan yang tak terlupakan! Berhasil juga menjejakkan kaki di Sumatera. :D


Catatan:
(1) Karena keteledoran (lupa pake sunblock) alhasil wajah terbakar, kering, merah seperti kepiting rebus, perih, belang-belang, bahkan terkelupas. Huwaaaaaaaaa....
Untunglah sekarang sudah kembali mendekati kondisi sebelumnya. ;-)

(2) Masih punya utang ke Mbak Tuti buat beli oleh-oleh karena gak sempat mampir ke ATM. :D



Next trip: Curug Cijalu - Subang