Tuesday, February 24, 2009

Menjelang Cuti

Ruang kantor dengan banyak workstation berwarna biru – Senin – Pagi menjelang siang

Di salah satu kubikel, di sudut sebelah kiri sebuah meja berbentuk L, sebuah monitor 15 inch menyala. Di samping monitor itu sebuah kalender meja menampilkan deretan hari di bulan Februari 2009. Sebuah lingkaran menandai salah satunya angkanya, tanggal 25. Printer laserjet di sudut dan tumpukan berkas yang lumayan berantakan memenuhi meja bagian kanan. Suara printer di kubikel sebelah dan dering telepon bersahutan. Seorang perempuan muda berkemeja putih dengan kerudung senada bergradasi coklat muda sedang asyik mengutak-atik deretan huruf dan angka di lembar kerja di monitornya. Tangannya lincah menari di atas papan ketik. Sesekali membolak-balik berkas di sebelah kanannya.

Seorang lelaki berpenampilan rapi dengan kemeja putih dan dasi hitam bergaris abu-abu mendekati kubikel itu. Sejenak dia terdiam di samping kubikel sebelum akhirnya sebuah sapaan meluncur darinya.


Bos
Mel…

Melski (sambil memutar kursi dan badannya ke arah datangnya suara, sedikit terkejut karena tidak menyadari kehadiran lelaki itu)
Eh, iya Pak…

Bos
Kamu jadi tutor e-SPT Tahunan ya.

Melski
Kapan, Pak?

Bos
Kamis, sesi siang.

Melski (terdiam sejenak)
Kamis? Kan saya cuti, Pak. Kan Bapak sudah menandatangani pemohonan cuti saya.

Bos
Kamu cuti mulai kapan?

Melski (tersenyum penuh kemenangan)
Kamis, Pak.

Bos
Waduh, saya lupa kalau kamu cuti. Padahal namamu sudah masuk daftar panitia.

Melski (masih nyengir kegirangan)
Ganti yang lain saja, Pak.

Bos
Ya sudah lah.
***


Kubikel Melski – Selasa – Pagi, jam kerja baru saja dimulai

Di sudut kanan bawah layar monitor, sebuah tulisan berkedip-kedip. Message received. Pointernya langsung meng-click inbox surat elektroniknya. Sebuah surat dari Mbak Jessi, rekan kerja di ruangan sebelah. Subjeknya: Sosialisasi e-SPT Tahunan PPh. Isinya adalah jadwal kegiatan selama tiga hari ke depan. Perlahan dibacanya deretan huruf-huruf itu. Matanya terpaku menatap sebuah nama. Namanya ada di daftar itu.
Rabu, 25 Februari 2009
Sesi II
Penyaji: M. Amir & Melski

DAMN…!


Jeritan hati:
Duh, kenapa sih Bos gak nyari orang lain aja? Keknya gak rela banget membiarkan saya cuti…


Monday, February 23, 2009

Sambutan yang Tertunda

Sejak awal bulan ini, tepatnya tanggal 6 Februari 2009, telah lahir seorang blogger baru. Dia adalah teman, sahabat, adik sekaligus kakak bagi saya. Ketty. Dia hadir membawa dunianya, Duniya Sakiya. Soal kemampuan menulisnya? Jangan ditanya deh. Jaman masih imut-imut dulu, masih berseragam putih biru dan putih abu-abu, dia aktif di majalah sekolah. Meski diterima di Fakultas Ilmu Komunikasi UGM, takdir membawanya ke Jurangmangu, ke sebuah kampus yang akhirnya mempertemukan kami. Di kampus ini dia sempat bergabung dengan Purnawarman sebelum majalah ini dilarang terbit alias dibredel. Pembredelan Purnawarman rupanya tak menyurutkan langkahnya menjadi seorang jurnalis. Dia bergabung dengan Platform, wadah baru jurnalisme kampus, bersaing dengan para kru Civitas yang mendapat sokongan dana dari kampus. Saat Platform meredup, dia justru menjadi pemimpin redaksi majalah kampus (ya ampun... lupa nama majalahnya!)

Sayangnya, semenjak bertugas di ibukota Propinsi Banten, Serang, saya tak lagi melihat sepak terjangnya di dunia tulis-menulis. Saya tak tahu pasti penyebabnya. Tapi saya tahu, hasrat menulis tak pernah lepas dari dirinya. Hingga suatu saat saya menerima sebuah surat elektronik berisi tulisan dia mengenai diri saya. Mata saya panas. Tanpa sadar bulir-bulir bening merembes dari sudut mata. Untung saja tak ada teman di ruangan yang memergoki kejadian ini.

Sejak itulah, saya selalu menyemangati dia untuk ikut meramaikan dunia per-blogging-an. Dengan beralasan koneksi internet yang lambat dan terbatas di kantor, dia belum juga nge-blog. Hingga beberapa orang di kompleks tempatnya tinggal mengajaknya bergabung untuk berlangganan internet. Akhirnya, di suatu hari dia menyampaikan sebuah berita gembira. "Mbak, aku sudah mulai nulis di blog Friendster." Eh, beberapa hari kemudian dia mengabarkan sudah membuat blog khusus. Bukan hanya satu, tapi dua. Selain Duniya Sakiya yang saya sebut sebelumnya, dia juga hadir sebagai Jeng A Be. Setelah penantian sekian lama, akhirnya saya bisa menikmati lagi tulisan-tulisannya, juga belajar dari dia.

Setelah tertunda beberapa pekan, akhirnya jemari ini berhasil merangkai sebuah sambutan kecil. Selamat datang sobat. Selamat datang di dunia blogging. Teruslah menulis, bahkan meski tak ada hal khusus yang ingin kau tulis.


Catatan untuk Ketty:
Jujur, saya agak-agak lupa dengan sepak terjangmu di dunia jurnalisme kampus. Jadi kalau ada yang salah tolong dikoreksi ya, Ket... :D


Sunday, February 15, 2009

Gerimis Sore

Lelaki itu terlihat resah di atas kursi rodanya. Sebuah majalah investigasi mingguan terbuka di pangkuannya. Titik-titik air dari langit mulai membasahi rumput di halaman yang tak terlalu luas. Mata sayunya berulang kali memandang ke jalan kecil di depan rumah. Beberapa anak laki-laki dan perempuan berseragam putih abu-abu berlarian dan menutup kepalanya dengan tas agar terlindung dari gerimis.

Kursi rodanya mengarah ke pintu masuk. Terdiam sesaat, lelaki itu memutar kursinya kembali ke tempatnya semula di salah satu sudut teras. Mencoba melanjutkan membaca majalah yang masih ada di pangkuannya. Sudut matanya tetap mengintip jalan di depan yang kini telah basah. Tiba-tiba dia menutup majalah itu dan setengah melemparnya ke meja kecil di sampingnya. Dengan tergesa dia memutar kursi rodanya melewati pintu masuk. Melewati sofa di ruang tamu. Melewati televisi yang dibiarkan menyala. Seorang reporter sedang menyiarkan langsung berita kebanjiran dari salah satu bantaran Kali Ciliwung. Dia tak melihat istrinya di depan televisi.

Sampai di sebuah kamar yang cukup luas, dia harus bersusah payah mengambil kemeja yang tergantung di lemari.
“Bapak mau pergi kemana hujan-hujan begini?” Sebuah suara mengejutkannya. Suara yang sudah menemani hari-harinya selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir. Suara istrinya. Tangan perempuan setengah baya itu terulur mengambil kemeja putih bergaris abu-abu.
“Ibu mau ikut?” Lelaki itu bertanya sembari mengenakan kemejanya. Sebenarnya dia enggan mengatakan tujuan kepergiannya sore ini. Dia sudah bisa menebak reaksi yang akan diberikan istrinya.
“Memangnya Bapak mau kemana sih?” Jemarinya dengan cekatan membantu lelaki itu mengancingkan kemeja.
“Bapak mau ke rumah Pak Hadi. Bapak kangen sama Rasya, Bu.” Lelaki itu tak berani menatap istrinya yang kini menjauh selangkah darinya. Perlahan dia putar kursi rodanya ke luar kamar.
“Bapak sudah gila ya? Untuk apa Bapak ke sana?” tangan sang istri dengan sigap menghentikan laju kursi rodanya. Perempuan itu kini berdiri di depannya. “Ibu tidak akan membiarkan Bapak pergi ke rumah terkutuk itu!” Katanya setengah berteriak.
“Istighfar, Bu. Istighfar.” Digenggamnya kedua tangan istrinya untuk menenangkan. “Ibu tidak seharusnya mengatakan hal itu.”

Bahu perempuan itu naik turun tak beraturan. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya. Dia mulai terisak. “Tapi mereka sudah menghancurkan kehidupan anak kita. Menghancurkan kehidupan kita.” Ucapnya terbata di sela isak tangis. “Mereka yang membuat Bapak jadi begini.”
“Bukan, Bu. Ini takdir. Sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.” Lelaki itu mencoba tersenyum.
“Tapi, Pak, mereka…” belum sempat kalimat itu selesai diucapkan istrinya, lelaki itu memotong dengan halus.
“Bu, Rasya bagian dari keluarga kita. Mereka semua keluarga kita juga.” Lelaki itu berkata dengan hati-hati. “Lebaran kemarin Bapak terpaksa menuruti larangan Ibu, juga anak sulung kesayanganmu itu, agar tak berkunjung ke rumah Pak Hadi. Ibu masih ingat kan?” Istrinya mengangguk dengan enggan. Dia tak lagi terisak tetapi sisa air matanya masih membekas. Hening sesaat. Lelaki itu menghela napas panjang. “Dengan atau tanpa persetujuan Ibu, Bapak akan ke sana sekarang.”

Kursi roda itu mulai bergerak. Istrinya masih berdiri mematung tetapi tak lagi menghalangi jalan lelaki itu.

***

Sedan hitam itu meluncur perlahan di jalanan yang basah. Gerimis masih mengantar hari menuju senja. Seorang lelaki kecil berperawakan kurus duduk di belakang kemudi. Sesekali sudut matanya mencuri pandang ke lelaki yang duduk di sampingnya. Tak seperti hari-hari biasa, tuannya itu nampak murung sore ini. Dia menjadi mengerti saat sang tuan mengatakan tujuan perjalanan mereka. Dia pun tak berani bicara ceplas-ceplos seperti yang biasa dia lakukan saat mengantar tuannya, membicarakan berita-berita hangat di media massa, menceritakan tentang tingkah lucu dan menggemaskan si kecil Nina, anak perempuannya yang baru berumur dua tahun, atau hal-hal kecil lainnya.

“No, nanti kamu temani saya masuk ya?” Lelaki di sampingnya bersuara. Marno, lelaki di belakang kemudi itu mengangguk. “Saya takut mereka tak mau menerima kehadiran saya.” Lelaki itu berujar lemah.
“Pak Hadi tidak mungkin menolak kedatangan Bapak. Meski persoalan di masa lalu tak mungkin beliau lupakan, beliau pasti masih menghormati tamu, Pak.” Marno mencoba memberi dukungan untuk tuannya.
“Terima kasih, No.” Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Marno. Seulas senyum tergantung di wajahnya.

Meski hari belum juga senja, beberapa lampu jalan sudah dinyalakan. Awan gelap yang menyelimuti membuat malam seolah hadir lebih awal. Lelaki di samping Marno memejamkan matanya. Beberapa kejadian di masa lalu berkelebat silih berganti dalam ingatannya. Sebuah kunjungan mengejutkan pada suatu malam yang membuat kehidupannya menjadi berbeda. Pak Hadi dan beberapa kerabatnya datang malam itu dengan membawa kabar yang membuatnya nyaris seperti disambar petir. Fauzan, anak bungsunya, telah menghamili Dila, anak perempuan Pak Hadi. Dia pun langsung memanggil anak bungsunya itu yang masih melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung.
Akad nikah digelar sederhana di kediaman Pak Hadi. Hanya dihadiri keluarga terdekat Pak Hadi dan beberapa tetangga. Sehari setelah acara itu Fauzan kembali ke Bandung untuk meneruskan kuliahnya. Seorang bayi lelaki lahir dari rahim Dila. Mereka memberinya nama Rasya. Hampir tiap dua hari sekali lelaki itu menjenguk cucunya. Istrinya jarang bersamanya saat berkunjung ke rumah Pak Hadi.
Sebuah kabar mengejutkan datang dari teman Fauzan. Sudah beberapa hari pemuda itu menghilang dari rumah kosnya dan tak nampak di kampus. Hingga akhirnya Fauzan memberitahukan bahwa dirinya berada di Yogyakarta dan berusaha mencari pekerjaan. Dia tak mau lagi melanjutkan studi. Tapi beberapa minggu kemudian, seorang gadis mendatangi rumah mereka dan mengatakan bahwa dirinya telah berbadan dua akibat perbuatannya dengan Fauzan. Dia meminta izin untuk menikah dengan pemuda itu.
Serangan stroke membuat lelaki itu harus menghabiskan waktu beberapa bulan di rumah sakit dan menjalani sisa hidupnya di atas kursi roda. Dia pun kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Rasya. Dia malu dan takut bertemu dengan keluarga Pak Hadi. Istri dan anak perempuannya selalu menceritakan hal-hal buruk tentang Dila, tetapi dia tak bisa mempercayai cerita itu begitu saja. Mereka juga melarangnya berkunjung ke rumah Pak Hadi.

Sebuah sentuhan di lengan kanannya membawa dirinya kembali ke masa kini. “Pak, kita sudah sampai.” Kata Marno. Setelah merapikan diri, Marno membantu lelaki itu duduk di kursi rodanya. Gerimis masih jatuh dari langit. Marno melindungi tubuh mereka dengan sebuah payung. Dia mendorong tuannya ke rumah tanpa pagar itu. Seorang perempuan muda nampak sedang bermain dengan seorang anak lelaki berumur sekitar satu tahun. Anak itu nampak sehat dan menggemaskan. Jeritan-jeritan kecil meluncur dari bibir mungilnya sementara perempuan muda di dekatnya tertawa melihat kelakuan anak itu.
Merasa ada kehadiran seseorang, perempuan muda itu memandang ke arah mereka. Dia terdiam. Dia bahkan tak mempedulikan tangan anak lelaki di dekatnya yang mulai memukul-mukul lengannya. Pandangannya terhenti tepat di mata lelaki di atas kursi roda. Lelaki itu melemparkan senyum.


Monday, February 9, 2009

The Secrets of The Immortal Nicholas Flamel

The Alchemyst (Terj.)
Michael Scott
Penerbit Matahati
503 halaman
Cetakan III, November 2008

Kamis, 31 Mei
Sophie sedang berbincang di telepon saat John Dee dan beberapa golemnya menyerang toko buku di depan kafe tempatnya bekerja selama musim panas. Saudara kembarnya, Josh, bekerja di toko buku milik Nick Fleming itu. Satu golem dapat dilumpuhkan tetapi Dee berhasil memperoleh Buku Abraham The Mage dan menculik istri Nick Fleming, Perry. Sophie dan Josh tak pernah membayangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Golem, pertempuran sihir, dan kenyataan bahwa pemilik toko buku itu adalah Nicholas Flamel yang hidup abadi. Mereka harus mengambil kembali buku yang disebut Codex itu serta menolong Perry alias Perenelle. Tapi sebelumnya mereka harus menyelamatkan diri karena Dee pasti akan kembali untuk mengambil dua lembar halaman terakhir Codex yang berhasil disobek Josh.

John Dee adalah pengikut setia The Dark Elder (Tetua Gelap). Dia bekerja sama dengan Morrigan, Dewi Gagak dari The Next Generation Elder (Tetua Generasi Selanjutnya). Mereka memerlukan lembaran Codex yang hilang yang berisi Pemanggilan Terakhir untuk membangkitkan kembali The Dark Elders.
Flamel meyakini bahwa si kembar adalah hal yang dimaksud dalam Codex, dua yang menjadi satu, satu yang mencakup semuanya. Dia membawa keduanya kepada Scattach, salah satu Next Generation Elder. Dee dan Morrigan mengendus keberadaan mereka dan mengirimkan golem dan ribuan tikus. Keempatnya berhasil lolos dari serbuan tetapi kemudian Morrigan mengirimkan ribuan gagak saat mereka menuju ke tempat tinggal Hetake, salah satu Elder yang dapat membangkitkan kekuatan sihir si kembar. Lagi-lagi mereka berhasil lolos dan menembus alam ciptaan Hetake. Elder ini mempunyai tiga wajah yang berubah mengikuti pergantian hari. Saat fajar Hekate akan berwujud anak kecil menjelang remaja dan saat malam tiba sang dewi akan menjadi wanita tua yang lemah. Dia tinggal di dalam Ygdrasill, sebuah pohon yang besarnya seperti gedung pencakar langit.

Jumat, 1 Juni
Flamel mendapat pesan dari Perenelle bahwa Dee dan Morrigan meminta tolong Bastet untuk menyerang Hetake. Bastet, Dewi Kucing dari Mesir, salah satu Elder setingkat Hetake. Pasukan Torc Allta dan nathair bersiap menghadapi pasukan Bestat dan Morrigan. Saat manusia gagak dan manusia kucing menyerbu kediamannya, Hetake berusaha membangkitkan kekuatan sihir si kembar. Sophie menjalaninya terlebih dahulu. Pembangkitan kekuatan Sophie belum usai saat Ygdrasill terbakar. Josh melihat saudara kembarnya kini berbeda. Dengan perlindungan dari Flamel dan Scatty, Josh membawa Sophie keluar pohon raksasa itu. Pertempuran di permukaan masih berlangsung. Hanya tersisa beberapa pasukan Torc Allta dan nathair. Mereka terdesak.

Setelah Harry Potter, The Bartimaeus Trilogy, Septimus Heap dan beberapa novel fantasi berlatar dunia sihir, The Secrets of The Immortal Nicholas Flamel juga menghadirkan dunia sihir dengan meramu berbagai mitos dan legenda terkenal. Tokoh John Dee dan Nicholas Flamel pun diambil dari tokoh yang benar-benar ada. Makhluk-makhluk aneh yang muncul di sini pun diambil dari mitos dan legenda. Scott berhasil mendeskripsikan dengan detail para tokoh dan makhluk legendaris itu. I love Scatty. Vampir vegetarian berusia lebih dari dua ribu tahun yang berwujud gadis remaja berusia tujuh belas tahun.

Digambarkan bahwa The Elder Race (Ras Tetua) telah ada jauh sebelum manusia ada. Merekalah yang memimpin seluruh kehidupan di bumi. Sebagian besar musnah saat Danu Talis alias Atlantis tenggelam. Saat manusia hadir di dunia, mereka yang tersisa menyingkir. Sepertinya agak-agak mirip kaum elves ciptaan Tolkien.

Dalam serial Harry Potter para penyihirnya menggunakan tongkat dan mantera. Dalam The Bartimaeus Trilogy para penyihirnya mengikat demon untuk melakukan pekerjaan yang diinginkan. Nah, dalam novel ini para penyihir harus berkonsentrasi menggunakan kekuatan auranya untuk menyerang lawan.

Akhirnya, ada lagi novel fantasi yang layak ditunggu sekuelnya. Penasaran bagaimana nasib si kembar, terutama Josh yang merasa tersisih karena dirinya hanya seorang humani, tak seperti Sophie yang kekuatannya telah dibangkitkan. The Magician adalah kelanjutan dari kisah rahasia si manusia abadi Nicholas Flamel. Buku ketiganya, The Sorceress, akan diterbitkan Mei tahun ini. Kabarnya saat ini Scott masih menulis buku kelima. Wah, kira-kira bakal dibuat berapa buku yah?


Saturday, February 7, 2009

Can I Walk With You?

Numpang nyanyi ah… :D

I woke up this morning you were the first thing on my mind
I don't know were it came from all I know is I need you in my life
You make me feel like I can be a better woman
If you just say you wanna take this friendship to another place

Can I walk with you through your life?
Can I lay with you as your wife?
Can I be your friend 'till the end?
Can I walk with you through your life?

You've got me wondering if you know that I am wondering about you
This feeling is so strong that I can't imagine you're not feeling it too
You've known me long enough to trust that I want what's best for you
If you want to be happy then I am the one that you should give your heart to

Can I walk with you through your life?
Can I lay with you as your wife?
Can I be your friend 'till the end?
Can I walk with you through your life?

Now everyday ain't gonna be like the summers day
Being in love it really ain't like the movies screen
But I can tell you all the drama aside
You and I can find what the world’s been looking for forever
Friendship and love together

Can I walk with you through your life?
Can I lay with you as your wife?
Can I be your friend 'till the end?
Can I walk with you through your life?

Can I walk with you in your life?
Till the day that the world stops spinning
Can I walk with you in your life?
Till the day that my heart stops beating
Can I walk with you in your life?
Can I walk with you?
Till the day that the birds no longer take flight
Till the moon is underwater
Can I walk with you?

Can I walk with you?

This is the moment I've been waiting for
Can I walk with you?
Can I walk with you?
Can I walk with you?
You are everything I've been looking for
Can I walk with you?
Creative intellectual
Can I walk with you ?
Can I walk with you as your wife?


(Can I Walk With You – India Arie)

Monday, February 2, 2009

Mengungkap Pemerasan Atas Nama Korban Nazi

The Holocaust Industry (Terj.)
Norman G. Finkelstein
Ufuk Press
309 halaman
Cetakan Kedua, September 2006

Sebelum terjadi konflik Arab-Israel pada bulan Juni 1967, Israel bukanlah bagian dari rencana strategis Amerika Serikat (AS). Segalanya menjadi berubah sejak saat itu. Holocaust, yang dipercaya sebagai pembantaian lebih dari enam juta orang Yahudi oleh Nazi, menjadi topik penting dalam kehidupan masyarakat Yahudi Amerika. Organisasi-organisasi Yahudi Amerika berupaya memperkokoh aliansi antara AS dan Israel. Isu anti-Semit pun digaungkan. Kenangan akan pembantaian oleh Nazi menjadi senjata ampuh.

Tahun 1990-an, World Jewish Congress (WJC) menuduh para bankir Swiss telah merampok harta orang-orang Yahudi di masa Nazi, atas rekening-rekening yang tidak aktif. Mereka menuntut ganti rugi sebesar $3 miliar dari Swiss. Ancaman disampaikan kepada para bankir Swiss, boikot ekonomi. Para bankir akhirnya menyetujui membayar $1,25 miliar untuk menghindari ancaman sanksi dan proses pengadilan yang akan memakan waktu dan menghabiskan biaya besar.

Berhasil dengan Swiss, bulan berikutnya mereka membidik sasaran baru, Jerman. Organisasi-organisasi Yahudi ini menuntut Jerman memberikan ganti rugi bagi para korban yang selamat dari kamp-kamp Nazi. Mereka mendirikan Claims Conference yang kemudian mengajukan class action terhadap industri-industri swasta Jerman dengan tuntutan tidak kurang dari $20 miliar sambil menyebarkan ancaman boikot ekonomi. Setelah proses yang alot, Jerman akhirnya sepakat dengan pihak Yahudi dengan memberikan $1 miliar bagi mereka yang pernah menghuni kamp tahanan. Tapi Claims Conference melanggar kesepakatan dengan menggunakan uang tersebut untuk proyek-proyek yang mereka sukai, bukan untuk orang-orang Yahudi yang selamat dan tengah menjalani masa tua.

Finklestein dengan berani membeberkan akal-akalan organisasi-organisasi Yahudi untuk memeras Swiss dan Jerman. Berbagai cara kotor ditempuh para petinggi organisasi untuk mencapai tujuan mereka. Manipulasi jumlah korban hanyalah salah satu dari kebobrokan mereka. Sebagai salah satu keturuan dari korban yang selamat dari kamp Nazi, Finklestein merasa gerah dengan cara-cara mereka mengeruk keuntungan dengan mengatasnamakan orang-orang yang menjadi korban.
Ini adalah salah satu propaganda sempurna agar para pembaca merasa sedikit bersimpati dengan para korban yang selamat dari pembantaian Nazi. Pembantaian yang seolah-olah hanya ditujukan untuk melenyapkan bangsa Yahudi.

Gara-gara di sampul buku ada quote dari Presiden Iran, Ahmadinejad, "Holocaust itu hanya mitos," saya merasa tertipu dengan buku ini. Saya pikir buku ini akan mengungkap bahwa pembantaian enam juta orang Yahudi di masa Nazi hanyalah omong kosong. Padahal di bawah judul The Holocaust Industri jelas-jelas ada tulisan: Mengungkap Penipuan dan Pemerasan atas Nama Pembantaian Bangsa Yahudi. :D

Lalu, bagaimana kompensasi untuk bangsa Palestina yang tanahnya kau rebut? Juga untuk lebih dari 1.300 jiwa yang menjadi tumbal dalam agresi kemarin serta ribuan lainnya dalam serangan-serangan sebelumnya? Juga korban-korban yang selamat tetapi menderita cacat fisik atau cacat mental?