Saturday, August 7, 2010

Touring Seru ke(dari) Desa Sawarna

Prolog
Jumat petang selepas maghrib saya langsung meluncur ke halte RS. Harapan Kita. Bus jurusan Merak baru nongol setelah nyaris satu jam menunggu. Tak ada tempat duduk tersisa di dalam bus, terpaksa berdiri. Paling gak sampai pintu tol Kebon Jeruk lah, pikir saya.Tapi ternyata gak ada seorang pun yang turun di pintu tol Kebon Jeruk, justru ada tambahan beberapa penumpang. Ihik... bakal berdiri sampai Serang nih. Tepat di samping saya berdiri ada seorang bapak dengan ukuran super big yang membuat ruang bergerak jadi berkurang.

Alhamdulillah gak harus berdiri sampai Serang, banyak yang turun di Tambak (sekitar KM 60 Tol Jakarta-Merak). Busnya pun gak ngetem lama di Serang. Langsung dijemput Ketty di terminal bayangan Cilegon alias PCI. Di rumah Ketty sudah tersedia bebek goreng yang maknyus lengkap dengan sambal mangganya. :D

Hari H
Kata Ketty, rombongan mobil berangkat pukul 06.30 WIB, rombongan motor berangkat 30 menit kemudian. Kami pun bergegas ke basecamp (baca: rumah dinas) Kanwil Banten. Yup, touring ini terselenggara atas kerja sama teman-teman di Kanwil Banten. Saya hanyalah peserta susupan. :D

Rupanya, Ajib “the organizer” sudah menyiapkan spanduk berukuran besar. Hahaha... niat banget nih anak. Jadwal keberangkatan molor, rombongan baru meluncur pukul 08.30 WIB. Satu mobil dan tujuh belas motor. Total peserta 30 orang (Bener gak sih? Gak sempet ngitung soalnya)



Saya ikut di rombongan mobil. Pingiiiiinnn banget ikut rombongan motor, tapi ternyata gak ada helm yang cukup memadai alias helm SNI. Dito bertindak sebagai supir mobil pelat merah ini. Jok bagian belakang berisi tas dan berbagai perlengkapan peserta. Selain Dito, hanya ada saya, Ketty, dan Susy.
Kami meluncur menuju Pandeglang. Tidak ada koordinasi di mana kami akan berhenti untuk sarapan. Rombongan motor tak bisa dihubungi melalui telepon seluler. Akhirnya Dito meminggirkan mobil di alun-alun Pandeglang. Ada penjual kupat tahu dan bubur ayam. :D

Tak lama kemudian melintaslah rombongan motor dan tiba-tiba... Gubrak. Seorang pengendara lokal menabrak Surya yang secara tiba-tiba mengarahkan motornya ke kanan untuk bergabung dengan kami. Alhamdulillah tak ada yang cedera, hanya mengorbankan spion kanan dan footstep kanan. Untunglah si pengendara lokal tidak menyalahkan Surya. Murdi yang semula keukeuh naik motor meski helmnya gak memadai akhirnya mau meninggalkan motornya di KPP Pandeglang dan bergabung dengan romobongan mobil sebagai navigator Dito. Angga juga ikut gabung, mojok di belakang bareng tumpukan tas. ;P

Perjalanan pun dilanjutkan. Dari Pandeglang kami mengarah ke Malimping, melalui daerah bernama Saketi. Kondisi jalannya rusak parah. Hanya beberapa bagian yang masih layak dilewati. Sebagian kecil (baru selesai) dibeton. Tapi jangan coba-coba membawa mobil bagus ke sini, kasihan mobilnya. Pas kami singgah sebentar untuk menyeruput kopi, rombongan motor melewati kami.

Rupanya Malimping masih sangat jauh. Masih sekitar 80km lagi dari jalan yang melepaskan kami dari Saketi. Tapi kondisi jalan sudah lebih bersahabat, jalan berlubangnya agak berkurang, sedikit. :P
Jalan memutari perbukitan dengan bonus pemandangan menakjubkan di kanan-kirinya. Kebun sawit dan kebun karet. GPS Dito kurang bisa dipercaya. Atau Dito-nya yang gak bisa baca peta? ;P
Akhirnya kami lebih mengandalkan mulut alias malu bertanya sesatnya kejauhan.

Sampai juga di Malimping. Kami tidak menemukan rombongan motor sepanjang perjalanan. Kemana ya mereka? Kok pada ngebut? Apa gak pada belajar dari kejadian Surya tadi? Atau sopir mobilnya yang kurang jago menguasai medan? Hahaha... maapkeun daku, Dito.

Pemandangan dari Malimping menuju Bayah baguuuuuusss banget. Pantai Selatan Pulau Jawa memang menyajikan pencuci mata yang menakjubkan. Ombak Samudera Hindia nampak bergulung-gulung di kejauhan. Tiba-tiba ada kabar dari rombongan motor bahwa salah satu peserta, Rahman, terjatuh dari motor dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Ah, kejadian lagi deh. Semoga ini yang terakhir. Rupanya mereka sudah berada di Desa Sawarna.

Sampailah di gerbang Desa Sawarna yang ternyata masih cukup jauh dari desanya. Jalan dari gerbang desa yang naik turun dan berkelok-kelok sudah diaspal halus, nyaris tanpa cacat. Pemandangan laut selatan segera berubah menjadi hutan belantara. Berbagai jenis tanaman mulai dari semak hingga pohon jati mengepung kami. So amazing!

Rombongan motor telah menunggu di sebuah warung. Luka di tangan dan kaki Rahman telah dibebat entah dengan apa. Singlet kah itu? :D
Rupanya warung ini menyajikan pemandangan yang tak kalah indah, Pantai Ciantir nampak dari kejauhan. Huhuhuuuu... gak sabar pingin cepat sampai.


Rahman bergabung dengan rombongan mobil. Sebelum melanjutkan, diberitahukan bahwa turunan setelah warung ini adalah turunan terjal yang cukup berbahaya. Selintas juga ada yang mengatakan bahwa kami sudah tak jauh dari lokasi homestay. Mobil pun meluncur duluan.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Kemana teman-teman rombongan motor? Apakah mereka tak bisa mengejar mobil ini yang juga tak melaju kencang? Masih ada beberapa tanjakan dan turunan terjal. Di depan kami ada sebuah tanjakan tajam (mungkin lebih dari 45 derajat kemiringannya) dengan kondisi jalan yang rusak parah. Penumpang terpaksa turun untuk memberikan Dito kesempatan melewati rintangan ini setelah percobaan pertama gagal. Dan Dito pun berhasil menaklukan tantangan, horeeeee....! Dito layak dapat SIM B nih.


Sejak masuk ke Desa Sawarna sinyal telepon seluler mulai menghilang. Hanya operator tertentu yang masih bertahan. Tapi di sini, di tempat kami sekarang, sinyal itu hadir lagi, penuh malah. Hujan mulai turun dengan derasnya. Kami pun mencoba menghubungi teman-teman rombongan motor, khawatir dengan kondisi mereka. Rupanya kami terlewat terlalu jauh dan mereka sudah berleha-leha di homestay! Huh... kenapa mereka tak berusaha menghubungi kami setelah lebih dari setengah jam ini? Keterlaluan... *emosi*

Mobil diputar balik. Hampir setengah jam sampai akhirnya kami menemukan tempat parkir menuju desa. Akses ke Desa Sawarna harus melalui sebuah jembatan gantung. Mobil tak bisa lewat. Agak seram melewati jembatan ini, mana pengaman disampingnya masih memungkinkan orang dewasa melayang ke bawah. Hiyyyy...


Kami langsung disambut rumah-rumah penduduk yang sederhana. Ajib sudah memesan dua rumah sebagai homestay sampai besok siang.

Saya dan Ketty sepakat memilih Saung Clara yang berwujud rumah panggung. Pas buka pintu belakang, subhanallah... elok nian pemandangannya. Hijau di mana-mana.



Setelah rehat sebentar dan makan siang yang kesorean, kami menyusul teman-teman yang sudah duluan ke Pantai Ciantir. Gemuruh ombak terdengar sangat dekat. Di balik semak yang tumbuh di atas tanah pasir, sejumput surga terserak di sana. Haha... kayak pernah lihat surga aja. ;P

Pantai berlatar Samudera Hindia dengan ombak tinggi bergulung-gulung. Pantas saja banyak penggila surfing, terutama dari mancanegara, yang justru lebih banyak mengunjungi pantai ini. Baru sekitar dua tahun terakhir saja para petualang domestik mulai berbondong-bondong mencicipi keindahan ini. Pantainya masih sepi. Bersih. Alami. Beberapa teman sudah nyemplung ke air. Sebagian masih duduk di pasir. Sebagian berjalan menyusuri pantai. Semuanya punya cara sendiri menikmati indahnya karunia Allah ini. Alhamdulillah diberi kesempatan berada di sini.


Meski kami tak bisa menikmati warna indah birunya laut bertemu dengan langit di cakrawala karena lautnya agak keruh (mungkin habis diguyur hujan) dan mendung menambah kelabu warnanya. Ah, semoga besok langitnya cerah...

Kami kembali ke homestay yang berjarak hanya sepelemparan tombak dari bibir pantai, setelah gagal menikmati indahnya matahari terbenam. Kami berkumpul lagi saat makan malam. Hujan lebat turun tanpa henti. Wah, bisa batal nih acara bakar-bakar kambing guling. Baru pukul 21.00 tapi berasa lebih larut di sini. Sepiiiiiiiiiiii... hanya ditingkahi suara-suara hewan dan serangga serta tetes hujan yang menyentuh bumi. Sebagian orang sudah terkapar. Sisanya masih bertahan dengan bermain kartu atau ngobrol ngalor-ngidul.

Saya pun kalah oleh kantuk. Berlari-lari kecil ke Saung Clara dengan jalanan yang tergenang air. Saung ini terdiri dari dua kamar dengan kamar mandi mungil di tiap kamar, ditambah sebuah ruang tengah dan teras. Selain spring bed, juga disediakan kasur lipat khas Palembang. Satu kamar bisa diisi 4 orang, bahkan lebih karena cukup luas. Apalagi ruang tengahnya. Begitu menyentuh kasur saya langsung tak sadarkan diri. :D

Tengah malam seseorang mengetuk pintu, memberitahu bahwa kambing gulingnya siap dieksekusi. Ah... pingin bangeeettt, tapi mata ini gak mau kompromi, tetep aja merem. Lewat deh kambing gulingnya, hiks.


Terjaga oleh udara dingin. Wajar saja karena saung ini berdinding gedek (anyaman bambu). Suara-suara serangga membuat saya tak lagi bisa memejamkan mata. Ya sudah... sekalian nunggu adzan Shubuh.

Selepas Shubuh, sedikit kesiangan karena Ketty masih enggan meninggalkan alam mimpinya, kami ke pantai. Kami tiba saat matahari mulai mengintip di balik deretan pohon kelapa. Sebagian teman malah sudah beranjak dari pantai. Suasana masih kelabu. Mendung masih menggantung di langit. Kami pun berjalan menyusuri bibir pantai, menikmati jilatan-jilatan ombak di kaki.

Saat kami kembali ke homestay untuk sarapan, teman-teman sudah bersiap ke Tanjung Layar, sebagian bahkan sudah berangkat dengan motor masing-masing. Celingak-celinguk mencari teman yang bersedia mengangkut saya. Untunglah masih ada Zaenal, “pasangan” Rahman yang tak bisa menikmati sejumput nirwana ini karena lukanya cukup parah. Motor kami beriringan melewati jalan setapak berpasir yang bahkan berhasil menjatuhkan Andy sang Voorijder. ;P



Tempat ini disebut Tanjung layar karena ada dua karang besar yang berbentuk menyerupai layar. Di sekelilingnya terdapat karang yang seolah telah dipahat sehingga kami bisa berjalan di atasnya tanpa rasa khawatir. Di atasnya karang “pahatan” ini, yang tergenang hingga betis kami, tumbuh sejenis rumput (atau lumut?) yang menjadi tempat tinggal banyak ikan kecil, bintang ular, bahkan kepiting. Subhanallah, it’s so amazing!

Semakin jauh ke balik layar, terdapat dinding karang yang menjadi penghalang bagi ombak untuk menerjang karang layar. Sayangnya tak ada pemandu yang bisa menjelaskan bagaimana semua ini terjadi atau legenda yang menyelimutinya.

Tak habis rasa syukur yang saya panjatkan, terutama saat berdiri di dinding karang penghalau ombak. Rasanya keciiiiiiillllll banget, berada di depan samudera dengan ombak tinggi yang bergulung-gulung. Terbayar sudah perjuangan dari Jakarta hingga ke sini.

Ombak ini pun memakan korban. Ketty, Johan, Echa dan Andy yang saat itu sedang berada di atas dinding karang, dihantam ombak yang cukup tinggi. Untunglah mereka masih tegar berdiri. Tapi telepon selular Ketty langsung tak bernyawa. Turut berduka cita ya Ket... ;P

Meski belum puas, kami harus kembali ke homestay untuk tujuan berikutnya, Gua Lalay. Sayangnya, banyak yang tidak berminat mengunjungi gua ini hingga Ajib memutuskan untuk membatalkan acara kami ke Gua Lalay. Huhuhuhuuuuuu... saya kan penasaran pengin ke situ.

Setelah bebersih badan, kami pun siap meninggalkan tempat ini. Gak rela, gak rela, gak rela... I wanna stay a little bit more.

Karena judulnya touring, saya bertekad untuk ikut rombongan motor dalam perjalanan pulang ini. Andy bersedia membagi tempat di motornya. Rahman pun meminjamkan helmnya karena dia ikut rombongan mobil. Cihuy... akhirnya bisa juga ikut touring.

Keberangkatan sedikit tertunda karena menunggu ban motor Aris selesai ditambal. Sekitar pukul 12.00 WIB rombongan kami meluncur. Rombongan mobil sudah meluncur duluan. Rencananya kami tidak melewati Pandeglang, dari Malimping mengarah ke Rangkas, karena berdasarkan informasi yang diberikan pemilik homestay, jalannya lebih bersahabat.

Lepas dari gerbang desa, kami mengisi penuh tangki-tangki motor di SPBU terdekat. Di sini diputuskan bahwa kami akan melewati jalur yang sama dengan jalur berangkat. Rombongan kembali melaju. Paling depan (Andhika dan Oci?) membuka jalan. Dua tongkat lampu menjadi penunjuk arah. Andy melaju paling belakang sebagai sweeper.

Selama perjalanan, teman-teman di depan beberapa kali menurunkan (meluruskan?) kakinya. Saya pikir itu karena kaki mereka butuh relaksasi. Ah, rupanya saya salah. Setelah diperhatikan, mereka menurunkan kaki saat ada lubang menganga di sepanjang jalan. Wkwkwkwkwk... ini toh rupanya. Kaki kiri untuk lubang di sebelah kiri, kaki kanan untuk lubang di sebelah kanan. Saat ada yang tercecer, Andy akan memberi tahu teman yang berada paling depan untuk mengurangi laju motornya. Tancap gas. I really love this one. :D

Gerimis mulai turun. Di sebelah kiri terhampar Samudera Hindia. Kereeeeennnn. Berasa lebih dekat karena naik motor kali yak. Kami singgah di sebuah masjid di daerah Malimping. Gerimis makin deras. Setelah rehat sebentar kami kembali melaju di jalan beraspal. Cuaca sudah lebih bersahabat, matahari mulai nampak. Alhamdulillah. Pakaian pun kering di badan. ;P

Sudah sekitar pukul 15.00 WIB saat kami berhenti untuk makan siang di sebuah warung kecil.


Baru sebentar kami kembali ke jalan, mendung mulai menggantung, bahkan lebih pekat dibanding sebelumnya. Teman-teman bersiap dengan jas hujan masing-masing. Sebagian tidak membawa jas hujan, termasuk Andy. Wedew... musti siap-siap basah kuyup nih.
Benar saja, hujan turun dengan lebatnya. Tapi kami tetap melaju. Air hujan pun menembus jaket yang saya kenakan. Kami basah kuyup. Entah berapa lama hujan menghajar dengan deras. Kadang mereda tapi kemudian kembali ke kekuatan sebelumnya. Harus ekstra hati-hati karena disamping menghadapi hujan, kami juga harus menghadapi medan jalanan yang cukup berbahaya karena berlubang di sana-sini.


Alhamdulillah, sebelum meninggalkan Saketi hujan sudah benar-benar reda. Bahkan menuju kota Pandeglang tak ada tanda-tanda telah diguyur hujan. Jadi seperti tikus kecemplung got nih. ;P
Sebagian rombongan berhenti di sebuah SPBU, yang lain melanjutkan perjalanan. Andy dan Ajib mengganti pakaian mereka yang kuyup. Saya? Yah... terpaksa tetap berbasah-basahan karena tak ada pakaian tersisa. Sedikit menggigil saat kami kembali meluncuri. Sudah lewat maghrib.

Rupanya rombongan mobil menunggu kami di KPP Pandeglang. Kami yang terakhir tiba di sana. Semangkuk bakso pikul cukup menghangatkan badan. Beberapa teman berpisah di sini. Saya kembali ikut rombongan mobil. Ajib jadi supir kali ini.

Akhirnya kembali juga kami ke titik awal perjalanan ini. Berpisah dengan teman-teman baru yang bahkan tak semuanya saya kenal. Sudah terlalu larut jika saya memaksakan diri pulang ke Jakarta. Balik ke rumah Ketty diantar Dito dan Murdi. Langsung mandi dan membalur badan dengan minyak kayu putih. Terus tidur deh. :D

Epilog
Senin pagi, kembali ke Jakarta. Terjebak kemacetan di sekitar pintu tol Karang Tengah. Sampai kantor sekitar pukul 10.30 WIB. Teman-teman curiga karena meski terlambat dan terpaksa dipotong tunjangan, saya datang dengan senyum terkembang. Hahahaha...


Catatan:
  • Brotherhood berasa banget sepanjang perjalanan touring, thumbs up for all of you guys...!
  • Bertekad untuk berkunjung lagi ke Desa Sawarna dan mengeksplorasi tempat-tempat yang kemarin belum sempat dijelajahi. Hayuk, ada yang mau ngajakin touring lagi? ;-)




Friday, July 9, 2010

Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Epilog)

Jumat pagi, 2 Juli 2010, kami sudah bersiap di depan hotel. Seperti hari-hari sebelumnya, selalu saja ada yang melanggar kesepakatan sehingga rencana berangkat pukul 7.30 WITA pun harus molor setengah jam. Perjalanan ke Pelabuhan Lembar memakan waktu sekitar satu jam. Pengorbanan menunggu ferry yang lumayan lama terbayar impas karena ferry kali ini lumayan besar dan ada ruangan ber-AC. Tempat duduknya pun sangat nyaman. Saat ferry mulai membelah Selat Lombok, saya mulai merasakan pusing. Mungkin ini yang disebut mabuk laut. Perjalanan yang lumayan lama memberi kesempatan untuk tidur lelap. Terbangun karena cacing-cacing di perut mulai berteriak kelaparan.

Selesai makan siang dengan nasi kotak yang dibawa dari Mataram, saya berjalan-jalan ke bagian belakang ferry. Rupanya toiletnya pun cukup bagus, dan yang lebih penting lagi, bersih. Berjalan di ferry seperti jalannya orang mabuk, gentuyuran. Bahkan sholat pun harus kuat kuda-kudanya karena kalau tidak kuat kita bisa terjatuh. ;p

Kami tiba di Pelabuhan Padang Bay sekitar pukul 14.00 WITA. Tidak ada lagi pemeriksaan KTP seperti halnya saat kami memasuki Pelabuhan Gilimanuk tempo hari. Bus langsung mengarah ke Kuta. Setelah Jaja yang lebih dulu berpisah dengan rombongan, giliran Mario yang turun di daerah Sanur. Di Kuta, bus diparkir di Central Park. Di sini kembali kami kehilangan anggota rombongan. Sonya dan Early akan melanjutkan liburannya di Pulau Dewata ini. Demikian juga Friska dan Irfan. Wah, jadi makin sepi nih busnya.

It’s free time. Dari Central Park kami naik komuter (dengan sedikit kejadian tidak menyenangkan dengan si sopir) ke outlet Joger. Tarif komuter ini IDR60.000 atau IDR3.000 per orang jika diisi penuh sebanyak 20 orang. Walah, ternyata outlet Joger is so crowded. Banyak rombongan pelancong di musim liburan ini. Antriannya pun mengular. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di depan kasir.

Semula kami akan melanjutkan ke Pantai Kuta. Tapi matahari sudah hampir tenggelam, langit pun diliputi awan sehingga kemungkinan kami tidak bisa menikmati sunset di Kuta. Yah, meski ada sedikit perasaan tidak enak dengan Nunik dan Ety yang sepertinya sangat ingin ke pantai, kami semua kembali ke Central Park karena harus berkumpul kembali pukul 19.00 WITA.

Tapi ternyata teman-teman yang lain belum kembali. Kami pun terpaksa menunggu sembari makan malam di foodcourt Central Park. Rombongan baru melanjutkan perjalanan sekitar pukul 20.00 WITA. Entah pukul berapa kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk. Terkantuk-kantuk di dak penumpang sampai ada informasi bahwa ferry akan bersandar di Pelabuhan Ketapang.

Sabtu, 3 Juli 2010, saat adzan subuh berkumandang kami menepi di sebuah masjid di Ponorogo. Wah, masih jauh rupanya perjalanan kami sampai ke Bandung. Tapi saya sudah memutuskan untuk singgah dulu di Tegal, melepas lelah, numpang pijet, dan meninggalkan pakaian kotor selama perjalanan ke Lombok. ;p

Setelah berhenti di Pasuruan untuk sarapan yang kesiangan, bus sampai di Porong, di mana teman sebelah saya selama perjalanan ini, Janice, turun untuk berkumpul dengan ayah dan kakaknya di Surabaya. Lumayan lah jadi bisa selonjor lebih lapang. Sudah hampir tengah hari saat itu. Tadinya Gilang menawarkan untuk berhenti sebentar di lokasi kubangan (atau lebih layak disebut danau?) luapan lumpur dari pengeboran PT. Lapindo Brantas. Tapi karena cuaca yang sangat terik rencana itu dibatalkan. Syukurlah, karena saya memang sama sekali tak berminat ke tempat itu. Saya lebih senang kalau kami tidak terlalu banyak berhenti sehingga lebih cepat sampai.

Dalam perjalanan kami mulai menyadari ada yang berubah dari fisik kami. Selain kulit yang terbakar, rupanya kaki kamu mulai membengkak. Mungkin ini efek dari kaki yang capai tapi tidak bisa diluruskan karena duduk di bus. Untunglah hanya jempol kaki saya yang bengkak, sementara teman-teman mengalami bengkak seperti layaknya orang hamil. ;p

Menyenangkan rasanya saat akhirnya bisa melewati perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Setidaknya kami lebih dekat dengan akhir perjalanan. Kami singgah di Rembang untuk ishoma dan kembali melanjutkan perjalanan. Di Pati bus kembali berhenti menjelang maghrib dan melanjutkan perjalanan ke Semarang. Tercetus ide untuk mampir ke Semarang dan berbelanja oleh-oleh di Jl.Pandanaran. Tidaaaaaaaakkkkkk... Saya mau pulang sekarang. Jangan ada mampir-mampir lagi!

Untunglah, Pak Syaifudin dan Pak Deden serta Kang Robby, kru bus Puja Wisata ini, sepakat untuk tidak mampir ke kota Semarang. Thanks God. :D
Sebelum masuk Semarang, Ety turun di daerah Juwana. Kami berhenti di sebuah rumah makan besar di daerah Kendal, tempat banyak bus berhenti untuk istirahat, sekitar pukul 20.00 WIB. Orang ramai menyaksikan pertandingan antara Jerman melawan Argentina. Di sini Nita memutuskan untuk naik salah satu bus Nusantara jurusan Jakarta yang ada di tempat itu. Tak lama setelah melaju, di pertigaan Weleri-Sukoharjo, kembali satu teman berkurang. Handono akan pulang ke rumahnya di Temanggung.

Saya terjaga saat bus melintas di Kab. Pekalongan. Rupanya Nunik sudah turun di Batang. Saya pun memaksakan diri untuk tidak terlelap lagi. Fyuh... kondisi jalan di jalur Pantura sangat parah. Berlubang dan bergelombang di sana sini. Bus harus bermanuver untuk menghindari ranjau-ranjau tersebut.

Minggu dini hari, 4 Juli 2010, pukul 01.00 WIB. Alhamdulillah, akhirnya, sampai juga di Tegal. Saya pun berpamitan dengan Andri dan Gilang. Teman-teman lain sedang terhanyut di alam mimpi.

Sore harinya saya sudah berada di salah satu gerbong di rangkaian KA Cirebon Ekspres yang akan mengantar saya kembali ke Jakarta. Dari St. Tegal hingga St. Brebes kereta masih lengang. Dengan tiket tanpa tempat duduk, saya meringkuk di bordes gerbong 1 yang sepertinya baru diremajakan. Sendiri. Kereta baru dijejali penumpang setelah tiba di St. Cirebon. Ada tiga orang yang bergabung dengan saya di bordes gerbong 1. Tanpa mempedulikan yang lain, saya melanjutkan tidur sampai tiba di St. Bekasi dan terus terjaga hingga tiba di St. Gambir.

Perjalanan menakjubkan ini akan selalu tersimpan dalam memori. Kalau masih dikasih kemampuan, kesehatan, dan kesempatan, saya pasti akan kembali mengeksplorasi Lombok yang eksotis. Kembali ke Jakarta, kembali ke realitas.

Oh Jakarta, do you miss me? :D


Catatan (1):
Lombok tidak cocok untuk para solo backpacker
karena tidak tersedianya angkutan umum untuk mencapai tempat-tempat yang menarik. Pelancong harus menyewa motor atau mobil sehingga malah akan membebani anggaran. ;-)

Catatan (2):
Pegal-pegal di betis yang bikin sakit pas naik-turun tangga baru hilang setelah hari Selasa (060710). Sepertinya ini gara-gara pas mau snorkling tidak diawali dengan pemanasan dan peregangan. ;P


Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Bagian III)

Kamis, 1 Juli 2010, kami berkumpul setengah jam lebih awal dari hari sebelumnya. Kami akan menuju Gili Nanggu di Lombok Barat. Melalui jalur atas daerah Sekotong dengan kontur geografis yang mirip dengan jalan yang kami tempuh malam sebelumnya, jalan berkelok naik turun dengan pemandangan pantai yang indah dan perbukitan yang hijau. Gili adalah pulau-pulau kecil yang tersebar di sekeliling Pulau Lombok. Yang terbesar dan terkenal adalah Gili Terawangan, Gili Menu dan Gili Air yang dapat dicapai dari Senggigi. Gili Nanggu merupakan salah satu gili di bagian barat daya Pulau Lombok dengan luas tak lebih dari 12,5 Ha. Gili Nanggu dipilih karena masih alami dan belum terjamah tangan-tangan jahil. Kami menyeberang ke Gili Nanggu dari Pelabuhan Tawun, Sekotong, dengan perahu tradisional, setelah sebelumnya menyewa sepaket masker, snorkle dan fin (IDR50,000) serta life jacket (IDR25,000). Mahal ya???

Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke Gili Nanggu. Wow… it’s so beautiful! Hamparan pasir putih dengan air laut yang sangat jernih. Pengunjung pun tak banyak, bebas berekspresi sesuka hati. Seperti berada di pulau pribadi deh. :D


Pak Agus memberikan tutorial singkat bagi para pemula seperti saya, tentang bagaimana mempergunakan alat snorkle dan bagaimana cara snorkling yang benar. Intinya, tidak boleh panik. Santai saja. Biarkan tubuh kita mengambang dan terbawa arus. Yang perlu diingat, dilarang berdiri di atas terumbu karang. Akhirnya setelah beberapa kali percobaan saya memberanikan diri mengikuti teman-teman yang telah lebih dulu ke tengah. Tak habis saya memanjatkan segala puji bagi Yang Kuasa. Ikan berbagai jenis dengan warna-warni yang semarak hilir mudik seolah tak menghiraukan kehadiran saya. Terumbu karang dalam banyak bentuk dan warna menambah keindahan dunia di bawah air. Serasa masuk ke sebuah akuarium besar. ;-)

Setelah bersusah payah mengubah arah dan panik karena snorkle-nya kemasukan air, saya pun berhasil kembali ke tepi. Hahaha… saya yang tidak bisa berenang ini pun bisa snorkeling dengan aman. ;P

Masih cukup waktu untuk bersantai sejenak di Gili Nanggu. Menapaki pasir pantai yang putih, bermain dengan ombak-ombak kecil, berjemur, berenang, atau apapun yang ingin dilakukan. Di depan sana ada Gili Sudak yang hanya berjarak sepelemparan tombak. Bahkan seorang teman berhasil berenang sampai ke Gili Sudak.

Oh ya, jangan berharap bisa menemukan permainan seperti jet ski, banana boat, parasailing, atau permainan apa pun yang biasa ditawarkan pengelola wisata pantai. Seperti halnya di Pantai Mawun dan Pantai Tanjung Aan, Gili Nanggu pun benar-benar mengandalkan keindahan alam yang dikaruniakan oleh Yang Maha Pencipta. Semuanya serba alami.

Meski masih betah di Gili Nanggu, kami harus segera kembali ke Pelabuhan Tawun karena masih harus berkeliling mencari buah tangan. Hanya ada satu tempat bilas di Pelabuhan Tawun. Sebagian orang membersihkan diri di kamar mandi penduduk setempat yang sangat welcome. Benar-benar sebuah tempat menarik yang belum dikelola dengan lebih professional. Tapi mungkin kalau sudah banyak yang berkunjung, keeksotisan Gili Nanggu akan berkurang karena orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, biarkan saja seperti sekarang ini. :-)

Kembali menyusuri jalur atas Sekotong (jalur bawah katanya lebih memutar) kami mengarah ke Desa Banyumulek. Desa ini merupakan pusat kerajinan gerabah. Sebagian besar merupakan konsumsi pasar ekspor Amerika dan Jepang. Salah satu gerabah yang unik adalah Kendi Maling. Tempat minum dari tanah liat ini diisi air dari bagian bawahnya. Itulah sebabnya dinamakan Kendi Maling.

Dari Desa Banyumulek kami kembali ke pusat kota Mataram menuju Gudang Kaos Lombok Arif yang berlokasi tak jauh dari Pasar Cakranegara. Terlalu banyak pilihan malah membuat bingung. Akhirnya setumpuk kaos bakal ikut jalan-jalan ke Jawa sebagai oleh-oleh. :D

Tempat berburu selanjutnya adalah pusat penjualan oleh-oleh khas Lombok di daerah Sayang-sayang. Sebagian besar peserta yang berjenis kelamin perempuan langsung menyerbu gerai mutiara. Ada mutiara air laut dan mutiara air tawar. Pak Agus memberikan tips memilih mutiara yang berkualitas tinggi. Ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, mutiara tersebut harus bulat sempurna. Kedua, permukaan mutiara harus mulus. Ketiga, kilaunya memancar dengan indah. Keempat, dilihat dari ukurannya. Untuk memastikan keaslian mutiara, uji mutiara dengan cara menggesekkannya ke gigi. Apabila seperti ada bulir-bulir pasir yang sangat halus maka mutiara tersebut adalah asli. Mutiara air laut lebih bagus daripada mutiara air tawar dan memiliki nilai jual yang tinggi. Salah satunya mencuri perhatian saya, sayangnya… harganya mencapai dua digit dalam jutaan rupiah. Mata memang tidak bisa ditipu. @_@

Di sebelah gerai mutiara terdapat gerai yang menjual oleh-oleh makanan khas Lombok seperti dodol rumput laut, manisan rumput laut, dodol buah, bahkan madu Sumbawa yang terkenal karena khasiatnya. Kecewa karena tidak mampu membeli mutiara yang harganya lebih dari penghasilan sebulan, mendingan beli dodol rumput laut aja deh. :D

Selepas maghrib kami menuju ke pusat kota Mataram untuk menikmati sajian khas paling terkenal dari Lombok, yaitu Ayam Taliwang dan Pelecing Kangkung. Taliwang adalah sebuah daerah di Sumbawa di mana orang-orang dari daerah itu bermigrasi ke Lombok hingga membuat sebuah kampong dengan nama Karang Taliwang. Orang-orang inilah yang pertama kali menyajikan masakan ayam berbumbu sehingga makanannya dinamakan Ayam Taliwang. Ditambah sambal yang bercita rasa manis pedas membuat ayam dengan bumbu kaya rempah ini semakin nikmat. Apalagi ditemani sepiring Pelecing Kangkung dengan sambal yang juga tak kalah pedas. Kangkungnya beda loh dengan kangkung yang biasa saya makan, rasanya sedikit lebih manis dan empuk. Malam terakhir di Lombok ditutup dengan perut kekenyangan. :D


Tiba di hotel bukan berarti kami bisa langsung beristirahat. Kami harus berkemas malam ini karena esok pagi kami harus meninggalkan Lombok. Tidaaaaaaakkkkkk… I don’t wanna go home this soon. I wanna stay a little bit more. Huhuhuhuuuuuuu….



Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Bagian II)

Rabu, 30 Juni 2010, kami harus sudah siap pukul 08.00 WITA. Setelah sarapan kami langsung bergegas. Pak Agus tak nampak pagi ini, digantikan oleh guide lain, Mas Yudi (the third Yudi in this trip). Sayangnya, Mas Yudi ini gak seasyik Pak Agus saat memandu. Gilang, jangan pake dia lagi yak... ;p

You can see Bali in Lombok, but you can’t see Lombok in Bali. Tiga puluh persen penduduk Mataram adalah penganut Hindu. Banyak pura di sepanjang jalan utama, juga tempat peribadatan di depan rumah. Angkutan tradisional yang berlalu-lalang adalah cidomo (gabungan dari cikar, dokar, roda mobil). Tak banyak angkutan umum, bahkan tak nampak bus kota atau antar kota.


Setelah city tour keliling Mataram, kami menuju ke Senaru di kaki Gunung Rinjani, Lombok Utara. Mencicipi segarnya Tuak Manis yang baru saja diambil dari pohonnya. Cukup dengan Rp.5.000 untuk sebotol air mineral ukuran 1500ml. Katanya sih halal karena belum melewati proses fermentasi dan sama sekali tidak memabukkan. Melewati Pusuk Pass di mana kita bisa bercengkrama dengan monyet-monyet liar yang bersahabat. Siapkan saja segenggam kacang, mereka akan mengambilnya dengan sopan tanpa berebutan. Ada juga sih yang nakal, merebut sekantung besar kacang yang masih setengah isi!

Perjalanan ke Senaru cukup memakan waktu. Baru sekitar pukul 13.00 WITA kami tiba di parkiran Air Terjun Sendang Gila. Setelah makan siang nasi kotak dengan menu yang lagi-lagi mirip dengan hari sebelumnya, kami langsung menuruni ratusan anak tangga ke lokasi air terjun. Lumayan bikin ngos-ngosan. Cukup ramai orang di sini, beberapa mandi di bawah guyuran air yang deras, termasuk dua orang turis mancanegara. Air terjunnya tak terlalu tinggi dan ada dua tingkat.

Lima belas menit kemudian Gilang mengajak kami ke air terjun berikutnya, Tiu Kelep, yang tak jauh dari Sendang Gila. Jalurnya lebih menantang dibandingkan jalur ke Sendang Gila yang sudah berupa undakan tangga. Menuju Tiu Kelep harus menyusuri jalan setapak tanah, tangga yang terjal, jembatan bolong-bolong yang lumayan serem untuk penderita acrophobia karena di bawah jembatan adalah jurang menganga, serta melintasi sungai berbatu. Medannya lebih mudah dibandingkan saat berpetualang ke Curug Cijalu Subang tempo hari. Tapi reward-nya lebih bagus. Tiu Kelep keren pisan! Ditambah penampakan pelangi di atas permukaan air. It’s so amazing! Hilang semua letih yang kami rasa terbayar oleh kemagisan Tiu Kelep. Semua orang langsung nyemplung tanpa mempedulikan dinginnya air.



Makin lama angin yang berhembus dari air terjun semakin kencang. Dengan pakaian yang masih kuyup kami kembali menyusuri sungai dan setapak serta menaiki anak tangga. Kami harus bergegas untuk mengejar panorama matahari terbenam dari Bukit Malimbu. Megahnya Gunung Rinjani mengantar kami hingga pesisir Lombok Utara. Sayangnya, kami sudah sangat terlambat untuk mengejar matahari terbenam di Bukit Malimbu. Tapi kami masih bisa mengagumi lembayung senja di sepanjang jalan menuju Senggigi. Nampak di cakrawala adalah Gunung Agung di Pulau Dewata.

Menyusuri pesisir barat Pulau Lombok di petang hingga malam hari memberikan sensasi sendiri. Jalanan yang berkelok dan naik turun membuat bus melaju dalam kecepatan tak sampai 20 km/jam. Sisi kiri adalah tanah perbukitan sementara di sisi kanan tebing yang langsung berbatasan dengan laut. Fyuh… saya sering menahan nafas sepanjang perjalanan. Tak ada penerangan lain selain lampu kendaraan. Tak ada kendaraan lain selain bus kami. Apalagi di beberapa bagian sedang dilakukan perbaikan jalan hingga menyerupai jalan buntu.

Sampailah kami di daerah Senggigi yang saat ini menjadi pusat pariwisata Lombok. Banyak hotel berbintang dan kelab hiburan malam. Kalau di Bali ada Kuta, di Lombok ada Senggigi. Kami yang sudah sangat kelaparan langsung berhamburan saat bus diparkir di depan Café Montong. Sajian modern sudah tersedia. Rasanya sih biasa saja, tapi berhubung dalam kondisi sangat lapar kami pun dengan lahap menyantap semuanya dengan lahap. Pak Agus telah kembali bergabung dengan kami, horeeeeee...!

Kantuk mulai menyerang saat bus kembali melaju menuju kota Mataram. Hari kedua di Lombok pun berlalu dengan indah. ;-)



Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Bagian I)

Rupanya, sebagian besar peserta adalah mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Bandung. Gilang dan Yudhi adalah putra daerah Lombok yang sedang menuntut ilmu di kota kembang. Total peserta 25 orang. Enam orang (termasuk saya) dengan latar belakang sebagai abdi negara di institusi yang sedang banyak disorot karena kasus mafia pajak. Satu orang dokter. Satu orang pendidik. Satu orang penyiar radio. Sejoli yang baru saja menikah tanggal 20 Juni 2010. Sisanya adalah mahasiswa. Teman seperjalanan di sebelah saya, Janice, mahasiswi psikologi Univ. Maranatha.Berasa muda kembali berada di antara peserta lain yang masih kinyis-kinyis. :D

Senin pagi, 28 Juli 2010, kami berhenti di Pasuruan untuk sarapan. Perjalanan ke Banyuwangi masih cukup jauh. Di Situbondo mata kami disegarkan oleh pemandangan birunya laut. Semua peserta terpaksa menahan lapar karena kami harus mengejar ferry agar segera sampai di Bali. Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, tak seramai yang saya bayangkan di musim liburan ini. Tanpa menunggu lama bus kami sudah berada di lambung ferry dan semua penumpang naik ke dak. Dan layaknya pelancong, semuanya sibuk bergaya di depan kamera. :P
Di bawah sana nampak para pengumpul koin yang dilemparkan para penumpang ke air.



Tak sampai satu jam perjalanan dengan ferry. Di Pelabuhan Gilimanuk ada pemeriksaan KTP bagi semua orang yang masuk (masih seperti 5 tahun lalu saat saya berkunjung ke sini). Tapi kok kesannya pemeriksaannya setengah hati yak? Gak dilihat gitu KTP-nya. :P

Bus kembali meluncur di jalan menuju Kuta. Menjelang matahari kembali ke peraduannya, kami mampir sebentar di RM Madina karena semua sudah berteriak kelaparan. Sebagian malah menyempatkan mandi karena sudah dua hari tidak mandi. Perjalanan ke Kuta rupanya cukup memakan waktu. Pukul 22.00 WITA kami baru tiba di Denpasar. Akhirnya diputuskan untuk menunda kunjungan ke Kuta hingga kepulangan kami dari Lombok. Bus langsung pindah haluan kea rah Pelabuhan Padang Bai. Sudah tengah malam saat kami tiba di pelabuhan. Begitu naik ke dak kami langsung ditawari sewa kasur Rp.15.000/kasur. Mumpung penumpang sepi, saya memilih tidur di bangku-bangku yang sudah disediakan. Sedikit tidak nyaman memang, tapi tetap bisa membuat saya terlelap meski di depan sana orang ramai menyaksikan pertandingan sepak bola antara Brazil dengan Chile (eh, bener gak ya?).

Selasa pagi, 29 Juni 2010, terjaga dengan sedikit linglung karena kaget dibangunkan. Sambil menunggu ferry bersandar di Pelabuhan Lembar, Lombok, kami menikmati fajar yang mulai merekah. Perjalanan menuju hotel di kota Mataram membutuhkan waktu sekitar satu jam. Setelah pembagian kamar yang diwarnai keribetan tak perlu, akhirnya saya bisa meluruskan badan setelah sekitar 36 jam perjalanan.

Kami berkumpul lagi pukul 11.00 WITA untuk memulai petualangan di Lombok. Gilang memperkenalkan Pak Agus, guide professional yang akan memandu kami selama berada di Lombok. Orangnya asyik, cara menyampaikan narasi pun enak jadi mudah nyantel di memori. ;-)

Tujuan pertama kami adalah Desa Sade Rembitan di Lombok Tengah. Menuju desa tersebut kami melalui daerah dengan kondisi geografis yang kering, yang membuat karakter penduduknya sedikit lebih agresif hingga sering terjadi perkelahian antarkampung. Nampak di kejauhan Bandara Internasional Lombok (BIL) yang sedang dalam proses penyelesaian akhir. Rencananya bandara ini akan mulai beroperasi akhir tahun 2010. Setelah sekitar satu jam perjalanan dari Mataram, sampailah kami di Desa Sade Rembitan. Di desa ini tinggal Suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok, yang masih memegang teguh adat-istiadat mereka. Ada beberapa hal unik dari kehidupan Suku Sasak. Rumah mereka didirikan di atas pondasi yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau. Ajaibnya, pondasi yang juga merupakan lantai tersebut sangat kuat dan tidak menguarkan aroma tak sedap. Yang paling unik adalah adat pernikahannya. Seorang laki-laki yang akan menikahi seorang gadis harus menculik gadis tersebut dari rumahnya tanpa sepengetahuan orang tua si gadis. Jangan menganggap ini terlalu mudah karena rumah Suku Sasak didisain dalam dua tingkat dengan satu pintu dan tanpa jendela. Sang gadis akan tidur di undakan atas sementara orang tuanya tidur di undakan bawah di dekat pintu. Tapi saat ini sudah banyak lebih modern. “Penculikan” tetap dilakukan hanya untuk mengikuti adat.

Sebelum tiba di Desa Sade, kami diinformasikan bahwa jangan pernah member uang kepada anak-anak di desa. Akan lebih baik jika membeli apa yang mereka tawarkan seperti gelang, kodok dari kayu, selendang/ kain tenun, dan sejenisnya. Atau bisa juga memberikan donasi di kotak yang telah disediakan untuk membantu pengembangan desa ini.

Setelah makan siang di bruga (sejenis saung) dengan nasi kotak yang menunya nyaris sama dengan sarapan tadi pagi, kami diajak berkeliling desa oleh pemandu setempat. Menyusuri rumah-rumah yang sebagian masih mengikuti pakem, melihat para wanita menenun adan para lelaki yang menunggu lumbung, melewati kandang-kandang ayam, serta menunaikan shalat di masjid yang lantainya tidak terbuat dari kotoran kerbau. :D

Pukul 14.30 WITA kami menuju destinasi selanjutnya, pantai-pantai di Lombok bagian Selatan. Melalui jalan berkelok serta terjal selama sekitar satu jam. Dari kejauhan telah nampak birunya Samudera Hindia di antara perbukitan hijau. Subhanallah…elok benar! Pantas saja kalau kawasan ini akan dijadikan pusat resort kelas atas layaknya Nusa Dua, Bali. Seluruhnya telah dimiliki oleh investor yang sebagian adalah orang asing. ;-)

Tibalah kami di Pantai Mawun. Pantai ini dikenal memiliki ombak besar yang membuat banyak turis mancanegara menyukainya untuk berselancar. Pantainya masih sepi, masih alami, dan bersih. Hanya ada dua-tiga pengunjung selain kami yang ada di situ. Kami hanya diberi waktu 20 menit di sini. Tidaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkk…. Tak cukup waktu sesempit itu menikmati keeksotisan Pantai Mawun. We want more!!! Gilang, teganya dirimu, teganya, teganya, teganyaaaaaa….

Tapi kami tak bisa berlama-lama kecewa karena berikutnya kami dimanjakan oleh pemandangan Pantai Kuta Lombok dari kejauhan. Konon kawasan ini akan dikembangkan oleh investor dari Dubai. Di Pantai Seger yang merupakan bagian dari Pantai Kuta Lombok, setiap tahun dilakukan tradisi Bau Nyale, mengumpulkan cacing-cacing yang berwarna-warni, yang muncul sebagai jelmaan Putri Mandalika setiap tanggal 19 bulan 10 kalender Sasak (biasanya terjadi di akhir Februari sampai awal Maret saat bulan penuh). Legenda Putri Mandalika merupakan cerita rakyat turun-temurun di mana sang putri memilih untuk menceburkan diri ke laut agar tidak terjadi perang karena beberapa pangeran yang memperebutkan dirinya. Saat rakyatnya akan menolong sang putri, dari pasir pantai justru muncul cacing beraneka warna. Mereka pun menganggap itu sebagai jelmaan Putri Mandalika yang akan memberikan kesejahteraan. Mereka mengumpulkan cacing-cacing tersebut, menaburkannya di sawah/ ladang, bahkan menyantapnya sebagai obat ataupun karena kepercayaan akan membuat penyantapnya awet muda (yaiks...). :D

Sampailah kami di Pantai Tanjung Aan yang sedikit lebih banyak pengunjung dibandingkan Pantai Mawun. Pantai ini berbentuk huruf W dimana di bagian kiri terhampar pasir putih yang menyerupai merica sementara di bagian kanan, berupa pasir putih laksana tepung yang sangat halus. So weird, eh?

Kami diberi waktu cukup lama di sini, sekitar dua jam, sehingga semua bisa puas menikmati keindahannya. Berenang, berendam, tiduran di pasir, naik ke tebing pemisah untuk menikmati pantai dari atas, jalan-jalan menyusuri pantai, atau sekedar duduk-duduk menatap birunya air yang menyatu dengan langit di cakrawala.

Rupanya angin yang cukup kencang dari samudera berhasil membuat saya tumbang. Sedikit demi sedikit kepala mulai berat. Akhirnya saya menyerah. I need an aspirin. I need some caffeine. Saya pun menyingkir dari bibir pantai, bersama Andri yang juga mulai drop, dan memesan segelas kopi panas di salah satu warung. Masih lebih dari setengah jam lagi menyudahi kunjungan di Pantai Tanjung Aan. Saya dan Andri memutuskan untuk kembali ke bus karena kondisi badan makin menurun.

Menjelang senja kami pun kembali ke Mataram setelah sebelumnya mampir ke Desa Puyung untuk mencicipi dahsyatnya Nasi Balap atau lebih terkenal dengan nama Nasi Puyung. Warungnya terletak di sebuah gang dan harus berjalan sekitar 200 meter dari jalan raya. Baru sekitar 50 meter berjalan kaki ketika Andri bilang, “Mbak, aku drop nih. Keknya tekanan darahku turun,” kemudian langsung ambruk. Untunglah saya sempat menahan badannya dan berteriak minta tolong. Akhirnya Andri kami bawa ke sebuah saung di warung pinggir jalan. Sepertinya dia tidak kuat dengan kafein yang tadi dikonsumsinya bersama saya di Pantai Tanjung Aan. Sementara teman-teman yang lain menyantap Nasi Puyung, saya dan Nita menemani Andri di warung pinggir jalan dan berbincang dengan ibu pemilik warung yang memberikan tempat bagi kami tanpa pamrih. Huhuhuhuuuuu... jadi terharu.

Untunglah Gilang memesan Nasi Puyung untuk kami makan di hotel. Penasaran kami pun terlunasi. Dinamakan Nasi Balap dikarenakan semula makanan ini dijual di terminal/ pelabuhan untuk orang-orang yang akan melakukan perjalanan. Karena makannya harus cepat agar tidak ketinggalan bis atau kapal, jadilah disebut Nasi Balap. Puyung merupakan desa asal makanan ini. Terdiri dari nasi dengan taburan ayam goreng suwir dan kacang kedelei goreng ditambah sambal goreng ayam yang benar-benar pedas. Pecinta makanan pedas harus mencicipi ini. Rasanya nendang abis!

Perjalanan kami hari pertama di Lombok usai sudah. Melelahkan, tapi sangat menyenangkan. Saatnya istirahat untuk petualangan berikutnya yang lebih berat.


Catatan Perjalanan "Lombok Vacation" (Prolog)

Jumat petang, 25 Juni 2010, kereta api Senja Utama dengan tujuan akhir St. Tugu Yogyakarta melaju perlahan dari St. Senen Jakarta. Ditemani rombongan Laskar Senja yang setiap Jumat mengukur panjang rel Jakarta-Jogja untuk bertemu dengan keluarga tercinta di kampong halaman. Dalam kondisi stamina yang tidak 100% masih harus menerima tamparan angin yang menerobos masuk melalui jendela yang terbuka.

Sabtu pagi, 26 Juni 2010, rangkaian KA Senja Utama memasuki St. Tugu Yogyakarta. Terlambat sekitar dua jam dari jadwal seharusnya. Kami langsung meluncur ke arah selatan ke daerah Bantul. Saya turun di depan SPBU Singosaren tak jauh dari Terminal Giwangan. Rumah Singosaren. Rumah Pak Har dan Bu Har. Rumah Ketty dan Windi. It’s like my second home, di mana saya bisa menganggap rumah ini sebagai rumah sendiri, meski saya gak bisa mengagunkan sertifikatnya sebagai jaminan hutang. :D.

Ini salah satu alasan saya lebih memilih Jogja daripada Bandung sebagai titik awal perjalanan berikutnya ke salah satu surga dunia, Pulau Lombok. Lombok Vacation (LV), paket jalan-jalan ala backpacker berangkat dari Bandung Minggu pagi, 27 Juni 2010. Rombongan akan singgah di Jogja pada Minggu malam. Nah, biar lebih puas jalan-jalan di Jogja saya pun memilih untuk bergabung dengan rombongan LV di Kota Pelajar itu.

Tapi ternyata kondisi badan tidak memungkinkan untuk menjelajah Jogja. Sepanjang pagi hingga sore saya malah tidur-tiduran “nge-charge” baterai tubuh biar besok lebih fit. Selepas maghrib barulah keluar kandang dikawal Windi, Ai dan Lia. Tujuan utama: Festival Kesenian Yogya (FKY) di kompleks Benteng Vredeburg. Sayang kami kurang beruntung. Setelah melewati jalanan yang super padat menuju Malioboro, kami harus menelan kekecewaan. FKY ditutup lebih awal karena terjadi pemadaman listrik sebagai imbas dari musibah kebakaran di Jl. Katamso (mencuri dengar dari seorang bapak bergaya veteran di depan Museum Serangan Umum 11 Maret).

Daripada berlama-lama kecewa akhirnya kami meluncur ke sebuah warung remang-remang di belakang St. Tugu. Jangan berpikiran kotor dulu! Saya sebut warung remang-remang karena di sini memang irit cahaya. Sajian andalannya: Kopi Joss. Kopi tubruk yang dicelup arang yang masih membara hingga menimbulkan bunyi “jossss”. Rasanya: mantap! Pecinta kopi harus mencicipi kopi joss ini. (Maaf, ini bukan promo karena saya gak dibayar sepeser pun oleh yang punya warung).

Kembali ke Rumah Singosaren, kembali terkapar tak berdaya. Tubuh makin drop. Batuk makin menjadi. Pake acara mimisan segala! Hehe… gak ding, cuma pileknya makin parah sampai bercampur warna merah (darah kali yak). Dalam seminggu ini sudah mengkonsumsi sebotol obat batuk, beberapa butir obat flu dan multivitamin, ditambah enam butir jeruk nipis! Tapi ternyata tak membuat perubahan apapun. Saya pun berpikir untuk membatalkan perjalanan ke Lombok jika kondisinya masih seperti ini.

Alhamdulillah, Minggu pagi, 27 Juni 2010, saya terbangun dalam kondisi yang cukup prima. Berdua dengan Windi, kami ke sentra kerajinan kulit di Desa Manding, Bantul. Hmmm… agak mirip Tajurnya Bogor. Setelah keluar masuk toko, akhirnya cuma membeli sebuah gantungan kunci mungil berbentuk sepatu boot dari kulit. Dari situ kami ke Malioboro setelah singgah makan siang di Baceman, Jl. Taman Siswa. Mampir ke Mirota Batik, ngubek-ubek baju dan kain batik. Dari Mirota Batik dilanjutkan ke FKY. Wih… banyak barang yang lucu-lucu di sini. Musti tutup mata biar kantong gak bolong. Dan… ada penampilan band anak muda di panggung utama dengan musik jedar-jeder gak jelas yang sangat tidak bersahabat dengan kuping.

Sudah menjelang sore ketika kami kembali ke Rumah Singosaren. Saya musti bersiap untuk perjalanan yang lebih panjang. Ketemu Andri dan kenalan dengan Nita di Hotel Wisma Ary’s di Jl. Suryodiningratan. Makan malam super murah di warung pecel ayam Pak Sabar di dekat hotel. Bertiga buma dua puluh tiga ribu perak. Kami bertiga meluncur ke Central Parking Malioboro, meeting point dengan rombongan LV. Kenalan dengan sang penyelenggara, Gilang dan Yudhi, serta peserta lain. Sekitar pukul 22.00 WIB bus Puja Wisata dengan kapasitas 31 tempat duduk pun meluncur membelah Jogja. Lombok, I’m coming…!


Wednesday, May 19, 2010

Kesah

Sudah hari ketiga, aura gelap masih bergelayut di atmosfer ruangan ini. Entah sampai kapan suasana tak nyaman ini akan berlangsung. Ah, jadi gak betah di ruangan nih. Gimana mau kerja kalau suasana tak nyaman seperti ini? "Hanya" karena sebuah keputusan yang dirasa tak adil bagi kami.

Tak hanya itu, kami seolah tak berhak mengetahui bagaimana proses pengambilan keputusan. Yah, namanya prajurit... musti mengikuti apa yang diperintahkan komandan. Kami pun tak punya kuasa untuk mengubah keputusan itu. Kami merasa di-dholimi.

Pada awalnya semua sepakat untuk menuntut penjelasan secara transparan atas keputusan yang diambil tersebut kepada top manager. Tapi kemudian, hanya kami bertiga (di luar korban utama) yang tetep keukeuh menuntut klarifikasi. Yang lain seolah tak lagi peduli. Entahlah... mungkin mereka sudah bisa berkompromi dengan keputusan itu.

Kami yang bertahan merasa bahwa penjelasan dianggap perlu untuk mengurangi demotivasi yang terjadi setelah dikeluarkannya keputusan itu. Kami butuh kejelasan. Kami butuh keadilan. Kami butuh menyuarakan keluh kami.

Semoga tuntutan kami segera terpenuhi karena kalau tak ada lagi kenyamanan di ruangan ini, apa lagi yang bisa membuat kami bertahan selain alasan ekonomi?



Di saat kita bersama
Di waktu kita tertawa
Menangis merenung
Oleh cinta...

(Kita-So7)



Monday, May 3, 2010

Petualangan Seru ke Curug Cijalu

Kali ini starting point-nya bukan dari Jakarta, tapi dari Sadang, Kab. Purwakarta. Curug Cijalu terletak di Desa Cipancar, Kab. Subang tetapi lebih mudah dijangkau dari Purwakarta yaitu melalui Wanayasa. Jaraknya sekitar 25 km dari pusat kota Purwakarta. Saya dan Adi naik angkot 01 jurusan Pasar Rebo. Dari Pasar Rebo disambung dengan elf jurusan Wanayasa. Sebenarnya bisa saja langsung naik elf dari Sadang, tapi resikonya kita harus bersabar karena elf ini bakal ngetem lumayan lama di Pasar Rebo. Dari Pasar Rebo juga ada angkot kuning yang ke Wanayasa. Tapi tidak disarankan karena kabarnya di tengah perjalanan penumpang sering dipindahkan ke angkot lain.

Perjalanan ke Wanayasa memakan waktu sekitar setengah jam. Cuaca cukup bersahabat, cerah tetapi sedikit teduh. Dari Pasar Wanayasa kami langsung naik ojek ke lokasi curug, ongkosnya Rp.20.000/orang. Mahal ya??? Hmmm... tidak juga kok. Karena dari pasar ke curug masih sekitar 10 km dengan kondisi jalan yang naik-turun dan berkelok-kelok. Tak lama melaju di Jalan Cagak (yang menghubungkan Wanayasa dengan Subang) yang mulus, kami berbelok di pangkalan ojek Legok Barong ke sebuah jalan yang lebih kecil. Kondisi jalan cukup bagus, sudah diaspal meski di beberapa bagian sudah mulai terkelupas. Tak ada angkutan umum yang masuk ke jalan ini. Kalau tidak membawa kendaraan sendiri, alternatif satu-satunya adalah menggunakan jasa tukang ojek.

Setelah sekitar 15 menit terguncang di atas motor, kami sampai di gerbang masuk Taman Wisata Alam Curug Cijalu. Tiket masuknya enam ribu perak per orang. Ternyata lokasi curug masih jauh. Kami kembali menyusuri jalan yang semakin menanjak sekitar 5 menit lagi. Persis di pinggiran kebun teh pertama ojek berhenti. Kami melanjutkan perjalanan melewati hijaunya kebun teh sebelum tiba ke lokasi curug. Tidak ada orang lain yang berjalan kaki di sini selain kami. Beberapa orang mengendarai sepeda motor, sebagian lainnya dengan mobil yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.


Sebagian jalan belum diaspal, masih menggunakan bongkahan-bongkahan batu. Lima menit berlalu sejak kami menyusuri kebun teh ketika di depan kami terdapat sebuah sungai kecil yang membelah jalan. Tidak ada jembatan. Sepeda motor dan mobil pun harus menyeberang perlahan. Beberapa warung minuman dan makanan ringan mulai nampak saat makin mendekati lokasi curug.



Cukup dengan menunjukkan tiket masuk yang kami bayar di gerbang pertama, kami memasuki kawasan curug yang menyatu dengan bumi perkemahan.


Jalan setapak dari bebatuan semakin menanjak. Kami berpapasan dengan rombongan wisatawan asing (lebih dari separuhnya adalah anak kecil). Di lokasi tersebut terdapat dua curug. Curug pertama yang kami temui tingginya sekitar 15 meter.



Tak jauh dari curug pertama kita akan disambut percikan air dari curug kedua yang terbawa angin. Curug ini lebih besar, sekitar 50 meter ketinggiannya. Waaaaahhhh... segar sekali. Coba tadi bawa baju ganti, kami pasti langsung nyemplung di kolam tempat jatuhnya air.



Sembari istirahat, saya menunjukkan sebuah artikel yang saya cetak dari sebuah blog, judulnya Tipuan Curug Cijalu. Dari artikel ini kita disadarkan bahwa ternyata banyak orang yang mengaku melihat Curug Cijalu padahal tidak! Yang mereka lihat adalah Curug Cikondang dan Curug Cilemper. Curug Cijalu terletak tak jauh dari situ, tapi harus dengan usaha ekstra untuk bisa mencapainya. (lebih lengkap silakan baca di sini). Kami pun sepakat mengikuti petunjuk dari artikel tersebut .

Pertama-tama kami harus kembali ke kebun teh menuju sungai yang membelah jalan sebagai titik awal pencarian. Itulah Sungai Cijalu. Kami pun mulai menyusuri sungai ini ke arah hulu. Terpaksa berbasah-basahan karena kami harus menyusuri sungai, benar-benar di sunginya, dengan melompati bebatuan besar. Sesekali terpeleset dan terantuk batu. Setelah 10 menit berlompatan di atas bebatuan sungai, jalan kami terhalang tanaman rambat di atas sungai. Untunglah ternyata kami menemukan sebuah jalan kecil di antara semak belukar. Beberapa kali jalan kecil itu berakhir di tepi sungai dan kami mau tidak mau kembali nyemplung ke sungai. Kami semakin jauh meninggalkan kebun teh di bawah sana.


Sepiiiiiii banget! Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia lain. Hanya kami berdua ditemani gemercik air, kicau burung, hembusan angin yang membelai dedaunan, serta beberapa suara serangga yang tak tampak. Ada binatang buas gak yah? Ada ular gak yah? Ada makhluk tak kasat kah? Huwaaaaaa... berbagai kemungkinan buruk sempat terlintas di pikiran. Akhirnya saya memaksa, kami harus kembali bila dalam satu jam tidak menemukan curug yang dimaksud.



Tiga puluh menit berlalu. Badan sudah semakin letih dan semakin sering terpeleset. Lutut pun mulai gemeteran. Kami menemukan sebuah curug kecil yang tingginya tak sampai 5 meter. Ketika kami di atas curug kecil itulah nampak kelebatan manusia-manusia tak jauh di bawah kami. Banyak. Dan sebagian besar masih anak-anak. Kami menunggu rombongan ini dan bergabung dengan mereka. Dengan mudahnya mereka berlompatan di atas batuan sungai. Huhuhuhuuuuu.... (ngiri.com)

Teriakan kegirangan anak-anak itu memberi tanda bahwa kami sudah tiba. Subhanallah... It's so amazing! Air terjun setinggi sekitar 100 meter diapit dinding karang yang terjal membuat saya merasa sangat kecil. Cantik sekaligus membuat ngeri. Lingkungannya masih alami seolah tak pernah tersentuh tangan-tangan jahil. Hanya rombongan kami yang ada di situ. Tak terbayang seandainya tidak bertemu dengan anak-anak ini. Pasti horor banget saking sepinya.


Setelah mengagumi kecantikan Curug Cijalu, kami kembali menyusuri sungai ke arah hilir. Anak-anak ini masih tetap lincah dan nyaris meninggalkan kami di belakang.


Perjalanan kembali tak lebih mudah dari saat kami berangkat. Apalagi tubuh sudah semakin kehilangan energi. Akhirnya, sampai juga kami di titik awal penjelajahan nekat ini dengan selamat. Alhamdulillah.

Oh ya, total perjalanan menyusuri sungai menuju Curug Cijalu yang sesungguhnya memakan waktu 40 menit. Tapi perjalanan kembali lebih cepat karena kami menemukan jalan yang benar, wkwkwkwkwk...


Setelah membersihkan celana, tangan dan kaki yang terkena tanah basah, kami pun pulang dengan hati riang. Tak ada pengojek yang ngetem di dekat kebun teh. Mau tidak mau kami harus berjalan kaki ke gerbang utama. Alhamdulillah sebelum sampai gerbang utama kami bertemu dengan 2 tukang ojek. Setelah negosiasi alot, disepakati mereka akan mengantar kami sampai ke Wanayasa dengan ongkos Rp.15.000/orang.

Dari Wanayasa kami kembali naik elf jurusan Cikampek dan turun di Pasar Rebo lalu dilanjutkan dengan angkot 02 sampai ke Sadang. Fyuuuuhhh.... benar-benar perjalanan yang menguras energi. Tapi semua terbayar lunas karena berhasil menyaksikan kecantikan Curug Cijalu. Cihuuuuyyyyyy....! :D


Catatan:
- Jangan ke sana saat musim penghujan, sungainya akan sulit dilalui
- Jangan ke sana pakai celana jeans, bikin berat kalo terkena air
- Lebih baik gunakan sepatu atau sandal gunung
- Khusus buat yang menyukai tantangan :p
- Hasil jalan-jalan: lebam di beberapa bagian kaki (saya), kaki dan tangan tergores duri semak (Adi)

Hari berikutnya, pagi-pagi ada sms dari Adi yang bunyinya seperti ini: Mb Mel, kata temenku yg udah menjelajah semua curug di subang, curug cijalu itu yang paling angker. Masih ada hewan buas. Ada makam keramat juga.

Kyaaaaaaaaaa......


Oh ya, hanya sejengkal dari Pasar Wanayasa terdapat Situ Wanayasa yang terletak persis di samping jalan besar. Kalau yang ini cocok untuk wisata keluarga.





Gambar terakhir ini (Curug Cijalu nampak dari jauh) diambil dari blognya mang oka yang berhasil membuat kami penasaran hingga akhirnya menemukan Curug Cijalu yang asli. Terima kasih banyak untuk Mang Oka. :D


Sunday, May 2, 2010

Lampung-Palembang: Backpacking Beneran Nih...

Ini pertama kalinya backpacking agak jauh, musti mengarungi samudera... eh bukan ding, cuma menyeberangi Selat Sunda, ke tanah Sumatera. Berhubung first timer, saya dan Mbak Tuti sepakat untuk menggunakan jasa bus Damri yang akan mengantar kami langsung ke Bandar Lampung. Kalau punya nyali lebih sih mendingan ngeteng, dari Jakarta naik bus jurusan Merak, dari pelabuhan Merak naik kapal cepat atau ferry, dari Bakauheni disambung naik bus jurusan Terminal Rajabasa. Jatuhnya bisa lebih ngirit dibandingkan ongkos Damri kelas eksekutif yang tarifnya Rp.144.000.

Kamis (01042010) sekitar pukul 20.45 WIB, bermodal tas punggung sarat muatan (termasuk selembar peta Prop. Lampung) dan sekresek nekat, kami berangkat ke St. Gambir. Bus berangkat sesuai jadwal, pk. 22.00 WIB. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, tak lama setelah bus keluar dari St. Gambir, saya langsung tewas... Sempat sadar waktu bus diparkir di lambung kapal ferry, trus tewas lagi... hahahahaha.


Jumat (02042010) sekitar pukul 03.15 WIB, setengah tersadar saat roda bus kembali menggilas daratan di Dermaga 2 Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Jalannya rusak parah. Untunglah tak berlangsung lama, begitu keluar dari pelabuhan bus kembali ke jalan yang benar alias mulus.

Pukul 05.00 WIB mulai nampak kehidupan di kanan-kiri jalan menuju Bandar Lampung. Bus tiba di St. Tanjung Karang pukul 05.30 WIB. Kami turun di sini dan langsung ke masjid di depan stasiun untuk istirahat sejenak (sekaligus sholat subuh meski kesiangan, hehe...)

Karena agen bus Damri di St. Tanjung Karang baru buka pukul 08.00 WIB, kami jalan-jalan dulu di sekitar stasiun sekalian mencari sesuap nasi. Belum banyak pedagang kaki lima yang beroperasi, akhirnya kami menemukan penjual bubur ayam yang lumayan ramai pembeli di depan Kanwil Ditjen Perbendaharaan Lampung. Cukup lima ribu perak.
Balik lagi ke agen Damri, alhamdulillah kami dapat tiket untuk kembali ke Jakarta hari Minggu siang.

Dua orang yang kami temui (petugas kebersihan di masjid dan di stasiun) merekomendasikan untuk ke Pantai Mutun. Dari awal saya memang berniat ke P. Mutun. Berbekal beberapa informasi dari internet dan dua mas-mas tadi, untuk menuju Pantai Mutun kami harus naik bus Damri kecil jurusan Tj. Karang - Teluk Betung, disambung angkot dan ojek. Tapi... supir Damri yang kami naiki menyarankan kami untuk ke Terminal Rajabasa kemudian naik Damri jurusan Hanura. Kami pun mengikuti saran bapak supir tadi, naik Damri jurusan Tj. Karang - Rajabasa. Rupanya shelter Damri dalam kota ada di luar terminal, ah... thanks God! Gak perlu ketemu preman-preman Rajabasa yang kabarnya ganas. :D

Menit demi menit berlalu. Sudah lewat dari pukul 09.30 WIB. Lebih dari 30 menit kami menunggu. Ternyata oh ternyata, untuk trayek ini hanya tersedia 3 bus!
Akhirnya Damri jurusan Hanura tiba juga. Bus rupanya tidak melewati pusat kota Bandar Lampung melainkan menyusuri pinggiran kota. Udara cukup sejuk. Sedikit panik saat bus mulai melewati jalan kecil menanjak yang hanya bisa dilalui satu kendaraan. Dari obrolan supir bus dan seorang penumpang di sebelahnya, jalan tersebut dibuat pada saat menara TVRI didirikan di daerah itu. Rumah-rumah penduduk yang sederhana dan sawah serta kebun coklat mengiringi perjalanan kami. Bus berjalan perlahan karena melewati jalan kecil yang naik-turun dan berkelok-kelok. Hampir satu jam sampai akhirnya kami melihat birunya laut dari atas bukit.

Turun di sebuah pangkalan ojek dengan petunjuk arah Pantai Mutun yang seadanya. Nyaris terlewat! Kami minta diantar ke P. Mutun yang katanya berjarak sekitar 2 km dari jalan utama. Ongkos ojek Rp.5.000 termasuk murah karena ternyata medannya cukup berat. Tiket masuk P. Mutun Rp.5.000, tapi bisa kami hemat karena tukang ojeknya menurunkan kami di dalam kawasan setelah melewati petugas jaga, hehehe...

Sepanjang P. Mutun dipenuhi gubuk-gubuk yang disewakan dan perahu tradisional untuk mengantar pengunjung ke Pulau Tangkil. Lumayan ramai juga. Setelah bernegosiasi dengan salah satu pemilik perahu, disepakati ongkos antar jemput ke P. Tankil Rp.30.000. Kami minta dijemput pukul 15.00 WIB (waktu itu baru pukul 11.00 WIB) agar puas bermain di pantai. Jarak P. Tangkil dari pantai tak terlalu jauh, hanya butuh waktu tak sampai 10 menit. Tukang perahu setuju mengantar kami mengelilingi pulau dengan tambahan ongkos Rp.10.000. Ini dia penampakan P. Tangkil dari atas perahu.

Saat perahu menepi, kami disambut hamparan pasir putih yg lembut. Airnya beniiiiiinggg banget. Di sini tak seramai di P. Mutun. Jadi berasa di pulau milik pribadi, hahahaha... Kami pun puas bermain-main di pantai tanpa mempedulikan sengatan matahari. Saya mengambil sebuah ban yang tergeletak di dekat kami, bersantai dengan terapung di atasnya hingga tak terasa terbawa angin hingga ke tengah. Panik. Nyaris tenggelam karena gak bisa berenang. Alhamdulillah ditolong dua orang yang baik hati.
Sebenarnya perairan P. Tangkil sangat tenang, nyaris tak berombak, karena terletak di Teluk Lampung. Pantainya pun landai. Sayangnya, tak ada petunjuk yang menginformasikan daerah berbahaya karena cukup dalam.

Di P. Tangkil juga disediakan gubuk-gubuk yang disewakan. Pengunjung bisa bermain dengan menyewa ban, kano, banana boat, bahkan jet ski. Ban yang saya pinjam tadi entah milik siapa dan gak ada petugas yang menarik ongkos sewa ban tadi. Hemat lagi, hehehe...
Hemat lainnya, kami tidak ditarik bayaran untuk tiket masuk P. Tangkil ini. Ini baru kami sadari saat melihat beberapa rombongan pengunjung yang tiba setelah kami. Tiket masuknya Rp.5.000/orang. Petugasnya gak liat pas kami datang kali yak.

Setelah puas bermain air, kami mandi untuk pertama kalinya sejak kemarin sore. Airnya bersih dan menyegarkan. Tiap orang dikenai biaya dua ribu perak. Kami menunggu jemputan perahu yang tadi mengantar kami. Ngobrol dengan mbak-mbak di dekat kami tentang jalur menuju St. Tanjung Karang. Eh, mbak tersebut malah menawarkan untuk ikut rombongannya yang menyewa angkot. Huwaaaaaaaa..... takjub!

Perjalanan kembali ke P. Mutun sedikit menegangkan. Angin sore membuat ombak yang cukup besar sehingga perahu yang hanya berisi tiga orang ini terombang-ambing. Alhamdulillah sampai dengan selamat dan langsung bergabung dengan rombongan tadi. Terima kasih buat Mbak Esther dkk., kami jadi menghemat lagi. :D
Dan ternyata, dalam rombongan ini ada satu orang yang tadi menolong saya saat nyaris tenggelam. Stephen the hero, teriak teman-temannya. Wkwkwkwkwk...

Kami turun di pertigaan Gudang Garam kemudian melanjutkan naik angkot warna abu-abu ke St. Tanjung Karang. Oiya, angkot di Lampung gak pakai nomor penanda jurusan, bahkan gak ada tulisan jurusan mana. Hanya ditandai dengan warna body-nya. Dan semuanya full music dengan speaker segede gaban!

Kami turun di pasar dekat stasiun (pasar apa ya namanya?) dan langsung mengisi perut yang keroncongan sedari tadi di sebuah rumah makan Padang. Senja mulai menjelang saat kami kembali ke stasiun. Kami berencana melanjutkan perjalanan ke Palembang. Sebuah rencana yang tiba-tiba terlintas saat kami menginjakkan kaki di Lampung. Kami sengaja tidak mencari penginapan karena istirahat akan dilakukan di perjalanan. Hemat lagi, hehehe... meski dengan pilihan ini kami terpaksa memanggul tas punggung kemana-mana. Fyuh...

Kereta Limex Sriwijaya jurusan St. Kertapati, Palembang, berangkat pukul 21.00 WIB. Setelah mengantri lumayan lama karena long weekend, kami memperoleh tiket kelas bisnis seharga Rp.60.000/orang. Kereta berhenti di St. Kotabumi, St. Balaraja, St. Prabumulih dan terakhir di St. Kertapati. Saya nyaris tidur sepanjang perjalanan meski sesekali terganggu oleh para pedagang asongan yang berlalu-lalang saat kereta berhenti.
Sebuah kejadian di gerbong depan membuat kami waspada. Seseorang memberi tahu bahwa seorang ibu kehilangan tasnya saat kereta berhenti di St. Balaraja!

Sabtu (03042010), seharusnya kereta akan tiba di St. Prabumulih sebelum subuh, tapi entah apa yang terjadi hingga membuat perjalanan ini terasa begitu panjang dan melelahkan. Sudah hampir pukul 07.00 WIB saat kereta masuk ke St. Pabumulih dari arah berlawanan. Rupanya kereta kami melewati jalur memutar karena ada kereta yang anjlok di jalur utama. Sejam kemudian kereta akhirnya tiba juga di St. Kertapati.
Saya sempat kaget ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahu saya sambil berkata, "Hei, kamu... tadi di gerbong berapa?" Mengingat reputasi stasiun ini yang rada-rada texas (istilah dari Dian, yang punya Palembang tapi ditanya apa-apa gak ngerti mulu!), dengan agak takut saya melihat orang yang bicara. Ha, rupanya bapak yang tadi sempat ngobrol bareng kami pas ngantri di St. Tanjung Karang, wakakakaka....

Karena tiket balik ke Lampung baru bisa dibeli sore hari, kami langsung naik bus kecil warna merah jurusan Pusri yang akan mengantar kami ke tujuan utama ke kota ini, Jembatan Ampera. Ternyata Jembatan Ampera tak jauh dari St. Kertapati, hanya sekitar 10 menit perjalanan dengan ongkos dua ribu lima ratus perak per orang. Kami turun di Masjid Agung Palembang untuk numpang mandi. :D

Dari masjid kami berjalan kaki ke arah dermaga. Mampir sejenak di Monumen Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan (Monpera) yang dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat ketika melawan kaum penjajah pada masa revolusi fisik melawan Belanda yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang yang pecah pada tanggal 1 Januari 1947.

Saat melihat sebuah warung, perut kami langsung meminta haknya. Wajarlah, sudah hampir pukul 10.00 WIB dan perut kami terisi nasi terakhir kalinya adalah kemarin sore. Setelah makan kami kembali berjalan kaki ke Sungai Musi. Kami langsung ditawari perahu untuk menyeberang ke Pulau Kemaro saat tiba di tepi sungai. Pulau Kemaro? Ada apa di sana? Ah... nanti dulu deh, kami mau mejeng dengan latar kemegahan Jembatan Ampera dulu, ahahahaha...



Kami menyusuri tepi sungai hingga sampai di samping Pasar 16 Ilir yang dijadikan kawasan wisata kuliner, berbagai jenis makanan ada di sini. Persis di bawah jembatan terdapat dermaga yang tempat bersandar perahu-perahu yang menjadi transportasi umum. Saya sebenarnya sangat penasaran untuk mengarungi Sungai Musi tapi harus berpikir berkali-kali mengingat kejadian hari sebelumnya di P. Tangkil di mana saya nyaris tenggelam.

Terdapat dermaga lain yang digunakan untuk para wisatawan. Ada beberapa paket yang ditawarkan, termasuk yang seharga Rp.70.000/orang untuk mengunjungi beberapa tempat di sepanjang sungai. Kami bertemu dengan rombongan cewek-cewek ABG yang bermaksud ke P. Kemaro. Saya pun memberanikan diri untuk ikut bersama mereka. Setelah negosiasi yang alot dengan pemiliknya, kami sepakat menyewa speedboat yang akan mengantar kami ke P. Kemaro dan kembali lagi ke sini dengan harga Rp.80.000 yang dibagi 6 orang.

Perjalanan dengan speedboat lumayan mendebarkan. Perahu melaju kencang hingga beberapa kali percikan-percikan air mengenai kami. Dalam waktu sekitar 10 menit kami telah tiba di P. Kemaro. Rupanya, pulau ini adalah pulau yang dikeramatkan karena sejarahnya. Ini kami ketahui dari tulisan di atas. ^^

Di pulau ini terdapat sebuah kuil dan sebuah pagoda besar yang masih digunakan sebagai tempat persembahyangan. Siang itu sangat terik. Kami terpaksa berpanas-panasan mengelilingi pulau yang tak besar ini. Ada patung Budha berwarna emas di samping pagoda. Di sudut lain terdapat patung Dewi Kwan Im didampingi Sun Go Kong, gurunya (biksu siapa gitu...) trus dua temannya yang siluman itu. Tak jauh dari situ terdapat pahatan-pahatan 12 binatang yang melambangkan shio.




Yang unik adalah sebuah pohon yang menjadi tujuan utama para muda-mudi. Pohon ini dinamakan Pohon Cinta. Konon menurut legenda, apabila kita mengukir mana kita dan pasangan di pohon ini maka cintanya akan berlanjut ke pelaminan. Percaya gak? Hehehehe... Yang jelas, teman-teman baru kami dengan bersemangat mengukir nama mereka di Pohon Cinta.

Tak lebih dari satu jam kami berada di P. Kemaro. Kami kembali mengarungi derasnya arus Sungai Musi yang lebih kuat dibanding saat berangkat tadi. Fyuh... seru dan menegangkan. Tapi kami puas dengan perjalanan ini. Setelah berpisah dengan teman-teman baru, kami kembali ke Masjid Agung dan mencari Pempek Saga yang katanya ada di dekat masjid.

Tanya sana tanya sini, akhirnya ketemu juga tempatnya. Pempek Saga "Sudi Mampir" di depan kantor Walikota. Maksud hati ingin menjelajah tempat lain yang tak jauh dari pusat kota, tapi badan kami sudah kehabisan tenaga. Ditambah dua dus pempek membuat beban kami makin berat. Kami terpaksa kembali ke St. Kertapati meski senja belum tiba. Stasiun masih sepi. Kami bisa leluasa mencari tempat duduk untuk sekedar melepas penat. Tiba-tiba hujan turun sangat deras seolah semua persediaan air ditumpahkan dari langit.

Kereta berangkat pukul 21.00 WIB, sama dengan jadwal dari St. Tanjung Karang. Kami bergantian tidur di bangku dan di lantai kereta. Dan seperti biasanya, saya selalu pulas dalam perjalanan. :D

Minggu (04042010), lagi-lagi kereta terlambat tiba, sekitar satu setengah jam lebih lama. Kami pun numpang mandi di stasiun sebelum menuju agen bus Damri. Setelah meletakkan semua bawaan kami di dalam bus, kami berkeliling mencari penjual keripik pisang khas Lampung serta mencari sesuap nasi untuk mengganjal perut.

Bus melaju meninggalkan stasiun pukul 10.00 WIB. Saya bertekad untuk tidak memejamkan mata kali ini. Giliran Mbak Tuti yang tewas karena dia kurang tidur 3 malam terakhir. Rupanya jalan menuju Pelabuhan Bakauheni cukup berliku dan naik-turun. Pemandangannya pun cukup menghibur. Bukit-bukit yang hijau. Terkadang pantai dengan pasir putihnya. Tepat sebelum masuk pelabuhan, ada sebuah bangunan yang disebut Menara Siger, landmark Propinsi Lampung.

Saya membangunkan Mbak Tuti setelah bus masuk ke lambung ferry. Kami naik ke geladak, menikmati birunya laut yang menyatu dengan langit di cakrawala. Di kejauhan nampak Gunung Anak Krakatau yang berdiri angkuh di kelilingi laut. Ahhh.... kapan saya bisa sampai ke sana???



Oiya, jangan pernah deh beli minuman di atas ferry... Mahalnya amit-amit! Air mineral ukuran 330ml dibanderol lima ribu perak. Ini masih masuk akal sih. Yang bikin kami ternganga adalah You C 1000 yang dibanderol dua puluh ribu perak. Hah??? Yang bener ajah!!! Untung belum dibuka. Langsung dibalikin lagi deh.

Perjalanan menggunakan ferry memakan waktu sekitar 3 jam termasuk waktu sampai kapar bersandar di Pelabuhan Merak. Bus sampai di St. Gambir pukul 17.30 WIB. Kami berpisah di sini karena Mbak Tuti langsung pulang ke rumahnya di Bekasi.

Sebuah perjalanan yang tak terlupakan! Berhasil juga menjejakkan kaki di Sumatera. :D


Catatan:
(1) Karena keteledoran (lupa pake sunblock) alhasil wajah terbakar, kering, merah seperti kepiting rebus, perih, belang-belang, bahkan terkelupas. Huwaaaaaaaaa....
Untunglah sekarang sudah kembali mendekati kondisi sebelumnya. ;-)

(2) Masih punya utang ke Mbak Tuti buat beli oleh-oleh karena gak sempat mampir ke ATM. :D



Next trip: Curug Cijalu - Subang